KOMPAS, Jumat, 11 Februari 2005
Atambua Masih Mencekam
Atambua, Kompas - Kota Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Kamis
(10/2), tampak lengang dan mencekam setelah sehari sebelumnya dilanda amuk
massa. Dalam peristiwa itu, tiga pos polisi rusak, dua sepeda motor dibakar, serta
lima polisi, dua tentara, dan dua warga sipil luka parah. Peran polisi lumpuh selama
22 jam.
Amuk massa dipicu pencemaran hosti (roti sebesar koin berwarna putih sebagai
simbol tubuh Yesus Kristus dalam agama Katolik-Red) terjadi pada misa pertama di
Gereja Katedral Atambua yang dipimpin Uskup Mgr Anton Pain Ratu SVD. Tertuduh
pelaku pencemaran adalah Yacob Tamelan asal Timor Tengah Selatan.
Misa Rabu Abu, yakni hari pembukaan masa puasa, saat itu dihadiri sekitar 3.000
umat Katolik. Di Kabupaten Belu, yang berpenduduk lebih dari 300.000 jiwa, tidak
kurang dari 90 persen adalah penganut Katolik, sisanya Protestan dan Islam.
Dari pemantauan wartawan, Kamis, pos-pos polisi dikawal personel Tentara Nasional
Indonesia (TNI) seperti tampak di pos Simpang Lima dan Pasar Baru. Kecuali pos
Hutan Jati di Nenuk, sekitar enam kilometer di luar kota Atambua yang sudah rusak
akibat amuk massa.
Gereja Katedral pun dikawal ketat delapan anggota TNI. Hingga pukul 12.30 belum
terlihat aparat polisi di jalan. Anggota polisi militer terlibat langsung mengatur arus
lalu lintas di sejumlah sudut kota sejak pagi hari, antara lain juga terlihat di simpang
lima, sekitar 150 meter dari Markas Kepolisian Resor (Polres) Belu.
Suasana mulai berangsur pulih Kamis kemarin pukul 13.00. TNI yang sejak Rabu
pukul 15.00 atau sekitar 22 jam "mengambil alih" kekosongan fungsi polisi akibat aksi
massa menyerahkannya lagi kepada polisi, terutama aparat Brigade Mobil Kepolisian
Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kronologi amuk massa
Pencemaran hosti terjadi saat misa Rabu Abu sekitar pukul 07.45. Saat itu suster
(biarawati) Damitria SSpS menyerahkan roti yang dikuduskan itu di pelataran gereja.
Damitria menuturkan, dia mencurigai seseorang yang kemudian diketahui bernama
Jacob Tamelan.
Ketika Damitria menyerahkan hosti, Yacob menyambut dengan satu tangan, yakni
tangan kanan, dan tidak langsung dimakan, tetapi diremas-remas. Cara ini sangat
tidak lazim, umat akan menerima hosti dengan menengadahkan tangan dengan
telapak tangan kiri bertumpu pada telapak kanan. Setelah menerima hosti di atas
telapak tangan kirinya, kemudian tangan kanan mengambil dan memasukkan ke
mulut dengan hati-hati.
Dikarenakan cara yang dinilai merendahkan ini, kemudian petugas mengikuti dan
mengamankan Jacob di pastoran Katedral. Romo Agustinus Berek Pr dari paroki
Katedral menuturkan, saat itu Jacob diamankan di pastoran dalam kawalan dua polisi
dan beberapa petugas gereja. Namun, umat tidak sabar dan berbondong- bodong
mengepung pastoran hendak menghakiminya.
Aparat keamanan Polres Belu dan TNI dari Kodim 1605 Belu, serta Satuan Tugas
Keamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) NTT-Timtim datang mengendalikan massa.
Datang pula Bupati Belu Joachim Lopez untuk menenangkan massa, namun massa
tak menghiraukannya.
Kepala Polres Belu Ajun Komisaris Besar Ekotrio Budhiniar mengatakan, pukul 09.00
dia langsung mengevakuasi Jacob dari pastoran untuk menyelamatkannya dari
amukan massa. Hujan batu yang dilempar massa menerobos kaca jendela pastoran
hingga hancur.
Massa justru semakin beringas saat aparat memuntahkan tembakan peringatan
untuk mengamankan enam anggota polisi yang mengawal evakuasi Jacob menuju
Markas Polres Belu. "Saat itu massa semakin beringas," kata Kapten (Art) Djoni
Prasetyo, Kepala Seksi Operasi Sektor Satgas Pamtas.
Bahkan, Komandan Kodim 1605 Belu Letkol (Inf) Ganip Warsito terkena lemparan
batu di punggungnya, termasuk dua anggota TNI lainnya. Selain lima anggota Polres
Belu, dua warga juga terkena lemparan batu. Bahkan, Kepala Satuan Samapta Polres
Belu Iptu AY Ndun dan Kepala Satuan Intel Iptu Joko Isnawan sempat dirawat di
rumah sakit akibat luka-luka di kepala.
Situasi semakin memanas karena massa mulai berhadap-hadapan dengan polisi
sehingga terjadi kejar-mengejar antara massa dan polisi di luar halaman Katedral
Atambua. Polisi terus membuang tembakan menghalau massa, namun massa tidak
menggubrisnya.
Bahkan, massa terus mengejar polisi hingga ke markas polres yang berjarak sekitar
800 meter dari Katedral. Massa membakar dua sepeda motor dan merusak tiga pos
polisi tak jauh dari markas. Ketika mereka mendekati markas, polisi terpaksa
mengarahkan tembakan peluru hampa ke massa.
Komandan Satgas Pamtas Kolonel (Art) Aris Setiabudi menjelaskan, melihat situasi
yang kian memanas, akhirnya dilakukan koordinasi antarpetugas keamanan, Muspida
Kabupaten Belu, serta tokoh masyarakat dan agama. Hasilnya, Rabu pukul 15.00
peran polisi "diserahkan" ke TNI.
Tidak kurang dari 5.000 massa akhirnya bubar pukul 17.00 setelah Uskup Atambua
dan TNI turun tangan. Situasi itu didahului permintaan Ketua DPRD Belu Gabriel
Dermawan dan Muspida Belu lainnya agar Polres Belu menghentikan rentetan
tembakan yang menggetarkan gelora massa saat itu.
Bupati Belu Joachim Lopez menuturkan, dirinya dan uskup mengimbau massa untuk
tidak bertindak anarkis. "Kami semua merasa sakit hati atas peristiwa pencemaran
itu. Namun, ajaran agama menghendaki agar umat tidak membalasnya," kata Bupati.
Spontanitas
Ekotrio Budhiniar, Joachim Lopez, dan Aris Setiabudi secara terpisah mengatakan,
tindakan anarkis warga dipahami sebagai bentuk spontanitas karena terlukanya
perasaan religius mereka. Tidak ada provokasi di dalam aksi itu.
Aris menjelaskan, amuk massa ini juga merupakan akumulasi kekecewaan umat
akibat tidak becusnya penanganan kasus yang sama yang pernah terjadi sebelumnya
di Belu. Dia menjelaskan, pencemaran hosti ini yang keempat kali terjadi di Belu,
tetapi proses hukum oleh polisi sanga tidak jelas. (CAL)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|