KEKERASAN AGAMA DALAM LINTASAN

SEJARAH MALUKU*

 

M. Shaleh Putuhena

 

Pendahuluan

Kerusuhan social (1999-2003) di Maluku yang melibatkan komunitas Salam (umat Islam Malauku) dan Sarani (umat Kristiani Maluku) mungkin tercatat sebagai kekerasan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah Maluku. Kerusuhan yang dapat disebutkan sebagai “kekerasan agama” terbesar karena meminta korban jiwa dan harta benda yang begitu banyak  merupakan puncak dari pristiwa serupa yang telah pernah terjadi dalam sejarah Maluku.

      Sejak awal perjumpaan agama-agama di Indonesia abad 16 dan 17 telah mulai terjadi kekerasan yang menyangkut umat beragama, meskipun didominasi oleh factor politik dan perdagangan. Agama sekedar menjadi factor penyertaan. Tampaknya factor-faktor dominan masih tetap berperanan dalam setiap kekerasan agama di Maluku, tetapi terlihat ada perbedaan nuansa dan karakter pada setiap peristiwa. Nuansa dan karakter itu perlu dipahami sebagai bahagian dari kesadaran yang perlu diamati.

      Memang, sejak eksistensi agama-agama besar dunia (Islam, Protestan, Katholik, Hindu, dan Budha) yang diperkenalkan oleh mereka yang berasal dari berbagai ras di Nusantara, masyarakat yang terdiri dari berbagai suku dan budaya itu berkembang menjadi makin pluralistic. Dengan begitu, masyarakat berpotensi untuk menimbulkan konfilk dan kekerasan manakala terjadi persentuhan antar unsur-unsur yang beragam itu. Maluku sebagai kawasan maritim memiliki potensi konflik yang lebih besar lagi. Kondisi yang menyebabkan Maluku menjadi masyarakat konflik itu sesungguhnya bersifat kodrati. Oleh karena itu konflik harus di tata sedemikian rupa sehingga tidak berkembang menjadi kekerasan.

      Di Maluku, sebagaimana tergamabar dalam sejarahnya, faktor agama sangat penting dalam pengelolaan konflik. Dengan jujur kita harus mengakui terjadinya kekerasan antara umat beragama, karena kekeliruan pemimpin umat dalam membina kehidupan keagamaan bagi umatnya masing-masing. Ketepatan nilai-nilai agama yang selama ini ditekankan dalam internalisasinya mungkin perlu ditinjau kembali. Sikap dan pandangan suatu umat terhadap umat lain perlu dikaji kembali keabsahannya dari agama yang kita anut. 

 

Faktor Agama dalam Kekerasan di Maluku

Dalam sejarah Maluku pernah terjadi rangkaian kanflik berupa kekerasan antara umat beragama, Salam vs. Sarani, disamping konflik internal yang sampai sekarang masih sering terjadi. Dalam memori kolektif masyarakat Maluku telah tercatat beberapa perlawanan masyarakat terhadap bangsa asing yaitu Portugis dan Belanda yang dapat dimasukkan dalam kategori kekerasan. Akan tetapi kekerasan itu sesungguhnya tidak disebabkan oleh agama. Hanya secara kebetulan melibatkan umat beragama, umat Islam dan umat Kristiani. Kekerasan politik terjadi di daerah yang dihuni oleh umat Islam dan dibawah hegemoni pemerintahan Islam (Sultan) melawan pendatang asing yang beragama Katholik (Portugis) dan Protestan (Belanda), sehingga masyarakat memahaminya sebagai konflik atau kekerasan yang bernuansa agama. Ada beberapa peristiwa perlawanan /perang yang melibatkan umat Islam dengan Katholik dan Protestan itu.

      Portugis yang telah tiba di Ternate pada 1512 untuk melakukan perdagangan cengkih, tidak dapat menahan nafsunya untuk campurtangan dalam urusan pemerintahan kesultanan Ternate dan menyebarkan agama Katholik di kalangan penduduk Muslim. Kedua peristiwa itu memicu kemarahan pihak kesultanan dan rakyat sehingga Portugis diserang. Pada 1531 kepala Portugis di Ternate dibunuh oleh anggotanya sendiri dengan bantuan orang Ternate. Karena itu Boheyat, putra mahakota ditangkap. Peristiwa itu memicu kemarahan para sultan yang tergabung dalam konfederasi Moluku Kie Raha (Perskutuan Empat Gunung/Kerajaan). Pada tahun 1534 terjadi serangan terhadap Portugis yang dipelopori oleh sultan Bacan diikuti oleh sultan lainnya. Meskipun Anthonio Galvao dapat memadamkan perlawanan itu dan mengakui sultan Khaerun (mem. 1535-1570), tetapi perlawan terhadap Portugis tetap berlanjut. Sultan Babullah (mem.1570-1583) tetap memusuhi Portugis itu menuntut balas atas pembunuhan ayahnya. Demikianlah, pada 1575, Portugis diusir dari Ternate ke Tidore. Tetapi pada 1583 Babullah ditangkap dan meninggal dunia ketika dalam perjalanan ke Goa (India).

      Penyebaran agama Katholik ditengah penduduk muslim di Ambon, Haruku, dan Saparaua kemudian di Ternate oleh Fansiscus Xaverius. Ia memulai misinya sejak 1546. Sebelumnya Kristenisasi di Ternate dilaksanakan oleh Simon Var yang sangat terkenal dengan katholisasi di Moro, Filipina Selatan. Tetapi ia terbunuh pada 1534(De Clercq 1890). Penyebaran agama Khatolik di kalangan umat Islam menimbulkan kemarahan para sultan, karena Islam pada waktu itu merupakan “nation” bagi kesultanan. Setiap warga harus beragama Islam . Mereka yang tidak beragama Islam tidak termasuk warga negara, tetapi penduduk yang dilindungi oleh negara kesultanan (kafir dzimmi) yang membayar upeti tahunan kepada sultan, berupa melaksanakan pekerjaan tertentu di istana dan meladeni keperluan sultan. Usaha pemurtadan dianggap oleh sultan sebagai pernyataan perang terhadap sultan.

      Akhirnya pada 1605, Potugis diusir dari Maluku oleh Ternate yang bekerja sama dengan Belanda (Protestan) yang telah tiba pada 1599. Hitu, di pulau Ambon yang mengakui kekuasaan Ternate ikut bekerjasama dengan Belanda untuk melawan dan mengusir Portugis dari Ambon sesuai dengan perjanjian 1603. Dengan keluarnya Portugis dari Ambon pada 1605, menandakan dimulainya babak baru bagi kekerasan agama dalam sejarah Maluku..

      Kehadiran VOC perusahan dagang  Belanda yang melancarkan perdagangan monopoli menimbulkan konflik baru dengan sultan atau umat Islam di Maluku. Dibandingkan dengan Portugis, VOC lebih mementingkan perdagangan dibandingkan dengan kristenisasi dikalangan umat Islam. Tetapi Kristenisasi di kalangan masyarakat Uli Siwa yang masih menganut kepercayaan lama, alifuru tetap dilaksanakan. Namun demikian VOC tetap lebih mementingkan perdagangan. Berbagai perjanjian yang dilakukan dengan sultan Ternate atau dengan para raja/  latu.memberikan hak mnopoli itu. Tetapi hak itu tidak dijalankan dengan mudah, karena rakayat lebih senang menjual cengkih dan palanya ke pedagang dari Makassar, Jawa, Spanyol, dan Inggeris.

      Adalah Jan Pieterszoon Coen, tokoh yang merobah poltik ekonomi VOC dari perdagangan menjadi penguasaan hasil perdagangan itu, pada 1621 menyerang Lontor (kepulauan Banda). Lontor dalah pusat perkebunan pala yang terbesar pada masa itu. Rakyat Banda dengan bantuan Sapanyol, Inggeris, dan Portugis berupa senjata, berusaha bertahan tetapi akhirnya menyerah kalah. Lebih dari 2000 penduduk terbuhun dan 47 orang kaya (kepala desa) ditangkap dan akhirnya dibunuh pula (Steenbrink, 1993: 61). Kepulauan banda menjadi kosong karena penduduk yang masih hidup terpaksa menyelamatkan diri ketempat lain seperti Seram dan kepulauan Key. Di Huamual, Seram Barat, rakyat lebih senang menjual cengkihnya kepada pedagang Makssar dan Jawa, karena harganya lebih mahal dibandingkan dengan menjualnya kepada VOC. Belanda menghukum rakyat Huamual dengan menebang cengkih dalam suatu gerakan hongi tochten, sesudah 1624. Tetapi rakyat tetap berjuang sehingga pada 1651 terjadilah penyerangan terhadap loji di Kambelo, Asahude, dan Lesside. Hanya loji di Luhu yang dapat dipertahankan Belanda (Sartono, 1987).  Di Hitu serangkain serangan terhadap VOC dilakukan oleh rakyat dibawah pimpinan Kakiali, yang kini menjadi pemimpin Hitu mengantikan ayahnya, Tepil. Pada 1941 diadakan penyerangan terhadap VOC. VOC balik menyerang benteng-benteng pertahanan Hitu, Pertahanan Wawane di Seith dipindahkan ke Kapahahadi di Morella. Tetapi akhirnya benteng itu ditaklukkan pada 1646(Sartono, 1987). Di Haruruku, terdapat perlawan yang terkenal dengan perang Alaka (1625-1637) dan di Saparua terjadi perlawanan yang disebut perang Iha (1632-1651).

      Dari rangkaian kekerasan tersebut dapat diidentifikasikan bahwa pada masa Portugis factor yang menonjol adalah politik dan penyiaran agama sedangkan pada masa VOC adalah politik dan monopoli perdagangan. Tetapi baik Portugis maupun VOC sama-sama menjalankan misi keagamaan yaitu Kristenisasi. Berbeda dengan islamisasi Nusantara yang dilakukan oleh pedagang dan muballig, jadi tanpa kekuatan politik, kristenisasi ditopang oleh kekuatan politik. Sebagaimana diketahui bahwa armada Portugis yang berlayar ke Nusantara disertai dengan kekuatan militer dan karena bermaksud untuk menaklukan dan menyerang terutama negeri-negeri Islam, sedangkan VOC meskipun merupakan perusahaan perdagangan tetapi mendapat kuasa dari pemerintah Belanda untuk menguasai daerah yang didatangi atas nama pemerintah. Campur tangan politik/pemerintah terhadap agama akan menimbulkan kekerasan. Dalam sejarah pengembangan Islam di Nusantarapun gejala ini nampak. Di Sulwesi Selatan, setelah raja Gowa menerima Islam pada 1605 dan diberi nama Sultan Alauddin ia mencoba menyebarkan Islam di kalangan raja-raja lainnya seperti Bone, Soppeng, dan Wajo. Tetapi karena mereka tidak mengikuti ajakan itu, maka sultan Gowa memerangi mereka . Peristiwa itu disebut musu asselangeng (perang pengislaman). Meskipun tidak berkembang menjadi kekerasan, Frederik De Houtman menceriterakan sendiri pengalamannya ketika  ia berada dalam penjara (1599-1601) di Aceh. Beberapa kali ia dibujuk oleh sultan Aceh untuk memeluk agama Islam dengan janji untuk dibebaskan dari penjara dan memperoleh posisi tinggi dalam kesultanan. Sampai dengan dikeluarkan dari penjara Frederik tetap menolak bujukan itu tetapi 5 anak buahnya memeluk agama Islam (Steenbrink, 1993: 12-13).

      Kekerasan yang terjadi pada permulaan 1999, tercetus akibat akumulasi berbagai factor penyebab yang lebih ruwet lagi dari sebelumnya. Faktor politik tampaknya masih memainkan peranan penting. Faktor agama berperanan sebagai mobilisasi umat untuk beraksi, penggunaan simbol-simbol sebagai motivasi umat untuk berpartisipasi dalam kekerasan. Berbeda dengan kekerasan sebelumnya kekerasan terakhir ini termasuk horizontal anara sesame umat beragama (Islam dan Keristen)

      Sesungguhnya jika penyebaran agama itu dilakukan oleh para muballig, misionaris dan zending semata, tidak akan terjadi kekerasan. Ketika Islam tiba di Maluku diterima dengan baik oleh sebahagian masyarakat yang tergabung dalam uli/pata lima, sedangkan kelompok masyarakat yang tergabung dalam uli/pata siwa  baru  menerima agama Katholik atau Protestan pada abad 16-17. Kedua kelompok masyarakat yang terdapat di seluruh kawasan maritim Maluku tidak pernah konflik karena perbedaan agama dan keyakinan. Pada masa awal penerimaan agama-agama di Maluku itu, seakan-akan terjadi saling pengertian, saling merelakan. Memori kolektif masyarakat mencatat bahwa ketika negeri Hulaliu di Hatuhaha yang termasuk kelompok lima dan sebelumnya beragama Islam, menerima Katholik. Tetapi ke empat negeri Islam lainnya, yaitu Ruhumoni, Kabau, Kailolo, dan Pelaw, tidak berkeberatan. Demikian pula halnya ketika sebahagian penduduk dari satu negeri seperti Iha, Mahu, dan Pia di Hatawano, kelompok uli lima di Saparua, konversi ke agama Katholik pada abad 16, sebahagian penduduk yang masih tetap Islam tidak berkeberatan. Malah untuk satu abad lamanya mereka hidup bersama dalam satu negeri atau uli, sampai dengan pemindahan mereka yang beragama Islam keluar Hatawano pada pertengahan abad 17. Malah keluarga yang telah menganut agama Katholik kemudian menjadi Protestan itu, kabarnya masih menyimpan peninggalam Islam di atas loteng rumah mereka. Sampai sekarang meskipun beda agama tetapi hubungan kekeluargaan masih tetap akrab  Masyarakat Tulehu masih mengingat peristiwa kembalinya seorang perempauan dari marga Nahumaruri ke kelurganya ketika penduduk negeri  suaminya, Waai dibaptis (oleh umat Islam Maluku dianggap dipercikkan air babi) sebagai pertanda menerima agma Katholik. Negeri Waai sebelumnya beragama Islam. Ia kembali karena suaminya telah berpindah agama. Namun keluarganya menyuruh kemabli ke Waai mengikuti agama suaminya.

     

Warisan Kolonial

      Sebagaimana telah dikemukakan bahwa keikut sertaan penguasa dalam urusan keagamaan seringkali menimbulkan masalah. Seberapa jauh keikut sertaan itu sangat tergantung dari politik dan pandangan terhadap agamanya atau agama lain. Portugis yang pernah dikuasai oleh Islam selama tujuh abad itu memandang Islam dan umatnya sebagai musuh yang harus dihancurkan dimanapun mereka berada. Oleh karena itu ketika Portugis tiba di Maluku dengan semangat reconquatadores itu mereka lebih mengutamakan usaha untuk memurtadkan umat Islam ketimbang giat dalam usaha perdagangan. VOC meskipun mendapat misi yang serupa dengan Portugis yaitu perdagangan dan penyebaran agama Protestan, tetapi perushaan dagang itu lebih mementingkan perdagangan. Oleh karena itu seringkali VOC digugat oleh pemimpin Gereja Protestan Belanda yang pada waktu itu memandang Islam sebagai agama berhala yang menyimpang dari kekeristenan. Karena itu perlu diluruskan. Sementara itu para sultan di Maluku yang ketika dilantik mendapat gelar dlillullah fil ardh (paying Tuhan di bumi) memposisikan dirinya sebagai pelindung agama dan umat Islam. Dalam posisi seperti itu mereka akan melawan usaha untuk memurtadkan warga negaranya. Penguasa Islam itu belum memahami agama Katholik dan Protestan. Pemerintah Indonesia secara formal menyatakan netral dalam soal agama dan memandang semua agama sama

      Pandangan pemerintah Portugis, Belanda, dan Pemerintah kesultanan sebagaimana digambar di atas telah mempengaruhi pandangan pemimpin-pemimpin Khatolik, Protestan, dan Islam yang akhirnya secara sadar atau telah mempengaruhi pula pandangan keagamaan umat masing-masing. Pandangan keagamaan yang telah kita terima sebagi warisan dari zaman colonial itu adalah memandang suatu agama lain sebagai musuh, sebagai lawan atau paling tidak sebagai pesaing, Dalam pandangan seperti itu yang nampak dipelupuk mata adalah perbedaan-perbedaan yang pada akhirnya bermuara pada sikap tidak adil terhadap agama lain dan umatnya. Tampaknya pandangan demikian mempengaruhi sifat kejiwaan umat beragama yaitu berupa kebencian terhadap umat agama lain; iri hati dan dengki ketika melihat umat agama lain maju; curiga pada pekerjaan umat agama lain. Sifat kejiwaan seperti itu telah memenjarakan kita dalam tembok-tembok eksklusifisme yang kokoh.

      Pada masa penjajahan dahulu pemerintah dan umat keristen memandang umat Islam sebagai warga negara kelas dua. Karena itu mereka tidak diberi kesempatan untuk mengecap pendidikan dan hanya sedikit di anatara mereka yang terlibat dalam pemerintahan. Di satu pihak umat Islam memandang umat Keristen sebagai kafir yang akan mendapat siksaan dari Tuhan kelak di akhirat. Seakan-akan mereka membagi dunia ini milik orang kafir, sedangkan akhirat milik umat Islam. Umat Islam sering mengidentikkan umat Kristiani dengan Belanda dan penjajah. Memang sebahagian umat Kristiani masih merindukan “zaman keemasan” itu.

       Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kehadiran bangsa Arab, Portugis, dan Belanda di Nusantara ini selain untuk berdagang, mereka juga berkesempatan untuk menyiarkan agamanya masing-masing dikalangan pribumi. Proses konversi agamamasih tetap berlangsung sampai sekarang. Tetapi ketika islamisasi atau kristenisasi ditujukan kepada umat dari suatu agama tertentu dapat menimbulkan masalah yang seringkali diselesaikan dengan kekerasan.

 

Introspeksi terhadap Pandangan dan Sikap Keagamaan

Dengan terjadinya kekersan keagamaan (1999-2003) yang lalu hendaknya mendorong  para pemimpin umat beragama untuk memikirkan kembali pandangan dan sikap keagamaan selama ini. Apakah pandangan dan sikap terhadap agama lain sebagai warisan sejarah masih relevankah. Lebih penting lagi apakah sikap dan pandangan seperti itu sesuai dengan ajaran agama yang kita anut?

      Pandangan terhadap agama lain sebagai musuh, lawan, dan saingan perlu dikaji kembali dengan pendekatan theologies bukan dengan pendekatan politis. Dari sudut pandang theologies, kemungkinan kita akan memandang suatu agama yang tidak kita anut sebagai mitra/partner.  

      Perlu dikaji ulang apa sebenarnya visi dan misi agama yang kita anut. Agama-agama besar yang dianut oleh masyarakat Indonesia, Hindu, Budha, Islam, Katholik, dan Protestan, jika tergolong agama profetis pasti mempunyai visi dan misi yang sama. Perbedaan agama-agama itu hanya terdapat pada waktu, pembawa agama, aspek-aspek formal, dan simbol-simbol yang digunakan. Selain perbedaan, agama-agama besar itu mempunyai persamaan terutama pada visi dan misi.

      Memang agama-agama Katholik, Protestan, dan Islam, termasuk agama dakwah yang wajib disampaikan kepada orang lain. Akan tetapi apakah mengislamkan atau mengkristenkan seseorang termasuk suatu kewajiban? Jadi berdosakah umat yang tidak sanggup mengislamkan atau mengkristenkan orang lain?

      Mungkin cara pembinaan umat untuk kehidupan keagamaan yang dilakukan selama ini perlu ditinjau kembali. Tidak dapat disangkal bahwa pembinaan umat selama itu ditekankan pada penguasaan pengetahuan agama (kognitif), sedangkan rana afektif dan psiko motorik diabaikan. Akibatnya adalah umat mengusai ilmu pengetahuan agama tetapi tidak melaksanakan. Selain itu pembinaan kehidupan keagamaan yang bersifat ritual tanpa mengetahui fungsinya bagi kehidupan pribadi dan masyarakat. Kitapun mendidik umat untuk menggunakan symbol-simbol keagamaan tanpa mengajarkan makna dari symbol-simbol itu. Lebih parah lagi adalah mengabaikan aspek-aspek moral dan spiritual. Umat harus dibina untuk memiliki kecerdasan inteketual, kecerdasan emosional dan spiritual atau kecerdasan moral. Umat harus dibina untuk beragama secara fungsional dengan tidak mengabaikan pembinaan formalnya.

      Program-program kerjasama social kemasyarakatan untuk tindakan-tindakan diakonia yaitu penanggulangan kebodohan, kemiskinan, dan kesehatan perlu dipertimbangkan. Program semacam ini selain untuk meningkatkan kualitas umat, tetapi juga untuk menjalin hubungan baik dan toleransi antar umat beragama. Untuk itu diperlukan adanya suatu forum kerjasama lintas agama.

      Semangat siwa-lima yang bersifat monodualistis sebagai pandangan dunia (world vieu) masyrakat Maluku perlu dikembangkan dalam bentuk Sarani-Salam sebagai satu kesatuan yang utuh. Jadi dalam satu Maluku terdapat Sarani-Salam yang tidak boleh dipisahkan. Dengan pluralisme sebagai rahmat Tuhan, kita bangun Maluku bersama-sama.

 

                                                                                        Ambon, 25 Pebruari 2005.

 

Daftar bacaan.

  1. De Clercq, Bijdragen tot de Kennis der Residensi Ternate, Leiden: E.J. Brill 1890.
  2. Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian Islam, Amsterdam: Atlanta GA, 1993.
  3. Sartono Kartdirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, jld I, Jakarta: Gramedia, 1987.

 

 

 

 

 

 

 

 



* Makalah untuk Seminar tentang Protestantisme yang diselenggarakan oleh panitia HUT Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Ambon pada 25-26 Pebruari 2005.