KOMPAS, Rabu, 05 Januari 2005
Konflik Mereda, tetapi Kekerasan Tetap Marak
KONFLIK sosial di Maluku telah lama reda, tetapi kekerasan tidak serta merta
terhenti.
Walaupun kekerasan yang muncul terjadi dalam skala kecil dan terlokalisasi, konflik
justru menyisakan tumbuhnya "budaya" kekerasan dalam masyarakat. Sayangnya,
berbagai potensi tumbuhnya kembali konflik hanya sebagian kecil yang terselesaikan
hingga tuntas.
Setiap hari di jalanan Kota Ambon yang kecil, nyaris tidak pernah lepas dari
terjadinya bentrok antarwarga. Kesalahpahaman dalam hal-hal sepele dapat menyulut
terjadinya pertikaian di antara mereka. Tak jarang perselisihan tersebut berakhir
dengan adu mulut dan adu jotos.
Konflik juga menyisakan perubahan pola tutur masyarakat. Jika sebelum kerusuhan
orang-orang mulai dari anak-anak hingga dewasa suka menggunakan kata "aku pukul
kau" sebagai ekspresi kemarahan, maka sejak konflik perkataan tersebut telah
berubah menjadi "aku bunuh kau". Parahnya, kondisi yang muncul dari sisa-sisa
konflik tersebut kini telah melembaga dalam struktur masyarakat Maluku.
Bentrokan antarkampung yang melibatkan massa dalam jumlah besar juga banyak
terjadi. Perkelahian yang dilakukan tidak lagi sekadar adu fisik, tetapi menggunakan
berbagai senjata tajam dan senjata api.
Korban bentrokan antarkampung pun tak tanggung-tanggung. Biasanya selalu ada
korban tewas dan luka-luka, baik akibat sabetan parang, terkena tembakan, maupun
terkena pecahan bom. Puluhan rumah terbakar dan harta benda pun musnah.
Pemicunya pun berasal dari berbagai macam, bisa hanya hal sepele. Bentrokan yang
terjadi antara warga Dusun Mamoa, Desa Hila, dan warga Desa Wakal, Kecamatan
Leihitu, Maluku Tengah, awal Desember silam dipicu kesalahpahaman antarpemuda
dalam sebuah pesta.
Kesalahpahaman yang berakhir dengan penikaman seorang warga hingga tewas itu
berbuntut pada aksi balas dendam dengan melibatkan ratusan pemuda dari pihak
korban. Akibatnya, empat orang terkena tembakan dan sedikitnya 15 rumah terbakar.
Demikian pula bentrokan antara warga Desa Hitu Lama dan Desa Hitumessing,
pertengahan Desember lalu. Bentrokan yang juga dipicu oleh perselisihan pemuda
antardesa itu merembet ke persoalan yang lama terpendam, yaitu hak atas tanah
adat.
Pertikaian dengan menggunakan bom molotov dan bom rakitan serta senjata api
tersebut mengakibatkan tujuh orang terluka dan beberapa rumah mengalami
kerusakan. Bentrokan antara warga Hitu Lama dan Hitumessing sudah beberapa kali
terjadi dengan berbagai macam pemicu. Namun, upaya menyelesaikan sumber
permasalahan nyaris tidak pernah dilakukan.
Pemerintah daerah baik dari Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, maupun
Provinsi Maluku cenderung membiarkan pertikaian terjadi. Mereka menganggap
bentrokan yang muncul sebagai hal biasa karena seringnya kejadian tersebut.
Penyelesaian masalah hanya dilakukan oleh aparat keamanan sebatas
mengembalikan kondisi masyarakat agar aman kembali.
Pertikaian antardesa tersebut ada yang terlokalisasi, namun ada yang merembet
hingga ke daerah lain, seperti yang terjadi dalam pertikaian antara warga Desa
Pelauw dan Ory di Pulau Haruku.
Bentrokan antarwarga kedua desa pertengahan November silam itu tidak hanya
dilakukan di desa mereka sendiri, tetapi juga dilaksanakan di desa lain. Masalahnya
pun tetap tidak terselesaikan hingga tuntas. Beberapa kali insiden penembakan gelap
lanjutan masih terjadi di desa-desa itu. (M ZAID WAHYUDI)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|