Willy Brandt

 

 

 

Der Kniefall (Berlutut) Berita dari majalah Spiegel Nr. 51, 14.12.1970:

Peristiwa ini mungkin tidak akan dipaparkan dalam buku-buku sejarah, padahal sebetulnya harus. Kerumunan wartawan foto tiba-tiba berdesak-desakan dengan kasar; sedetik lamanya semua menahan napas: terperangah. Di mana dia? Jatuh? Pingsan?

Willy Brandt berlutut. Sebelumnya, dengan gaya upacara ia telah memperbaiki kedua ujung pita karangan bunga, meskipun kedua ujung itu sudah menjuntai tegak lurus sempurna. Lalu ia mundur satu langkah di lantai granit yang basah. Ia telah mengheningkan cipta sejenak--sesuai protokol yang lazim berlaku untuk pejabat negara yang meletakkan karangan bunga.

Lalu ia berlutut, tanpa bantuan, kedua tangannya tertangkup, kepalanya tertunduk.

Di tempat itu, tepat di mana ia berlutut, di situlah dulu neraka menganga. Dahulu di situlah tempat "Warschauer Getto"*. Setengah juta manusia tewas di situ, dilibas seperti kutu busuk.

Sekarang terbentang lapangan pesegi panjang yang luas, dikelilingi bangunan-bangunan modern. Di tengah lapangan itu telah didirikan monumen peringatan pemberontakan tahun 1943 dalam geto ini. Willy Brandt berlutut. Hampir selama satu menit. Banyak orang--anggota rombongannya pun--sama sekali tidak melihat kejadian itu.

Catatan:

* Warschauer Getto: "kampung Yahudi" di kota Warsawa (Polandia)

7 Desember 1970: Di depan mata dunia, di kaki monumen peringatan Geto Warsawa, Willy Brandt berlutut; dengan gerak tidak terduga dan menyimpang dari protokol itu, kanselir Republik Federasi Jerman (1969-1974) mengakui bahwa Jerman bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi selama rezim Nazi.

Hampir 20 tahun kemudian Willy Brandt menulis dalam "memoir"nya:

"Berulang kali saya telah ditanya, apa sebenarnya maksud atau tujuan saya dengan berlutut itu. Apakah kejadian itu sudah direncanakan sebelumnya? Tidak, kejadian itu tidak direncanakan. Bahkan para pembantu dekat sayapun tidak kalah terperanjat, sama seperti para wartawan dan jurnalis foto yang berdiri di dekat saya, dan sama seperti mereka yang hanya berdiri di kejauhan karena tidak menduga akan terjadi sesuatu yang 'baru'.

Saya tidak merencanakan apapun, tetapi saya meninggalkan istana Wilanow-tempat saya menginap-dengan keyakinan bahwa dalam kunjungan ke museum geto ini saya harus memperlihatkan pentingnya mengingat (zaman Nazi - ekg). Di tepi jurang kegelapan sejarah Jerman dan di bawah beban tanggung jawab atas pembunuhan jutaan manusia, saya telah melakukan apa yang dilakukan manusia kalau bahasa tidak mampu (mengungkapkan perasaan - ekg)."

 

"Dunkel hier, kalt. Deutschland …"

(Petikan resensi tentang pementasan perdana "opera Willy Brandt" di kota Dortmund; Thomas Mießgang, Die Zeit,

[...] JUDUL opera itu sederhana: Kniefall in Warschau ("Berlutut di Warsawa") dan bukan Willy Brandt - ein Heldenleben ("Willy Brandt - kisah kehidupan seorang pahlawan").

Tema yang diangkat ialah peristiwa seputar perilaku seorang negarawan yang berlutut pada suatu kesempatan resmi, salah satu kejadian yang paling menghebohkan dunia politik sesudah Perang Dunia II; seputar perilaku yang menyimpang dari protokol dan yang memperlihatkan betapa hampa ritual beku yang lazim ditampilkan pada upacara kenegaraan; seputar simbolik yang khas dan tulus dalam dunia penuh gejolak intrik dan tarik-menarik merebut kekuasaan.

Bagaimana berlutut--sebagai metafora multiperspektif--dapat dikembangkan menjadi komposisi musik dan bunyi, bagaimana menemukan untaian nada yang tepat, alat musik yang cocok? Tidak mungkin.

Ketika William Killmaier--pemeran Willy Brandt--berlutut, suasana hening dan diam sesaat lamanya mencekam ruang pementasan dalam gedung opera kota Dortmund.

Sebelum saat hening itu komponis Gerhard Rosenfeld telah menderukan musik crescendo yang dahsyat: alat musik kaleng yang bunyinya melengking menyayat hati dan genderang yang ditabuh menderap dalam tempo menggila, keduanya saling berebut waktu, potong-memotong, kemudian terdengarlah lantunan sendu sebuah kaddisch, yaitu doa ratapan duka nestapa yang dilantunkan pemeluk agama Yahudi. Dari konstruk bunyi-bunyi yang telah dibangun keluarlah sambil berdesakan hantu-hantu masa lampau: korban-korban kamp konsentrasi, mereka yang dicap dengan bintang**, saksi-saksi ingatan, mereka yang terus-menerus diusir, yang menjadi pengungsi sepanjang zaman. Di panggung terlihat sosok-sosok sibuk, kesibukan itu memuncak, menjadi semrawut - lalu semuanya berhenti, hening. Yang terdengar hanya batuk-batuk, dehem-mendehem, gemerisik di ruang penonton. Saat hening dan diam ini semisal "titik nol" di pusat angin puting beliung, gagasan yang seolah ciptaan John Cage, dan merupakan temuan seni yang paling hebat dalam opera ini.

Publisitas yang dilancarkan untuk mempromosikan pementasan opera ini melebihi semua promosi untuk pementasan perdana opera lain dalam tahun ini. Bukan sebab komponisnya terkenal--hampir tidak ada yang mengenalnya--melainkan karena tokoh utamanya: Brandt, kanselir RFJ yang pengalah dan mengundurkan diri dalam tahun 1974, yang dianggap peragu dan penuh pertentangan, yang sering kuatir berlebihan dan berpikir terlalu jauh, yang juga senang menikmati hidup. Dia adalah sosok yang gemerlapan dalam barisan jas kelabu para pejabat tinggi negara. Dia tampaknya seperti diciptakan untuk diabadikan dalam opera! Akan tetapi, nanti dulu!

[...] Opera ini betul-betul merosot menjadi operet kelas dua ketika ketiga pejabat tinggi negara--yaitu Brandt, Bahr, dan Scheel--berjalan bersama dengan langkah pas de trois melintasi panggung, begitu pula ketika Barzel mempersiapkan "mosi tidak percaya yang konstruktif" dan bergegas keluar masuk di antara beberapa kulisse***. Masalah mendasar dalam opera tentang Willy Brandt ini adalah bahwa demokrasi tidak cukup berdaya pikat guna menyulut api emosi yang menyala-nyala. Opera tercipta oleh penjahat-penjahat laknat, kisah cinta asmara yang menghanyutkan, dan penderitaan yang dahsyat. Oleh teroris-teroris bengis dan oleh mereka yang mengalami kehancuran karena terseret emosi. Akan tetapi bagaimana perunding-perunding berjas abu-abu dalam sidang kabinet yang berjalan alot dapat menciptakan "action" di atas panggung? [...]

"Kniefall in Warschau" gagal sebagai opera ...

Catatan:

* "Gelap di sini, dingin. Jerman ... " , fragmen nyanyian dari opera Kniefall in Warschau
** Dalam rezim Nazi orang-orang (keturunan) Yahudi diwajibkan memakai tanda pengenal Judenstern berupa gambar bintang berwarna kuning.
***kulisse: tirai atau penyekat di atas panggung yang berfungsi membagi ruang/latar