Menemukan Tuhan Ditengah Kemajemukan*

 

Oleh Thamrin Ely**

 

Konflik kekerasan ternyata bukan saja mengakibatkan hancurnya hasil-hasil pembangunan, jatuhnya korban jiwa, tetapi juga rusaknya relasi sosial, tercemarnya alam pikiran, dan tereduksinya karya ketuhanan.

 

Maka ketika panitia meminta saya untuk berbicara di Persidangan Klasis Gereja Protestan Maluku (GPM) Seram Utara, saya spontan menerimanya. Apalagi tema yang ditawarkan adalah “Carilah Tuhan Supaya Kamu Hidup” dengan Sub Tema “Bersama-sama mengembangkan spiritualitas umat  yang berpihak pada hidup sebagai wujud pembaruan teologi dan Pelayanan demi pemulihan masyarakat, peningkatan kualitas kemanusiaan dan pemantapan integritas kebangsaan” .

Sebuah tema yang menantang untuk direnungkan dengan kedewasaan berteologi, dan kemudian digagas dalam rencana aksi yang inklusif.

 

Karena dalam masyarakat multikultural yang mengglobal dewasa ini isu-isu perbedaan tidak relevan lagi. Sebaliknya yang laku adalah isu kemanusiaan, kesejahteraan, keadilan, demokrasi, persamaan hak, kebebasan dan tanggung jawab warga Negara, dan isu kesempatan yang sama. 

 

Kita semua seyogianya harus bersyukur bahwa kita memiliki Tuhan yang otonom tapi tidak otoriter, Tuhan yang demokratis, Tuhan yang menciptakan kemajemukan . Padahal jika Tuhan berkehendak Dia bisa menciptakan semuanya seragam dengan otoritas yang ada padanya. Manusialah yang menghilangkan makna dan sukma kemajemukan menjadi sesuatu yang kotor bahkan kejam. Dengan kata lain manusialah yang menentang karya keilahian tersebut, dan karenanya mereka tidak kuasa menemukan Tuhannya.

 

Sering dikatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang logis, alamiah dan inhaeren dengan proses dinamika kemajemukan dan demokrasi. Tapi konflik kekerasan telah memanfaatkan energi destruktif untuk menghancurkan kemajemukan dan demokrasi itu sendiri, baik secara alamiah ataupun melalui social engineering dan provokasi.

Tindak lanjut dari kondisi seperti ini ialah bahwa manusia harus menyiasati agar konflik tidak lagi terjadi dikemudian hari dan menyelesaikan bengkalai-bengkalai yang ditinggalkan oleh konflik kekerasan.

 

    Sesungguhnya Islam memandang eksistensi nabi agama-agama samawi dalam tingkatan yang sejajar, karena ia merupakan rukun iman. Belum Islam seseorang jika tidak mengakui kenabian Isa yang dalam proses komunikasi terbaca sebagai Iesus, Jesus dan Yesus. Kelahiran Isa dari rahim Maryam yang suci dilukiskan begitu indahnya oleh Alqur’anul Karim dalam Surat Maryam tanpa cacat cela sedikitpun. Termasuk ketika Isa yang masih bayi menunjukkan kemampuannya berkata-kata untuk menjelaskan kehadiran dirinya. Tak ada sedikitpun keraguan Islam terhadap kenabian Isa, artinya dalam perspektif Islam relasi sosial diantara dua umat (Islam dan Kristen sebagai identitas kolektif) mestinya dibangun berdasarkan semangat saling percaya dan saling menghargai itu. Sayangnya, konflik kekerasan bernuansa agama di Indonesia bisa terjadi sedikit banyaknya akibat tidak saling mengenal dan saling menghargai, atau karena egoisme dan claim kebenaran.

Maka diperlukan suatu strategi penguatan masyarakat berbasis keimanan dan kebudayaan  untuk memperbaiki relasi sosial serta membangun citra yang baik. 

 

 

 

*  Makalah ini dipresentasikan pada Sidang Klasis GPM Seram Utara di Wahai,

    6 Februari 2005.

 

**Thamrin Ely, Ketua Delegasi Muslim pada Pertemuan Maluku di Malino

    11-12 Februari 2002.