SUARA PEMBARUAN DAILY, 21 April 2005
Sorong Tolak Bergabung dengan Irjabar
JAYAPURA - Rakyat dan Pemerintah Kabupaten Sorong menolak bergabung dengan
Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) dan tetap bersatu dengan Provinsi Papua.
Penolakan itu dilakukan demi mempertahankan keutuhan bangsa dan negara
kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena konflik Irjabar menimbulkan citra buruk
terhadap kepentingan negara dan bangsa di mata dunia internasional.
Pilihan untuk bersatu dengan Provinsi Papua sesuai dengan amanat Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua yang sudah diakui di dalam negeri dan masyarakat internasional serta
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 54 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP).
Bupati Kabupaten Sorong Jhon P Wanane dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPRD) Kabupaten Sorong Selatan (Sorsel) yang dihubungi Pembaruan secara
terpisah mengemukakan hal itu, Rabu (20/4), dari Sorong, Papua. Sikap yang sama
disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sorong
Selatan (Sorsel), Wim Saflessa, dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Amanat
Nasional di Teminabuan.
Menurut Wanane, penolakan dan kembalinya Sorong ke Provinsi Papua untuk
mencegah konflik yang terus-menerus terjadi di masyarakat akibat kehadiran Provinsi
Irjabar. Bahkan membingungkan masyarakat untuk memilih pemekaran atau otonomi
khusus sebagai jalan tengah dalam menjawab kebutuhan pembangunan bagi
masyarakat.
Dikatakan kembalinya Sorong ke Papua sebagai provinsi induk sesuai amanat UU No
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Dalam Pasal 76 undang-undang tersebut menyebutkan Pemekaran Provinsi Papua
menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber
daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang.
"Jadi untuk pembentukan provinsi harus mendapatkan persetujuan dari MRP dan
DPRP setelah memperhatikan aspek sosial budaya, sumber daya manusia dan
pendapatan asli daerah.
Sebaiknya, kita semua bersabar menunggu MRP terbentuk. Kemudian duduk
bersama berdialog untuk menyelesaikan semua persoalan termasuk pembentukan
provinsi. Jangan pembentukan provinsi-provinsi dijadikan komoditas politik dan
mengadu domba rakyat di Tanah Papua yang dijadikan zona damai ini," tandas
Wanane. (ROB/W-8)
Last modified: 21/4/05
|