Memaknai Nation Bulding Dalam Dialektika Praksis

Protestantisme di Maluku[1]

 

                                                   John. Ruhulessin[2]

 

 

I

 

 

 

Topik yang akan saya bawakan  adalah mengenai “memaknai nation building dalam dialektika praxis protestantisme di Maluku”.   Ini bukan topik yang kecil. Nation building sendiri memiliki cakupan yang luas  (ideologinya, politiknya, ekonominya dan lain sebagainya,  begitu pula protestantisme, (doktrinnya maupun sejarahnya). Bagaimana kemudian memaknai nation building itu bagi proses dialektika praxis protestantisme?  Saya memahami dialektika praxis protestantisme bertautan dengan    sejauhmana protestantisme di Maluku memaknai kehadirannya selama 400 tahun,  merespon persoalan-persoalan  bangsa,  kemanusiaan dan kemasyarakatan? Apakah ia sungguh-sungguh memang fungsional dan produktif, ataukah sebaliknya ia telah kehilangan apa yang disebut sebagai psychological moral force,  yang membuatnya  mandul dan tidak berdaya apa-apa di Maluku. Saya rasa  cara yang paling manusiawi di usia 400 tahun ini untuk kita adalah,  mengevaluasi pemaknaan kembali protestantisme  itu.  Melalui paper kecil ini saya mencoba melakukan pemaknaan itu dengan berefleksi secara praxis. 

              Apakah protestantisme itu? Protestantisme secara hakikatnya adalah  suatu “gerakan reformasi”  Munculnya reformasi yang dipelopori oleh Luther dan Calvin abad ke-16 sebetulnya menandai sebuah perubahan mendasar yang terjadi di masyarakat Eropah baik dalam kehidupan keagamaan, politik maupun  kebudayaan. Reformasi yang dilakukan oleh kaum Protestan  -awalnya dari kata protes,  yaitu protes terhadap kemacetan keagamaan, politik dan kebudayaan ketika itu yang diawali oleh hegemoni Gereja Katolik, hegemoni para bangsawan dan hegemoni  sistem ekonomi yang didasarkan pada apa yang terkenal pada masa itu, yaitu sebuah corpus christianum.[3]  Reformasi gereja ketika itu bukan semata-mata suatu reformasi keagamaan, tetapi suatu kebutuhan untuk perubahan sosial secara mendasar  dan menyeluruh. Jangkauannya lebih luas dari sebuah reformasi kegerejaan. Barangkali bisa dikatakan bahwa protestantisme merupakan suatu arus balik dari perubahan masyarakat yang berada dalam sebuah kungkungan  masyarakat keagamaan yang bersifat otokratik. Apa arah atau cita-cita reformasi ketika itu tidak lain adalah sebuah masyarakat sipil dari kekuasaan negara agama yang mengatur segala bidang kehidupan, dan sebaliknya protestantisme ingin untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang demokratis.

          Ada  hal penting yang merupakan terobosan oleh gerakan reformasi terhadap kehidupan politik pada masa itu. Reformasi  Luther dan Calvin pada awalnya adalah sebuah gerakan reformasi keagamaan. Pada awalnya mereka melakukan prtotes-protes kepada cara kehidupan para rahib dan hirarkhi gereja. Karenanya dalil-dalil yang dikemukakan Luther samasekali tidak menyangkut persoalan-persoalan politik, tetapi dalil-dalil keagamaan dan dalil-dalil yang menyangkut kehidupan gereja. Namun kemudian, gerakan reformasi Luther dihalangi oleh kekuasaan dari Roma Katolik yang didukung oleh kekuasaan politik, bukan hanya kekuasaan grejawi, Luther kemudian meminta bantuan kaum bangsawan Jerman untuk mrnopang program reformasinya. Artinya mau tidak mau gerakan reformasing yang pada awalnya adalh gerakan keagamaan, harus menjadi suatu gerakan politik. Gereja harus dibebaskan dari hegeomi kekuasaan politik di Roma pada  masa itu. Untuk membuat sebuah gerekan reformasi gereja yang independent, otonom dan mandiri, gereja harus dibebaskan dari hegemoni politiknya dan dominasi negera atas gereja. Untuk maksud itu dia meminta dukungan keuatan politik lain, ia meminta bantuan para bangsawan Jerman untuk melawan dom,inasi poltitik dari orang-orang Italia. Tujuannya agar gereja betul-betul bisa dipulihkan, sebagai suatu lembaga keagamaan yang otonom., independen dan mandiri.[4]

 

 

II

 

 

            Salah satu masalah penting dan krusial dalam nation building kita  yakni ideologisasi berjalan paralel dengan mobilisasi politik. Agama dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politik demi membina kepentingan kekuasaan kelompok. Ketika itu terjadi maka disitulah terjadi ideologisasi agama. Begitu juga kebudayaan dalam proses nation building tidak lebih diposisikan sebagai legitimasi terhadap kekuatan politik khususnya yang sedang berkuasa. Akibatnya bidang-bidang hidup agama dan kebudayaan dalam proses nation building secara keseluruhan kehilangan otonomi dan kreatifitasnya. Ideologisasi semakin  parah dan malah amat berbahaya ketika agama dan kebudayaan menjadi mesin politik negara. Akibatnya masyarakat kehilangan sendi-sendi normative, agama dan budaya terancam mandul. Kalau ini yang terjadi maka nation building yang berasumsi bagi pembentukkan karakter bangsa dan perwujudan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan, melalui emansipasi rakyat akan sulit dicapai.

            Percaturan ideology dan agama sebetulnya merupakan gejala modern. Biasanya kritik agama terhadap ideologi didasarkan pada klaim masing-masing. Di satau sisi agama menekankan makna manusia dan kehidupan seutuhnya . Sedangkan ideology hanya berbicara mengenai status quo, bagaimana pempertahankan susunan politik serta kekuasaan yang ada. Sedangkan kritik ideology atas agama biasanya dilangsungkan dalam tuduhan bahwa agama terlalu abstrak, tidak operasional. Agama dianggap sebagai lembaga yang mengambang di masyarakat. Agama tidak memiliki jawab terhadap masalah-masalah masyarakat. Agama tidak bersangkutpaut dengan realitas social. Sebaliknya ideology dianggap memiliki jawaban atas persoalan-persoalan masyarakat.

                Hal ini terutama terjadi di negera-negara dunia ketiga malah terutama di negara-negara bekas  jajahan. Di era penjajahan, atau kolonialisme, kekristenan  menjadi alat kepentingan politik dan ekonomi penjajah. Agama dimanuipulasi demi tujuan-tujuan politik dan eknomi kolonial. Agama  termasuk protestantisme diletakkan di bawah subordinasi negara, subordinasi ideology dan politik. Akibatnya agama tidak memiliki fungsi kritis dan kontrol terhadap negara. Ketika Hiler, atau Nazi Jerman. Hitler memanipulasi agama demi tujuan-tujuan politik. Agama diletakkan di bawah subordinasi negara. Ada anggapan bahwa lutheranisme misalnya merupakan lahan yang subur bagi fasisme Hitler.

              Saya melihat  trend umum yang terjadi selama ini  yakni hubungan diantara keduanya, hubungan agama dan ideology  adalah hubungan yang saling mengkooptasi. Kooptasi agama atas ideeologi dan sebalinya kooptasi ideologi atas agama. Akibatnya buruk dan sangat sensitive.  Konflik Maluku yang panjang, tajam dan sensisitf  mungkin sekali karena hubungan yang saling terkooptasi itu.  Penghargaan yang setara terhadap keduanya belum dirumuskan secara baik. Saya tidak menyangkal bahwa protestantisme di Maluku  dalam hubungannya dengan gereja-gereja di Indonesia telah memiliki desain-desain besar. Dalam Dokumen DGI (1983) terkait dengan sumbangan pikiran untuk penyusunan GBHN, yang merupakan sumbangan gereja-gereja bagi bangsa dan pembangunan bangsa secara menyeluruh, menyebutkan antara lain:” bahwa tugas pokok gereja dalam hubungan dengan pemerintah dan negara dan masyarakat adalah turut menunjang sifat kejelataan dari pembangunan”. Dalam hubungan itu gereja perlu “ melengkapi diri dengan menjadi pelopor, pemberi contoh yang baik dalam pelaksanaan penghayatan dan pengamalan Pancasila mulai dari tingkat jemaat. Hanya dengan  kesungguhan  seperti ini gereja dapat memerangi ketidakadilan social serta pemerasan dan pemerkosaan hak-hal rakyatr dan martabat manusia terutama dikalangan rakyat miskin.”[5]

               Menurut hemat saya,  salah satu kebuntuan dan kemacetan protestantisme atau gereja protestan di Maluku adalah karena ia menghadapi isu-isu kemasyarakatan dan kebangsaan secara ideologis. Ini membuat gereja kehilangan daya kritis terhadap isu-isu kejelataan. Berbicara dan menerapkan sebuah gagasan teologi sebagai refleksi pada praxis pembebasan misalnya dengan acuan-acuan teologi pembebasan bisa dilihat subversif.  Fungsi dan peran kemasyarakatan gereja mesti terbingkai dalam kerangka ideology negara dan bukan ditimba dari dalam agama itu sendiri.

             Apa yang terjadi adalah, gereja atau malah agama menjadi pengaman ideology semata. Akibatnya gereja kehilangan kontak dengan masyarakatnya.   Negara  menjadi institusi yang sangat kuat mengapsorbsi semua elemen masyarakat ke dalam tubuhnya. Itulah mengapa kalau  kegiatan-kegiatan gereja atau agama,  malah acara-acara hari besar keagamaan seperti Natal misalnya  menjadi saluran pesan-pesan negara.  Tidak heran gereja merumuskan seluruh aksi dan tanggung jawab social politiknya melalui saluran-saluran formal.  Dengan kalimat lain, makna praktis dari prinsip-prinsip grejawi partisipasi dalam pembangunan bangsa akhirnya tidak lebih hanya sebagai cap dan menjadi kekuatan legitimasi pembangunan saja. Saya punya ketakutan, jangan sampai protestantisme atau agama-agama kehilangan daya protesnya, daya kritisnya hanya karena  perutnya kenyang, dan tidak peduli lagi dengan rakyat yang perutnya lapar.

             Apa yang tertuang di dalam GBHN, bahwa agama-agama meletakan kerangka landasan etik, moral dan spiritual bagi pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila, sebetulnya tidak lebih dari  agama-agama termasuk protestantisme  berfungsi meberi cap dan legitimasi terhadap sebuah proses pembangunan. Dan mungkin juga memberi legitimasi terhadap penyelewengan dalam proses pembangunan. Banyak elit agama termasuk elit protestan di negeri ini hanya menjadi bamper dari akibat-akibat buruk pembangunan, kalau ada konflik, atau penggusuran, elit agama atau agama-agama tampil ke depan. Sementara gagasan-gagasan pembangunan dicetuskan oleh elit dan institusi politik, dan bukan oleh agama-agama. Kalau pun dilibatkan hanya untuk didengar pendapatnya, syukur-syukur kalau pandangan-pendangannya diterima.

 

              Dalam hubungan itu,  maka kita perlu merumuskan hubungan diantara keduanya dalam arahnya yang baru. Hubungan yang saling terkooptasi antara agama dan ideology (politik)  harus diposisikan dan diarahkan dalam arahnya yang baru, yakni   bagaimana merelasikan keduanya dalam suatu arah  hubungan dialaktik sehingga keduanya dapat saling mengisi dan memaknai bagi  kemaslahatan bangsa dan kemanusiaan. Artinya bagaiamana merelasikan  keduanya kepada kepedulian etis. Sehingga baik gagasan-gagasan nation building (ideology, politik) maupun gagasan-gagasan protestantisme di Maluku (doktrinnya, etikanya) harus  membingkai suatu perspektif etika dan tanggung jawab publik yang menyejahterakan dan memakmurkan rakyat, masyarakat, bangsa dan negara.

              Karenanya  protestantisme di Maluku harus direvisi. Desakan untuk merevisi protestantisme mesti diletakkan  dengan lebih fundamental, dan tidak sekedar sesuatu yang parsial. Revisi harus bersifat paradigmatic; menyangkut apakah protestantisme dan untuk apa protestantisme itu? Apakah agama dan untuk apa agama itu? Kalau tidak ia akan menjadi sejarah masa lalu, dan tidak actual dan aplikabel untuk masa kini dan masa depan. 400 tahun protestantisme di Indonesis, khususnya di Maluku, ketika Injil di tanam, apa buahnya?[6] Yang harus dilakukan adalah merumuskan arah baru protestantisme di Maluku. Fungsi dan peran agama-agama termasuk Protestantisme mesti lebih dari sekadar memberi legitimasi etik, moral dan spiritual, ia harus berfungsi sebaga kekuatan kontrol. Ia harus memiliki jarak kritis dengan kekuasaan. Ia harus mengungkap apa yang salah dari pembangunan bangsa. Ia harus membingkai sebuah gerakan reformasi moral dan cultural untuk sebuah tatanan masyarakat yang lebih bersatu, berkedamaian, berkeadilan, berkesejahteraan serta menjunjung tegaknya harkat dan martabat manusia.

               

 

III

 

 

Sejarah mencatat bahwa munculnya nasionalisme Jerman bersaing dengan nasionalisme Italia dan Prancis pada masa itu. Italia, Spanyol dan Perancis adalah negara Katolik yang sangat berkepentingan dengan tegaknya hirarkhi gereja. Sedangkan Luther di pihak lain harus mencari suatu gagasan teologis untuk kepentingan kebebasan warganya. Paham teologi ketika itu adalah, gereja menjadi posisi menengah atau intermediasi antara manusia dengan masyarakat dan Tuhan. Artinya manausia dan masyarakat tidak bisa sampai kepada Tuhan  kalau tidak melalui penengah (gereja) itu. Luther tidak membuang gagasan intermediasi ini, namun ia ingin mencari gagasan kebebasan manusia tanpa penengah. Jadi kebebasan manusia harus merupakan kebebasan langsung.

                Hal ini sebetulnya merupakan suatu gagasan keagamaan yang biasa saja, tetapi ia mempunyai implikasi politik yang besar, karena di sana bukan saja institusi agama tetapi juga institusi politik. Karena kebebasan dari masyarakat yang dihalangi oleh institusi politik dan keagamaan itu harus ditranformasi, agar kebebasan itu bisa berlangsung. Gagasan yang pokok disisini adalah manusia itu bebas. Ini juga bisa dilihat sebagai awal munculnya gagasan demokrasi yang dibingkai oleh reformasi itu. Artinya Calvin maupun Luther sebetulnya sangat mementingkan bahwa agama harus dibebaskan dari hirarkhi, dibebaskan dari subordinasi politik dan hirarkhi keagamaan. Hal ini berarti  pula   kekuasaan gereja mengalami desakralisasi. Artinya baik hirarkhi Katolik maupun hirarkhi kekuasaan politik diruntuhkan. Yang pokok di sini pada waktu itu adalah munculnya protestantisme sebetulnya  membingkai lahirnya sebuah proses desakralisasi politik dan desakralisasi gereja.

              Saya melihat gagasan desakralisasi gereja atau agama, tidak harus diartikan gereja atau agama kehilangan kesucian dan kekudusannya. Kesucian atau kekudusan adalah fakta tidak terbantahkan dari kenyataan agama  atau gereja itu pada dirinya.  Yang pokok ketika kita bicara mengenai desakralisasi agama atau gereja dikandung maksud, bagaimana pemahaman mengenai kesalehan agama atau gereja itu sekarang dalam konteks masyarakat plural  sebagai sebuah fakta dan kesadaran masyarakat dan kemanausiaan. Bukankah dalam banyak kasus, kasalehan dari setiap agama sering merupakan negasi terhadap  fakta kemajemukan agama? Kalau pilihan kerjasama dan dialog agama-agama merupakan keniscayaan kemanusiaan, maka pilihan bagi agama-agama termasuk protestantisme di Maluku adalah, mesti menggagas sebuh tafsir baru kesalehan keagamaannya.  Tafsir baru itu dimaksudkan pada bagaimana model atau format keberagamaan sebagai praxis social dan kesalehan sebagai praxis kemanusiaan. Hidup keberagamaan atau emansipasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan sangat tergantung pada fungsi social dan kemanusiaan itu. Disini sekali lagi kepedulian dan tanggung jawab etik daripada agama atau protestantisme semakin menjadi penting.

              Ada  2 ciri gerakan reformasi yang menonjol  ketika itu. Pertama;  gagasan Calvin mengenai dosa merupakan benih yang sangat penting untuk menyususn sebuah gagasan mengenai negara dan masyarakat. Manusia  atau negara dianggap tidak sempurnah, berdosa, maka kontrol diperlukan. Karena keterbatasan manusia, keterbatasan negara karena dosa, kritik dan kontrol penting. Saya melihat gagasan Reinhold Niebuhr check and balances dalam realisme Kristennya mungkin penting bagi protestantisme di Maluku untuk mengemban amanat pelayanannya dalam nation building saat ini.  Kasih harus mengisnpirasi gereja untuk tidak saja melakukan pelayanan kasih secara pasif, tetapi juga aktif, bagaimana gereja berani membuka aspek-aspek destruktif yang menindas rakyat dalam gagasan-gagasan pembangunan bangsa. Kasih adalah guidance prinsiple yang harus menolong gereja untuk mengungkapan komitmen keberpihakannya pada rakyat, pada agama-agama untuk kemaslahatan manusia seutuhnya. Gereja harus berani mempersoalkan sejauhmana Pancasila sebagai ideology mampu membuka aspek-aspek ketidak adilan dalam nation building.

 Kedua,  pada umumnya perbedaan jemaat protestan dan katolik didasari pada perbedaan otonomi dan independensi terhadap hirarkhi gereja yang sangat besar. Setiap jemaat protestan memiliki kedaulatan pada dirinya untuk memutuskan apa yang dianggap baik, dan ini kadang-kadsang disebut sebagai basis demokrasi bagi sebuah masyarakat. Karena adanya otonomi masyarakat yang memberi peluang untuk memutuskan sendiri tanpa harus disubordinasi oleh kekuatan  hirarkhi di atasnya.

                 Bagaimana pengalaman protestantisme  secara khusus GPM di Maluku selama 400 tahun ini? Menurut hemat saya, salah satu pergulatan gereja saat ini adalah, bagaimana ia keluar dari kesibukan dirinya sendiri dan kesibukan kelembagaannya. Kebutuhan bagi gereja untuk beriman dan menata dirinya, mengharuskannya membutuhkan kelembagaan. Akan tetapi kelembagaan, atau birokrasi bisa membuat gereja terperangkap dalam apa yang disebut Weber sebagai “kerangkeng besi”, yang membuat gereja mengalami fragmentasi,  kehilangan komitmen, serta kehilangan keberpihakan dan tanggung jawab social, serta kebangkrutan kepedulian moral dan etika.    Bagaimana pola organisasi kita,  atau gagasan ekklesiologi? Atau teologi? Menurut hemat saya 400 tahun  waktu yang cukup lama bagi protestantisme  di Maluku untuk mengevaluasi diri, berefleksi, mencari dan memperkaya khasanah kehidupan keberagamaanya dengan tradisi-tradisi agama lain dan dari tradisi-tradisi budaya untuk arah pemikiran teologinya, etikanya, misiologinya dan eklesiologinya.

            Kelihatannya ciri Calvinisme yang ditanam tidak menyentuh aspek fundamental dari Kekristenan di sana. Yang kelihatan dominan hanya pada soal peraturan, ajaran, kelembagaan, mungkin juga cara berpakaian, namun bagaimana kekristenan itu sebagai sebuah kekuatan transformasi dan aspek-aspek etik kurang menonjol. Kalau pun ada, tidaklah fundamental. Agaknya kepentingan kolonialisme jauh lebih kuat ketimbang Kekristenan itu sendiri. Kelihatannya tujuan dan orientasi awal pembentukkan masyarakat Kristen atau pembentukkan protestantisme di sana lebih diarahkan untuk membangun loyalitas kepada penguasa kolonial dan bukan  bagi kepentingan kekristenan atau protestantisme sebagai suatu kekuatan perubahan social. Kepentingan pilitik dan perdagangan lebih dominan ketimbang kepentingan agama.[7] Hal senada dikatakan pula oleh de Jonge, bahwa sejak VOC dibubarkan tahun 1799, Kekristenan mengalami kondisi yang buruk. Tidak ada pendeta yang bersedia datang melayani di Indonesia.[8]            Fakta sejarah  seperti itu seharusnya mendesak kita untuk memulai mendesain arah perubahan. Bukan perubahan yang parsial, tetapi perubahan yang lebih fundamental. Mengapa desakan pembaharuan itu  begitu penting dan medesak, karena konteks kita di Indonesia adalah konteks pluralisme,  baik pluralisme masyarakat maupun pluralisme agama. Permasalahan-permasalahan Eropah yang membingkai lahirnya protestantisme tentu saja berbeda, sehingga  kategori-kategori permasalahan politik, ideology, keagamaan dan kebudayaan  dan solusi terhadap persoalan-persoalan pun  berbeda. Artinya bahwa protestantisme di Indonesia dan khususnya di Maluku harus melakukan pengkayaan dalam tradisi pemikirannya. Hal itu dapat ia lakukan dengan  menjadikan Indonesia, nation building, pluralisme  sebagai konteks berteologinya. Mempertanyakan apa makna Indonesia, makna nation building, makna pluralisme bagi kemanusiaan bersama di Maluku dan di Indonesia.

              Artinya upaya pembaharuan harus menolong dan memberdayakan Protestantisme di Maluku keluar dari kebuntuannya untuk menjadi kekristenan yang bermakna  dan menemukana makna kehadirannya dalam konteks masyarakatnya. Gereja-gereja protestan di Maluku dan di Indonesia harus menemukakan kembali masyarakatnya dalam konteks sejarahnya, kebudayaannya dan keagamaannya. Artinya protestantisme yang bertumbuh dan berkembang melalui pelibatannya secara kritis, kreatif dan konstruktif dalam proses-proses transformasi social. Gereja atau protestantisme harus mengalami pemaknaan social dalam realitas social di mana masyarakat menjadi subyek yang dinamis dan bersama dengan masyarakat gereja merumuskan transformasi social. Gereja seperti itu akan menjadi gereja yang menghayati dan proses hubungan-hubungan baru yang membingkai kesadaran baru masyarakat dengan seluruh sejarah, kebudayaan dan keagamaannya. Hubungan-hubungan baru seperti itu harus selalu ditransformasikan oleh gereja, agar ia menjadi psycholological moral force yang menggairahkan sebuah  arah perubahan dan dunia publik yang lebih luas, sehingga apa yang ia lakukan berimplikasi bagi sebuah arah nation building yang baru, yang lebih berpihak pada  rakyat, keadilan dan kemakmuran serta kesejahteraan.

 

Beberapa daftar buku:

  1. Ernst Troeltsch, “Protestantism and Progress”,  ( The Significance of Protestantism for the Rise of the Modern World), Philadelphia, 1986
  2. George H Williams, The Radical Reformation, Philadelphia, 1962
  3. Sumartana, Th. “ Protestantisme dan Demokrasi” dalam Masyur Amin dan Nadjib M, Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial, Yokyakarta, LKPSM, 1993
  4. Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme, Jakarta BPK Gunung Mulia, 1998
  5. Muller Kruger Th. Sejarah Gereja di Indonesia, Jakarta BPK Gunung Mulia, 1966.


[1] Disampaikan pada HUT GPI ke 400 di Ambon, 25-26 Pebruari 2005

[2] Dosen Fakultas Theologi Universitas Kristen Indonesia Maluku

[3] Dalam corpus christianum, seluruh aspek kehidupan masyarakat dipadukan menjadi satu kesatuan. Segala bentuk kegiatan masyarakat seperti perdagangan, gilda, kongsi dagang saat itu memang sangat erat  terkait dengan aspirasi primordial keagamaan, yang menyatu dengan aspirasi keagamaan. Gereja Katolik juga memiliki akses ekonomi yang amat besar, dan juga dalam mengatur pedagang-pedagang dari Eropah pada masa itu. Ekspansi pedagang-pedagang Portugis dan Spanyol pada abad ke 15 ke Eropa maupun ke Asia tidak bias dilepaskan dengan kepentingan ekonomi gereja. Karena ada semacam semangat yang disebut Corpus christianum ini, maka kepentingan gereja menyatu dengan kepentingan perdagangan dan politik dari negera-negara besar di Eropa. (Th. Sumartana, “Protestantisme dan Demokrasi” dalam  Masyur Amin dan Nadjib Muhammad, (Ed) Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial, Yokyarta, LKPSM, 1993)

[4] Sumartana, Ibid.

[5] Dokumen ini diambil dari Weinata Sairin, Pemilu, GBHN dan Visi  Sosial Kemasyarakatan: Perspektif gereja-gereja di Indonesia, (Jakarta: 1988, h. 59).

[6] Secara histories sejak awalnya Kekristenan di Maluku sangat dipengaruhi oleh Calvinis. Kegiatan-kegiatan VOC di bidang agama dan kebudayaan didasarkan atas pemahaman Calvinis yang tertiang dalam pasal 36 Pengakuan Iman Belanda, tentang apa yang wajib dilakukan oleh pemerintah Kristen., melindungi  gereja dan memajukan agama yang benar yaitu agama Gereformerd. Hal itu  otomatis sangat mempengaruhi penanganan gereja oleh pemerintah VOC. Gereja di Maluku dianggap sebagai  tiruan dari gereja Belanda, dan dijadikan bagian gereja induk di Belanda. Menurut de Jonge, pada zaman VOC gereja yang didirikan adalah gereja Calvinis. Berbeda dengan gereja-gereja yang berada di luar Ambon dan pulau-pulau sekitarnya. Artinya hanya di Ambon gereja Kristen yang sungguh-sungguh Calvinis, yang terbentuk dalam kehidupan rakyat pribumi. Terdapat di sana  pendeta-pendeta pribumi, ada pembinaan melalui katekisasi , dan ada  pula sekolah-sekolah, ( Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998)

[7] Muller Kruger misalnya mengatakan, hingga akhir abad ke 19 kondisi Kekristenan di Maluku sangat memprihatinkan. Orientasi Zendeling tidak terarah pada pertimbuhan jemaat. Pendeta tidak ditempatkan pada posisi penting ketimbang para Zendeling. Yang penting menjadi Kristen, dan mengabaikan proses pertimbuhan. ( Th Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, Jakarta: BPK, 1966).

[8] Christian de Jonge, ibid.