The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Suffering Churches Ministry


Suffering Churches Ministry, 11 April 2005

Laporan Kondisi di Pulau Nias, Sumatera Utara pasca gempa 26 Maret 2005

John Kahuluge

Untuk menuju Nias Saya melakukan perjalanan dari Medan menuju Sibolga dengan bus, perjalanan di mulai jam 09.30 Wib.dan tiba di Sibolga jam 18.00 Wib. Saya beristirahat, mandi dan makan di kesusteran katolik di Sibolga lalu jam 19.00 menuju pelabuhan untuk selanjutnya naik kapal ferry menuju Nias, perjalanan ini sangat melelahkan sebab kapal penuh sesak oleh penumpang yang ke Nias untuk mencari keluarganya. Selain itu kapal juga di penuhi dengan barang-barang bantuan yang di bawa oleh keluarga masing-masing dan juga peti mati. Saya hanya bisa duduk di jendela kapal, setiap saya tertidur penumpang lainnya berteriak mengingatkan saya agar tidak jatuh ke laut. Dikala lelah begitu menguasai, saya pun berbaring dengan kepala di atas peti mati dan badan di balok jendela serta kaki menggantung di laut, sangat menyiksa memang tetapi itulah fasilitas yang ada. Setibanya di gunung Sitoli Nias Utara, saya tidak mengenal satupun orang disana dari pelabuhan saya menyusuri jalan-jalan kota Nias, sungguh tragis gedung-gedung yang kokoh bertingkat tiga maupun empat semuanya masuk ke dalam tanah sementara yang lainnya hancur berantakan. Adapun yang terlihat masih berdiri 99 % sudah tidak layak di pakai sebab pondasinya yang bergeser atau gedungnya retak-retak. Setelah itu saya menuju gereja katolik gunung Sitoli disanalah saya menginap. Gedung kesusterannya masih baik tetapi menara maupun gedung lainnya sudah ambruk dua orang pastornya sempat terkurung dalam puing-puing satu pastor luka ringan namun satu pastor lainnya berkebangsaan Italia luka parah pada kepala sehingga langsung di terbangkan ke Medan selanjutnya di bawa ke eropa untuk mendapatkan perawatan. Selanjutnya saya berkeliling kota gunung Sitoli lagi, ada gedung yang di pasangi bendera merah yang menandakan bahwa di gedung itu ada orang, baik yang sudah mati maupun masih hidup. Boleh dikata tidak ada perhatian pemerintah untuk masalah Nias.

Dari gunung Sitoli saya mencarter ojek sepeda motor menuju kota Teluk dalam, Nias selatan. Sepanjang perjalanan saya menjumpai kondisi umat yang sangat memprihatinkan ! mereka lapar, mereka sakit, anak-anak yang lapar dan sakit, rumah mereka hancur, mereka tidur di jalan aspal atau lapangan namun tidak ada yang peduli, tidak ada yang mau menolong mereka. Anak-anak mulai sakit panas, mereka pucat, badan mereka dingin karena masuk angin dan menahan lapar, semua mereka adalah umat Tuhan ! dengan memelas mereka minta tolong pada saya untuk bisa segera mendapatkan makanan. Saya mengunjungi gereja katolik di desa Amandraya sekitar 4 jam dari kota teluk dalam. Gereja ini hancur pastor dan para suster serta pengerja lainnya hanya makan dari sisa bekal yang ada. Tidak ada bantuan yang masuk saya memberikan bantuan uang satu juta rupiah kepada pastor Paulinus.

Memang ada bantuan dari Bupati Gunung Sitoli dimana satu desa mendapatkan bantuan 15 dos mie instan (@ 40 bungkus) untuk 6000 jiwa. Ada juga desa yang mendapatkan bantuan beras 3 karung (@ 25 kg) untuk sekitar 5000 jiwa. Saya mengunjungi desa Hilinagawo yang hancur akibat gempa. Penduduk membuat tenda-tenda darurat di lapangan. Saya mendapati mereka di tenda-tenda darurat tersebut dengan kondisi seorang tua dengan kaki patah tiga, seorang anak kecil usia sekitar 7 tahun patah pada pangkal pahanya dan sudah membengkak ia hanya duduk saja di tenda karena tidak ada uang untuk pergi berobat, seorang anak perempuan terdapat dua lubang pada jidatnya, seorang wanita dewasa dengan terhuyung-huyung datang pada saya menunjukkan kepala pada bagian ubun-ubunnya berlubang sebesar uang logam Rp. 50. ada seorang wanita yang lumpuh akibat tulang punggungnya yang patah. seorang bapak datang pada saya dengan menangis sambil mengatakan ingin mati saja, ia mengikat kain pada perutnya yang dikencangkan untuk menahan lapar, semua korban ini saya evakuasi dari perkampungan mereka ke pinggir jalan raya lalu saya pergi ke kota mencari 2 mobil untuk evakuasi mereka ke POSKO Medis Perancis di gereja katolik kota teluk dalam, Saya membelikan mereka mie instan maupun biskuit gabin yang di jual dari sisa puing-puing warung masyarakat. Setelah evakuasi sampai malam saya kembali mengunjungi tenda-tenda mereka yang lebih masuk lagi ke dalam perkampungan dan saya menjumpai hampir setiap tenda ada orang sakit yang rata-rata patah tulang terutama orang tua dan anak-anak. Karena sudah terlalu malam akhirnya evakuasi dilanjutkan esok paginya. Belum ada tim kemanusiaan yang pergi mencari para korban. Saya mengunjungi juga desa di bukit Pantai Moale dan menjumpai anak-anak dan bayi yang tidur di tenda yang sangat tidak layak mereka mulai sakit panas dan saya memberikan uang Rp. 10.000 tiap anak. Saya juga menjumpai seorang ibu (ibu Manurung) yang mencari sisa-sisa hartanya dari rumahnya yang hancur akibat gempa dan sapuan gelombang tsunami di desa Sorake (pantai wisata untuk peselancar, gelombang tsunami sempat timbul namun tidak ada korban jiwa. Tinggi gelombang berkisar antgara 4 meter sampai 6 meter dpl. Dan mencapai jarak antara 200 meter sampai 500 meter dari pantai. Ibu Manurung juga mencari kepiting didalam got untuk mempertahankan hidupnya bersama 3 anaknya dan suaminya. Ia menangis dan memeluk saya ketika saya memberinya uang Rp. 300.000. Saya melanjutkan perjalanan kembali ke gunung Sitoli, hari sudah malam namun saya ingin melihat kondisi umat, di tengah perjalanan saya menjumpai anak-anak Tuhan di desa Hoyafana Kecamatan Lahusa Kabupaten Nias Selatan yang melakukan ibadah malam (Persekutuan doa, ada yang per gereja ada juga yang Oikumene) mereka beribadah dengan duduk di jalan raya dengan di terangi lampu petromaks mereka beribadah dengan khusuk. Saya bertanya apakah ibadah ini dilakukan setelah ada gempa? Tidak jawab mereka ibadah malam selalu dilakukan sejak sebelum ada gempa. Ketika jam 01.00 Wib. malam saya tiba di desa Idanegawo dan saya sangat lelah dan ngantuk, akhirnya saya bermalam di desa yang juga hancur ini. Pagi harinya saya dikejutkan dengan suara orang bernyanyi dan berdoa, saya bangun dan mengunjungi asal suara tersebut, saya mendapati mereka berdoa dan renungan pagi di tenda masing-masing. Setelah ibadah saya menjabat tangan mereka, saya kaget tangan mereka rata-rata dingin, ternyata mereka kelaparan, akhirnya saya mencari warung dan saya membelikan mereka biskuit gabin, mie instan, martabak dan yang lainnya untuk mereka.

Didesa Hilihambawa Kecamatan Gido Kabupaten Nias Utara sebuah perkampungan yang hancur akibat gempa, mengakibatkan Tetty Efriyanti 12 thn. tewas akibat punggungnya terpukul balok rumahnya yang jatuh menimpanya di tempat tidur. Ibu Elise wajahnya membiru akibat kena reruntuhan rumahnya. Walaupun bencana dahsyat gempa 8.7 SR menghancurkan rumah dan perkampungan mereka namun ada satu yang tetap utuh pada mereka yaitu IMAN mereka tidak goncang dan runtuh sekalipun rasa lapar dan sakit mendera mereka. Didesa ini juga saya menjumpai keluarga - keluarga yang melakukan mesbah doa keluarga. Mereka tetap berdoa walaupun terasa sangat lapar. Doa pagi dan malam adalah hal yang sudah rutin mereka lakukan sejak sebelum gempa, baik perkeluarga maupun pergereja atau ibadah bersama (Oikumene).

Tanggal 8 April 2004 sore saya mengontak Pastor Angelus di kota teluk dalam ia sangat memohon agar ada perhatian untuk masyarakat kota teluk dalam yang masih sangat jauh dari perhatian. Mereka sangat membutuhkan bantuan makanan dengan segera. Apalagi untuk desa -desa yang terpencil seperti daerah Pantai Moale, desa Amandraya dll.

Info transportasi:

Untuk ke Nias bisa melalui jalur laut maupun udara. Kalau jalur laut maka bisa naik bis dari medan menuju Sibolga, bis berangkat sekitar antara jam 09.00 - 09.30 Wib. tiba di Sibolga antara jam 18.00 - 19.00 Wib kemudian sekitar jam 20.00 naik kapal ferry menuju Nias dan tiba di pelabuhan Gunung Sitoli antara jam 07.00 - 08.00 Wib. (kapal ferry selalu penuh jadi usahakan untuk tiba di kapal lebih cepat, jangan lupa bawa bekal kecuali puasa).

Kalau melalui udara bisa naik pesawat dari Bandara Polonia Medan ke Sibolga kemudian melanjutkan perjalanan dengan kapal Ferry (jalur ini biasa di gunakan jika ada keperluan koordinasi dengan Posko di Sibolga atau jalur udara Polonia Medan ke Gunung Sitoli penuh. Atau jika perlu ke Pulau banyak dan Simeuleu) atau langsung Polonia Medan ke Gunung Sitoli dengan pesawat Merpati atau Smac.

Untuk membawa bantuan harus benar-benar mengetahui kondisi lapangan dan sasaran. Di Nias cukup banyak orang buka Posko bahkan hanya berjarak sekitar 10 meter ada dua posko. (ya Posko tetangga, posko saudara dll. He....3x) untuk ke Nias Selatan, ada jembatan yang miring di desa Idanegawo jembatan ini tidak bisa dilewati truk kecuali nekad mau cilaka 13. jadi bantuan di bawa sampai di ujung jembatan kemudian bantuan dilanjutkan dengan mobil pik up atau di pikul ke seberang jembatan lalu dilanjutkan dengan truk lainnya. Atau langsung diangkut dengan mobil-mobil pikup. Jangan lupa bawa dua papan tebal dan kuat karena cukup banyak jalan yang terbelah terutama di jembatan-jembatan.

Harga bahan bakar di Nias berkisar antara Rp. 8.000 - Rp. 15.000/ltr.

Kebutuhan utama untuk Nias saat ini adalah bahan makanan, obat-obatan, tenda, kelambu, tikar, obat nyamuk, kursi roda, tandu.

Rencana minggu depan saya akan kembali ke Nias dengan membawa 10 continer bantuan pangan, pakaian, obat-obatan dan lain-lain. Bantuan diusahakan tidak masuk gudang tetapi langsung di muat ke truk yang akan langsung menuju desa-desa untuk segera di bagikan.

Surabaya, 11 April 2005

Suffering Churches Ministry

John Kahuluge
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/toelehoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044