Liputan6.com, 05/2/2005 15:59
Mengenang Kejayaan Negeri Para Peraja
[PHOTO: Rekontruksi perjuangan Sultan Babullah.] 05/2/2005 15:59 — Kesultanan
Ternate pernah meraih masa kejayaan pada abad XVI-XVII. Perjuangan rakyat Ternate
mengusir penjajah pun tercatat dalam sejarah. Misalnya keberanian Sultan Babullah
mengepung benteng Portugis.
Liputan6.com, Ternate: Hari baru saja terang tanah ketika sejumlah warga Desa
Foramadiahi, Kecamatan Pulau Ternate, Maluku Utara, satu per satu keluar rumah.
Rupanya mereka hendak menuju kediaman Keni, seorang tokoh masyarakat
setempat yang cukup disegani. Di sanalah warga berkumpul untuk mempersiapkan
ziarah ke makam Sultan Babullah, penguasa Kesultanan Ternate di Gunung
Gamalama, satu-satunya gunung yang menjulang tinggi di Pulau Ternate. Ziarah ini
mereka lakukan sehubungan dengan peringatan hari ulang tahun ke-754 Kota Ternate
yang jatuh pada esok harinya.
Negeri Rempah-Rempah. Begitulah julukan lain Kesultanan Ternate pada abad XV.
Wajar, soalnya sumber kekayaan alam, berupa tanaman rempah-rempah, seperti
cengkih, pala, dan lada yang dimiliki Ternate sangat masyhur kala itu. Tak
mengherankan, bila kemudian bangsa Arab, Tionghoa, Portugis, Belanda, dan
sejumlah negera lainnya tergiur menyinggahi Ternate.
Ternate terletak di sebuah pulau kecil di ujung Barat Kepulauan Halmahera.
Penduduk pertama Ternate berasal dari Kerajaan Jailolo di Pulau Halmahera yang
mengungsi akibat penindasan penguasa. Dan, masuknya Islam pada abad XV di
Ternate menjadikan kehidupan mereka makin maju. Mereka juga mengenal sistem
kemasyarakatan dan pemerintahan yang maju. Ada pun masuknya Islam di wilayah
tersebut sekitar 1486. Tepatnya saat putra Kaicil Marhoem, Zainal Abidin memeluk
Islam dan sempat berguru dengan salah satu Walisongo, yakni Sunan Giri. Saat
itulah penduduk Ternate mengartikan Kaicil sebagai putra sultan.
Sebutan Kaicil ini memang tak lepas dari sejarah Ternate itu sendiri. Ternate adalah
salah satu kota tertua di Indonesia. Bahkan, kota ini tercatat dalam sejarah sebelum
Kerajaan Hindu Majapahit (1294-1478) berkuasa di Nusantara. Namanya tercatat
dalam Kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular, pujangga besar pada masa Raja
Hayam Wuruk.
Penduduk pertama Ternate berasal dari Kerajaan Jailolo. Mereka kemudian
mengangkat pemimpin lokal dengan gelar Kaicil sebagai penguasa. Melalui berbagai
peperangan, diplomasi, dan permusuhan, Ternate kemudian tumbuh menjadi kerajaan
besar yang dipatuhi penguasa sekitarnya, seperti Bacan, Tidore, dan Jailolo.
Penduduk empat wilayah ini sebenarnya adalah kerabat dekat atau disebut Moloku
Kie Raha (kerajaan empat gunung di Maluku).
Sebagai pulau penghasil rempah-rempah, Ternate rupanya membuat bangsa Eropa
tergiur untuk datang. Bangsa Eropa pertama yang masuk ke Ternate adalah Portugis
pada 1512. Perlahan-lahan dengan liciknya Portugis mulai mengusik ketenteraman
rakyat Ternate. Sampai kini, sisa-sisa kejayaan Portugis di Ternate masih berdiri,
berupa sejumlah benteng. Satu di antaranya adalah Benteng Toloco. Meski telah
termakan zaman, benteng itu masih gagah berdiri.
Niat Portugis yang semula hanya ingin berhubungan dagang dengan Kerajaan
Ternate, ternyata hanya tipu muslihat. Setelah membangun banyak benteng, Portugis
justru ingin menguasai pulau Ternate dengan cara yang kasar. Tokoh-tokoh besar
Kesultanan Ternate banyak dibunuh dan masyarakat dipaksa setia pada raja
Portugis, King John III.
Puncak kemarahan rakyat Ternate adalah saat Kaicil atau Sultan Hairun Jamil
dibunuh dengan cara yang licik. Saat itu, gubernur Portugis mengundang Sultan
Hairun ke meja perundingan. Bukannya berunding, Sultan yang disayang rakyatnya
itu justru dibunuh dengan kejam. Kekejaman Portugis membuat anak Sultan Hairun,
yakni Sultan Babullah marah besar.
Sejak ayahnya tewas, Babullah yang menjadi pewaris Kesultanan Ternate berjanji
mengusir Portugis dari negerinya. Ia bertekad akan memerangi Portugis sampai
mereka terusir dari "Jazirah Al-Mamlakatul Mulukiyah" atau Negeri Para Peraja.
Perang pun berkecamuk antara 1570 sampai 1575.
Tindakan pertama yang dilakukan Sultan Babullah adalah mengepung Benteng
Portugis (Sao Paulo). Pengepungan sangat erat sehingga tidak seorang pun dapat
masuk atau keluar benteng. Dengan demikian diharapkan orang-orang Portugis akan
menyerah setelah persediaan makanan mereka habis. Pengepungan berlangsung
selama lima tahun dan akhirnya orang-orang Portugis menyerah.
Di saat pengepungan terakhir, Babullah memberikan kesempatan selama 24 jam bagi
orang Portugis meninggalkan Kerajaan Ternate. Ia berjanji bahwa semua orang
Portugis dengan harta miliknya boleh berangkat ke Ambon atau Malaka secara
damai. Tiga hari sesudah penyerahan benteng, tibalah sebuah kapal Portugis dan
diterima dengan baik oleh Sultan. Kemudian semua orang Portugis bersama-sama
orang Kristen Ternate pindah ke Ambon. Warga Portugis yang menikah dengan
wanita-wanita Ternate boleh menetap. Di kemudian hari, mereka berpindah ke Tidore.
Situasi ini justru dimanfaatkan Sultan Tidore untuk bersahabat dengan Portugis yang
kemudian mengizinkan mereka mendirikan benteng di sana. Di sisi lain, Sultan
Babullah terus berusaha mencari pembunuh ayahnya dengan mengirim utusan ke
Spanyol--Tahun 1580 Portugis dipersatukan dengan Spanyol--yang dipimpin Naik.
Tugas mereka menuntut agar Raja Spanyol menghukum pembunuh Sultan Hairun.
Tapi, ternyata bahwa si pembunuh yang bernama Mesquita sudah meninggal.
Sultan Babullah akhirnya wafat pada Juli 1583 dan diganti Sultan Said (1583-1606).
Tapi, perang terhadap bangsa Portugis masih terus berlanjut dan berkobar sampai di
Ambon. Peperangan terus berlanjut sampai masuknya penjajah baru yaitu
orang-orang Belanda yang mengalahkan Portugis pada 1605.
Kini, sudah 754 tahun Kota Ternate berdiri. Dengan Gunung Gamalama yang berdiri
megah di tengah pulau, rakyat Ternate hidup bersahaja, tenteram, dan damai. Meski
rakyat Ternate telah bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan
berarti mereka melupakan sejarah para nenek moyangnya. Kebesaran perjuangan
Sultan Babullah dalam mengusir penjajah tetap dikenang sepanjang masa.
Untuk membangkitkan kembali semangat heroik para pahlawan Ternate enam abad
silam, warga Kampung Foramadiahi--salah satu kampung yang dulu menjadi pusat
Kesultanan Ternate--berencana merekontruksi perjuangan Sultan Babullah. Warga
pun berkumpul di rumah Keni. Dari pertemuan itu, warga sepakat untuk berziarah
kubur ke makam Sultan Babullah sebelum merekontruksi perjuangan Sang Sultan.
Ziarah kubur ini tak melibatkan banyak orang. Hanya 12 orang yang pergi. Pasalnya,
makam Sultan Babullah terletak cukup jauh dan memakan waktu satu jam perjalanan
untuk sampai ke punggung gunung api setinggi 2.700 meter di atas permukaan laut.
Tak heran, hanya mereka yang kuat yang diutus untuk berziarah. Tak ada persiapan
khusus untuk ziarah kali ini, selain menunjuk orang yang sedianya membacakan doa
di depan makam nanti.
Setelah menempuh perjalanan panjang, warga Desa Foramadiahi atau disebut pula
Kampung Fora pun tiba di makam Sultan Babullah. Di depan pusara, warga
bersimpuh memanjatkan doa-doa kepada arwah. Sultan, bagi warga kampung di kaki
Gunung Gamalama, adalah simbol tertinggi perjuangan rakyat Ternate. Meski
berabad-abad telah berlalu, dinasti Kesultanan Ternate tetap dihormati dan disegani
sampai sekarang.
Esok harinya, perayaan yang dinanti-nanti tiba. Seluruh rakyat Ternate bersukacita
menyambut kelahiran kota tercinta di depan kedaton Kesultanan Ternate. Dipimpin
keluarga sultan, warga Ternate menggelar upacara penghormatan bagi para pahlawan.
Di Kampung Foramadiahi, kesibukan warga mempersiapkan rekontruksi perjuangan
Sultan Babullah sudah terlihat. Warga mulai turun menuju Benteng Kastela, sebuah
benteng Portugis yang berhasil diruntuhkan pasukan Sultan Babullah. Hujan deras
yang mengguyur Kota Ternate tak diiraukan warga yang bersemangat. Meski
perjalanan menuju Benteng Kastela harus ditempuh sekitar lima kilometer, warga tak
gentar. Mereka, bahkan, berteriak semangat sambil terus menari tarian rakyat, Tari
Cakalele.
Malam mulai menjelang saat warga Foramadiahi hampir tiba di Benteng Kastela.
Suara genderang tifa dan gong besar menambah semangat heroik warga. Di tengah
perjalanan, warga pejuang pun bergabung dengan keluarga Sultan Ternate.
Bersama-sama, mereka mengepung Benteng Kastela. Rasa lelah, haus, dan lapar
tak diiraukan para pejuang. Sejatinya, kisah heroik perjuangan Sultan Babulah dan
rakyatnya di abad ke-15 seakan merasuki warga Foramadiahi malam itu. Bahkan,
saking bersemangatnya seorang warga sempat kerasukan.
Malam ini, setelah enam abad berlalu, warga Ternate kembali merasakan hal yang
sama. Rasa Syukur akan kemenangan yang dicapai Sultan Babullah seakan
merasuki warga Ternate yang hadir di Benteng Kastela. Obor dinyalakan untuk
mengenang para pahlawan bangsa. Benteng Kastela telah direbut. Rakyat pun
bersorak gembira. Malam itu diakhiri dengan sebuah pesta kemenangan.(ORS/Ria
Satriana Budi dan Bambang Triono)
© 2001 Surya Citra Televisi.
|