Jawa Pos Selasa, 07 Agt 2007,
Bisnis Narkoba dan Teori Kyosaki
OLEH: AUGUSTINUS SIMANJUNTAK
Dikutip dari: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=298022
Bisnis narkoba benar-benar bertumbuh pesat di kota Metropolis. Satu per satu
pabrik narkoba besar berhasil diungkap oleh kepolisian. Mulai dari kasus Hangky
Gunawan di Perumahan Graha Famili (Juni 2006) yang mampu memproduksi 88 ribu
butir ekstasi (Nopember 2005 hingga Januari 2006), kasus Handoko di Jalan
Nginden Intan Timur dan Manyar Tirtoyoso (Juni 2006) dengan barang bukti 6 kg
sabu-sabu, dan kasus Setiawan Budi di Taman Internasional I Perumahan Citra Raya
(April 2007) yang mampu memproduksi 60 kg sabu-sabu.
Kasus terheboh dan tergolong terbesar yang berhasil diungkap oleh kepolisian di
Surabaya ialah kasus pabrik ekstasi Graha Famili jilid II (28 Juli) yang bisa
memproduksi 27 ribu butir ekstasi per minggu. Tiga peracik ekstasi berhasil
ditangkap dan dijadikan tersangka, yaitu Andi Setiawan, Andreas Hartanto, dan
Agus Wigijono.
Belum selesai keprihatinan warga Metropolis atas terbongkarnya pabrik-pabrik
ekstasi tersebut, kepolisian kembali mengungkap dua pabrik ekstasi sekaligus,
yaitu di perumahan Istana Candi Mas Sidoarjo dan di Kisi Gempol Pasuruan. Lima
orang tersangka berhasil ditangkap (Gogong Kusnul Yakin, Yoyok Setio Utomo,
Gunawan Triatmoko, Tri Rekso Dindarto, Sumardi Hardjito). Barang bukti yang
berhasil disita berupa puluhan jenis bahan kimia untuk memproduksi sabu-sabu
yang siap diolah (Jawa Pos, 2/8).
Kita tentu sangat heran, mengapa bisnis narkoba bertubuh begitu pesat di
Surabaya dan sekitarnya? Jawabannya bisa saja beragam. Dari segi hukum,
misalnya, maraknya kejahatan narkoba tidak bisa dilepaskan dari ringannya vonis
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya terhadap para pelakunya.
Dengan kata lain, penegakan hukum belum bisa memberikan efek jera terhadap para
pelaku sekaligus belum bisa membuat rasa takut bagi warga yang berpotensi
melakukannya.
Menyitir pandangan kriminolog Noach bahwa kejahatan (narkoba) tidak mungkin bisa
dihilangkan dari masyarakat. Tindakan yang mungkin bisa dilakukan oleh negara
dan masyarakat adalah mengurangi atau membatasinya.
Pemikiran Noach tersebut sejalan dengan pandangan kriminolog Frank Tannembaum
yang mengatakan: Crime is eternal - as eternal as society (kejahatan adalah
abadi, seabadi masyarakat). Kalau begitu, secara ontologis, apa sebenarnya akar
pertumbuhan kejahatan narkoba di Metropolis?
Akibat Kurang Uang?
Robert T Kyosaki dalam bukunya berjudul Rich Dad, Poor Dad membuka tulisannya
dengan dua pilihan asumsi dasar yang menjadi landasan pemikirannya, terutama
dalam menyikapi akar kejahatan. Ia menulis: Aku punya dua ayah. Ayah yang
pertama mengatakan "cinta uang adalah akar kejahatan". Sedangkan ayah yang kedua
mengatakan "kurang uang adalah akar kejahatan".
Selanjutnya, Kyosaki mengatakan: Aku tidak mungkin mengikuti keduanya sekaligus.
Bila aku mengikuti ayah yang satu maka aku melawan ayah yang lainnya. Jadi, aku
harus memilih, dan aku memilih ayah yang kedua (kurang uang adalah akar
kejahatan).
Implikasinya, kejahatan narkoba di Metropolis muncul dan berkembang akibat
faktor ekonomi atau kurangnya uang dari para pelakunya. Oleh karena itu,
pemberantasan kejahatan narkoba bisa dilakukan dengan perbaikan ekonomi
masyarakat. Menciptakan orang-orang kaya baru merupakan solusi efektif dalam
mengatasi kejahatan narkoba. Benarkah demikian?
Titik kelemahan pemikiran Kyosaki terletak pada pemaknaan yang tidak jelas
antara "cinta uang" dengan "kurang uang". Kalau dipahami dari segi makna cinta,
maka cinta uang adalah suatu keinginan atau hasrat yang mendalam untuk memiliki
uang, bahkan rela mengorbankan apa saja untuk meraihnya. Sayangnya, objek cinta
yang seharusnya ditujukan kepada sesama manusia justru ditujukan kepada benda
mati (uang). Objek cinta yang salah merupakan suatu penyimpangan dan bisa
menjadi akar perilaku menyimpang.
Seperti halnya seseorang yang rela berbuat apa pun demi cinta, demikianlah orang
yang cinta uang. Ia rela mempertaruhkan integritas atau harga dirinya demi uang.
Ia tidak lagi berpikir bahwa memproduksi dan menjual narkoba bisa merusak
masyarakat dan bisa membuatnya masuk penjara. Apalagi omset bisnis narkoba bisa
mencapai jutaan hingga milyaran rupiah.
Dengan demikian, sungguh ironis jika seseorang berani berbuat apa saja, termasuk
berbisnis narkoba, hanya karena tergila-gila terhadap uang. Nilai hidupnya
seolah sudah melekat pada uang, sehingga bagi dia kemiskinan materi merupakan
suatu kehinaan. Disadari atau tidak, produsen narkoba seolah sudah menjadi hamba
uang untuk melakukan tindak kriminal.
Dalam positioning yang demikian itulah terbukti bahwa cinta uang merupakan akar
kejahatan. Pola pikirnya ialah, bagaimana meraih uang banyak dengan cepat tanpa
memikirkan bagaimana caranya (cara benar atau tidak). Para penjahat narkoba
seolah tidak peduli meskipun ulahnya telah merusak masa depan banyak generasi
muda.
Dari sisi konsumen, seorang kecanduan narkoba bisa saja karena iseng, diajak
teman, atau karena tekanan hidup di perkotaan. Ketika mereka membutuhkan
narkoba, di saat itulah mereka menghamburkan uang untuk membelinya. Para pecandu
narkoba tidak memandang usia, strata sosial, dan tingkat ekonomi. Tidak sedikit
orang berduit justru terlibat dalam penggunaan narkoba. Dengan kata lain, mereka
sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai orang yang kurang uang.
Di kota ini banyak orang yang kurang uang tetapi tidak berarti mereka menjadi
otomatis sebagai penjahat. Kalau kejahatan timbul karena kurang uang maka
sebanyak 37,17 juta penduduk miskin Indonesia (data BPS 2007) akan berubah
menjadi penjahat. Namun kenyataannya tidak demikian. Justru, sebaliknya, orang
yang tak cukup banyak materi bisa lebih banyak belajar tentang makna hidup
ketimbang orang yang kaya materi tanpa melalui usaha keras, apalagi jika
kekayaannya itu berasal dari kejahatan narkoba.
Manusia tidak seharusnya mau diperbudak oleh uang, akan tetapi uang harus
ditempatkan sebagai alat manusia untuk membantu memaknai hidup yang sesungguhnya
di dalam kebenaran, keadilan, dan keindahan. Namun demikian, uang juga tidak
seharusnya dijadikan sebagai alat untuk menindas orang lain demi tujuan retire
young atau pensiun muda (meminjam istilah Kyosaki).
Alternatif Solusi
Kejahatan narkoba tidak bisa diatasi dengan kecukupan uang yang sifatnya sangat
relatif. Justru pola pikir cinta uanglah penyebab banyaknya manusia melakukan
kejahatan narkoba, termasuk pula perilaku korupsi di pemerintahan, perampokan,
pembunuhan, dan sebagainya. Uang tanpa cinta tidak akan pernah memuaskan rasa
’cinta uang’, akan tetapi mencintai dan dicintai sesama manusia bisa membuat
orang puas tanpa harus membelinya dengan uang.
Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan adalah mengubah pola pikir warga
masyarakat tentang hidup. Perlu ditanamkan sejak dini bahwa hidup berhasil itu
perlu proses pembelajaran, kerja keras, dan pengorbanan secara benar. Penanaman
pola pikir yang benar akan berperan dalam meluruskan potensi penyalahgunaan
narkoba di masyarakat.
Selain itu, tekanan psikis di perkotaan acapkali menjadi pemicu banyaknya warga
Metropolis yang terjerumus ke dalam penggunaan narkoba. Semakin banyak warga
yang stres maka pasar konsumen narkoba di kota ini semakin luas pula. Kondisi
inilah yang mendorong lahirnya produsen-produsen narkoba baru di tengah masih
lemahnya upaya penegakan hukum. Untuk itu, pemerintah dan pihak swasta perlu
menciptakan suasana yang bisa mengurangi tingkat stres warga kota. (augussm@peter.petra.ac.id)
AUGUSTINUS SIMANJUNTAK
Dosen Hukum Bisnis Fakultas Ekonomi UK Petra.
Dipublikasikan oleh:
http://www.oocities.org/thisisreformed/artikel/narkoba.htm