SUMBANGAN


[Ummijundi,29/03/03] Saya adalah seorang petugas kesehatan yang bertugas di sebuah desa terpencil di Tanjung Agung, Padang Ulak Tanding, kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Desa tersebut terletak sekitar 50 km dari ibukota kabupaten.


Separuh jalannya adalah jalan aspal kasar yang jarang dilalui kendaraan bermotor.
Selain bertugas di puskemas pada pagi hari hingga siang hari, saya,menyempatkan diri untuk mengajar anak-anak sekitar mengaji pada malam hari. Ini juga berangkat dari keprihatinan saya terhadap kondisi masyarakat di sini. Jumlah penduduk desa yang semuanya muslim berkisar 841 jiwa, tetapi kesadaran beragama sangatlah memprihatinkan. Sebagai gambaran, dengan penduduk sebanyak itu, jamaah masjid sholat Jum'at tak pernah mencapai 15 orang ! Sedangkan sholat Magrib dan Isya paling hanya tiga orang!


Perjudian dalam bentuk sabung ayam sangat membudaya di sini, hingga hampir ditiap rumah penduduk selalu ditemui ayam jago yang terikat di depan rumah, siap untuk diadu sewaktu-waktu. Kegiatan ini akan semakin semarak saat musim kopi. Apalagi saat harga kopi melambung seperti sekarang. Karena hampir seluruh penduduk desa adalah petani kopi, maka melonjaknya
harga kopi sampai berkali-kali lipat sangat terasa pengaruhnya. Dari mulai bermunculannya berbagai merk kendaraan bermotor, sampai bermunculannya parabola di banyak rumah di desa yang luasnya hanya sekitar 12 km persegi itu. Tingkat pendidikan rata-rata penduduk yang sebagian besar hanya sampai SD, membuat budaya menabung sangat langka di sini. Bahkan mereka cenderung komsumtif.


Namun kemakmuran yang dirasakan hampir semua penduduk tiada menjangkau satu-satunya masjid di daerah itu. Masjid mungil berukuran 10x10 m itu semakin merana. Selain jumlah jamaahnya yang tak kunjung meningkat, keadaan bangunannya juga semakin memperihatinkan. Atap seng yang mulai bocor disana sini dan rendah tanpa plafon, lantai semen yang kasar,tembok yang rapuh dan meretak. Sangat kontras bila dibandingkan dengan'tetangga masjid' yang parabolanya tinggi kokoh melampui kibah masjid.


Saya dan teman yang juga seorang guru SD disana merasa terketuk untuk melakukan sesuatu. Setelah melewati berbagai proses, kami mendapat izin atau tugas dari kades dan imam Masjid untuk menarik sumbangan dari para penduduk guna rehabilitasi masjid. Dan itu semua kami lakukan tanpa pamrih. Dengan bismillah, kami berdua berkeliling desa sepulang kerja untuk menarik sumbangan sukarela tersebut. Ternyata susah sekali mencari donatur yang mau menyumbangkan lebih. Yang kaya sekali pun memasang mimik keberatan. Yang tak punya duitlah, yang mau mengadakan hajatanlah, yang habis ditipulah, banyak sekali alasan mereka.


Di sebuah rumah besar berlantai keramik mahal, kami disambut seorang bapak umur 40 tahun. Kami dipersilakan duduk di sofa lembut yang seumur-umur baru sekali itu saya temui. Sementara dari ruang tengah rumah yang sangat besar itu terdengar jelas suara televisi yang tentu saja berparabola. Pajangan di ruang tamu saja tampak mewah dan menawan ala luarnegeri. Dalam hati saya dan teman berharap orang kaya ini akan menyumbangkan banyak. Ya, bagaimana pun dana yang sudah terkumpul masih sangat minim. Alangkah terkejutnya kami, ketika bapak tersebut secara halus menolak memberikan sumbangan. Ya, bahkan tidak sepeserpun! Kami beranjak pergi dan hanya bisa berdoa agar Allah membukakan pintu hati bapak tersebut suatu hari nanti.

Hari ke tujuh, atau hari terakhir dari rencana pengumpulan dana, uang yang masuk baru sekitar satu juta rupiah dari dua juta lebih anggaran yang dibutuhkan. Kami pun sampai di sebuah gubuk yang amat reot yang bahkan membuat kami ragu, apakah gubuk tersebut dihuni orang. Kami memutuskan untuk melewati rumah yang satu itu sebab walau rumah ini berpenghuni, rasa-rasanya kami tak tega untuk meminta sumbangan. Namun kami ingat pesan imam masjid untuk tidak melewati satu rumah pun.
 
Sebelum kami mengetuk, seorang perempuan dengan baju berwarna pudar dan lusuh telah membukakan pintu. DI kedua sisinya ada dua orang anak kecil dengan baju bertambalan. Penuh keramahan ia mempersilakan kami masuk ke dalam rumah biliknya yang beralas tanah. Sebelum kami memberitahukan apapun, dalam genggamannya telah disiapkan uang untuk sumbangan.
Betapa terharunya kami. Apalagi ketika kami ketahui kemudian bahwa wanita itu adalah seorang janda miskin. Anak-anaknya adalah yatim piatu. Orang seperti merekalah yang berhak atas zakat, infaq dan sedekah. Maka mata kami berkaca-kaca menatap, menghitung dan menerima lipatan-lipatan uang yang sebagian kumal dan recehan itu. Keikhlasan perempuan itu membuat
kami merasa inilah sumbangan paling berharga yang kami terima minggu ini!

Sepanjang perjalanan pulang, saya dan teman saya lebih banyak diam. Takjub akan apa yang saja kami alami. Sejak saat itu pula saya tidak lagi mencoba mereka-reka besar sumbangan dari keadaan fisik seseorang. Bukankah perempuan 'paling kaya' di desa itu telah mengajarkannya?
 
(diceritakan kepada Helvy Tiana Rosa)

bulletsumber:milist