Radio Vox Populi [Ambon], 19-Apr-2005
Kertas Posisi The Baku Bae Peace Movement
19-Apr-2005, The Baku Bae Peace Movement
Kertas posisi “the baku bae peace movement”situasi Ambon menjelang 25
April 2005
A. Pendahuluan
Ambon hari ini adalah sebuah kota yang berada dalam situasi serba relatif. Artinya,
secara visual terlihat kehidupan kota cukup normal dan cenderung makin menuju
kepada keteraturan. Namun dalam situasi positif tersebut, terdapat sentimen
psikologis yang sulit diprediksi, apa yang akan terjadi pada hari-hari yang akan
datang.
Sebenarnya, periode konflik dan post-konflik 1999-2004 telah menjadi situasi yang
traumatik dan melelahkan. Sebab itu ketika memasuki tahun 2005, publik Ambon
mempunyai harapan bahwa tahun yang baru ini akan berlangsung lebih baik dari
tahun yang lalu-lalu. Masyarakat berharap tahun 2005 akan ditandai dengan suatu
tatanan kehidupan yang lebih harmonis.
Harapan masyarakat akan datangnya era baru tersebut, boleh dikata hampir menjadi
kenyataan. Seluruh aktivitas masyarakat dan pemerintah berlangsung secara baik.
Pasar-pasar tradisional semakin bergairah. Lalulintas manusia, barang dan jasa
semakin lancar di darat, laut dan udara. Perkantoran pemerintah dan swasta makin
sibuk, lembaga-lembaga pendidikan makin terbuka, aktivitas seni dan olahraga pun
mulai hidup kembali. Sulit dipercaya bahwa dalam situasi yang makin terkondisi ini,
terdapat kerawanan yang tidak dapat dipandang remeh.
Sejak akhir tahun 2004 sampai Maret 2005, terdapat sejumlah insiden yang
mengganggu ketenangan dan keamanan masyarakat di Ambon. Beberapa insiden
bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Beberapa kasus dapat segera terungkap
jelas namun beberapa kasus lainnya tidak terungkap secara jelas sehingga
menimbulkan berbagai pendapat spekulatif. Insiden-insiden tersebut cukup provokatif
dan menjadi ancaman bagi upaya rekonsiliasi masyarakat.
Memang, sampai sejauh ini, masyarakat masih memiliki ketahanan yang kuat dalam
menyikapi kasus-kasus tersebut sehingga tidak terjadi konflik yang meletus dan
melibatkan massa secara luas, sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Namun dengan melihat kecenderungan berkembangnya usaha-usaha provokasi, patut
diasumsikan bahwa bila tidak terdapat penguatan masyarakat secara sistematis,
maka daya tahan masyarakatpun terancam jebol. Diperlukan usaha terus-menerus
sebagai bentuk counter terhadap provokasi dalam bentuk apapun supaya tragedi
kemanusiaan di Ambon tidak terulang kembali.
B. Beberapa fakta dan opini
Dalam situasi Ambon saat ini, terdapat beberapa fakta yang penting untuk dicermati
karena merupakan satu rangkaian yang turut berpengaruh terhadap situasi Ambon
secara keseluruhan.
Catatan tiga bulan terakhir ini menunjukkan kejadian-kejadian yang sempat mengusik
ketenteraman warga Ambon. Bermula pada 3 Februari 2005, sebuah bom meledak di
Ruko Batumerah Kecamatan Sirimau. Esoknya, 4 Februari, sebuah bom meledak di
lapangan bola Benteng Atas Kecamatan Nusaniwe. Dua hari kemudian, 6 Februari,
terjadi penembakan di Dusun Waitatiri, Desa Suli, Kecamatan Salahutu Kabupaten
Maluku Tengah. Esoknya, 7 Februari, kapal cepat KM Lae-Lae 7 ditembak di perairan
Pulau Buru.
Pada tanggal 15 Februari, Café Villa di Desa Hative Besar Kecamatan Teluk Ambon
Baguala diberondong tembakan dari laut. Lantas pada 5 Maret, sebuah granat
dilempar depan Gereja Sejahtera di Desa Lateri, Kecamatan Teluk Ambon Baguala.
Hal serupa terjadi 21 Maret di Desa Batumerah Kecamatan Sirimau. Dua hari
kemudian, 23 Maret, SMU 11 di Galunggung Batumerah, diberondong peluru. Tak ada
korban jiwa namun kasus ini membuat para siswa menjadi begitu takut.
Selain rentetan kejadian tersebut, di Ambon beredar pula berbagai isu penyerangan.
Di kalangan warga Kristen, muncul kembali isu penyerangan yang akan dilakukan
warga Muslim. Ternyata isu sebaliknya juga terjadi di kalangan warga Muslim Ambon.
Mereka diterpa isu bahwa warga Kristen akan melakukan penyerangan. Untunglah
bahwa warga Ambon tidak langsung menelan mentah-mentah isu-isu tersebut.
Mereka saling mengkonfirmasi sehingga isu-isu tersebut dapat ditepis dan tidak
berpengaruh.
Dari beragam kasus tersebut, maka kasus pengibaran bendera RMS dan
penyerangan yang terkesan kuat dilakukan oleh orang-orang merupakan kasus yang
dominan.
1. Pengibaran bendera RMS
Ketika kapal pesiar MV Ch. Columbus singgah di Pelabuhan Ambon, sejumlah warga
mengibarkan bendera RMS di Desa Hative Besar Kecamatan Teluk Ambon Baguala.
Mereka ditangkap polisi dan kini sedang dalam proses hukum. Pengibaran bendera
RMS ini dipicu oleh isu yang berkembang bahwa kapal tersebut membawa Pimpinan
Front Kedaulatan Maluku (FKM) Alex Manuputty.
Pengibaran bendera RMS menjadi alasan bagi aparat keamanan untuk tetap pada
pendirian bahwa FKM dan RMS merupakan sebuah gerakan yang harus diwaspadai
secara serius. Sebab itu pula, menjelang HUT RMS 25 April 2005, aparat keamanan
mengkonsolidasikan kekuatan untuk menghadapi berbagai kemungkinan,
sebagaimana yang pernah terjadi tanggal 25 April 2004. Kepolisian daerah Maluku
lantas menyiapkan operasi yang diberi sandi Operasi Merah Putih Mutiara.
Pengibaran bendera RMS juga telah membangun opini dalam masyarakat bahwa
satu-satunya faktor ancaman bagi keamanan di Maluku adalah aktivitas FKM dan
RMS sehingga faktor-faktor lain sangat mungkin diabaikan. Mantan Kasum TNI AD
Suaedi Marasabessy saat ini sedang berkeliling Ambon, Buru, Seram dan sekitarnya.
Dia selalu menyebutkan gangguan keamanan yang ada di Ambon saat ini adalah ulah
FKM-RMS.
Di Ambon sendiri, secara umum terdapat dua pandangan yang berbeda tentang
FKM-RMS. Di kalangan warga Kristen yang mengetahui persis kekuatan FKM,
situasi menjelang 25 April tidak dianggap sebagai sesuatu yang sangat berbahaya.
Sebaliknya di kalangan warga Muslim, citra FKM sebagai gerakan separatis dan
penyebab kerusuhan di Ambon sangat kental. Sebab itulah warga Muslim lebih reaktif
dan sangat serius bahkan fanatik sekali dalam menyikapi keberadaan FKM.
2. Penembakan misterius
Dalam tiga bulan terakhir ini, terdapat kasus-kasus penembakan dan pelemparan
granat yang cukup meresahkan. Tercatat KM Lae-Lae 7 yang berlayar dari Buru ke
Ambon ditembak dari laut, Cafe Villa di Hative Besar ditembak dari laut, granat
diledakkan di Lateri dan terakhir juga diledakkan di Batumerah. Empat kasus
tersebut, menurut Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Pulau Ambon dan Pulau-Pulau
Lease AKBP Leonidas Braksan maupun Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Maluku
Brigjen Adityawarman, pelakunya orang terlatih dan menggunakan senjata dan bahan
peledan standar. Keduanya mengaku sudah mengetahui otak pelakunya, namun
kenyataannya hingga kini kasus-kasus tersebut belum terungkap sama sekali.
Kasus-kasus ini telah menimbulkan opini dalam masyarakat bahwa orang-orang
terlatih tersebut adalah militer. Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam)
XVI/Pattimura Brigjen Syarifudin Sumah membantah aparat TNI AD menembak rakyat
karena tentara bertugas mengamankan rakyat.
Namun dalam sebuah pertemuan tertutup dengan pimpinan umat beragama
masing-masing Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku Drs Idrus Toekan, Ketua
Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) Pdt Dr I.W.J. Hendriks dan UskupDiosis
Amboina Mgr P. C. Mandagi MSC, ternyata Syarifudin Sumah mengakui bahwa di
Maluku terdapat satuan intelijen yang tidak berada dalam komandonya. Atas dasar
informasi inilah, pimpinan umat beragama berangkat ke Jakarta, pertengahan Maret,
menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kepada wakil presiden, tokoh-tokoh agama
mendesak pentingnya penguatan aparat keamanan di Maluku namun tetap berada di
bawah kendali pangdam.
Pengakuan Pangdam Syarifudin Sumah tersebut, olpsekaligus membuktikan
kebenaran asumsi teoritis yang disampaikan pengamat militer Indonesia Andi
Widjajanto yang dalam diskusi publik oleh IKV dan Tim Advokasi untuk Penyelesaian
Kasus (Tapak) Ambon di Jakarta, Juli tahun 2004, bahwa terdapat satuan intelijen
yang beroperasi di wilayah konflik di Indonesia. Mereka ahli dalam menciptakan teror
maupun menghentikan teror dan berada di luar kendali panglima TNI, bahkan presiden
sekalipun.
3. Pengusutan berbagai kasus
Kasus-kasus penembakan misterius dan pelemparan granat tersebut di atas telah
mengindikasikan secara kuat keterlibatan aparat militer di luar komando resmi.
Namun prasangka tersebut sampai sejauh ini menjadi tidak terbukti secara hukum
karena aparat kepolisian di Maluku terkesan tidak bekerja maksimal. Untuk
kasus-kasus penting dengan indikasi keterlibatan militer, belum ada satu pun
tersangka yang ditahan. Terkesan bahwa kepolisian segan membuka secara
gamblang kasus seperti ini karena harus berhadapan dengan kekuatan militer yang
tidak dapat dipandang remeh.
Situasi ini berbeda ketika polisi mampu mengungkap pengibaran bendera RMS di
Desa Hative Besar, penembakan Ismail Pellu di Waitatiri Desa Suli, dan pembunuhan
Paulus Wemay di Desa Tulehu. Ketiga kasus ini sangat cepat terungkap sedangkan
penembakan KM Lae-Lae 7, Cafe Villa, pelemparan granat di Lateri dan Batumerah,
masih menjadi misteri.
4. Penanganan pengungsi
Masalah pengungsi (IDPs) di Maluku sampai sejauh ini terus dilakukan oleh
pemerintah. Namun sejauh ini, penanganannya terkesan sangat semrawut sehingga
data selama beberapa tahun, persoalan pengungsi tidak pernah tuntas. Sampai saat
ini, para korban konflik tahun 1999-2004 masih hidup di kamp-kamp pengungsi. Di
Ambon masih terdapat 2.772 kepala keluarga yang belum ditangani. Ada yang
menghuni gedung-gedung milik pemerintah, pertokoan, gudang, dan sebagainya. Ada
banyak pengungsi sudah ditangani, namun ada pula pengungsi yang sama sekali
belum mendapat bantuan dari pemerintah. Padahal, pemerintah sudah menentukan
deadline bahwa seluruh urusan pengungsi bakal selesai pada akhir 2005.
Masalah pengungsi merupakan masalah kemanusiaan namun tetap mempunyai
hubungan dengan situasi keamanan karena secara psikologis, mereka yang hidup di
barak-barak pengungsian masih berada dalam suasana traumatik dan gampang
terprovokasi oleh beragam isu yang beredar di tengah masyarakat. Kebanyakan
mereka terkonsentrasi menurut komunitas agama, sehingga isu-isu yang beredar pun
kerap menyinggung sentimen agama. Dengan demikian, selama para pengungsi
masih hidup di barak-barak darurat, maka mereka pun menjadi salah satu sumber
kerawanan.
C. Saran
Dalam situasi tersebut di atas, maka pertanyaan kritis yang dapat diajukan adalah
apa yang harus dilakukan untuk mencegah meletusnya konflik baru di Ambon ? Dari
berbagai diskusi dengan beberapa kalangan independen di Ambon, didapat beberapa
masukan bahwa semua elemen pemerintah dan masyarakat perlu melakukan
upaya-upaya pencegahan konflik secara simultan :
1.. Pemerintah perlu menuntaskan penanganan pengungsi secara baik sehingga
semuanya tertangani dan selesai dalam waktu secepatnya. Penanganan pengungsi
yang berlarut-larut dan tidak kunjung selesai dapat menjadi sumber potensi konflik.
2.. Aparat keamanan perlu melakukan tugasnya secara profesional sehingga dapat
mengambil langkah-langkah preventif. Dalam hal ini, fungsi intelejensi perlu
dimaksimalkan karena selama ini intelejensi dirasakan sangat lemah. Selain itu,
aparat kepolisian dituntut mengusut dan mengumumkan secara gamblang otak di
balik berbagai aksi teror di Ambon supaya masyarakat tidak saling mencurigai.
Dengan demikian, semua pihak yang melanggar hukum dapat ditindak tanpa pandang
bulu karena penegakan hukum akan memberikan rasa adil dan kepercayaan kepada
perangkat hukum.
3.. Para pemimpin umat beragama diharapkan terus membina umatnya supaya tidak
terjebak dengan penggunaan simbol-simbol dan sentimen agama yang mengarah
kepada pertentangan dan konflik.
4.. Media massa diharapkan memberikan informasi yang akurat tentang berbagai
kasus dan turut mengembangkan jurnalisme damai (peace journalism) sehingga tidak
ikut menyulut konflik seperti yang pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
5.. Warga masyarakat di Ambon perlu dibantu dengan berbagai pendekatan,
sedemikian mereka dapat membangun kembali solidaritas tradisional (pela-gandong)
yang akan memperkukuh ketahanan lokal.
6.. Segenap elemen pemerintah dan masyarakat perlu mengkaji kembali keberadaan
FKM yang memperjuangkan RMS. Kajian secara cermat dan objektif mengenai
kekuatan dan kelemahan gerakan ini, perlu dilakukan supaya mengindari sikap dan
tindakan over-estimate maupun under-estime. Reaksi berlebihan terhadap FKM justru
mengesankan seolah-olah gerakan ini sangat luar biasa kekuatannya, tetapi reaksi
yang pasif pun dapat membuat gerakan ini semakin leluasa.
C. Penutup
Trauma 25 April atau trauma bulan April kini menjadi suatu realitas baru dalam
kehidupan orang Ambon, setidaknya sejak FKM dicetuskan dan memuncak pada 25
April 2004. Bila trauma ini tidak dihilangkan, maka bisa dibayangkan tahun-tahun
mendatang begitu banyak energi, baik uang, waktu, pikiran, bahkan mungkin nyawa
manusia, harus dikorbankan demi menghadapi trauma ini.
Ambon, 27 Maret 2005
The Baku Bae Peace Movement
- Arikal Mahina
- Justice and Peace Keuskupan Amboina >
- Koalisi Pengungsi Maluku
- Interchurch Peace Council (IKV The Haguue)
- Lembaga Pemberdayaan Anak dan Perempuann (LAPPAN)
- Lembaga Antar Iman
- Lembaga Ekssistensi Muslim Maluku (LEMMM)
- Tim Advokasi untuk Penyelesaian Kasus AAmbon
- Yayasan Hualopu
- Yayasan EKKALEO
- Yayasan Rinamakana
- Vox Populi Independen Media
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|