SINAR HARAPAN, Sabtu, 08 Januari 2005
Gereja Katolik Hati Kudus di Banda Aceh Tak Tersapu Tsunami
BANDA ACEH — Saya tercengang ketika menyaksikan sebuah bangunan tua masih
berdiri kokoh, padahal rumah-rumah warga di sekitarnya hancur tersapu oleh
gelombang tsunami yang maha dahsyat pada Minggu, 26 Desember 2004. Bangunan
kuno itu tak lain adalah Gereja Hati Kudus, gereja Katolik yang ada di Banda Aceh.
Gereja itu terletak hanya 10 meter dari Sungai Krueng Aceh, sungai yang membelah
Kota Banda Aceh dan membawa air ke darat pada saat gelombang tsunami
menerjang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Saya lebih terkesiap lagi saat mengetahui bahwa Pastor Ferdinando Severi, pastor di
Gereja Hati Kudus yang berasal dari Italia dan berwarga negara Indonesia, ternyata
juga selamat. Pada hari "Minggu hitam" ketika bencana terjadi, ia sedang berada di
Meulaboh, Aceh Barat, untuk melayani umat. Ia berangkat ke Meulaboh hari Sabtu
(25/12).
Menurut sumber SH, banyak orang Nasrani yang membuka posko di lapangan Neusu
dan di kawasan Matai. Namun, SH belum menemukan data berapa jumlah korban
dari kaum Nasrani.
Lantas saya pun teringat oleh kidung damai yang dilantunkan di gereja tersebut
setahun lalu. Petang itu, pada Misa Natal 24 Desember 2003, lantunan Adzan Magrib
bergema dari Tugu Daerah Modal yang menjadi Menara Utama Masjid Raya
Baiturrahman, sekitar seratus meter dari gereja.
Di gereja yang dibangun oleh kolonial Belanda itu, ratusan umat Katolik, beberapa di
antaranya berseragam biru tua (anggota Brigade Mobil), memasuki gerbang gereja
dengan nyanyian puji-pujian sambil memegang lilin. Prosesi Misa pun berlangsung
khidmat.
"Perayaan Natal malam ini kita persembahkan untuk perdamaian di Aceh," ungkap
Ferdinando Severi dari altar Gereja Hati Kudus. Dalam pesan Natal itu, Ferdinando
menyatakan sudah sepatutnya umat Kristiani bersyukur dan bergembira karena diberi
kesempatan untuk bernatal.
Pastor paroki yang membawahi zona Meulaboh Aceh Barat, Takengon Aceh Tengah
dan Lhokseumawe Aceh Utara itu, mengingatkan dalam kondisi Aceh yang masih
labil, umat Kristiani masih diberi kesehatan untuk berkumpul di gereja yang didirikan
oleh kolonial Belanda pada tahun 1926 ini.
Gereja Hati Kudus dibangun sekitar tahun 1926 (diresmikan pemakaiannya 26
September 1926). Gereja kecil dengan dinding berwarna krem itu, memakai ornamen
kaca warna-warni dan keramik empat warna. Letaknya berada tepat di depan Markas
Komando Daerah Militer Iskandar Muda. "Gedung Kodam itu dulunya bagian dari
gereja," ujar Pastor Ferdinando.
Keberadaan gereja dan umat Kristen di Serambi Mekkah ini tidak terlepas dari
pendudukan Belanda. Diawali pembangunan Kapel Hati Kudus sekitar tahun 1885
dengan pastor pertamanya, Pastor Henricus Verbraak, SJ, yang tentara Belanda.
Seiring berjalannya waktu, jumlah jemaat gereja ini bertambah dan berubah; bukan
lagi tentara, melainkan masyarakat sipil pribumi dan pegawai pemerintah serta
pedagang warga Tionghoa. Pada tahun 1970-an, jumlah jemaat gereja ini mencapai
800 orang, melampaui kapasitas gereja yang hanya mampu menampung 400 orang.
Dalam setiap misanya, Pastor Ferdinando mengaku selalu meminta jemaatnya
memohonkan perdamaian di Aceh dan mendoakan perdamaian bagi korban yang
jatuh akibat konflik ini. Kecintaan Pastor Ferdinando terhadap Aceh dibawanya ke
mana pun ia melangkah, bahkan saat ia menjalani operasi bypass jantung di Italia
bulan November lalu.
"Saya operasi bypass sampai tiga kali. Saat masuk kamar operasi, saya berdoa,
’Tuhan, kupersembahkan hidupku untuk orang-orang Aceh dan selamatkanlah mereka’.
Selesai operasi, saya langsung pulang ke Aceh. Saya tidak tahan (cuaca) dingin di
Italia," ujarnya.
Namun dalam kotbah Misa Natal 24 Desember 2003 lalu ia mengatakan, di Aceh
setiap hari ada tujuh atau delapan orang meninggal akibat konflik. "Ini sangat
menyedihkan. Mari kita berdoa bagi keselamatan korban-korban konflik di Aceh.
Sebab Yesus datang untuk kedamaian dan keselamatan manusia," kata pastor
kelahiran Italia, 19 Desember 1934 itu.
Toleransi
Mengenai keberadaan gereja itu, Yosef Selevinman, Koordinator muda-mudi Katolik
Gereja Hati Kudus, mengatakan,"Sebelum konflik dan hingga sekarang, misa dan
perayaan Natal tetap dilakukan".
Pemuda kelahiran Flores Nusa Tenggara Timur ini mengakui tujuh tahun lebih tinggal
di Banda Aceh, pada awalnya agak waswas. Pasalnya dia berdiam di wilayah yang
dikenal fanatik Islam.
Malahan sebelumnya, Yosef yang ahli mereparasi sepeda motor itu menduga tidak
ada gereja di daerah paling ujung barat dari Pulau Sumatera ini. Namun, Yosef
menemukan fakta yang jauh berbeda dengan didengar atau dibaca. "Masyarakat di
sini sangat toleran walaupun Aceh dinyatakan berlaku Syariat Islam," ungkap pria
berpostur sedang ini.
Keyakinan Yosef tidak berlebihan. Blak-blakan dia mengakui, selama perayaan Natal,
pihaknya tidak pernah meminta pengawalan ketat dari pihak polisi untuk
mengamankan misa atau perayaan Natal. Memang di depan gereja terlihat beberapa
truk reo TNI atau polisi yang di badan truk bertuliskan "Allahu Akbar" dalam aksara
Arab. Tapi itu adalah aparat yang mengikuti kegiatan rohani.
Sekitar satu kilometer dari Gereja Katolik Hati Kudus, terdapat Gereja Protestan
Indonesia bagian Barat (GPIB). Di sisi kiri GPIB, terdapat Gereja Katolik Methodis.
Sekitar satu kilometer dari gereja ini, ada gereja HKBP. Semua
bangunan gereja itu masih utuh.
Kantor Departemen Agama NAD mencatat, di seluruh Aceh terdapat 154 gereja
dengan rincian di Aceh Barat (2), Aceh Utara (2), Aceh Jeumpa (2), Sabang (2), Aceh
Singkil (22), Aceh Tenggara (120), Kota Banda Aceh (4). Naasnya, di Aceh Singkil,
17 gereja ditutup (13 Gereja Protestan dan 4 Gereja Katolik) sehingga tersisa 5 gereja
untuk melayani sekitar 5.000 jamaah.
Penutupan gereja yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat atas desakan
warga sekitar. Alasannya, gereja tersebut didirikan di permukiman warga yang
mayoritas muslim.
Namun dalam bencana gempa bumi dan gelombang tsunami lalu, tidak hanya
bangunan gereja yang utuh. Dari beberapa tinjauan SH di lapangan, di pantai Ulele,
Lamjaneun serta Lampeuk, bangunan mesjid juga masih berdiri kokoh, padahal
rumah-rumah warga di sekitarnya hancur. Sebuah bangunan kelenteng yang berjarak
sekitar 500 meter dari Gereja Hati Kudus, juga masih utuh.
Entah ini semua pertanda apa. Yang pasti, bencana mengingatkan kita agar kembali
kepada Sang Pencipta. (SH/murizal hamzah)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|