CATATAN PINGGIR UNTUK ZAKAT
(Noryamin Aini)
[Ummijundi, 29/03/03]
Istilah zakat profesi muncul di era modern. Kami pernah menelusuri istilah
tersebut dalam kitab fiqh, tapi memang tidak ditemukan. Ia produk masyarakat
maju. Sebetulnya lembaga zakat profesi sebagai akibat dari differensiasi
pekerjaan; pergeseran dari pekerjaan tradisional [premodern, bertani-beternak]
ke pola sektor kerja masyarakat teknologi-informasi. Dalam perspektif inilah
kemudian lembaga zakat profesi harus difahami. Sebetulnya isu zakat profesi
muncul di pertengahan tahun 1980an. Tokohnya terutama pak Amien Rais,
Jalaluddin Rahmat, dan para pemikiran kontemporer lain yang sangat kritis
terhadap kontekstualisasi hukum Islam.
Munculnya masalah zakat profesi sebagai response terhadap ketimpangan distribusi
penghasilan dalam perspektif fiqh "klassik". Coba bayangkan, seorang petani padi
yang sawahnya menghasilkan ア 100 blik [ukuran orang Banjarmasin, satu blik
mungkin
sekarang seharga kurang dari Rp. 10.000] setiap kali panen, wajib mengeluarkan
zakatnya sebanyak 5 % dari 100 blik atau jika dikonversi seharga 100 x Rp.
10.000
= Rp. 1.000.000. Sekarang bandingkan dengan gaji karyawan BUMN atau perusahan
swasta
bona fide lainnya yang dapat mencapai Rp. 5.000.000, bahkan lebih. Jika masalah
gaji
ini ditanyakan kepada ustadz yang kuat dengan tradisi kitab kuning, mereka
cenderung
untuk tidak mewajibkan zakat gaji, alasannya sederhana, yaitu masalah tersebut
tidak
ada dalam kitab kuning. To be honest, pembaca ISNET dan kami juga melihat adanya
ketimpangan jika petani wajib bayar zakat sementara, konsultan atau profesional
yang
bergerak di sektor jasa tidak diwajibkan. Akibatnya, ada yang mengklaim bahwa
fiqh
kita lebih mencerminkan logika ekonomi kapitalis yang dibenci aliran "marxist",
juga
Islam.
Bagaimana menentukan nisab dan kadar zakat profesi?
Memang masih terjadi khilafiyah tentang masalah ini. Namun demikian, ulama
kontemporer sepakat bahwa penghasilan dari pekerjaan profesional wajib dizakati.
Pekerjaan apa saja, bahkan Ustadz jalaluddin Rahmat mewajibkan zakat dari harta
yang diperoleh dengan cara apapun, termasuk cara yang tidak halal. Ada beberapa
panduan untuk menjawab masalah di atas. Pertama, coba kita perhatikan persentase
zakat yang umumnya ditetapkan dalam kitab fiqh, yaitu 21 % untuk perdagangan dan
emas, 5 % untuk pertanian sawah/kebun irigasi, 10% untuk sawah/ kebun, dan 20 %
untuk barang temuan [rikaz]. Adalah menarik jika angka di atas kita cermati.
Semuanya merupakan kelipatan dua dari angka sebelumnya; 21 x 2 = 5 x 2 = 10 x 2
= 20.
Kami kira pola urutan tersebut bukan atas kebetulan, tetapi ada pesan khusus.
Atau
keistimewaan ini tentunya secara simbolik mempunyai nilai tersendiri. Kami
melihat
perubahan angka-angka tersebut berkaitan dengan pergeseran tingkat kesulitan
yang
dilalui untuk menghasilkan harta yang dizakati tersebut. Secara historis, di
zaman
awal Islam, berdagang bukan pekerjaan yang menjadi tumpuan untuk mendapat
kekayaan
dengan mudah, karena saat itu berdagang penuh dengan resiko, dirampok dalam
perjalanan. Lain hal dengan bertani. Pada zaman nabi, [ingat tradisinya masih
cukup
feodalistik], orang hebat adalah mereka yang mempunyai tanah yang subur; sangat
menghasilkan tanpa banyak resikio. Pak Masdar F.Mas'ud mengatakan saking
bernilainya
tanah subur pada zaman Nabi, wanita pun dikatakan seperti kebun [hartsun]
sebagai
analog untuk memahami ketinggian nilai wanita dalam Islam [lain maknanya di era
sekarang; petani identik dengan kemiskinan]. Dengan kemudahan cara menghasilkan
panen tersebut kemudian, zakat pertanian menjadi digandakan menjadi 5 atau 10 %.
Lalu bagaimana dengan 20 % untuk rikaz [barang temuan]. Semua orang tahu bahwa
yang namanya rikaz ditemukan secara kebetulan. Karena kebetulan, tentunya tidak
ada prosedur atau kiat khusus [yang terencana] untuk mendapatkannya. Oleh sebab
itu, rikaz dapat dikatakan rizki "nomplok". Karena saking mudahnya mendapatkan
rikaz, lalu zakatnya menjadi 20 %. Walhasil, kami ingin mengatakan bahwa
persentasi
zakat profesi sangat berkaitan erat dengan proses mendapatkan gaji tersebut.
Kami
berpendapat, kalau boleh, tetapi mengacu pada logika istinbath hukum di atas,
minimal
5 % persentase untuk zakat profesi dan leih banyak tentunya lebih baik, kalau
tidak
dikatakan wajib.
Berapa nisabnya? Masalah ini harus dilacak dari proses pentasyri'an [kelahiran
hukum] zakat. Mungkin pernah kami singgung secara umum di kesempatan lain, bahwa
zakat pada awalnya diwajibkan kepada seluruh umat Islam pada periode Mekkah
tanpa
memilah sikaya dan simiskin. Kok begitu? Kalau kita memahaminya secara
kontekstual,
pesoalan tersebut mungkin sedikit akan lebih mudah [terlepas dari pemahaman
orang
lain]. Seperti yang dikenal luas, di Mekkah, jumlah orang Islam relatif
sedikt,
dan Nabi berserta orang Islam lainnya menghadapi tantangan yang sangat berat;
dari terror dan agresi orang arab quraisy yang tidak dapat menerima kehadiran
Islam. Dalam keadaan seperti ini, umat Islam membutuhkan dukungan dari seluruh
umatnya baik secara moral dan terutama finansial untuk meletakkan flat-form
dasar
masyarakat yang kemudian terbentuk dan berkembangan di Medina. Dalam keadaan
seperti
ini kemudian menjadi logis bila semua orang Islam diwajibkan membayar zakat
[dalam
artian] sebatas kemampuannya [seperti yang akan kita temukan pada ayat-ayat
makkiah
yang mewajibkan infak] untuk membantu perjuangan Islam.
Ketika Nabi hijrah ke Medina, banyak perubahan yang terjadi, termasuk perubahan
struktur sosial dan perubahan status keumuman kewajiban zakat. Mengacu pada ayat
kewajiban zakat yang diturunkan di Medina, zakat hanya diwajibkan kepada mereka
yang
mampu. Logika sosial-ekonominya begini. Ketika hijrah, Nabi menemukan Medina
sebagai
kota yang sudah "mapan", dalam artian sistem sosialnya sudah terpola; ada orang
kaya
dan ada yang miskin. Sementara muhajirin yang berasal dari kalangan kaya atau
mereka
yang dengan semangat kapitalis dengan mudah berkembang terutama ditopang dengan
sistem
sosial dan ekonomi yang sudah stabil. Akibatnya dengan sekejab, kemudian terjadi
differensiasi sosial; ada rentang atau stratifikasi sosial; lahir varian
kaya-miskin.
Maka dalam konteks seperti ini, tidak logis jika simiskin juga masih harus
berzakat
[maal], justru kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Akibatnya mereka lebih
pantas
untuk dibantu. Oleh sebab itu, keumuman kewajiban berzakat ditakhsish,
dikhususkan,
untuk mereka yang kaya saja.
Lalu apa makna nisab untuk memahami standard jumlah harta yang wajib dizakati,
termasuk dalam kasus zakat profesi?
Kami mencoba melihatnya dari sisi lain [mungkin ini tidak lazim]. Kalau kita
telusuri
lebih jauh, akan nampak bahwa batasan [nisab] hasil pertanian senilai dengan
jumlah
kebutuhan dasar [basic needs] pada saat itu, dan 96 gram emas [dalam hadith lain
malah
kalau tidak salah hanya 36 gram] jika dikonversi ke nilai tukarnya cukup untuk
memenuhi
kebutuhan dasar dalam setahun. Dari sisi ini, sebetulnya, nisab harta yang wajib
dizakati berbanding sejajar dengan batas kemiskinan. Artinya, zakat identik
dengan
harta orang yang tidak miskin. Walhasil, dengan kelebihan kekayaan tersebut
adalah
logis dan bermoral jika diwajibkan zakat kepada mereka.
Apakah boleh mengeuarkan zakat emas dengan nilai harganya?
Dalam fiqh permasalahan ini dihahas dalam pertanyaan "apakah zakat harus
dikeluarkan
dari benda yang sejenis, atau boleh diganti dengan jumlah uang yang seharga
dengannya.
Terlepas dari khilafiah, kebanyakan ulama menerika jika zakat benda termasuk
emas,
boleh dikeluarkan berdasarkan nilai harganya. Artinya untuk zakat emas, kita
tidak
perlu mempreteli [memotong] emas yang kita miliki untuk dizakati. Jika kita
punya uang
seharga dengan nilai [rupiah] zakat emas yang akan dikeluarkan, kita boleh
membayarkan
zakatnya dengan uang. Jika di antara emas yang dimilik [atau harta lainnya]
kadarnya
cukup bervariasi dari 18 karat sampai emas murni, maka sebaiknya dikeluarkan
zakat
dengan nilai emas yang terbaik, karena Allah "mengancam" orang yang hanya mau
mengeluarkan zakat dari bagian harta mereka yang terjelek [saking jeleknya
menurut
bahasa al-Qur'an, orang yang bersangkutan tidak akan mau menerimanya kecuali
jika dia
merem, atau memicingkan matanya].
Sekian terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.
Noryamin Aini
sumber: isnet.org