AL.AI.EM

LEMBAGA ANTAR IMAN

UNTUK KEMANUSIAAN MALUKU

Alamat : Jl. Ch.M. Tiahahu No.17, Rt 003 – Rw 01

Kelurahan Amantelu – Kecamatan Sirimau, Ambon

Telp / Fax : (0911) 342 643

Email : el_ai_em@yahoo.com

 

 

MUNGKINKAH MEREBAK LAGI KONFLIK BARU?

-          Kondisi Maluku saat ini -

 

 

 

Pengantar

 

Judul di atas terkesan agak provokatif untuk merangsang munculnya pertanyaan “apa lagi yang akan terjadi di Maluku?”. Pertanyaan demikian wajar saja, mengingat sejak berakhirnya petaka April 2004, suasana di Ambon dan Maluku secara menyeluruh terlihat sangat kondusif. Kota Ambon sebagai barometer konflik selama ini, telah kembali menjadi ruang hidup bersama. Interaksi masyarakat berlangsung dengan intens di semua ruang public. Karenanya tak heran bila pemerintah daerah Maluku melalui rencana strategis 5 tahunan, berani menetapkan tahun 2005 sebagai tahun terakhir dari 2 tahun tahap recovery Maluku. Karenanya juga tak mengeherankan ketika banyak NGO maupun INGO yang mulai merobah concern issue-nya dari reconciliation issue menjadi recovery dan social-economy empowerment issue. Pada aspek public, masyarakat umumnya juga tak sangat yakin bahwa konflik baru bisa kembali meledak sewaktu-waktu. Pemahaman kolektif public telah jauh berkembang, untuk menentukan skala prioritas dalam tatanan hidup bersama pasca konflik. Setidaknya ini situasi yang berkembang sampai dengan akhir tahun 2004.

 

Pertanyaan pada judul di atas menjadi signifikan, ketika memasuki Januari 2005 berbagai insiden mulai bermunculan, dan mengalami eskalasi yang menohok rasa aman public di Kota Ambon sampai dengan minggu terakhir di bulan Maret ini. Secara perlahan memory kolektif public digiring kembali ke belakang, untuk menemukan padanan parallel situasi pra konflik pada masa-masa sebelumnya. Sekalipun pada kenyataannya dinamika interaksi public masih tetap berlangsung dalam intensitas tinggi, namun aroma ketegangan di tengah masyarakat semakin kental terasa dari waktu ke waktu.

 

Tulisan pendek ini tidak berpretensi untuk menyajikan sebuah analisa yang terukur, berdasarkan suatu proses kajian yang dalam dan terstruktur. Ia lebih merupakan kompilasi terhadap tangkapan empiric signal-signal konflik, dalam perjalanan sambil lalu di sudut-sudut ruang Kota Ambon.  

 

Siapakah Pelakunya?

 

“Siapakah pelakunya?” demikian pertanyaan awal yang telah menjadi trade mark dalam dinamika konflik di Maluku. Pertanyaan utama yang sampai saat ini masih diusung public Maluku, sebagai sebuah tuntutan bersama yang harus dijawab pemerintah. Terutama terkait dengan pemenuhan tanggung jawab amanat Deklarasi Malino II. Sayangnya pertanyaan ini tetap tinggal sebagai pertanyaan public, sekalipun Tim Investigasi Nasional bentukan pemerintah telah selesai melaksanakan tugasnya sejak 2 tahun lalu di Maluku. Kini pertanyaan serupa merebak lagi, terkait dengan berkembangnya berbagai insiden yang membawa korban dalam beberapa bulan belakangan ini.

 

Siapakah pelakunya? demikian ditanyakan public terkait dengan beberapa peristiwa yang sempat terekam berikut ini :

 

·         30 Nopember 2004. Penculikan dan penghilangan pendeta Gereja Pentakosta atas nama Jokran Hardiratu di  Dusun Lahuban, Desa Elfule, Kecamatan Namrole, Kabupaten Buru. Menurut saksi (istri korban), para pelaku sebanyak 4 orang dengan menggunakan karpus/ topeng/ cadar di wajah.

·         Pebruari 03 2005, Peledakan bom di ruko Batumerah

·         Pebruari 04 2005, peledakan dua buah bom rakitan di lapangan kosong daerah Benteng Atas.

·         Pebruari 07 2005, Kapal cepat Lai-Lai ditembaki speed boat misterius di perairan Buru Selatan, dan mengakibatkan jatuhnya 2 korban luka-luka akibat luka tembak atas nama F. Lasamahu dan Daud Yarenmase.

·         Pebruari 06 2005, Penembakan iring-iringan jemaah haji yang akan pulang ke Seram. Penembakan di wilayah negeri Suli itu mengakibatkan jatuhnya 1 korban jiwa atas nama Ismael Pellu (kemudian diketahui pelakunya adalah anggota polisi, dengan alasan sedang mabuk).

·         Pebruari 15 2005, Berondongan tembakan organic dari arah pantai ke vila karaoke di desa Hative Besar – Kota Ambon. Peristiwa tengah malam itu mengakibatkan tewasnya dua orang atas nama Siti Ratnawati dan Jondri Puturuhu, serta 1 orang luka-luka atas nama James Tanisiwa.

·         Pebruari 27 2005, Teror bom di Desa Halong Baru – Kota Ambon. Ternyata hanya kardus berisi batu yang dirangkai dengan kabel-kabel.

·         Maret 05 2005, Pelemparan granat di pangkalan ojek Desa Lateri oleh pengendara motor misterius. Akibat ledakan granat nenas pada tengah malam itu, tercatat 3 orang terluka (tak ada yang meninggal), atas nama Simon Tusmain, Audi Mindje, Julius Moses.

·         Maret 06 2005, Ditemukan sebuah bom di depan gereja kalvari, wilayah petuanan negeri Soya. Bom yang ditemukan belum sempat meledak.

·         Maret 06 2005, Penyergapan dan penemuan 97 buah bom di wilayah Air Sakula desa Laha – Kota Ambon. Jenis bom high explosive dengan detonator dan bahan dasar TNT itu telah dirakit dan siap digunakan. Tercatat 1 orang ditahan di wilayah temuan tersebut (menurut Kapolda Maluku dalam percakapannya dengan unsure OKP di Ambon 31 Maret 2005), informasi penimbunan bahan peledak dan senjata itu justru diperoleh dari warga masyarakat sekitarnya)

·         Maret 06 2005, Penemuan kurang lebih 200 buah bom serupa di wilayah kantor Telkom daerah Tanah Lapang Kecil (Talake) Kota Ambon.

·         Maret 11 2005, Sekitar jam 23.30 WIT terdengar ledakan bom pada beberapa wilayah di kota Ambon. Diantaranya, daerah Tanah Lapang Kecil (TALAKE) dan wilayah Mardika.

·         Maret 12 2005, Ditemukan 2 buah bom di depan kantor Walikota Ambon.

·         Maret 12 2005, Sekitar jam 22.00 WIT terdengar ledakan bom terjadi pada wilayah perbatasan Mardika-Batumerah, Kota Ambon. Daerah ini merupakan wilayah awal konflik 1999.

·         Maret 13 2005, Sekitar jam 02.45 WIT terdengar ledakan bom di perbatasan wilayah Mardika dan Batu Merah, kota Ambon. Ledakan serupa juga terjadi sekitar jam yang sama di wilayah jl. Valanteyn kota Ambon.

·         Maret 17 2005, Tukang ojek di temukan terbunuh di jalan raya negeri Tulehu. Sekalipun pada akhirnya diketahui dan tertangkap pelakunya, namun pertanyaan yang harus dijawab mengapakah jasad tukang ojek yang beragama Kristen itu di buang di jalan raya negeri Tulehu yang nota bene beragama Muslim (sementara pembunuhnya juga diketahui beragama Kristen)?.

·         Maret 21 2005, Sekitar jam 20.30 WIT terjadi pelemparan granat di negeri Batu Merah (Muslim) – Kota Ambon melukai 4 orang warga di tepi jalan. Awalnya lemparan granat disangka warga dilakukan dari dalam mobil angkutan umum yang melintas (mobil angkot dari Negeri Passo – Kristen). Karenanya warga melempari mobil tersebut dan melukai 14 orang penumpangnya. Ternyata diketahui kemudian bahwa 2 pengendara motor melemparkan granat nenas itu ke dalam mobil yang sedang melaju. Granat itu kemudian ditendang keluar oleh salah seorang penumpang mobil, dan selanjutnya meledak di jalan raya.

·         Maret 22 2005, Sekitar jam 02.00 WIT terdengar ledakan bom di daerah Urimesing – Kota Ambon. Ledakan yang terjadi tak membawa korban jiwa.

·         Maret 25 2005, Sekitar jam 16.30 WIT terjadi penembakan misterius yang memecahkan kaca jendela SMU 11 di wilayah Galunggung, Batumerah – Kota Ambon. Tak ada korban jiwa, tetapi sempat menimbulkan kepanikan.

·         Maret 27 2005, Sekitar jam 20.45 WIT sebuah bom ditemukan dalam wadah termos es di wilayah jalan raya depan SMP Neg I Ambon. Bom yang terletak di depan gedung gereja itu segera diisolir dan diledakan tim Jihandak Polda Maluku di lokasi penemuannya.

·         Maret 28 2005, Sekitar jam 19.00 sebuah bom ditemukan dalam wadah termos di depan SDN 21 Kudamati Ambon. Penemuan itu segera ditindak lanjuti dan diledakan oleh Tim Jihandak Polda Maluku pada lokasi penemuan (TKP).

·         April 01 2005, Pendeta Jemaat GPM Wayame atas nama John Sahalessy diciduk polisi dari rumahnya. Penangkapan pendeta John  menimbulkan protes dan ketegangan di kalangan warga, yang berujung pada pemukulan polisi terhadap beberapa warga setempat. Penangkapan Sahalessy berdasarkan tuduhan bahwa speed boat miliknya dipakai dalam peristiwa penembakan di vila karaoke, Hative Besar beberapa minggu sebelumnya. Dari hasil pemeriksaan yang dihadiri Kapolda Maluku di Mapolres PP Ambon dan Lease diketahui bahwa pihak polisi keliru mengidentifikasi speed boat dimaksud. Pdt John Sahalessy segera dibebaskan pada hari yang sama, setelah terlebih dahulu Kapolda Maluku meminta maaf kepada yang bersangkutan. Permintaan maaf juga disampaikan Kapolda kepada Ketua Sinode GPM melalui telpon.

·         April 02 2005, Ditemukan 26 buah bom rakitan pada rumah salah seorang warga di kawasan Waihaong, Ambon. Dua orang warga ditangkap, dan melalui pemeriksaan intensif di Mapolres PP Ambon & Lease, diperoleh informasi bahwa pembiayaan pembuatan bom dilakukan oleh salah seorang anggota DPRD Provinsi Maluku dari fraksi Golkar.

·         April 04 2005, Sketsa wajah tersangka pelemparan granat di kawasan negeri Batu Merah disebarkan ke publik oleh pihak Polda Maluku. Sekalipun sketsa ini telah disebarkan namun pelaku pelemparan granat masih tetap kabur.

·         April 06 2005, Ditemukan pemotongan jaringan kabel telkom serat optic di wilayah Poka – Rumah Tiga, kota Ambon. Pemotongan jaringan kabel ini dilakukan, setelah sebelumnya dilakukan penggalian tanah sedalam lebih kurang 1,5 meter untuk menemukan jaringan kabel dimaksud. Hal ini mengakibatkan terputusnya fungsi telpon untuk wilayah sepanjang Poka – Rumah Tiga ke arah Airport Pattimura. Kondisi ini mengingatkan masyarakat pada kejadian serupa yang terjadi beberapa kali selama konflik lalu.

·         April 12 2005, Sekitar jam 24.45 terdengar ledakan bom di wilayah Pohon Puleh, kota Ambon. Dua pengendara ojek ditangkap, namun dilepaskan kembali karena tak cukup bukti.

 

 

 

“Siapakah pelakunya?” masih tetap menjadi pertanyaan yang menggantung tanpa jawab. Eskalasi kegelisahan masyarakat dengan demikian berkembang dari hari ke hari. Perkembangan eskalasi tidak saja dikarenakan semakin maraknya berbagai peristiwa misterius yang membawa korban, tetapi terutama karena pertanyaan utama mereka tak kunjung terjawab. Celakanya didalam kegalauan itu berbagai kelompok lalu mencoba memberi jawab berdasarkan penafsiran bebas mereka, yang pada gilirannya merebak dalam berbagai versi issue, dan semakin menaikan derajat ketegangan di wilayah public. Perang issue lalu menjadi perang maya yang sangat menguras energi, dan berpotensi meruntuhkan ketahanan public terhadap provokasi lanjutan. Situasi yang dibutuhkan dalam design konflik telah tersedia, dan dimatangkan dari hari ke hari. Konflik yang sesungguhnya tinggal menunggu momentum yang tepat, dan satu tarikan pelatuk (trigger) untuk diledakan. Momentum yang paling mungkin dalam hitungan minggu ke depan adalah kemunculan “Hantu FKM” sebagai metamorfosa “RMS”, yang ulang tahunnya jatuh pada setiap tanggal 25 April.

 

Gentayangannya Hantu April

 

“Hantu April” adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan sosok sekelompok kecil mereka yang tergabung dalam “Front Kedaulatan Maluku (FKM)”, dengan mengusung tuntutan lama Republik Maluku Selatan untuk “pengembalian kedaulatan”. Bahwa FKM menjelma sebagai Hantu April, mengingat elastisitas sosoknya yang bisa dengan segera menggelembung dan membesar setiap menjelang bulan April. Laksana sosok hantu dalam lakon film horror, FKM menjadi sosok yang menakutkan menjelang bulan gentayangannya. Namun berbeda dengan sosok hantu pada umumnya, yang menstimulir ketakutan dan memaksa orang bersembunyi, maka pemunculan hantu FKM dalam tahun sebelumnya telah mematangkan tersedianya kondisi yang dibutuhkan, untuk memprovokasi keberanian masyarakat dalam meramaikan pentas konflik, dengan terbuka dan berdarah-darah.

 

Menariknya pada tahun ini sang hantu telah mulai gentayangan, jauh-jauh hari sebelum tibanya April sebagai bulan pemunculannya. Dengan segera kecemasan public terpicu, dalam ingatan yang masih lekat, terhadap akibat pemunculan hantu ini di tahun 2004. Reaksi public segera tersulut, iring beriring dengan reaksi pemerintah dan aparat keamanan. Berbagai persiapan kilat segera dilakukan untuk mengantisipasi, menghadang, dan bahkan menghancurkan tengkuk Sang Hantu. Masyarakat kembali tergiring memasuki arena ketegangan tahunan. Pilihannya cuma dua ; Melewatinya dengan selamat, ataukah petaka yang menuai korban.

 

Seperti apakah penumpukan amunisi konflik (kalau memang akan terjadi) melalui dinamika FKM dan penyikapannya dalam beberapa bulan belakangan ini?.

 

 

Meskipun peringatan Hari Ulang Tahun Republik Maluku Selatan yang jatuh pada 25 April  berlangsung sekitar dua bulan lagi, berbagai gangguan keamanan mulai terjadi di Maluku. Masyarakat pun mulai resah karena banyaknya isu tidak berdasar yang beredar di masyarakat, dan mengadu domba dua kelompok masyarakat yang pernah bertikai”,

 

demikian kutipan berita salah satu media nasional yang dilansir pada 14 Pebruari 2005.

Kutipan berita lainnya pada tanggal 15 Pebruari 2005 antara lain sebagai berikut

Berbagai isu meresahkan yang berkembang di masyarakat Maluku menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Republik Maluku Selatan, 25 April mendatang, diyakini polisi berasal dari kompleks pengungsi yang ada di dalam Kota Ambon. Penyebaran isu dilakukan sebagai langkah penolakan terhadap rencana pemulangan pengungsi dan penertiban tempat-tempat yang dijadikan lokasi pengungsian oleh masyarakat. Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Brigadir Jenderal (Pol) Adityawarman di Ambon, Senin (14/2), mengatakan, isi isu yang beredar di masyarakat itu tergantung dari kepentingan pihak-pihak yang membuatnya. Isu tersebut diyakini berasal dari sejumlah kompleks pengungsian di dalam Kota Ambon, di antaranya dari Kompleks Rumah Toko Batumerah. "Isu itu mereka keluarkan karena takut dipindahkan dari kompleks pertokoan berkaitan dengan penertiban dari pemerintah kota," kata Adityawarman. Adityawarman mengatakan, isu tersebut menimbulkan kekhawatiran di masyarakat akan kemungkinan pecahnya lagi kerusuhan menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Maluku Selatan (RMS), 25 April. Kepala Polda Maluku mengingatkan agar para penghuni kompleks pengungsian tidak mencoba-coba mengancam pemerintah, apalagi mereka bukan termasuk kategori pengungsi yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah”.

Atau juga kutipan yang lainnya pada terbitan 16 Pebruari 2005

“Meskipun peringatan HUT RMS masih akan berlangsung sekitar dua bulan lagi, berbagai gangguan keamanan mulai terjadi di Maluku. Peristiwa terakhir penembakan iring-iringan jemaah haji asal Desa Latu, Kecamatan Kairatu, Kabupaten seram bagian barat. Akibat peristiwa itu, Ismail Pellu (35), salah seorang warga yang ikut dalam rombongan, tewas tertembak. GSM-3 menduga penembakan itu dilakukan Bripka Otis Layaba, salah seorang anggota polisi di Maluku. Sebelum penembakan Ismail, gangguan keamanan lainnya yang mengkhawatirkan antara lain peledakan sebuah bom di Rumah Toko Batu Merah 3 Februari, peledakan dua bom rakitan di lapangan kosong di daerah Benteng Atas pada 4 Februari, dan penembakan Kapal Motor Lai-Lai 7 oleh penembak misterius dengan menggunakan kapal cepat di wilayah perairan Leksula, Buru Selatan, pada 7 Februari”

Tiga kutipan di atas sekedar untuk menggambarkan bagaimana dalam tenggang waktu 3 hari secara berturut turut media cetak melansir berita dengan contain yang berbeda, namun menempelkan elemen yang sama, yakni menjelang peringatan HUT RMS yang akan diselenggarakan oleh FKM. Hal ini menarik untuk dicermati, mengingat dalam konflik April 2004 beberapa pengamat menilai, peran media memberikan kontribusi yang cukup signifikan untuk memicu terjadinya konflik.

 "Kami tidak ingin kejadian 25 April lalu terulang," kata Braksan. Jumlah penempak jitu yang ditempatkan di suatu lokasi bergantung pada besarnya ancaman yang ada. Penembak jitu tersebut diletakkan di sejumlah daerah rawan di Ambon, yaitu daerah-daerah perbatasan antara dua komunitas masyarakat, seperti Mardika, Talake, Tugu Trikora, dan Pohon Puli. Dari pemantauan di sebuah lokasi di Ambon diketahui, para penembak jitu tersebut dilengkapi dengan senjata jenis SPR 1 Sniper kaliber 7,62 milimeter yang memiliki jangkauan tembak maksimum 6 kilometer dan jangkauan tembak efektif 1,2 kilometer. Senjata lain yang digunakan adalah SIG Sniper kaliber 5,56 milimeter dengan jarak tembak maksimum 1 kilometer dan jarak tembak efektif 500-600 meter. Satu unit tim antipenembak gelap terdiri atas satu penembak, satu pencari sasaran, dan satu tim pendobrak yang akan melindungi penembak dan pencari sasaran. saat terjadi serangan dari jarak dekat. Tim pendobrak dilengkapi dengan senjata jenis AK 47”.

 

 

Dari berbagai kutipan peristiwa, terkait dengan eksistensi FKM dan RMS, maka nampak jelas proses membesarnya sosok gerakan ini pada saat-saat menjelang bulan April. Menariknya dinamika pembesaran sosok FKM dan RMS lebih banyak dikendalikan oleh kecenderungan pemberitaan media, serta penyikapan pemerintah dan aparat keamanan ketimbang masyarakat kebanyakan. Pola pemberitaan terhadap banyak kasus yang berbeda substansinya, dicampur-adukan dengan dinamika antisipasi 25 April 2005. Dengan sendirinya opini kolektif public sejak jauh-jauh hari telah tergiring, untuk merangkai hubungan kausalitas berbagai peristiwa (sekalipun berbeda substansinya) pada sumbu utama 25 April 2005, dan FKM sebagai sosoknya. Berbagai bentuk amunisi untuk meledakan konflik baru secara terstruktur mulai dirangkai. Situasi-situasi yang dibutuhkan terus dimatangkan. Yang tersisa dan harus ditunggu adalah momentum dan trigger factor.

 

Apakah mungkin konflik terelakan? Jawabannya tergantung bagaimana kerja keras semua pihak untuk mencegah meluasnya sulutan bara, dibawah tumpukan rumput kering yang belum tuntas ditanggulangi.

 

Rumput Kering Yang Siap Tersulut

 

Berbagai analisa terhadap konflik Maluku selama ini mempublikasikan kesimpulan yang sama bahwa selain faktor eksternal, maka konflik dimungkinkan berkembang dengan cepat dan masif karena tersedia juga berbagai persoalan internal, yang telah lama mengendap dan tak kunjung terselesaikan. Akumulasi semua persoalan pada suhu tertentu melahirkan situasi anomic, yang ibarat rumput kering menjadi sangat mudah tersulut.

 

Belajar dari berbagai kajian dan pengalaman empiric terhadap anatomi, struktur, dan dinamika konflik selama empat tahun, maka tidaklah sulit untuk mencermati berbagai problematika baru pasca konflik Maluku, yang mengakumulasi dinamikanya, laksana  tumpukan rumput kering yang menyimpan cadangan energy bagi potensi konflik baru. Kami mencatat beberapa diantaranya :

 

·         Belum Tuntasnya Penanganan Pengungsi

Penanganan pengungsi pasca konflik pada kenyataannya telah mengembangkan suasana kegelisahan social di tengah masyarakat. Bagian terbesar dari persoalan seputar pengungsi bisa dirujuk pada lemahnya mekanisme penanganan pengungsi yang ditangani pemerintah. Disamping tak adanya standar baku penanganan pengungsi, serta tidak terbangunnya koalisi lintas stake holder dalam upaya penanganan pengungsi. Kondisi ini membuka ruang bagi terjadinya berbagai praktek manipulatif pada semua level penanganan pengungsi. Proses peanganan dan pengembalian pengungsi begitu sering terbentur pada aspek-aspek politik dan pengembangan sosio-ekonomis kawasan, yang ironisnya tak ter-design secara utuh dalam model-model penanganan pengungsi yang dibuat berbagai pihak. Pada gilirannya terjadi penebalan rasa kecewa dan frustrasi di kalangan pengungsi, yang senantiasa siap mengimbasi terjadinya berbagai persoalan social.

 

·         Lemahnya Proses Penegakan Hukum Menyangkut Hak-Hak Perdata Pengungsi

Penegakan hukum pasca konflik terkait dengan penegakan hak-hak perdata pengungsi, merupakan salah satu persoalan pokok, yang sewaktu-waktu bisa menjadi potensi aktif untuk menyulut konflik baru. Pilihan pendekatan kompromis dari pemerintah untuk membayar kompensasi ‘pampasan perang’ cenderung berkembang sebagai preseden untuk ditiru pada berbagai wilayah. 

 

·         Kentalnya Kondisi Segregasi Sosial Berdasarkan Garis Agama

Situasi segregasi social pasca konflik terbentuk berdasarkan garis perbedaan agama yang cukup kental. Tercatat kurang lebih 88% dari wilayah geografis Maluku tersegregasi berdasarkan garis agama pasca konflik. Segregasi sendiri bukan merupakan fenomena baru di Maluku, mengingat kondisi ini telah dibangun sejak masa colonial sebagai strategi control terhadap daerah jajahan. Konflik yang ditarik pada sumbu agama, dengan sendirinya menegaskan dan memperluas wilayah segregasi yang telah ada sebelumnya. Kondisi geografis demikian menjadi arena yang cukup seksi, bila kapan saja konflik mau dimainkan di wilayah agama. Penebalan kondisi segregasi dimungkinkan terjadi karena kecederungan mekanisme resolusi konflik selama ini baru menyentuh pembentukan perspektif bersama, dan belum berhasil mensintesiskan proses reintegrasi social pada pemenuhan kebutuhan social dasar di level public. Khususnya pada wilayah-wilayah perbatasan antara komunitas yang bertikai selama ini.

 

 

 

·         Penataan Kota & Pedagang Kaki Lima

Salah satu situasi khas pasca konflik di Ambon adalah menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) dan pasar kaget di seluruh sudut kota. Rencana penataan kota dan relokasi PKL lalu menjadi soal yang sensitive bagi pemerintah Kota Ambon khususnya. Berulangkali dilakukan demonstrasi PKL ke kantor kota madya, maupun ke DPRD Kota Ambon. Beberapa aksi demo bahkan telah menjurus pada tindakan mengancam dan kecenderungan anarkis. Pemerintah Kota Ambon berada pada situasi yang sangat dilematis, mengingat terbatasnya daya dukung kota dibanding pesatnya pertumbuhan PKL.

 

·         Perebutan Lahan Proyek

Pertarungan dan perebutan proyek pembangunan oleh berbagai kelompok konsultan dan kontraktor, merupakan fenomena yang menarik untuk dianalisa lebih dalam. Pada situasi normal pertarungan ini menjadi fenomena yang jamak ditemui dimana-mana (dalam artian konflik antar pengusaha mungkin tak sampai menimbulkan gesekan di tingkat public), namun dalam masyarakat rentan dan pasca konflik, kondisi ini perlu dicermati dengan serius. Pengalaman konflik selama 4 tahun memberikan banyak indicator yang membuktikan asumsi terjadinya simbiosis mutualisme, diantara kontraktor dan beberapa kelompok potensi aktif penggerak konflik di tingkat grass roots. Terutama pada bulan-bulan Maret s/d Mei, dimana APBD akan ditetapkan.

 

·         Peran Media & Tuntutan Mengejar Kenaikan Oplah

Pada kenyataannya peran media merupakan faktor yang signifikan untuk dicermati, terkait dengan proses-proses pematangan dan pelanggengan konflik. Beberapa kutipan media cetak yang dikemukakan pada bagian-bagian awal tulisan ini, memberi potret terang tentang upaya membangun opini melalui pilihan  kemasan dan model pemberitaan. Pada beberapa diskusi media yang dilakukan belakangan ini di Ambon, cukup mengejutkan bahwa peace jurnalisme merupakan opsi yang cenderung dihindari untuk memenuhi target penaikan oplah.

 

·         Kondisi Psikososial Yang Traumatis

Rekaman rangkaian kekerasan selama lebih kurang 4 tahun ternyata masih cukup membekas dalam ingatan sebagaian besar masyarakat. Tidak saja sebagai referensi kognitif yang dapat dipakai untuk memperkaya berbagai bentuk analisa konflik. Lebih dari itu pengalaman-pengalaman tentang kekerasan telah menggumpalkan kondisi trauma sosial, yang mengendap di bawah realita keseharian masyarakat. Perilaku trauma sosial diantaranya nampak dari berkembangnya berbagai issue di tengah masyarakat, terutama menjelang bulan April.

 

 

 

 

·         Alokasi Anggaran Pembangunan

Lazimnya perumusan anggaran pembangunan tahunan melalui RAPBD selalu berlangsung diantara bulan Pebruari s/d bulan April tahun berjalan. Melalui percakapan dengan beberapa kalangan diperoleh informasi bahwa ketegangan dan ketidakpuasan kerap kali muncul terkait dengan alokasi anggaran untuk sector keamanan. Terutama porsi anggaran untuk pihak kepolisian dan pihak TNI di Maluku. Hal ini lalu dicermati terkait dengan berkembangnya gangguan keamanan di tingkat public, terutama pada periode bulan Pebruari s/d April. Sinyalemen ini cenderung dibenarkan Kapolda Maluku dalam percakapannya dengan berbagai unsure OKP pada tgl 31 Maret 2005. Bila sinyalemen ini benar, maka hal ini patut ditempatkan sebagai persoalan laten yang perlu diwaspadai. Terutama terkait dengan peningkatan  prosentasi insiden yang terjadi, serta mekanisme dislokasi pasukan pengamanan yang tentunya membutuhkan banyak biaya.

 

·         Lemahnya Akses Publik Terhadap Kontrol Pengelolaan SDA

Persoalan akses publik terhadap pengelolaan dan kontrol sumber daya alam merupakan masalah laten, yang telah jauh-jauh hari ada sebelum pecahnya konflik sosial. Dalam pengamatan empiric akumulasi permasalahan di wilayah ini menyumbang dimensi lain pada struktur dan anatomi konflik yang telah terjadi. Tetapi juga menjadi tantangan khas dalam men-design model-model reintegrasi sosial pasca konflik, terkait dengan upaya pengelolaan wilayah secara bersama-sama. Tumpukan persoalan di sektor ini yang juga dibidik FKM, sebagai salah satu issue seksi dalam perkembangan perjuangan politik mereka. 

 

Rekaman terbatas terhadap beberapa indikator di atas, memperlihatkan bahwa conflict in potential  masih sangat mungkin terpicu, berdasarkan tersedianya kondisi-kondisi yang memungkinkan. Terhadap kenyataan di atas maka pertanyaan pokok yang lalu tepat untuk dikemukakan adalah, seberapa jauh upaya bersama dan sinergis diantara semua elemen masyarakat dan pemerintah, untuk mengantisipasi berkembangnya konflik baru dalam hitungan minggu ke depan?.

 

Mencegah Atau Memadamkan Api?

 

Mencegah atau Memadamkan Api” adalah pengalimatan yang tepat untuk melukiskan upaya-upaya penanganan potensi konflik di Maluku. Dari semua usaha yang dilakukan, setidaknya kita dapat menarik 3 garis konsolidasi berdasarkan pengelompokan stake holder, dan kecenderungan concern area masing-masing dalam menyikapi perkembangan pasca konflik. Khususnya ketika menyikapi perkembangan situasi belakangan ini. Tentunya tulisan pendek ini tidak menyediakan ruang yang cukup bagi paparan analitis yang dalam, terhadap arah kebijakan serta implementasi program, yang memenuhi seluruh ekspektasi kita terhadap kondisi peace building di Maluku.

 

·         Konsolidasi dan Arah Penanganan Pemerintah

Sejauh ini arah penanganan pemerintah dirujuk pada berbagai model perencanaan    strategis lima tahunan pembangunan Maluku, serta arah dan kebijakan umum tahunan. Menariknya bila concern issue kita ditaruh pada kebutuhan penguatan reintegrasi sosial sebagai masyarakat pasca konflik, maka salah satu posisi lemah dalam implementasi berbagai program pembangunan adalah terbatasnya  aksentuasi pada kebutuhan rekayasa sosial, demi tujuan penguatan perdamaian dan reintegrasi sosial jangka panjang. Posisi lemah tersebut pada gilirannya memungkinkan terjadinya berbagai benturan publik, terhadap beberapa kebijakan yang bersentuhan dengan soal-soal khas pasca konflik. Misalnya kebijakan yang terkait dengan upaya pengembalian pengungsi, pengembangan ekonomi kawasan, proses pilkada pada beberapa kabupaten baru, dll. Satu persoalan klasik yang tetap mengemuka dalam seluruh proses ini, adalah lemahnya pelibatan publik pada tahap design, implementasi, dan monitoring kebijakan dan program di wilayah mereka.

 

Terkait dengan security issue yang marak belakangan ini, pilihan pendekatan masih tetap bertumpu pada security approach dengan tingkat kesiapan yang cukup tinggi. Khusus menyangkut persiapan pengamanan menjelang 25 April 2005, kami mendata beberapa point yang telah mengemuka di masyarakat.

 

Ø       Januari 03 2005, salah satu media mempublikasikan analisa Kapolres PP Ambon & Lease menyangkut karaketer polisi di Ambon. Analisa yang dilakukan pada 27 Desember 2004, terkait dengan merebaknya konflik antar kesatuan AD dan Polisi di Ambon selama beberapa minggu. Menurut kapolres aparat keamanan di Ambon masih mengidap trauma konflik yang kental. Kondisi trauma yang diidap mengakibatkan munculnya sikap militeristik di kalangan polisi di Ambon. Hal ini berakibat pada gampangnya mereka tersulut untuk menimbulkan kekerasan terhadap masyarkat, serta perkelahian antar kesatuan.

Ø       Januari 18 2005, terkait dengan rencana memperingati peristiwa idul fitri berdarah pada tanggal 19 januari 2005, Kapolda Maluku menyampaikan larangan terhadap penyelenggaraannya dalam skala luas. Hal ini menimbulkan  protes namun tak berkembang luas.

Ø       Pebruari 15 2005, Kapolda Maluku melansir sinyalemen tentang berkembangnya berbagai issue konflik dalam masyarakat, yang menurutnya berasal dari lokasi-lokasi pengungsi. Terutama lokasi pengungsi yang menempati deretan ruko di wilayah Mardika pantai. Dalam lansiran sinyalemen itu Kapolda menekankan pengungsi untuk tidak mencoba-coba untuk mengancam pemerintah, terkait dengan rencana pemerintah untuk merelokasi mereka dari wilayah itu.

Ø       Pebruari 15 2005, pada media lokal dipublikasi keputusan kapolda Maluku untuk menempatkan anggotanya di setiap angkutan laut, untuk mengantisipasi terjadinya kasus-kasus pencegahan dan penembakan di laut.

Ø       Pebruari 2005 pasca penembakan di vila karaoke, baik Pemda Provinsi Maluku maupun Kapolda Maluku mulai menggelar percakapan koordinasi dengan berbagai stage holder pada segmen-segmen masyarakat. Percakapan yang digelar lebih berupa diseminasi informasi, dan belum berujung pada kesepakatan kebijakan dan program.

Ø       Pebruari 2005 pelatihan Detasmen 88 anti teror dari Polda Maluku diintensifkan.

Ø       Pebruari 2005, Pasca penembakan di vila karaoke Kapolda Maluku menegaskan pada media lokal bahwa penembakan itu dilakukan oleh orang-orang yang sangat terlatih.

Ø       Pebruari 15 2005 media mempublikasi sayembara gubernur Maluku untuk informasi pelaku teror. Jumlah hadiah tidak disebutkan, tetapi dijanjikan bagi siapa saja yang dapat menginformasikan pelaku teror akhir-akhir ini.

Ø       Pebruari 25 2005 Kapolres PP Ambon & Lease mempublikasikan pada media tentang persiapan para penembak jitu untuk mengantisipasi kemungkinan pecahnya kerusuhan pada April 2005. Penggalan kutipan media dimaksud diantaranya sbb :

Jumlah penembak jitu yang ditempatkan di suatu lokasi bergantung pada besarnya ancaman yang ada. Penembak jitu tersebut diletakkan di sejumlah daerah rawan di Ambon, yaitu daerah-daerah perbatasan antara dua komunitas masyarakat, seperti Mardika, Talake, Tugu Trikora, dan Pohon Pule. Dari pemantauan di sebuah lokasi di Ambon diketahui, para penembak jitu tersebut dilengkapi dengan senjata jenis SPR 1 Sniper kaliber 7,62 milimeter yang memiliki jangkauan tembak maksimum 6 kilometer dan jangkauan tembak efektif 1,2 kilometer. Senjata lain yang digunakan adalah SIG Sniper kaliber 5,56 milimeter dengan jarak tembak maksimum 1 kilometer dan jarak tembak efektif 500-600 meter.

Satu unit tim anti penembak gelap terdiri atas satu penembak, satu pencari sasaran, dan satu tim pendobrak yang akan melindungi penembak dan pencari sasaran. saat terjadi serangan dari jarak dekat. Tim pendobrak dilengkapi dengan senjata jenis AK 47. Kewaspadaan dengan peningkatan kemampuan aparat itu, kata Braksan, dilakukan karena aparat keamanan sudah merasakan adanya peningkatan gangguan keamanan yang meresahkan masyarakat. Sejumlah pola untuk memancing kerusuhan menjelang 25 April 2004 masih digunakan untuk mengacaukan situasi menjelang HUT Republik Maluku Selatan yang ke-55 tahun ini.

Ø       Maret 07 2005, Pangdam Pattimura menegaskan kepada media bahwa TNI tak terlibat dalam beberapa aksi teror belakangan ini. Berkembangnya issue-issue tentang keterlibatan TNI hanya fitnah belaka.

Ø       Maret  10 s/d 15 2005, pemimpin dari 3 lembaga agama di Maluku ke Jakarta dan bertemu wakil presiden Yusuf Kalla serta beberapa petinggi negara lainnya. Tujuan pertemuan untuk meminta perhatian terhadap berbagai issue keamanan di Maluku. Diantaranya meminta pemerintah pusat untuk mengembangkan penguatan Polda dan Kodam di Maluku, serta mensikapi dislokasi pasukan BKO dari luar Maluku. Terutama mengkritisi peran intelejen (terutama dari Kopassus) yang disinyalir tersebar di seluruh Maluku sejak awal Pebruari 2005.

Ø       Maret antara 10 s/d 17 2005, ada percakapan tertutup para pemimpin agama dengan baik Kapolda Maluku maupun Pangdam Pattimura. Dari percakapan terbatas dan tertutup itu diperoleh informasi adanya gerakan kelompok-kelompok liar dengan keahlian tinggi (menurut Pangdam kemungkinannya aparat) yang bermain di balik teror-teror yang terjadi belakangan ini. Gerakan liar ini berada di luar kontrol komando baik Kodam Pattimura maupun Polda Maluku.

Ø       Maret 15 2005, Pemda Maluku memfasilitasi penyelenggaraan Sosialisasi Penangkalan Isu Destabilisasi Maluku. Kegiatan ini menghadirkan beberapa purnawiraan ABRI asal Maluku, seperti Suaedy Marasabessy. dan Ade Picaulima.

Ø       Maret 17 2005, kepada media Pangdam Pattimura mempublikasikan sinyalemennya tentang adanya kelompok tertentu yang bermain untuk kacaukan Maluku kembali.

Ø       Maret 17 2007, Gubernur Maluku, ketua DPRD Provinsi Maluku, Pangdam Pattimura, Kapolda Maluku, Pimpinan dari 3 lembaga agama, serta beberapa pejabat terkait lainnya berangkat ke Jakarta untuk menemui presiden, dan melaporkan perkembangan situasi terakhir di Maluku.

Ø       Maret 18 2005, ditemukan puluhan pucuk senjata rakitan dan beberapa senjata organik dalam razia mendadak polisi di desa Laha, Kota Ambon.

Ø       Maret 22 2005, Wapres mempublikasikan melalui media tentang akan digelarnya operasi intelejen terpadu dalam skala besar, yang melibatkan kerjasama Polri dan TNI. Keputusan ini diambil menyusul terjadinya peristiwa peledakan granat di negeri Batumerah pada tanggal 20 Maret 2005. Menurutnya perintah operasi intelejen dikeluarkan presiden SBY setengah jam setelah terjadinya ledakan granat dimaksud.

Ø       Maret 22 2005, Gubernur Maluku melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama untuk membicarakan berbagai hal menyangkut situasi keamanan terakhir.

Ø       Maret 22 2005, Dengan dua sorti penerbangan, tiba Ambon pasukan BKO dari unsur Kavaleri TNI AD. Pasukan sejumlah lebih kurang 1 batalyon saat ini ditempatkan di lokasi benteng New Victoria kota Ambon, yang selama ini merupakan tempat bagi sebagian anggota Yon 733 Pattimura. Terkait dengan itu maka seluruh personil Yon 733 Pattimura dipindahkan ke markas Yon 733 di daerah Waiheru kota Ambon.

Ø       Maret 23 2005, Kapolres PP Ambon dan Lease mempublikasi temuan masuknya preman-preman Jakarta asal Maluku ke Ambon. Untuk mengantisipasinya maka peningkatan razia di lapangan. Konflirmasi terhadap berita ini memberikan kepastian masuknya salah seorang pemimpin kelompok pemuda asal Maluku, yang baru beberapa bulan lalu terlibat pembunuhan tokoh kelompok pemuda Maluku lainnya di Jakarta.

Ø       Maret 23 2005, Kapolres PP Ambon dan Lease menginformasikan melalui media lokal rencana Mabes Polri untuk mengirimkan tim supervisi, yang dapat membantu Polda Maluku untuk menyelidiki berkembangnya berbagai kasus belakangan ini di Ambon.

Ø       Maret 24 2005, Gubernur mempublikasi permintaan Pemda Maluku kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk segera mengirimkan tim khusus, yang bisa mengusut sejumlah insiden di Ambon selama ini. Permintaan ini merupakan hasil rapat Muspida Maluku sehari sebelumnya. Selain itu Gubernur Maluku juga menegaskan ulang bahwa pemerintah provinsi Maluku selama ini membiayai semua korban insiden akibat teror-teror misterius yang berlangsung belakangan ini.

Ø       Maret 30 2005, Dilakukan razia di Desa Tawiri, kota Ambon oleh aparat Brimob BKO dan Polres PP Ambon & Lease. Dari hasil razia ditemukan sejumlah amunisi, senjata rakitan, dan beberapa buah bom rakitan. Terkait dengan kejadian itu 9 orang warga ditahan untuk diperiksa lebih lanjut.

Ø       Maret 31 2005, Kapolda Maluku melakukan pertemuan dengan sejumlah organisasi kepemudaan / OKP di Ambon untuk membicarakan situasi keamanan saat ini. Selepas pertemuan dimaksud Kapolda Maluku melansir rencana pemberlakuan jam malam di kota Ambon dan sekitarnya. Rencana pemberlakuan jam malam menurut Kapolda akan dibicarakan dengan gubernur Maluku dan pihak DPRD.

Ø       Maret 31 2005, Gubernur Maluku dan Muspida melakukan pertemuan dengan jurnalis berbagai media Maluku, untuk membicarakan situasi keamanan dan pengelolaan pembangunan di Maluku.

Ø       April 01 2005, Pendeta Jemaat GPM Wayame atas nama John Sahalessy diciduk polisi dari rumahnya. Penangkapan pendeta John  menimbulkan protes dan ketegangan di kalangan warga, yang berujung pada pemukulan polisi terhadap beberapa warga setempat. Penangkapan Sahalessy berdasarkan tuduhan bahwa speed boat miliknya dipakai dalam peristiwa penembakan di vila karaoke, Hative Besar beberapa minggu sebelumnya. Dari hasil pemeriksaan yang dihadiri Kapolda Maluku di Mapolres PP Ambon dan Lease diketahui bahwa pihak polisi keliru mengidentifikasi speed boat dimaksud. Pdt John Sahalessy segera dibebaskan pada hari yang sama, setelah terlebih dahulu Kapolda Maluku meminta maaf kepada yang bersangkutan. Permintaan maaf juga disampaikan Kapolda kepada Ketua Sinode GPM melalui telpon.

Ø       April 01 2005, Melalui media masa lokal gubernur Maluku melansir desakannya kepada Kapolda Maluku & Pangdam Pattimura untuk segera mengungkapkan pelaku peledakan bom dan granat dalam 1 bulan terakhir.

Ø       April 02 2005, Ditemukan 26 buah bom rakitan pada rumah salah seorang warga di kawasan Waihaong, Ambon. Dua orang warga ditangkap, dan melalui pemeriksaan intensif di Mapolres PP Ambon & Lease, diperoleh informasi bahwa pembiayaan pembuatan bom dilakukan oleh salah seorang anggota DPRD Provinsi Maluku dari fraksi Golkar.

Ø       April 04 2005, Sketsa wajah tersangka pelemparan granat di kawasan negeri Batu Merah disebarkan ke publik oleh pihak Polda Maluku. Sekalipun sketsa ini telah disebarkan namun pelaku pelemparan granat masih tetap kabur.

Ø       April 04 2005, Pangdam Pattimura menjelaskan melalui media cetak lokal bahwa TNI telah berhasil mengidentifikasi titik-titik rawan pengibaran bendera RMS. Sekalipun demikian menurut Pangdam hal ini masih dirahasiakan. Selanjutnya menurut Pangdam Maluku saat ini masih dalam kondisi tertib sipil, sehingga penanganan keamanan masih menjadi tanggung jawab pihak kepolisian.

Ø       April 05 2005, Sekitar jam 21.00 dilakukan razia di kawasan Diponegoro dan Urimesing kota Ambon. Razia oleh pihak Polres PP Ambon & Lease bersama aparat Brimob BKO dari Kalimantan, berhasil menyita sejumlah senjata rakitan, amunisi, dan beberapa buah bom. Terkait dengan peristiwa itu 2 orang warga dari kawasan Diponegoro ditahan aparat.

Ø       April 06 2005, Gubernur Maluku menghadiri rapat dengan Menteri Politik, Hukum & Kemanan di Jakarta. Dalam rapat tersebut dilaporkan juga kondisi terakhir Maluku, dan antisipasi pengamanan menjelang 25 April 2005.

Ø       April 06 2005, Kepada media masa di Ambon Kapolres PP Ambon & Lease mengungkapkan persiapan pengamanan kota Ambon menjelang 25 April 2005. Menurut Kapolres zona-zona pengamanan telah dibagi dari zona 1 s/d zona 7. Pembagian zona ini berdasarkan tingkat kerawanan dari masing-masing Polsek. Zona 1 menurut Kapolres meliputi wilayah Polsek Nusaniwe, dan kawasan Kudamati dianggap yang paling rawan. Zona 2 adalah wilayah kecamatan Sirimau, diikuti dengan wilayah Polsek Baguala dan seterusnya. Untuk menempati pos di 3 zona itu, menurut Kapolres telah disiapkan 960 personil, termasuk Brimob BKO. Selain itu penyebaran intelejen polisi telah juga dilakukan di semua zona untuk memantau perkembangan situasi keamanan.

Ø       April 07 2005, Walikota bersama Muspida melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan agama se-kecamatan Baguala di Ambon. Dalam pertemuan itu Walikota meminta Ketua RT/RW di wilayah kecamatan Baguala agar mengantisipasi masuknya "orang asing"

menjelang 25 April2005. Menurut Walikota ia telah meminta dilakukan pendataan terhadap siapapun orang asing yang masuk ke lingkungan.

Ø       April 11 2005, Kapolres PP Ambon & Lease menyampaikan larangan pembentukan posko-posko anti RMS atau posko pro NKRI, sebagaimana yang terjadi menjelang 25 April 2004. Menurutnya aparat keamanan akan bertindak tegas terhadap pembentukan posko-posko dimaksud. Menurutnya pembentukan posko-posko dimaksud akan semakin memperkeruh situasi keamanan yang telah semakin kondusif saat ini.

Ø       April 12 2005, Sekitar jam 24.30 dini hari salah seorang tokoh grass root di wilayah komunitas Kristen (FS) ditangkap regu Polres PP Ambon & Lease di rumahnya. Alasan penangkapan karena adanya laporan penganiayaan dengan senjata yang dilakukan FS sekitar 6 bulan yang lalu, selain ditemukannya 8 butir peluru jenis FN di rumahnya. Penangkapan ini menjadi polemik karena beberapa kalangan dan keluarga FS menganggap FS sengaja dijebak. FS dan keluarganya membantah keras adanya peluru di rumahnya, dan menilai penemuan itu merupakan rekayasa polisi untuk menahan dirinya

Ø       April 12 2005, Walikota Ambon melakukan pertemuan dengan para pendeta GPM Klasis Kota & Pulau Ambon di gedung gereja Maranatha Ambon. Pertemuan dilakukan untuk mensosialisasikan situasi keamanan menjelang 25 April 2005.

 

Selain beberapa item yang terekam terkait dengan tindakan antisipasi pemerintah sebagaimana yang tergambar di atas, maka sejak bulan Maret sampai saat ini intensitas razia semakin ditingkatkan oleh aparat kepolisian pada berbagai wilayah di kota Ambon. Pada pihak lainnya intensitas pertemuan dan koordinasi antara unsur-unsur Muspida Provinsi Maluku dan Kota Ambon dengan berbagai elemen masyarakat, semakin meningkat dari minggu ke minggu.

 

Sehubungan dengan aktifitas FKM diperoleh informasi dari beberapa anggota intelejen Polda Maluku, bahwa regu intelejen polisi terus memantau setiap aktifitas rapat gelap kelompok FKM yang dilakukan di kota Ambon. Aktifitas rapat terpantau, termasuk didalamnya lokasi maupun nama-nama simpatisan FKM yang menghadiri rapat. Pada pihak lainnya aparat intelejen juga memantau hadirnya para ”pendatang baru” dari luar Maluku dengan menggunakan kapal laut, yang kemudian menyebar di beberapa wilayah komunitas Muslim.

 

·         Konsolidasi Lembaga-Lembaga Publik dan NGO

Menyikapi situasi keamanan yang berkembang saat ini, beberapa lembaga publik dan NGO mencoba meresponnya melalui beberapa cara. Selain upaya-upaya untuk meningkatkan ketahanan rekonsiliasi masyarakat, maka secara terbatas beberapa NGO dan lembaga Publik lainnya telah mencoba memfokuskan diri untuk menyikapi kondisi keamanan saat ini.

 

Ø       Lembaga-Lembaga Agama. Antara Maret  10 s/d 15 2005, pemimpin dari 3 lembaga agama di Maluku ke Jakarta dan bertemu wakil presiden Yusuf Kalla serta beberapa petinggi negara lainnya. Tujuan pertemuan untuk meminta perhatian terhadap berbagai issue keamanan di Maluku. Diantaranya meminta pemerintah pusat untuk mengembangkan penguatan Polda dan Kodam di Maluku, serta mensikapi dislokasi pasukan BKO dari luar Maluku. Secara khusus juga mengkritisi peran intelejen yang disinyalir tersebar di seluruh Maluku sejak awal Pebruari 2005. Proses selanjutnya dari lembaga-lembaga agama, diantaranya menyampaikan berbagai seruan bersama kepada masyarakat, untuk menghindari berbagai bentuk provokasi yang bertujuan menyulut konflik baru.

 

Ø       Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Maluku dan Kota Ambon. Saat ini DPR Provinsi Maluku sementara berdebat tentang perlunya meminta diterbitkannya Keputusan Presiden untuk melarang aktifitas FKM, RMS, dan kelompok separatis sejenisnya. Kelompok yang pro penerbitan Kepres beralasan bahwa pemerintah dan aparat keamanan belum memiliki payung hukum yang kuat untuk menindak FKM dan RMS. Sebaliknya kelompok yang menolak penerbitan Kepres beralasan bahwa Kepres tersebut membuka ruang bagi stigmatisasi RMS terhadap orang Maluku secara menyeluruh.

 

Ø       Gerakan Jaringan Baku Bae Maluku, sejak pertengahan Maret 2005 telah mengkonsolidasi pertemuan jaringannya untuk secara khusus mencermati perkembangan situasi keamanan saat ini. Pertemuan selama 2 hari tersebut telah dilakukan untuk membicarakan beberapa langkah antisipasi, yang bisa dilakukan secara bersama terkait dengan perkembangan berbagai insiden menjelang 25 April 2005. Tercatat lebih kurang 8 LSM lokal dari dua komunitas menggabungkan diri dalam gerakan Baku Bae, dan memutuskan akan melakukan kegiatan kampanye menjelang 25 April 2005. Kampanye dimaksud diarahkan untuk membangun kesadaran publik dalam mencermati realitas FKM dan RMS yang sesunggguhnya, serta berbagai kemungkinan digunakannya fenomena FKM bagi kepentingan pihak-pihak lainnya.

 

Ø       Lembaga Antar Iman Maluku (EL.AI.EM), Sejak Januari 2005 mengkonsolidasi dialog publik terkait dengan berbagai permasalahan sosial yang mengemuka. Dalam kerjasama dengan beberapa lembaga kepemudaan, dialog publik digelar untuk membangun persepsi bersama terhadap beberapa issue kontemporer yang bergulir dalam wacana publik sehari-hari. Selain itu dilakukan pula berbagai pertemuan terbatas lintas iman, untuk mencermati dan memetakan perkembangan situasi keamanan dari waktu ke waktu. Pemetaan situasi dimaksud kemudian disampaikan kepada beberapa stake holder, yang memiliki jaringan dan pengaruh di masyarakat.

 

Ø       Jaringan Gerakan Young Ambassador for Peace, sejak permulaan Maret 2005 melakukan rangkaian pertemuan jaringan dalam rangka resolusi konflik. Muatan percakapan diantaranya terkait dengan pemetaan konflik kepentingan dibalik fenomena gerakan FKM, serta perkembangan situasi menjelang 25 April 2005. Pertemuan ini masih terus berlangsung untuk meng-update berbagai informasi yang diperoleh melalui simpul-simpul jaringan yang ada di berbagai wilayah di kota Ambon.

 

Ø       TAPAK Ambon yang merupakan salah satu lembaga advokasi Maluku di Jakarta melakukan sosialisasi tentang fenomena FKM dan RMS, melalui penerbitan buku dengan judul ”Quo Vadis FKM dan RMS”. Buku ini akan diterbitkan menjelang 25 April 2005, namun di kalangan masyarakat telah beredar dalam bentuk foto copy beberapa bagian dari buku dimaksud.

 

Ø       Komite Penyelamat Maluku (KPM) dibentuk dengan tujuan mengantisipasi berbagai peristiwa terkait dengan 25 April 2005. KPM yang dimotori oleh Rustam Kastor dan dipimpin oleh La Suradi telah menyebarkan selebaran mereka di wilayah Galunggung dan Air Kuning, Batu Merah Ambon. Isi selebaran diantaranya meminta masyarakat mewaspadai bahaya laten RMS yang mewujud dalam bentuk FKM. Sejauh ini KPM meminta masyarakat untuk menyerahkan persoalan FKM dan RMS kepada aparat keamanan.

 

·         Konsolidasi Spontan Masyarakat

Biasanya menjelang 25 April 2005 berbagai segmen masyarakat nampak menyatakan kegelisahannya secara terbuka, melalui berbagai deklarasi dan pernyataan sikap. Terutama terkait dengan eksistensi FKM. Opini, komentar, kecaman, serta berbagai bentuk sikap hampir selalu muncul secara marak melalui publikasi media cetak maupun elektronik. Menjelang 25 April 2005 fenomena demikian tak nampak terlalu menonjol. Dalam beberapa percakapan yang dilakukan pada berbagai segmen masyarakat, ditemukan kesan kuat bahwa telah berkembang kesadaran yang semakin tinggi terhadap fenomena FKM. Selain itu kecenderungan masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomi nampaknya jauh lebih mendominasi wacana publik, ketimbang issue FKM dan 25 April 2005.

Sekalipun wacana FKM tak terlalu nampak berkembang, namun kegelisahan masyarakat tetap merebak, sehubungan dengan kemungkinan adanya kelompok-kelompok misterius yang akan bermain dibalik kondisi 25 April 2005. Terjadinya berbagai insiden misterius belakangan ini, seiring penampakan kesiagaan aparat keamanan dengan sangat menyolok menimbulkan berbagai pertanyaan dan spekulasi tentang kondisi keamanan menjelang 25 April 2005.

Dalam seluruh gambaran situasi di atas, berbagai kalangan masyarakat mulai mempersiapkan diri secara spontan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat timbul. Beberapa aktifitas masyarakat terkait dengan ini diantaranya :

 

Ø       Konsolidasi pengamanan lingkungan, mulai dilakukan pada berbagai wilayah RT & RW di kota Ambon. Jadwal siskamling mulai dibagikan melalui koordinasi ketua RT di masing-masing wilayah.

Ø       Antisipasi terhadap kehadiran orang asing yang memasuki wilayah-wilayah pemukiman.

Ø       Kesepakatan pengamanan wilayah perbatasan secara bersama. Misalnya kesepakatan comunitas Muslim dan Kristen di wilayah Ahuru, Mardika dan Batu Merah Kampung, serta beberapa wilayah lainnya.

 

 

 

 

 

P E N U T U P

 

Apakah mungkin merebak lagi konflik baru di Maluku dan Ambon khususnya?, tetap menjadi pertanyaan menarik untuk dicermati. Mengamati semua data yang dikemukakan di atas, maka sulit untuk menemukan jawaban tunggal terhadap pertanyaan dimaksud. Meskipun demikian beberapa kemungkinan setidaknya bisa disimpulkan disini, a/l :

 

Ø       Pada tanggal 25 April 2005 bendera RMS akan tetap mengudara, sekalipun dilakukan secara tersembunyi. Terhadap kenaikan bendera RMS akan muncul banyak kecaman terhadap kinerja aparat keamanan, namun tak sampai menyulut konflik masa. Konflik akan terhindarkan karena tidak tersedianya kondisi yang cukup matang untuk dipicu (bandingkan dengan arak-arakan kelompok FKM pada 25 April 2004). Terhadap aktivist FKM akan dilakukan penangkapan secara besar-besaran, untuk meredam potensi benturan masa.

Ø       Bila ketahanan masyarakat terhadap fenomena FKM telah semakin berkembang, dan kesiapan aparat keamanan cukup prima, maka upaya membenturkan masyarakat akan ditingkatkan melalui berbagai pemboman, pembunuhan, atau penculikan misterius, dengan tujuan memancing emosi kolektif warga sebelum dan sesudah 25 April 2005. Bila upaya ini akan digiring ke konflik masa, maka bukan tidak mungkin pilihan target korban akan ditujukan kepada mereka yang ketokohannya menjadi representasi simbolik dari comunitas masing-masing.

Ø       Bila Ambon sebagai barometer menunjukan peningkatan ketahanan publik yang prima, maka bukan tidak mungkin akan ada penyerangan dalam skala terbatas ke beberapa wilayah lain di luar pulau Ambon. Model penyerangan yang paling mungkin ádalah penembakan dari arah laut, ataupun penyerangan dadakan dengan kelompok kecil dan terlatih dari arah hutan, ke desa-desa tertentu di luar pulau Ambon.

 

Tiga kemungkinan di atas semata-mata merupakan prediksi berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan di tengah masyarakat. Tentunya kita sangat berharap supaya Maluku dan Ambon khususnya terhindar dari semua kemungkinan konflik baru. Sekalipun demikian derajat kewaspadaan masyarakat sangat perlu ditingkatkan, tanpa harus diliputi kepanikan yang tidak rasional. Ujian terhadap kematangan masyarakat dan kesigapan aparat menjadi taruhan pada tanggal 25 April 2005 mendatang. Semoga kita kedapatan tahan uji, demi kedamaian yang diidamkan.

 

 

EL.AI.EM

 

 

 

 

 

 

 

Pertemuan Kapolda dan OKP se-Maluku, 31 Maret 2005[1]

 

ü       Peristiwa Penembakan Villa Karaoke, Hative Besar

Dalam peristiwa tersebut, 13 peluru mengenai sasaran korban dengan rician; 5 butir kena sasaran kepala, 8 butir di daerah sekitar kepala (dalam rekonstruksi TKP). Jumlah semua peluru yang dapat ditemukan adalah 52 butir. Itu berarti jika asumsinya setia 1 magazine terdiri dari 30 butir peluru, maka terdapat 2 magazine yang dihabiskan untuk melakukan penyerangan tersebut. Dari dugaan penyidik di TKP, dengan memperhatikan lokasi kejadian dan posisi pelaku, besar kerusakan yang terjadi, maka para pelaku dapat dikategorikan “serangan oleh Satuan Kecil”. Model serangan “Satuan Kecil” semacam itu, tidak pernah diajarkan dalam lingkungan POLRI. Kapolda dapat memastikan itu sebab beliau juga bekas instruktur di sekolah POLRI. Model latihan semacam itu biasa dilakukan di lingkungan militer. Dari olah TKP, diketahui bahwa peluru yang digunakan tergolong jenis bagus, putarannya prima, sehingga pada posisi sasaran miring pun, pelurunya masih bisa tembus tripleks dan terus masuk ke tembok. Jika peluru dan senjatanya tidak bagus, maka pelurunya akan mental jika sasarannya berada pada kemiringan. Dalam kerjasama dengan TNI, POLRI telah membagi wilayah pengamanan menjadi dua. Wilayah Waihaong- Batumerah, Air Kuning, Lateri-Poka merupakan daerah penugasan aparat TNI BKO. Menurut Kapolda, agak mengherankan kenapa ketika peristiwa penembakan itu terjadi di wilayah tugasnya, aparat BKO TNI tidak satu pun yang datang, hingga aparat kepolisian datang ke TKP. Intelijen Polda sementara mengejar speedboat yang digunakan, diduga telah dicat warnanya, namun aparat telah mengetahui warna setelah dicat ulang. Apa warnanya, tidak diberitahukan Kapolda, sebab itu rahasia penyelidikan.

 

ü       Persitiwa Lateri dan Batumerah..

Granat yang dipakai adalah jenis nenas yang tidak lagi dipakai di lingkungan TNI/ Polri. Namun granat jenis ini banyak digunakan oleh tentara/ polisi purna tugas. Hal itu disimpulkan dari beberapa kali penangkapan terhadap pelaku peristiwa yang  pernah terjadi maupun dalam penggeledahan. Menurut Kapolda, pola yang digunakan di Lateri sama dengan pola yang dilakukan di Batumerah. Menurut Kapolda, jika bom tersebut berhasil diledakan di dalam angkot, maka dipastikan semua penumpangnya akan tewas. Polanya seragam yaitu : ada yang mengendarai kendaraan, berboncengan, kemudian melemparkan bom. Setelah bom meledak, ada korban jiwa, maka orang yang dibonceng turun dari sepeda motornya, dan memprovokasi masyarakat yang ada di sekitar. Dari orang ini, masyarakat tahu mobil angkot asal bom tersebut. Selain itu, sasaran lokasi peledakan biasanya ditujukan pada wilayah yang banyak pemudanya. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan provokasi yang bisa diarahkan untuk membuat tindakan kekerasan.  Motif pelaku: targetnya,  pembunuhan penumpang angkot Kristen di wilayah Islam. Akibat yang diharapkan: muncul opini di masyarakat Kristen bahwa pembunuhnya adalah “komunitas Islam”. Motif ini sama dengan motif Lateri. Sampai saat ini, Kapolda sementara memerintahkan aparat intelijen untuk mengejar mereka yang diketahui melihat pelaku peristiwa Batumerah. Menurutnya, dalam peristiwa itu, terdapat dua mobil yang berada di belakang angkot-target. Yaitu mini truck, persis di belakang angkot, dan mobil kijang pribadi. Sepeda motor yang dikendarai pelaku, berjalan beriringan dengan mobil mini-truck dan ketika hendak mencapai TKP, ia berjalan beriringan dengan angkot. Menurut Kapolda yang melihat dengan jelas pelakunya adalah yang berada di mobil kijang pribadi (posisi di belakang mini truck).  Kapolda memerintahkan aparat intelijen untuk mengejar mobil tersebut.

Lokasi TKP berada dalam territorial penugasan aparat TNI-BKO.

 

ü       Penembakan Lay-lay : Diduga motif pelakunya adalah perampokan sebab di dalam Lay-lay saat itu, terdapat penumpang yang membawa uang ratusan juta rupiah (cash!). Jumlah peluru yang ditemukan aparat adalah 23 butir dari jenis SS-1 dan 30 butir dari jenis AK-47. Speed boat yang digunakan berwarna hijau, milik orang Madura yang menetap di sana.

 

ü       Kasus Penculikan Pendeta di Buru Selatan: Bagi POLRI, masalah ini dianggap telah selesai. Penanganannya diserahkan kepada pihak TNI dalam kordinasi dengan Pangdam dan Dandim setempat. Mengapa? Sebab itu adalah wilayah penugasan TNI. Menurut saksi yang berada di sekitar TKP, beberapa hari menjelang terjadinya peristiwa, aparat TNI BKO meminta masyarakat untuk waspada dengan “ancaman” yang datang dari wilayah gunung. Mendengar saran tersebut, masyarakat memfokuskan siskamling pada wilayah pegunungan. Padahal sebelumnya masyarakat menduga, ancaman sebenarnya berasal dari pesisir, bukan gunung. Sementara perhatian terfokus ke pegunungan, ternyata penculikan justru terjadi di pesisir. Menurut seorang pendeta yang bertugas di sana (Pdt. D. Kastanya, 32 tahun), disebutkan bahwa terdapat oknum TNI yang menteror masyarakat dengan menembak jatuh durian dari pohon. Perilaku tersebut diketahui pendeta setempat, dan oknum TNI diancam dengan parang. Peristiwa ini terjadi sesudah penculikan. Tindakan-tindakan aparat TNI semacam itu telah lama dilakukan, mengakibatkan banyak warga masyarakat yang takut kepada mereka.

 

ü       Menurut Kapolda, Polri telah menduga bahwa ada aparat yang turut bermain dalam mengacaukan masyarakat menjelang 25 April. Menurutnya, momen 25 April sangat strategis dimainkan provokator yang punya kedekatan dengan militer. Biasanya peristiwa ini mulai panas sejak Januari. Dan yang dikambing-hitamkan adalah FKM/RMS. Jadi selalu ada upaya untuk menghubungkan seluruh peristiwa criminal yang terjadi dengan FKM/RMS untuk menaikan posisi tawar militer. Padahal selama ini, dari penyidikan terhadap para pelaku yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi, tidak satupun yang teridentifikasi menjadi bagian dari kelompok FKM/RMS. Motifnya adalah bargaining kelompok tertentu berkaitan dengan penyusunan RAPBD Maluku pada April. Jadi eskalasi sengaja dinaikkan agar dalam perencanaan APBD ada dana khusus untuk keamanan. Isu yang dimainkan adalah bahaya separatisme, bukan Kamtibmas. Dari permainan isu itu (separatis) maka militer yang selama ini mendapat dananya, dan Polri hanya disuruh “menjaga gawang”. Dana yang dicairkan dalam APBD 2004 untuk keamanan adalah 101 milyard rupiah. Dan dengan eskalasi yang makin meningkat sejak Januari 2005 sampai Maret, maka plafon dana yang dipatok untuk dana keamanan dalam RAPBD 2005 sebesar 150 milyard. Militer telah mendapat sebagian dari dana itu untuk penanganan kejadian-kejadian sejak Januari.  Jadi menurutnya, jika masyarakat terpancing dengan isu FKM/RMS dalam kaitan kasus-kasus yang terjadi, maka provokator justru merasa diuntungkan. Ketika masyarakat terpancing, maka tindakan terror akan terus ditingkatkan. Kapolda juga meminta pemuda untuk memantau setiap upaya, yang selalu menyusul setiap kejadian, untuk meminta tambahan pasukan BKO. Hal ini diusulkan Gubernur menagggapi peristiwa Batumerah. Namun usul ini ditolak Kapolda. Kecuali jika yang diminta adalah bantuan tenaga intelijen, tetapi jika itu berkaitan dengan pasukan, maka aparat organik Polda Maluku masih mencukupi. Menurut Kapolda, dari analisa selama beberapa tahun ini, usulan tersebut ada kaitannya dengan tambahan dana keamanan dalam APBD. Hal itu telah terjadi dalam APBD-APBD tahun sebelumnya. Begitu pula, setiap kali hendak dikucurkan dana dekonsentrasi untuk pengungsi dan pemulihan kondisi masyarakat, selalu saja terjadi kejadian di masyarakat. Kapolda menyampaikan juga informasi seputar kegiatan “Pertandingan Gawang Mini” yang dilakukan oleh Dandim Pulau Ambon dan Pp. Lease. Menurut Kapolda, pertandingan itu dilakukan bersamaan dengan persidangan FKM/RMS di Pengadilan Negeri. Menurut Kapolda, kegiatan ini tidak benar. Ada motif terselubung. Ia memberi ilustrasi; seperti pertandingan bola yang bolanya diisi dengan bom. Jadi setelah pertandingan selesai, direkayasa ada bentrokan, dan masing-masing lalu berkelahi dengan bom segala. Karena itu Kapolda telah meminta kepada Pangdam agar menyuruh Dandim segera menghentikan kegiatan tersebut. Itu dianggap provokasi. Dalam pengamatan Kapolda, sejak Januari sudah ada upaya untuk menaikkan eskalasi dengan mencoba menggunakan isu perkelahian antar kampong, sub etnis. Tetapi setting itu tidak berhasil. Makanya mereka kembali lagi dengan “gaya lama”. Dari hasil intelijen di lapangan, ada indikasi setiap kejadian berlangsung pada hari Senin atau Selasa. Menurut Kapolda, intel melaporkan bahwa terdapat perilaku khusus dari pelaku. Dana diperoleh hari Kamis atau Jumat, dananya dipakai minum bir, mabuk-mabukan, pake perempuan, trus nginap di hotel (berkaitan dengan penggebrekan di Hotel Amans). Lalu hari Seninnya dilakukan peristiwa. Ini polanya.  Kapolda juga telah memantau adanya perilaku khusus dari keterlibatan aparat dalam sejumlah kasus. Mereka menyamar sebagai tukang bakso, tukang sate, pedagang keliling. Padahal bumbu untuk membuat saus sate pun tidak diketahuinya. Ngakunya tukang sate, padahal tangannya kekar, bahunya tegap, jalannya seperti aparat. Makanya, Kapolda telah memerintahkan aparatnya untuk melarang jangan ada siapapun yang menjual bakso atau sate di depan halaman Mapolda. Ia menghimbau agar ada kerjasama dengan masyarakat supaya dapat diketahui siapa yang bermain.



[1] Seluruh informasi dalam rapat ini bersifat off the record, dan di akhir pertemuan Kapolda meminta kepada semua wartawan untuk tidak mempublikasikan isi pertemuan ini.