The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Rabu, 12 Januari 2005

Masyarakat Sudah Lelah, namun Pemerintah seperti Tak Serius

POSO adalah babak kelam dalam sejarah manusia di Indonesia. Konflik sosial di Poso yang hampir tak selesai tuntas seakan berpindah dari satu episode ke episode lain. Ceritanya merambat ke mana-mana. Sampai kini, meski situasi semakin kondusif, teror masih saja bertebaran.

Orang-orang Poso masih ingat betul ketika isu pembakaran masjid dan gereja tersiar pada 24 Desember 1998. Tiga hari kemudian, bentrokan antarwarga tidak terhindarkan.

Sebuah rumah di Kelurahan Lombogia musnah dibakar massa dengan lemparan bom molotov. Sepuluh warga dan dua petugas keamanan luka-luka. Konflik sosial antarwarga yang berbeda agama dan etnis itu akhirnya susul-menyusul, dari satu episode ke episode lain.

Nyaris tak terhitung lagi, berapa orang yang tewas pada masa konflik. Ribuan rumah, termasuk rumah ibadah, hangus dibakar. Ribuan penduduk mengungsi. Semua sendi-sendi kehidupan di Poso lumpuh total. Di pengungsian derita pengungsi juga tak kalah getirnya.

TITIK terang terpancar ketika 20 Desember 2001 kesepakatan damai antardua pihak yang terlibat konflik dideklarasikan. Kesepakatan yang dikenal dengan Deklarasi Malino I itu dimediasi oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (saat itu) Jusuf Kalla.

Deklarasi itu ditandatangani oleh 23 wakil kelompok Kristen dan 25 wakil kelompok Islam. Tetapi, konflik tak lantas berhenti. Deklarasi Malino sendiri dipandang belum berjalan efektif karena masih banyak pihak yang melanggar 10 butir kesepakatan itu.

Rasa-rasanya penyelesaian konflik sosial di Poso pun tidak pernah tuntas, bahkan semakin meluas dan membingungkan. Berbagai kasus penyelewengan dana pengungsi yang jumlahnya mencapai ratusan miliar tercium di mana-mana.

Tidak satu pun pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Poso, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah (Sulteng), dan pemerintah pusat yang mengelola dana itu menyatakan bertanggung jawab. Semunya lempar batu sembunyi tangan.

Bau korupsi dana pengungsi tidak hanya merebak di dalam institusi pemerintahan. Bau busuk itu juga tercium tajam dari tubuh institusi keamanan, termasuk penyelewengan dana pemulihan keamanan yang tak pernah diaudit sampai saat ini.

Belum lagi sumber-sumber bau busuk itu ditemukan, cerita konflik berdarah di tanah Poso itu kembali berpindah ke episode lain. Penembak misterius bergentayangan di mana-mana, salah satunya dialami Imbo, sopir angkutan kota (angkot) jurusan Poso-Tentena beberapa waktu lalu.

Sebelumnya, Kepala Desa Pinedapa Charminalis Ndele dipenggal secara biadab pada 5 November 2004. Tiba-tiba ledakan bom meluluhlantakkan kawasan Pasar Sentral, 13 November 2004, sehari menjelang Idul Fitri. Saat itu enam orang tewas.

Di Poso, hampir biasa mendengar letusan dari senjata api rakitan, bom molotov, pistol, senjata api laras panjang M-16, hingga bom rakitan. Tidak mudah dicari tahu bagaimana senjata api buatan PT Pindad itu berada di tangan orang- orang tak bertanggung jawab. Sampai saat ini, dalang di balik aksi teror berdarah itu belum terungkap.

Runyamnya, teror merembet ke Palu, ibu kota Sulteng. Sejak meletusnya bom di Markas Kepolisian Daerah (Polda) Sulteng, penembakan misterius dan teror bom di Palu terus terjadi. Penembakan jaksa Fery Silalahi, penembakan pendeta Susianti Tinulele saat khotbah di Gereja Effatha, pelemparan bom di Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Immanuel, dan penembakan di GKST Anugerah Masomba, 12 Desember 2004, hanyalah beberapa contoh kasus kekerasan bersenjata di Palu. "Palu seperti kota koboi di film-film Barat. Siapa saja bisa seenaknya menembak orang," kata seorang warga.

ENAM tahun berlalu, tetapi konflik Poso masih menyisakan banyak persoalan. Selain persoalan pengungsi, persoalan lain yang tak kunjung berakhir adalah persoalan keamanan. Pembunuhan, penembakan, dan peledakan bom dapat terjadi setiap saat sekalipun upaya peningkatan keamanan terus dilakukan.

Saat ini, diperkirakan lebih dari 20.000 pengungsi akibat konflik sosial di Poso masih berada di barak-barak pengungsian di Palu, Poso, dan Tentena. Tidak sedikit juga yang masih mengungsi di luar Sulteng, seperti di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Pulau Jawa.

Dipastikan, kehidupan para pengungsi itu berada di bahwa garis kemiskinan karena tinggal di rumah tidak layak huni, tanpa sumber penghasilan yang memadai, dan tanpa masa depan.

Untuk membantu para pengungsi, sebenarnya pemerintah pusat telah mengeluarkan beberapa bentuk program bantuan, seperti jaminan hidup, bekal hidup, rumah tinggal sederhana (RTS), dan bahan bangunan rumah (BBR). Selain itu juga terdapat program rekonsiliasi untuk Poso, yaitu sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Malino I tahun 2002.

Dalam pelaksanaannya, program-program itu dijalankan oleh Departemen Sosial dan Dinas Sosial Poso. Sedangkan dana rekonsiliasi dan dekonsentrasi dikelola oleh Pemprov Sulteng, Pemkab Poso, dan Kelompok Kerja Malino. Dana yang dianggarkan untuk semua program itu mencapai ratusan miliar rupiah.

Ironisnya, kata Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng Syamsul Alam Agus, sejak bantuan dana pengungsi bergulir, penyelewengan sudah terjadi. Pada tahap distribusi, penyelewengan semakin merajalela.

Dari penelitian yang dilakukan LPS-HAM Sulteng ditemukan sejumlah manipulasi penyaluran dana pengungsi. Dari dana bantuan jaminan hidup saja diperkirakan sebesar Rp 45 miliar lebih tidak disalurkan pada yang berhak.

Dari banyak kasus penyelewengan dana pengungsi itu, Polda Sulteng baru mengusut kasus penyimpangan dana jaminan hidup dan bekal hidup yang penyalurannya berlangsung dari Agustus sampai November 2004. Total dana pengungsi itu berjumlah Rp 2,1 miliar.

Terkait dengan kasus itu, Polda Sulteng menetapkan lima orang tersangka, yaitu Andi Makasau dan Ahmad Laparigi (tokoh masyarakat Poso), mantan Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Poso Anwar Ali, juru bayar Dinas Kesejahteraan Sosial Poso Elvis Lemba, dan Lurah Sayo.

Bahkan Kepala Polda Sulteng Brigadir Jenderal (Pol) Aryanto Sutadi menyatakan akan memeriksa juga semua pihak yang terkait dengan pengelolaan dana tersebut tanpa pandang bulu, termasuk Kepala Kepolisian Resor Poso Ajun Komisaris Besar Abdi Darma, dan Penjabat Bupati Poso Andi Asikin Suyuti.

Selain untuk rehabilitasi pengungsi, pemerintah juga memiliki program pemulihan keamanan. Pasca-Deklarasi Malino, pemerintah menggelar Operasi Sintuwu Maroso yang melibatkan ribuan polisi dan personel TNI.

Setiap operasi yang dilakukan membutuhkan dana miliaran rupiah. Anehnya, setiap operasi Sintuwu Maroso akan berakhir-misalnya Januari 2005-selalu muncul kekerasan baru. Operasi itu diperpanjang dengan mempertahankan atau menambah pasukan. Miliaran rupiah kembali mengalir.

Tidak berlebihan jika Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka Arianto Sangaji pun menyebut berbagai program bantuan pengungsi dan pemulihan keamanan yang dicanangkan pemerintah itu adalah proyek kekerasan.

Buktinya, ratusan miliar dana di balik program-program itu sama sekali tidak memberikan sumbangsih terhadap rehabilitasi pengungsi dan pemulihan keamanan. Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya, jeritan pengungsi dan kekerasan bersenjata terus terjadi di mana-mana, tidak pernah berhenti.

DI tahun 2004, konflik sosial antarwarga Poso yang berbeda etnis dan agama tidak pernah terjadi lagi. Warga Poso sudah lelah dengan yang namanya konflik walaupun provokator masih bertebaran. "Kami sudah kembali hidup berdampingan seperti sebelum konflik. Tidak ada lagi saling curiga satu dengan lainnya," kata Amir Faim, warga Poso yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil.

Harmonisasi sosial warga Poso memang sudah mulai tampak. Tanpa memandang agama dan etnis, interaksi warga di pasar-pasar, sekolah-sekolah, rumah sakit, dan tempat-tempat umum lainnya terjalin dengan alami.

Lalu lalang kendaraan umum dan pribadi di semua ruas jalan semakin ramai. Aura konflik masih terasa hanya karena banyaknya pos-pos pengamanan di beberapa tempat di Kabupaten Poso.

Namun, cerita sedih dari dampak konflik Poso ternyata masih belum berakhir. Dana kemanusiaan dan keamanan dijadikan sebuah industri penghasil uang. Lantas, bagaimana dan siapa yang harus menyelesaikan dampak konflik Poso yang merambat ke mana-mana itu?

Menurut Kepala Polda Sulteng Brigadir Jenderal (Pol) Aryanto Sutadi, berbagai dampak konflik Poso tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan keamanan, tetapi dari berbagai sisi, sosial, kerohanian, pemerintahan, hukum, ekonomi, dan berbagai aspek lainnya. Sayangnya, berbagai faktor itu sering diabaikan Pemprov Sulteng, misalnya tidak adanya pendataan penduduk Poso pascakonflik.

ANGGOTA Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sulteng M Ichsan Loulemba dan Arianto Sangaji mengatakan, Pemprov Sulteng dan Pemkab Poso terbukti tidak mampu menyelesaikan berbagai dampak negatif dari konflik Poso.

Hal itu disebabkan kentalnya kepentingan ekonomi dan politik para pejabat di lingkungan Pemprov Sulteng dan Pemkab Poso, termasuk kepentingan para pejabat di sektor keamanan.

Syamsul Alam Agus menambahkan, Pemprov Sulteng, Pemkab Poso, dan sejumlah aparat keamanan di Poso sudah menjadi bagian dari konflik itu. "Bagaimana mereka dapat menyelesaikan dampak negatif konflik Poso jika mereka adalah bagian dari konflik itu sendiri," katanya.

Oleh karena itu, Ichsan dan Syamsul Alam mengatakan, penyelesaian berbagai dampak konflik Poso harus dilakukan oleh semua institusi tertinggi di Indonesia yang dipimpin langsung oleh Presiden. "Presiden memiliki kapasitas, wewenang, dan kemampuan dalam menyelesaikan semua dampak negatif konflik Poso," kata Syamsul Alam. (REINHARD NAINGGOLAN)

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/toelehoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044