Saat Nekat Minggat

Oleh Renny Yaniar

 

Hampir seluruh tubuhku berbulu putih, bersih. Hanya di bagian kaki dan telinga saja ada sefikit bulu berwarna hitam. Buluku memang lain dari kucing-kucing biasa. Karena itu aku merasa diriku adalah seekor kucing yang amat cantik bernama Opi. Tambah lagi, aku tinggal bersama seorang gadis kecil bernama Lia. Dan, cantik!

Ibuku, yang bisa dipanggil si belang, tinggal bersama-sama aku di rumah Lia. Ibuku itu juga cantik sekali, lo! Dan seperti ibu kucing yang lain, ia kadang-kadang pergi. Mencari tikus, atau sekadar jalan-jalan di atas rumah. Sebenarnya, aku ingin juga melakukan itu, tetapi aku masih terlalu kecil. Ya, ya, aku harus menahan keinginanku sampai aku sudah lebih besar.

Suatu hari, aku melihat Lia menyediakan keranjang. Selembar kain yang sudah jelek, melapisi keranjang itu. Aku bertanya-tanya, untuk apa keranjang berlapis kain seperti itu?

Keesokan harinya, pertanyaanku terjawab. Ternyata ibuku melahirkan anak kucing lagi. Aku mendengar kucing-kucing kecil mengeong. Suaranya halus sekali.

Meoongg・.Opi, ayo pergi. Jangan ganggu adikmu. Nanti mereka bangun,Kata Ibu, ketika aku mendekati keranjang.

Ada berapa, Bu?・tanyaku. Tiga,Jawab Ibu. Namanya siapa?・tanyaku. Aduh, kamu ini berisik saja. Adik-adikmu belum punya anama. Sudahlah, pergi. Nanti mereka bangun!・

Aku merasa sedih. Mengapa tiba-tiba Ibu berubah sikap padaku? Bahkan setiap aku minta dimandikan seperti biasanya, Ibu selalu berkata,Kamu sudah besar, Opi. Kamu harus bisa mandi sendiri.・

Kesedihanku bertambah ketika melihat Lia pun berubah. Dia lebih suka memperhatikan ketiga adikku. Ia tak lagi suka membelai-belaiku.

Karena semuanya berubah, aku memutuskan untuk pergi. Aku pun melangkah meninggalkan rumah, yang sejak lahir belum sekali pun pernah kutinggalkan. Ada rasa takut, membayangkan dunia luar yang belum kukenal. Namun perasaan itu segera hilang, mengingat kesedihan dan kekecewaanku. Pokoknya, aku harus pergi. Karena Ibu dan Lia tak sayang lagi padaku.

Entah sudah berapa jam aku menyusuri jalan asing itu. Yang jelas, sinar mathari terasa makin terik. Aku kehausan. Aku mencari-cari air. Aha, untunglah kujumpai sebuah selokan. Kulihat seekor kucing jorok sedang minum. Tanpa pikir panjang, air selokan kutenggak! Puah, puah, puah! Kumuntahkan kembali air sekolan itu. Habis, rasanya tidak enak dan bau! Beda sekali dengan rasa susu yang selalu disediakan Lia untukku setiap pagi.

Selokan kutinggalkan. Padahal rasa hausku semakin menjadi-jadi. Sementara, perutku mulai keroncongan. Sudah waktu makan siang!

Aku terus berjalan tanpa tujuan. Perasaan ragu dan letih mulai menyerang datang. Aku pun segera mencari tempat yang teduh untuk beristirahat. Mendadak, ketika itu muncul seekor anjing galak. Ia menyalak ke arahku. Hiii, aku takut sekali. Kakiku gemetar. Tapi kelihat ia makin mendekatiku, aku lari sekencang mungkin. Setelah merasa yakin, anjing galak itu tidak mengikutiku lagi, baru aku berhenti.

Kurebahkan tubuhku di sebuah emper rumah. Belum hilang rasa takut dan letihku, tiba-tiba seorang ank laki-laki menendang perutku. Badanku terpelanting. BRUK! Aku jauh di tanah dengan keras. Aduh, aduh, badanku sakit semua. Aku pun mulai menangis.

Meong, meong, aku ingin pulang,Kataku. Aku berharap akan ada yang menolongku. Karena itu aku terus mengeong. Siapa tahu ada yang menolongku atau menunjukkan jalan pulang. Sialnya, sampai lelah aku mengeong, tak seorang pun peduli padaku. Akhirnya aku tertidur kelelahan.

Waktu itulah aku merasa badanku disentuh. Kudengar suara yang amat kukenal. Tpi, mengapa kamu ada di sini?・Telingaku terangkat seketika. Bukankah itu suara Lia? Iya, Lia baru pulang sekolah. Meong!・ Ih, badanmu kotor dan bau, Opi! Ayo, pulang,・ajak Lia.

Lalu Lia menggendongku. Hmm, betapa senangnya hatiku. Karena itu berarti aku bisa kembali ke rumah. Ke tempat aku bisa mendapat kasih sayang, dari Lia dan ibuku.

Ketika itu pula aku menyadari, bahwa aku telah mengambil keputusan salah. Ya, berani-beraninya aku nekat minggat! Padahal Lia menyayangiku. Kalau pun ibu tak sempat memperhatikan aku, karena merasa adik-adikku lebih perlu diurus. Kukatakan pada diriku, apa pun yang terjadi aku takkan lagi meninggalkan rumah. Karena ternyata, rumah adalah tempat yang paling aman dan nyaman.

 

nav
[Close]

1