KOMPAS, Rabu, 05 Januari 2005
Aparat Keamanan di Ambon Masih Alami Trauma Konflik
* Informasi SMS Pun Memicu Konflik Baru
Ambon, Kompas - Aparat keamanan yang bertugas menjaga dan memulihkan
keamanan di Ambon pascakerusuhan masih mengalami trauma konflik. Trauma itu
menyebabkan adanya tindakan bela diri yang berlebihan dan pada akhirnya
memunculkan perkelahian. Bentrok antara anggota polisi dan tentara pun tidak dapat
dielakkan. Bahkan penganiayaan warga sipil pun terjadi. Namun bila sewaktu-waktu
kembali terjadi kerusuhan, mereka kemungkinan besar kembali ke komunitas asal
mereka dan meninggalkan tugasnya.
Kepala Kepolisian Resor Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Ajun Komisaris Besar
Leonidas Braksan, Senin (27/12) malam, mengatakan bahwa konflik berkepanjangan
dan berlarut-larut yang terjadi di Ambon telah menimbulkan trauma bagi masyarakat,
aparat pemerintah, ataupun aparat keamanan.
Konflik berbau sara tahun 1999, yang sempat reda, kembali muncul dalam kerusuhan
25 April 2004 silam saat peringatan ulang tahun Republik Maluku Selatan.
Bagi polisi, lanjut Braksan, trauma yang muncul berupa hilangnya rasa kepercayaan
diri terhadap lembaga kepolisian yang menaungi mereka. Polisi tidak yakin instansi
kepolisian mampu melindungi keamanan dan keselamatan jiwa mereka sendiri.
Karena itu, sulit diharapkan mereka mampu melindungi orang lain.
"Saat kerusuhan terjadi, polisi justru kembali ke komunitasnya masing-masing
dengan melepas atribut mereka, namun tetap membawa senjata," kata Braksan.
Di dalam komunitas, mereka dianggap sebagai pahlawan. Dalam kondisi tersebut,
mereka menjadi mudah terpengaruh dan dipengaruhi sehingga netralitasnya tidak bisa
dijaga.
Karena polisi pergi ke komunitas masing-masing, kantor polisi pun menjadi kosong
dan tidak ada petugas yang menangani kerusuhan.
Mereka akan membela kelompoknya sendiri saat bertarung dengan pihak lawan.
Akibatnya, lanjut Braksan, mereka dapat saling berhadapan dengan anggota
kepolisian yang lain saat terjadi pertikaian antardua komunitas berbeda itu.
Militeristis
Braksan menambahkan, dampak lain dari trauma pascakonflik bagi polisi di Ambon
adalah sebagian besar polisi masih bersikap militeristis.
Sebagian besar anggota kepolisian bangga bila mereka dapat masuk dalam
satuan-satuan yang berfungsi untuk meredam konflik dengan menggunakan senjata.
Dicontohkan, Satuan Reserse dan Kriminal-yang menjadi tulang punggung kepolisian
saat kondisi keamanan mulai stabil-kurang diminati.
Hal tersebut berdampak pada kurangnya layanan masyarakat oleh polisi. Namun,
para polisi terutama yang baru direkrut tidak dapat dipaksa supaya memasuki Satuan
Reserse dan Kriminal karena hanya akan menyulitkan dalam proses pembinaannya
bila mereka tidak punya minat dan kemauan untuk memasuki satuan tersebut. "Di
saat kondisi keamanan semakin kondusif, mereka sulit mengubah kultur mereka,"
kata Braksan.
Semangat militeristis yang tinggi tersebut, tambah Braksan, berakibat pada
munculnya banyak kasus perkelahian antara polisi dengan tentara serta
penganiayaan yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap masyarakat sipil.
Menurut Braksan, pada tahun 2003 saja tercatat sebanyak 24 kasus pertikaian antara
polisi dan tentara di Ambon yang belum terselesaikan.
Kemudian pada tahun 2004, jumlahnya diperkirakan makin meningkat. Pertikaian
tersebut umumnya dipicu oleh rasa kebanggaan terhadap korps yang berlebihan.
Sementara itu, angka penganiayaan terhadap warga oleh polisi juga tinggi. Menurut
Braksan, sejumlah polisi yang terbukti melakukan penganiayaan telah diajukan ke
pengadilan dan mendapatkan hukuman penjara.
Untuk mengatasi kondisi itu, Braksan berharap agar semakin banyak kepolisian dari
luar Maluku yang diperbantukan bertugas di Ambon.
Mereka dinilai lebih bisa bersikap netral dan tidak memiliki trauma psikologis. "Aparat
yang di BKO-kan (diperbantukan di bawah kendali operasi) cukup efektif untuk
diandalkan dalam pemulihan keamanan di Ambon," ujar Braksan menjelaskan.
Sebaliknya Braksan menyarankan, perekrutan polisi dari Maluku, separuhnya
ditugaskan di daerah lain di luar Maluku agar mereka lebih tangguh dan bisa bersikap
lebih profesional.
Berbagai upaya konsolidasi internal yang dilakukan Polres Pulau Ambon dan
Pulau-pulau Lease bertujuan agar polisi mampu memberikan pelayanan kepada
seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan agama.
Karena itu, mereka berani bertugas ke daerah yang bukan termasuk komunitasnya.
"Tidak menutup kemungkinan aparat memiliki rasa keberpihakan, tapi perlahan-lahan
dibina agar mereka dapat kembali melaksanakan tugasnya dengan benar," kata
Braksan lebih lanjut.
Untuk menghindari terulangnya bentrokan antara aparat TNI dan Polri, seperti yang
terjadi pada 18 Desember lalu antara anggota Resimen 2 Pelopor Kelapa Dua Jakarta
dengan oknum yang diduga anggota Komando Daerah Militer XVI Pattimura, Kepala
Penerangan Kodam XVI Pattimura Mayor Infanteri Paiman meminta agar seluruh
aparat keamanan di Maluku mampu mengendalikan diri dan tidak terpancing untuk
melakukan hal-hal yang akan memperkeruh suasana.
"Aparat keamanan harus memberikan pengayoman dan perlindungan kepada
masyarakat, bukan justru ribut sendiri," kata Paiman tegas. Selain itu, lanjut Paiman
masing-masing satuan akan melakukan konsolidasi ke dalam serta melakukan
penegakan hukum dan disiplin.
Provokasi
Braksan menilai saat ini ada upaya pihak-pihak tertentu untuk memprovokasi TNI
dengan Polri. Hal itu dilakukan karena upaya untuk memprovokasi masyarakat sudah
sulit dilakukan. Pola pendidikan terhadap aparat keamanan untuk selalu waspada
membuat mereka mudah terprovokasi.
"Kita dapat merasakan adanya upaya provokasi itu karena ketahanan masyarakat
sudah tinggi sehingga mereka kebal terhadap provokasi," kata Braksan.
Adanya provokasi terhadap aparat keamanan di Maluku juga diungkapkan Kepala
Kepolisian Daerah Maluku Brigadir Jenderal (Pol) Adityawarman. Akhir-akhir ini,
memang beredar pesan layanan pendek (short massage service/SMS) bernada
provokasi yang mengadu domba antara anggota TNI dan Polri.
Pesan dari sumber yang tidak jelas dan berisikan provokasi tersebut biasanya
beredar di anggota TNI-Polri yang masih muda. Informasi SMS tentu tak dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Karena itu, perlu dicek kebenarannya. (MZW)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|