SINAR HARAPAN, Senin, 21 Februari 2005
Keuskupan Papua Nilai Kebijakan Negara Mengarah ke Konflik
Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan se-Papua yang terdiri dari
Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Timika, Manokwari-Sorong dan
Keuskupan Agats-Asmat menemukan berbagai fakta yang menunjukkan sejumlah
kebijakan yang cenderung mengarah ke konflik.
"Hal ini kami amati di Kota Sorong, Sorong Selatan, Raja Ampat, Mimika, Asmat,
Tolikara, Mappi, Boven Digul dan Merauke, "kata Loury Da Costa dari SKP
Manokwari-Sorong di Jayapura, baru-baru ini. SKP se-Papua mencatat sejumlah
keprihatinan di bidang hak sipil, politik, hak ekonomi, sosial dan budaya.
Loury mencontohkan pemekaran sejumlah kabupaten dan rencana pemilihan kepala
daerah (pilkada) secara langsung justru bisa memicu pertikaian elit politik lokal dalam
memperebutkan jabatan dan kedudukan di lembaga-lembaga pemerintahan dengan
mengeksploitasi sentimen kesukuan dan agama.
Tindakan ini, menurut Loury, merupakan upaya memperalat kekuatan massa untuk
kepentingan individu kelompok atau golongan tertentu yang berakibat pada terpecah
belahnya masyarakat di tingkat akar rumput.
Selain itu kebijakan otonomi khusus yang menaruh perhatian pada pemenuhan hak
atas kesehatan dan pendidikan tidak berjalan sesuai dengan harapan. Fakta-fakta
yang ditemukan SKP Keuskupan se Papua seperti didaerah Raja Ampat, Teluk
Bintuni, Mimika, Mappi, Merauke, Boven Digul, Asmat, Nabire, Paniai, Puncak Jaya,
Pegunungan Bintang dan Jayawijaya.
"Otsus yang berjalan saat ini lebih melihat pada sentra-sentra kabupaten, namun
ditingkat distrik (kecamatan) dan kampung tidak ada. Kami mempunyai sejumlah
bukti dan fakta seperti di daerah Boven Digul dan Mappi rumah masyarakat disulap
menjadi kantor distrik sedangkan kantor distrik disulap menjadi kantor
kabupaten,"kata Pater Jus Mewengkang dari SKP Keuskupan Agung Merauke.
Tidak hanya itu saja, dari data SKP Merauke per bulan Mei 2004 khusus di Distrik
Assue Kabupaten Mappi ada 15 kampung semua gedung sekolahnya rusak berat
sedangkan empat kampung tidak punya sekolah, padahal di kampung ini banyak
anak usia sekolah.
"Kami harapkan agar pemerintah segera memenuhi hak atas kesehatan dan
pendidikan masyarakat Papua dengan menyediakan anggaran yang telah diatur
dalam UU No.21/2001 tentang otsus serta mengawasi pelaksanaannya, "kata Pater
Yus.
Perhatian Ekstra
Secara terpisah, wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
Makarim Wibisono, mengatakan, masalah Papua harusmendapat perhatian ekstra
dari pemerintah pusat karena potensi lepas wilayah tersebut sangat besar. Secara
politis, menurut Makarim, situasi yang berkembang di Papua jauh lebih berkualitas
dibanding Nanggroe Aceh Darusalam (NAD).
Sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di sana tercatat dengan baik dan banyak
pihak -terutama LSM Internasional- menggunakan pasal 1503 untuk mengadukan
pelanggaran tersebut kekomisi PBB maupun badan internasional lainnya. (ded/xha)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|