SINAR HARAPAN, Sabtu, 22 Januari 2005
Korupsi: "Dr. Jekyll and Mr. Hyde"
Oleh J.E. SAHETAPY
There is enough for everybody's need
but not for everybody's greed. (Mahatma Gandhi)
S ementara ini ada semacam keresahan tersembunyi bertalian dengan sampai
seberapa jauh dapat diharapkan aparat penegak hukum akan bertindak dan berfungsi
dengan betul, dengan objektif, berdasarkan ketentuan hukum positif yang ada dalam
menangani pemberantasan/penindakan korupsi. Sudah menjadi rahasia umum
melalui media massa betapa tiba-tiba ada semacam gelombang tsunami bertalian
dengan penangkapan koruptor, tidak saja di pusat, tetapi terutama di daerah-daerah
setelah diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah terhadap para anggota yang
terhormat, yaitu para wakil rakyat, para anggota DPRD yang katanya melakukan
(tindak pidana) korupsi.
Pertanyaan berikut: mengapa saya menggunakan ungkapan "Dr. Jekyll and Mr.
Hyde"? Ungkapan ini perlu dijelaskan sebab bukan saja orang awam, juga para
akademikus, juga para dosen fakultas hukum yang belum mengetahui makna yang
sebenamya dari ungkapan "Dr. Jekyll and Mr. Hyde". "Dr. Jekyll and Mr. Hyde" bukan
dua orang, tetapi satu orang dengan dua karakter yang berlawanan. Ia tampak pada
satu pihak orang baik, jujur, sopan, bermoral, tetapi pada pihak lain ia adalah juga
orang jahat, tidak bermoral, rakus. Pendeknya, ia mencerminkan koruptor Indonesia
yang tipikal: orang baik tetapi sekaligus jahat. Ia bisa wakil rakyat, berdasi, lancar
beretorika moral, tetapi ia bisa juga penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan dapat
ditambahkan sebagai pengacara/advokat, yang berfungsi sebagai officer of the court).
Dalam dunia ilmu, juga di dunia hukum (kriminologi) berlaku ungkapan bahasa
Belanda: "de uitzonderingen bevestigen de regel". Artinya: selalu ada perkecualian.
Tidak semua wakil rakyat di pusat dan daerah selalu baik, ada pula yang tidak baik.
Secara "mutatis mutandis", ada pula penegak hukum yang demikian. Saya perlu
kemukakan hal itu, sebab meskipun sulit membuktikan secara yuridis pemerasan
terselubung berupa penyuapan aktif/pasif terjadi dalam pengamatan berdasarkan
ceritra yang sulit diverifikasi, sebab orang takut terlibat atau dilibatkan.
Dari segi sejarah, KKN dan "Dr. Jekyll and Mr. Hyde" setua budaya manusia. Di
zaman Pharaoh di Mesir literatur juga mengungkapkan adanya hal itu. Demikian juga
di dunia Barat dan di zaman VOC dan masa penjajahan serta di era feodal, hal yang
demikian bukan perkecualian. Membandingkan dengan di Indonesia dewasa ini,
setidak-tidaknya secara kualitatif tampaknya KKN serta "Dr. Jekyll and Mr. Hyde"
bukannya saja seperti telah membudaya seperti kata almarhum Dr. Moh. Hatta, tetapi
dari data di media massa, KKN makin merajalela dan mengganas dari pusat sampai
ke daerah. Dan di mana ada KKN selalu ada "Dr. Jekyll and Mr. Hyde" seperti dua
kembar siam. Dari segi kriminologi KKN tidak dilakukan oleh para gangster. Wujud
kejahatan mereka lain. Kalau para gangster menggunakan senjata api, para white
collar criminal(s) ini menggunakan pena, berdasi, berparfum, menggunakan mobil
mentereng.
Sejarah hukum pidana Indonesia memperlihatkan bahwa bukan the gun is important,
melainkan the man behind the gun. Kita jangan terjebak, sebab hukum pidana adalah
ultimum remedium belaka. Hukum tidak mungkin beraksi, melainkan hukum baru
bermakna kalau para penegak hukum beraksi. Dan di sini acapkali timbul dilema
kalau penegak hukum bermental gangster. Mereka akan mengatakan pada waktu
pemeriksaan, dan itu sulit dibuktikan: uang atau penjara. Celakanya, kalau mereka
sudah terima uang, tersangka, terdakwa yang kemudian dituduh koruptor tetap
masuk penjara. Konon sudah dirayu dengan ceritra gombal sehingga harta entah
yang dikorupsi atau tidak, sudah dijual akibat rayuan gombal, berakhir ceritra dengan
air mata tetap masuk penjara.
Mana bukti (!) bentak si penegak hukum. Tentu tidak ada, kecuali yang menyaksikan
hanya Tuhan yang Maha Tahu dan yang Maha Adil. Lebih celaka lagi, anda bisa
dituduh dengan fitnah atau penyuapan. Oleh karena itu, kalau sudah "bersalah",
siap-siap sajalah dengan pembelaan yang bermutu. Bahkan janji gombal dari
pengacara dan hakim pun harus diwaspadai. Penegakan hukum dengan segala cerita
"mafia" sudah menjadi cerita rakyat, buah tutur rakyat kecil di warung kopi saja? Oh
tidak! Juga telah menjadi gosip si kalangan orang-orang terpelajar, kelas menengah
ke atas, bahkan juga di Senayan. Lalu? Gosip itu terbang dibawa angin sore
"sepoi-sepoi basah".
Itu cerita lain. Itu menjadi kewajiban pemerintah dan DPR untuk membuat
undang-undang untuk melindungi para saksi dan pemberi informasi yang bukan fitnah.
Semacam "Whistleblower Act" perlu disusun untuk melindungi mereka yang mau
pasang badan untuk menegakkan hukum dengan memberi informasi yang benar,
bukan fitnah. Hanya dengan perlindungan undang-undang yang demikian diharapkan
penegakan hukum akan berjalan sesuai dengan relnya. Tetapi ada para pihak yang
meragukan hal itu, sebab gaji para penegak hukum sangatlah sedikit. Bagaimana
dengan uang sekolah anak-anak mereka dst. dsb. Itu sebuah cerita yang tak akan
habis-habisnya.
Tetapi yang ironisnya begini: mengapa para penegak hukum itu tampak bisa hidup
"mewah". Wah, itu soal lain. Dalam fit and proper test para calon hakim agung di
DPR (Komisi II) tahun 2004, banyak di antara calon hakim agung mencantumkan
"hibah" dalam daftar kekayaan mereka. Anehnya, Pimpinan Komisi II dengan latar
belakang pendidikan hukum tidak mempersoalkan akta notarisnya dan masalah pajak
ketika meneliti aspek administrasi mereka. Semua serba bungkam seolah-olah tabu
untuk mempersoalkannya. Pada hal itu menyangkut fit and proper test. Dan pihak
legislatif, yudikatif serta eksekutif sendiri seperti memakan buah simalakama. Tetapi
apakah mereka jua sendiri bersih? Itu cerita lain lagi. Seperti kata pepatah Belanda:
"de pot verwijt de ketel". Artinya: belanga menuduh panci; sama-sama hitam
pantatnya.
Sejarah hukum pidana Indonesia yang menyangkut KKN begitu banyak lubang dan
cacatnya sehingga beberapa asas klasik diterjangnya. Sekadar untuk diketahui,
dalam Undang-Undang Korupsi No. 31 Tahun 1999 tidak ada Ketentuan Peralihan. Itu
seperti manusia "tanpa anus". Implikasinya: para koruptor di zaman Orde Baru tidak
akan terjaring, pada hal undang-undang tersebut disusun oleh beberapa guru besar.
Baru dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, kesalahan yuridis yang fatal dari
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 itu diperbaiki, setelah dikecam habis-habisan.
Tidak ada maksud untuk membahas hal-hal lain di sini. Akan disebut sepintas saja,
seperti "omkering van de bewijslast" alias pembuktian terbalik. Bahkan secara teoritik
banyak yang mengira "presumption of innocence" sama dan serupa dengan "praduga
tak bersalah" ketika diulas di media pers kasus korupsi dari seorang tokoh partai
besar.
Setelah Soeharto lengser, tampak seolah-olah KKN makin mengganas.
Pengamatan itu ada benarnya, tetapi tidak seluruhnya betul. Dulu korupsi di zaman
Orde Baru di bawah meja, sekarang di atas meja. Dulu korupsi cuma di pusat,
sekarang merajalela di daerah-daerah. Media pers mempunyai peranan informasi
dalam hal ini.
Yang sangat mengherankan saya, karena keterbatasan informasi dan belum saya
mendalami permasalahan ini: mengapa orang-orang di DPRD begitu rakus?! Apakah
gaji mereka begitu kecil? Dan mengapa bupati dan gubernur atau Mendagri tidak
turun tangan. Apakah ada hambatan di bidang peraturan perundang-undangan?
Apakah korupsi para anggota DPRD itu betul-betul tindak pidana korupsi, atau karena
kesalahan administratif perundang-undangan atau menyangkut kebijakan yang tidak
sejalan dengan undang-undang? Bayangkan puluhan wakil rakyat DPRD terjaring.
Apakah dulu-dulu mereka tidak korup atau rakus? Atau karena kesalahan teknis
perundang-undangan di daerah? Walahualam! Orang seringkali lupa bahwa salah satu
sumber korupsi adalah: Kerakusan! Demikian pula dengan penyalahgunaan
wewenang di pihak penegakan hukum.
Dan kerakusan itu ibarat api: api tidak akan pernah kenyang. Semua yang ada
dilahapnya sampai habis. Kalaupun ada sisa hanya debu. Kerakusan manusia
acapkali harus dibayar mahal dengan banyak contoh, sehingga menimbulkan
bencana alam seperti banjir, tetapi sesal kemudian tidak ada gunanya.
Setelah reformasi, pemberantasan korupsi tampaknya berjalan di tempat. SBY
datang dengan slogan Pemilu Calon Presiden yang sangat menarik: "Harus Ada
Perubahan".
Dengan meniru Amerika, pakai ungkapan 100 hari. Ternyata pemberantasan KKN
masih juga berjalan di tempat begitu ungkapan di media massa. Paradigma baru
menyesatkan kalau sistemnya tidak diubah.
Permulaan dari segala pendidikan ialah mendidik diri sendiri terlebih dahulu. Dengan
perkataan lain, kejujuran harus dimulai dari diri sendiri terlebih dulu untuk siapa saja
tanpa pandang bulu.
Penulis adalah Guru Besar Emeritus
Copyright © Sinar Harapan 2003
|