HOME
 
Peta Tasikmalaya
dan sekitarnya

Ramalaan cuaca

Artikel tentang Tasikmalaya

Gunung Galunggung

Alumni SMP & SMA 2 Tasikmalaya
 
Formulasi
Forum Muda untuk Silaturahmi Mahasiswa Tasikmalaya

Info kerusuhan Tasikmalaya

 

WARTA EKONOMI

Mingguan Berita Ekonomi & Bisnis

Edisi 8 Juli 1996

 

--------------------------------------------------------------------------------

 

 

Kerajinan Anyaman

 

CENGKAW MODERN DARI TASIKMALAYA

 

Kitri Art Shop bukan hanya pengumpul hasil perajin anyaman dan kemudian menjual atau mengekspornya. Pendirian pusat pelatihan dan budi daya jenis bambu tertentu juga dilakukannya.

 

 

Tasikmalaya memang merupakan daerah yang secara stereotip dikenal sebagai "gudangnya tukang kredit". Julukan itu sejak dulu sudah menyebar ke mana-mana. Dengan keranjang besar berisi peralatan rumah tangga, pedagang dari sana berjalan berkeliling menawarkan barang dagangan kreditnya.

 

Akan tetapi, kota yang terletak di selatan Bandung ini ternyata bukan hanya terkenal karena itu. Masih banyak kekuatan lain daerah ini, misalnya sentra industri kecil dengan berbagai jenis kerajinannya. Usaha konfeksi dan bordir, contohnya, populer sekali di kawasan Kampung Cukang. Sementara di Jalan Raja Polah, yang terletak di bagian lain dari kota itu, sedikitnya ada 50 perajin anyaman bambu dan pandan. Dari kawasan inilah antara lain kerajinan anyaman Tasikmalaya diekspor ke mancanegara.

 

"Akhir Juni kami mengirim pesanan sebanyak dua kontainer untuk seorang pengusaha Arab Saudi," kata Ucu Daspirin, pemilik Kitri Art Shop yang terletak di Jalan Raja Polah ini. Pemesan dari luar tidak terbatas pada Arab Saudi. Sejak aktif menggeluti bisnis anyam-menganyam pada 1990, produknya sudah dipakai di Korea, Jepang, Singapura, Malaysia, Eropa dan Amerika. Tidak jarang pula, sentra produksi anyaman Ucu menjadi ajang studi penelitian mancanegara.

 

Produk yang dipasarkan Ucu mencapai sedikitnya 200 jenis dan model--mulai dari alat-alat keperluan rumah tangga seperti tatakan meja, keranjang, tas, topi sampai bentuk kipas yang dihiasi dengan tulisan kaligrafi. Sedangkan yang dominan untuk pasar ekspor sekitar 70 macam bentuk anyaman. "Untuk pasar kawasan Arab, tulisan huruf Arab sebagai hiasan pada kipas banyak digemari. Juga keranjang bambu dan topi golf," ujar Ucu. Dari hasil penjualan setiap hari, Kitri meraup omzet rata-rata Rp500.000 sampai Rp1 juta. "Itu tentu di luar ekspor," ucapnya. Dengan adanya pesanan dari perusahaan grosir Arab Saudi itu, misalnya, Ucu telah menerima uang sebesar Rp600 juta. Order itu, menurut dia, tinggal pengerjaannya saja.

 

Ucu, pria kelahiran 24 Mei 1937 di Tasikmalaya, memulai usahanya dari bawah sekali. Bahkan, lewat Kitri Art Shop, usahanya itu bisa disebut dari nol. Pasalnya, keahlian anyam-menganyam yang kini digelutinya adalah warisan yang telah dikerjakan keluarganya secara turun-temurun.

 

Ucu menjelaskan bahwa ayahnya yang bernama Dulhasyid awalnya dikenal sebagai cengkaw (pemasok barang kerajinan) pada zaman Belanda. Dulhasyid, menurut dia, tidak sendirian. Termasuk di antaranya ialah Atmaja dan belasan nama lain yang tak diingatnya lagi. Mereka mengumpulkan barang-barang hasil kerajinan dari kawasan Tasikmalaya dan Ciamis untuk dipasarkan ke berbagai kota, khususnya Batavia, dan bahkan sampai diekspor ke Perancis dan Belanda.

 

Setelah zaman Jepang, Dulhasyid dan para cengkaw lain tidak berkembang lagi. Bahkan, kegiatan yang hingga 1987-an diteruskan oleh putra sulungnya, seperti menurut Ucu, mati sama sekali. Dari sinilah Ucu yang anak ke-13 dari 17 bersaudara itu tergerak untuk kembali terjun ke kerajinan anyaman. Oleh karena itu, sejak akhir 1980-an, ia bolak-balik ke Jakarta dan beberapa kota besar lain di Jawa Barat untuk mencari peluang pasar. "Jadi, saya memulai bisnis keluarga ini dari nol lagi," kata Ucu. Usaha itu dikelolanya sejak 1980 melalui CV Dinar Jaya yang didirikannya. Sayangnya, perusahaan yang berdomisili di kota Tasikmalaya itu berumur pendek karena pada 1985 kegiatannya terhenti. Setelah itu, dia hanya melakukan promosi hasil kerajinan khas Tasikmalaya. Kembalinya Ucu ini ditandai dengan berdirinya Kitri Art Shop pada 1990.

 

Tahun pertama Kitri Art Shop memang menyenangkan buat Ucu. Bagaimana tidak, meski sedikit, produk sapu lidinya yang rata-rata cuma beberapa kodi per bulan mampu menembus pasar Jakarta. Beberapa pedagang eceran besar seperti Matahari menjual produk Ucu ini. Bahkan, nama Kitri yang berarti tunas kelapa itu diambil dari keterkaitan bahan baku sapu lidi yang berasal dari tulang daun kelapa. Dari situ, dia mengembangkan produksinya ke jenis keranjang bambu. Kebetulan produk baru ini dipesan oleh sebuah perusahaan Korea Selatan lewat mitra kerjanya di Indonesia, PT Rama Sinta, yang berdomisili di Tangerang, Jawa Barat.

 

"Harga jual keranjang bambu cukup bagus, yakni Rp2.000 per keranjang," ucap Ucu. Menurut Ucu, mereka memesan sekitar 5.400 keranjang. Guna memenuhi pesanan inilah, Kitri yang tadinya cuma mengandalkan tenaga kerja dari keluarga sendiri, membuka diri lewat mitra binaan dalam sistem inti-plasma. Dalam keterkaitan ini, Kitri membantu para perajin dalam desain, ukuran dan disiplin waktu. "Mulanya cuma dua mitra yang terlibat, tetapi kini menjadi 10 mitra," ungkapnya. Dan jumlah perajin yang dilibatkan pun meningkat pesat. Kalau semula cuma belasan, kini sudah mencapai 298 perajin.

 

Dengan label Kitri Art Shop, Ucu memasarkan kerajinan anyaman dari sepuluh mitra binaannya. Setiap kali Kitri menerima pesanan, para perajin inilah yang mengerjakannya. Pembagian pekerjaan diberikan sesuai dengan kemampuan dan spesialisasi perajin. "Saya sendiri sebetulnya tak menguasai bidang penganyaman. Keinginan dan pengabdian saja yang nomor satu," katanya. Tak salah pula jika ia kemudian dipilih sebagai penerima Upakarti bidang pengabdian tahun lalu.

 

Pada 1992, berbagai model anyaman bambu, dinner set, topi, kipas dan cendera mata diekspor ke Jepang. Kemudian pasar Singapura dimasukinya sejak 1993 dan tetap dipertahankannya hingga kini. "Sedikitnya 75% hasil kerajinan Kitri memang untuk ekspor," ungkap Ucu. "Itulah hasil penetrasi pasar selama ini lewat berbagai pameran yang kami ikuti seperti pameran pembangunan di Jakarta (1992) dan pameran Dekranas dalam tahun yang sama, juga di Jakarta," kata dia, menambahkan.

 

Di luar kegiatan berusaha, Ucu juga membantu perajin memperdalam teknik menganyam dengan mendirikan bengkel kerja (1995) yang merupakan diklat kerajinan satu-satunya di Tasikmalaya. Diklat dibangun dengan bantuan Bank Bumi Daya Tasikmalaya yang memberikan dana sebesar Rp10 juta. "Bantuan itu hanya untuk diklat," katanya menekankan. Padahal, dari kalangan perbankan, Ucu sangat berharap memperoleh bantuan serupa untuk memperkuat struktur modal usahanya. Hanya, menurut dia, kalau itu dalam bentuk kredit pinjaman, ia relatif tidak memiliki agunan. "Bantuan yang selama ini saya terima tetaplah dari Perum Pegadaian, yakni yang pertama pada 1992 sebesar Rp9 juta dan yang kedua sebesar Rp20 juta saya terima belum lama berselang," kata kakek bercucu empat ini.

 

Untuk bahan baku, Kitri tidak akan kesulitan. Kawasan Tasikmalaya dan sekitarnya boleh disebut gudang bambu maupun pandan. Meski begitu, jiwa pengabdian Ucu kembali berperan. Untuk mengantisipasi kekurangan bambu, dia ikut melakukan budi daya bambu kali dan bambu gombong di daerah Pager Ageung, Ciawi. Jadi, bisa-bisa setelah Upakarti, penghargaan Kalpataru pun bisa menghampiri.

 

 

M. YUNAN HILMI DAN BADRUL FADHIL

 

 
Budaya Sunda
Bahasa, kesenian dsb

Priangan Timur

Ciamis, Garut

Link

Contact Us

Guestbook