KOMPAS, Jumat, 15 April 2005
Anak Pengungsi Alami Diskriminasi
Ambon, Kompas - Anak-anak pengungsi yang tinggal di sejumlah lokasi
penampungan di Maluku mengalami diskriminasi dalam proses penyelenggaraan
pendidikan. Diskriminasi itu umumnya terkait dengan status mereka sebagai
pengungsi, ketidakmampuan membiayai pendidikan, hingga tindak kekerasan secara
fisik dan psikis yang dilakukan guru. Jika dibiarkan dikhawatirkan anak akan
menjadikan kekerasan sebagai bagian dari hidup mereka.
Persoalan tersebut terungkap dalam dialog antara beberapa siswa yang tinggal di
lokasi pengungsian dan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Maluku di Ambon, Kamis (14/4).
Diskriminasi itu umumnya didasari oleh alasan ekonomi, label pengungsi. Mereka
juga mengalami kekerasan fisik dan pengucapan kata-kata yang tidak pantas. Tindak
kekerasan tersebut terjadi hampir di semua tingkatan pendidikan.
Menurut pendamping anak- anak pengungsi dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (Lappan) Baihajar Tualeka, salah satu bentuk kekerasan itu adalah
banyaknya tugas sekolah sehingga mereka tidak mampu mengerjakannya. Di lokasi
pengungsian yang berdesakan, siswa sulit berkonsentrasi.
Tualeka menambahkan, intimidasi di antaranya berupa ancaman larangan masuk
sekolah jika terlambat membayar uang sekolah dan buku. Banyak siswa menunggak
uang sekolah 2-6 bulan.
Sebagian anak pengungsi harus membantu orangtua dengan bekerja sebagai penjual
makanan, pencuci mobil, hingga penjual kupon putih atau judi togel. Menurut psikolog
dari Yayasan Pulih yang mendampingi anak- anak di lokasi pengungsian, Vitria
Lazzarini, kekerasan yang terjadi pada anak-anak dalam proses pendidikan formal
dapat menimbulkan anggapan bahwa kekerasan adalah sesuatu hal yang wajar.
(MZW)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|