SINAR HARAPAN, Kamis, 07 April 2005
Susahnya Mengungkap Motif dan Pelaku Terorisme di Ambon
AMBON – Berakhirnya konflik di mana pun terjadinya, tidak serta-merta akan
membuat daerah konflik itu aman dan tenteram. Apalagi bila konflik yang terjadi
merupakan sebuah skenario atau rekayasa, tentunya akan sarat dengan berbagai
kepentingan pembuat skenario tersebut.
Dalam konflik yang terjadi di Kota Ambon khususnya maupun Provinsi Maluku
umumnya sejak tahun 1999 lalu ternyata "aroma" kepentingan kelompok-kelompok
tertentu sangat terasa walaupun untuk membuktikannya sangat sulit. Namun
demikian, dari berbagai indikasi, informasi dan data di lapangan sudah cukup untuk
membuktikan adanya tangan-tangan kepentingan yang bermain.
Eskalasi konflik di Ambon tergantung kehendak kelompok kepentingan. Kadang
"dingin" juga kadang "panas". Ujung-ujungnya adalah ingin membenturkan kembali
dua komunitas yang pernah bertikai untuk kembali konflik. Sayangnya yang menjadi
korban adalah rakyat biasa.
Mencermati berbagai pengalaman dari permainan eskalasi konflik tersebut, ternyata
momentum tertentu bagi kelompok kepentingan ini untuk terus memainkan
keinginannya. Di Kota Ambon khususnya, isu menjelang peringatan HUT Gerakan
Separatis Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April mendatang selalu dijadikan
hantu bagi masyarakat.
Upaya-upaya itu, kini sedang ditebarkan melalui aksi-aksi teroris yang menyebarkan
berbagai isu-isu dengan melakukan peledakan bom, granat, penembakan hingga
pembunuhan, sehingga sudah pasti situasi ini membuat masyarakat menjadi cemas
dan takut.
Patutlah dicatat, sejumlah insiden peledakan bom, penembakan maupun peledakan
granat telah terjadi di Kota Ambon dan sekitarnya yang mengindikasikan adanya
keterlibatan orang-orang terlatih, sebab bom, senjata, amunisi maupun granat yang
digunakan merupakan jenis standar yang biasa digunakan satuan-satuan militer
Indonesia.
Insiden-insiden tersebut yaitu peledakan bom di Ruko Batumerah, Kecamatan
Sirimau Kota Ambon (3/2/2005), peledakan bom di lapangan bola Benteng Atas,
Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon (4/2/2005), penembakan di Dusun Waitatiri, Desa
Suli, Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah (6/2/2005), penembakan
terhadap kapal cepat KM Lai-lai di perairan Kabupaten Pulau Buru (7/22005),
penyerangan bersenjata terhadap salah satu cafe di Desa Hative Besar Kecamatan
Baguala Kota Ambon (14/2/2005).
Kemudian peristiwa pelemparan granat di depan Gereja Sejahtera di Desa Lateri,
Kecamatan Baguala Kota Ambon (5/2/2005), insiden pelemparan granat yang terjadi
di Desa Batumerah, Kecamatan Sirimau Kota Senin (22/3/2005), serta teror bom di
Gereja Baith Eden, Kelurahan Karang Panjang Ambon Senin (28/3). Dari berbagai
kasus yang terjadi belakang ini menjadi contoh bagaimana teroris bermain.
Ketahanan Diri
Menghadapi kondisi seperti itu, kuncinya adalah ketahanan diri, ketahanan lokal dan
ketahanan masyarakat secara utuh untuk tidak terprovokasi, jika kita tidak mau
kembali ke masa keterpurukan dan konfrontasi secara terbuka yang menyengsarakan
semua masyarakat secara umum.
Aparat kepolisian sendiri terlihat sudah berupaya secara optimal untuk mengungkap
motif maupun pelaku berbagai aksi peledakan bom, penembakan maupun peledakan
granat telah terjadi di Kota Ambon dan sekitarnya. Namun di balik semua upaya
tersebut terlihat adanya indikasi sukarnya pihak kepolisian membuka tabir suatu
insiden jika ada dugaan keterlibatan orang terlatih membuat satuan tertentu.
Sebagai contoh, insiden pelemparan granat yang terjadi di Desa Batumerah,
Kecamatan Sirimau Kota Ambon Senin (22/3) lalu, ternyata menurut Kapolda Maluku
Brigjen Pol Adityawarman diduga pelakunya merupakan orang terlatih.
Dugaan ini bukan sekedar asal ngomong namun didukung keterangan para saksi
yang mengaku si pelaku yang melempar granat menggunakan sepeda motor dalam
keadaan bergerak dan kemudian mendekati salah satu angkutan kota jurusan Ambon
– Passo yang juga dalam keadaan bergerak dan dalam keadaan penuh penumpang.
Keduanya pun dengan tepat sasaran melempar sebuah granat jenis manggis ke
dalam angkot tersebut, namun untung saja granat tersebut belum meledak sehingga
kemudian dilempar keluar oleh para penumpang angkot tersebut ke tepi jalan dan
langsung meledak serta melukai 5 orang yang berada di tepi jalan tersebut.
Orang awam pun tahu granat merupakan barang yang tidak dijual bebas dan hanya
menjadi milik satuan TNI/Polri di Indonesia dan dalam penggunaannya si pelempat
harus dididik secara khusus sebab jika tidak dapat membahayakan diri sendiri.
Namun ternyata di Ambon granat dapat dipergunakan secara bebas dengan maksud
membunuh sesama anak manusia. Pada simpul inilah terlihat aparat kepolisian di
Maluku sulit untuk mengungkap motif dan pelaku aksi terorisme itu.
Akhir pekan lalu, kita kembali dikejutkan dengan penemuan 26 buah bom yang dirakit
oleh beberapa warga di Kawasan Waihaong, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon.
Bahkan yang lebih mengejutkan lagi ada dugaan perakitan bom tersebut didanai oleh
anggota Fraksi Partai Golkar DPRD Maluku Rahman Holle.
Tuntaskan Perkara Bom
Mencermati hal ini, pihak kepolisian hendaknya tidak memusatkan perhatian
perhatian kepada keterlibatan Rahman Holle semata namun juga harus dapat
dikembalikan kepada perkara pokok yakni perakitan bom.
Sebab, sebelum menelusuri sejauh mana keterlibatan anggota Fraksi Partai Golkar
DPRD Maluku tersebut, maka pertama-tama Polisi harus menuntaskan perkara 26
buah bom dengan tersangka Hasan Minangkabau, Rusdi Bin Tahir dan Hamdani.
Kedua tersangka ini harus diusut dan diproses secara hukum sehingga dengan
demikian akan terungkap bagaimana sesungguhnya proyek bom ini dirancang.
Apakah mereka sendiri melakukannya atau ada keterlibatan pihak lain.
Kasus temuan 26 buah bom ini pada satu sisi juga menyentak kita semua sebab
ketika masyarakat di daerah ini sedang berusaha membangun kembali kehidupan
baru dan meninggalkan luka konflik, ternyata masih ada saja warga yang hidup
dengan rencana-rencana kekerasan. Sangat mungkin warga yang masih merasa
membutuhkan perang bukan hanya para perakit bom tersebut namun masih ada
warga yang lain. Tentu hal ini mengundang kita semua untuk mencari solusi terbaik
supaya tidak ada lagi warga yang berpikir tentang perang.
Bila ternyata bom yang dirakit tersebut dimaksudkan untuk menghadapi peringatan
HUT Gerakan Separatis RMS pada 25 April mendatang, maka hal itu patut
disayangkan karena rupanya mereka terlampau percaya akan keberadaan RMS
sesungguhnya. Wacana HUT RMS juga terlampau diformakan oleh berbagai kalangan
sehingga terkesan RMS itu ada dan peringatan HUT-nya bakal benar-benar digelar.
Kita percaya, jajaran TNI/Polri yang ditunjang masyarakat akan mampu
mengantisipasi aktivitas masyarakat yang mencoba menggunakan simbol-simbol
RMS untuk mengacaukan masyarakat di Provinsi Maluku khususnya di Kota Ambon.
Kalau pada bulan April ini, ternyata ada warga yang masih nekat mengibarkan
bendera atau simbol-simbol RMS, maka hal itu patut ditanggapi dengan menangkap
dan menyerahkannya kepada kepolisian tanpa harus dilawan dengan bom yang
akibatnya hanya akan melahirkan kesengsaraan dan rasa tidak aman.
Belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut, maka sudah saatnya semua
komponen masyarakat di Maluku memberikan dukungan kepada aparat TNI/Polri
untuk bekerja secara optimal. Caranya, dengan memberikan informasi kepada aparat
keamanan bila mengetahui hal-hal yang mencurigakan di lingkungannya maupun
orang-orang yang kehadirannya diragukan atau tak jelas.
Di sisi lain, diharapkan pula insitusi TNI/Polri di Maluku benar-benar mampu bekerja
secara maksimal, profesional, transparan dan menjunjung tinggi penegakkan hukum.
Sebab siapa pun dia yang hidup di bumi pertiwi tercinta ini, kedudukannya sama di
depan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pengalaman konflik selama 1999 – 2004 kiranya menjadi pelajaran mahal bagi
semua warga di Provinsi Maluku. Semoga warga makin mengutamakan kedamaian
dan meninggalkan cara-cara kekerasan. (SH/izaac tulalessy)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|