MENENTUKAN ARAH
PROTESTANTISME DI INDONESIA
RESTRUKTURISASI, REVITALISASI DAN REDEFENISI
GERAKAN KEESAAN DI INDONESIA
Andreas A. Yewangoe
Judul “Menentukan Arah Protestantisme di Indonesia” mengasumsikan bahwa sedikit-banyaknya Protestantisme telah kehilangan arah. Maka karena itu arah itu mesti ditentukan (kembali). Tentu mesti dijelaskan ke arah mana, bagaimana arah itu ditentukan dan siapa yang menentukan. Mudah-mudahan Seminar Sehari ini dapat menemukan gejala-gejala kehilangan arah tersebut sehingga arah yang benar dapat ditentukan.
Membicarakan Protestantisme di Indonesia pada saat ini membutuhkan penjelasan. Siapa saja yang tergolong dalam Protestantisme? Kita tahu bahwa sejak reformasi (di abad ke 16) itu telah sekian banyak denominasi muncul, yang langsung atau tidak langsung mengklaim dirinya sebagai “Protestan”. Di Departemen Agama RI, di bawah Ditjen Kristen Protestan sekian banyak denominasi mendaftarkan diri. Bahkan Saksi Yehovah juga ingin mendaftarkan diri, hal yang membuat bingung Depag RI. Kebingungan itu merupakan petunjuk bahwa mesti ada kriteria jelas apa yang dimaksud dengan Protestantisme.
Menarik juga untuk dicatat, bahwa selama ini (setidak-tidaknya di Indonesia) orang cenderung, ketimbang “Protestantisme”, lebih suka memakai istilah “Kekristenan”. Bahwa istilah ini secara tegas dikemukakan (di sini), mungkin ada kaitannya dengan nama “Gereja Protestan di Indonesia”, atau “Gereja Protestan Maluku”, atau “Gereja Protestan di Indonesia Bahagian Barat”, yang (diasumsikan) tetap memelihara warisan-warisan reformasi (Calvin dan Calvinisme). Tetapi “Huria Kristen Batak Protestan” juga melekatkan istilah “Protestan” yang sedikit-banyaknya memelihara tradisi Luther dan Lutheranisme yang juga tercampur dengan tradisi Calvin, sehingga di sebut Uniert.
Beberapa tahun lalu, dengan diprakarsai oleh Lembaga Interfidei, di Yogyakarta diselenggarakan sebuah Seminar dengan tajuk, “Protestantisme di Simpang Jalan”. Diasumsikan bahwa protestantisme hampir-hampir tidak lagi memperlihatkan peranannya yang mengesankan dalam berbagai perkembangan sosial-kemasyarakatan. Malah terkesan mundur. Sampai di mana kebenaran sinyalemen itu perlu dibuktikan. Pertanyaannya adalah apakah benar protestantisme pernah maju di Indonesia. Kesan kemajuan itu dilihat dari kenyataan bahwa kelompok-kelompok lainnya selama ini memang belum maju. Maka ketika kelompok-kelompok lain itu maju, dengan segera protestantisme kelihatan mundur.
Empat ratus tahun sejarah gereja Protestan di Indonesia. Bahwa terminal 400 tahun ini diambil sebagai titikberangkat keberadaan gereja Protestan di Indonesia tentu dapat difahami. Namun demikian, akan jauh lebih menguntungkan secara “politik” dan “oikomenis” apabila titik-berangkat itu melampaui 400 tahun, yaitu ketika Fransiscus Xaverius untuk kali pertama menginjakkan kaki di Maluku. Tentu tidak dapat disangkal kenyataan, sebagaimana juga diindikasikan oeh TOR seminar ini bahwa kehadiran Protestantisme (kekristenan) di Indonesia dan Maluku khususnya sebagai bahagian dari suatu proses penaklukan dunia oleh “duet” kekuasaan dan perdagangan. Ini tetap merupakan beban sejarah, yang dalam pergaulan dengan teman-teman sebangsa, stigma bahwa Agama Kristen adalah Agama Barat (agama kaum penjajah) tetap dilekatkan. Adalah tugas bersama kita sekarang untuk makin membuktikan bahwa stigma itu tidak perlu dipertahankan terus-menerus.
Tugas saya sekarang adalah untuk membahas restrukturisasi, revitalisasi dan redefenisi peran gerakan keesaan di Indonesia. Kalau kita berbicara mengenai gerakan keesaan, maka dengan segera kita teringat kepada gerakan keesaan yang dilakukan oleh gereja-gereja yang tergabung dalam Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).[1] Maka tanpa mengabaikan kenyataan bahwa gerakan keesaan mestinya tidak boleh dipersempit hanya pada PGI, kita sekarang hanya mengarahkan perhatian kepada PGI.
Gerakan keesaan yang bermuara pada pembentukan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) pada tanggal 25 Mei 1950 telah didahului oleh banyak peristiwa-peristiwa yang mengkondisikannya. Kita dapat mencatat misalnya gerakan oikoumene modern, yang ditandai dengan diselenggarakannya konferensi oikoumene di Edinburgh, Skotlandia, 1910. Dalam konferensi ini dipersoalkan bukan hanya masalah-masalah intern gerejawi, tetapi juga tanggungjawab gereja terhadap dunia. Dua lembaga internasional patut disebutkan di sini yang punya pengaruh sangat besar terhadap gerakan keesaan di Indonesia, yaitu Dewan Pekabaran Injil Sedunia (International Missionary Council)[2], dan Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia (World Student Christian Federation). Kunjungan tokoh-tokoh dari kedua lembaga tersebut ke Indonesia sangat menentukan bagi kebangkitan kerinduan untuk lebih menghayati persekutuan gerejawi yang lebih luas, dan penampakan kebersamaan di antara gereja-gereja di Indonesia.[3]
Di dalam negeri gerakan nasionalisme dalam bentuk berbagai pergerakan nasional ikut pula merangsang ide-ide gerakan oikoumene itu. Christen Studenten Vereneging (CSV) op Java, demikian juga penyelenggaraan Konferensi Mahasiswa Kristen Asia di Citeureup dan berbagai pertemuan-pertemuan gerejawi lainnya semuanya menyumbang bagi penghayatan kesadaran beroikoumene. Kita tidak akan menguraikan berbagai peristiwa itu panjang-lebar di sini. Cukuplah kalau dikatakan, bahwa sesudah itu terdapat lagi sekian banyak pertemuan-pertemuan dunia seperti Konferensi IMF I di Tambaram-India (1938), di mana Indonesia mengutus delegasi dengan komposisi terbesar orang-orang Indonesia.[4] “Tambaram” dapat dianggap sebagai momentum penting bagi terjadinya serangkaian pertemuan-pertemuan antara gereja-gereja, badan-badan zending dan lembaga-lembaga Kristen di Indonesia guna menemukan perwujudan kebersamaan yang efektip. Konferensi IMC di Whitby (1947) juga dihadiri oleh delegasi Indonesia. Inilah konferensi pertama yang diselenggarakan sesudah Perang Dunia II. Pada tahun yang sama diselenggarakan pula konferensi Pemuda Kristen Sedunia di Oslo-Norwegia, juga dihadiri delegasi Indonesia. Pada waktu itu Yogyakarta sedang diserang oleh Belanda, yang juga menimbulkan ketegangan antara delegasi Belanda dengan delegasi Indonesia. Ketegangan ini bermuara pada pernyataan bersama yang mengutuk serangan tersebut. Terbentuknya World Council of Churches (WCC) di Amsterdam (1948) juga merupakan salah satu perangsang penting bagi terbentuknya gerakan oikoumene di Indonesia.
III.
Terbentuknya Dewan Gereja-gereja
di Indonesia (DGI)
Sebelum DGI terbentuk pada tahun 1950, perlu dicatat bahwa telah dibentuk di Yogyakarta, “Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja di Indonesia” (DPGI), pada 22 Mei 1946. Di Indonesia Timur terbentuk, “Madjelis Oesaha Bersama Geredja-Geredja Kristen Indonesia Timur” (1947), sedangkan di Sumatera terbentuk “Dewan Geredja-gereja Indonesia Sumatera” (1949), yang juga dikenal sebagai “Madjelis Kristen Sumatera”.[5]
Semua ini, baik gerakan-gerakan keesaan di luar Indonesia, mau pun terbentuknya lembaga-lembaga keesaan daerah merupakan dorongan besar bagi terbentuknya DGI pada tanggal 25 Mei 1950. Pembentukan DGI tersebut dinyatakan dengan sebuah manifes.[6] Paling tidak terdapat tiga matra yang ikut memengaruhi mengapa DGI ada: 1. Indonesia sedang mengalami berbagai pergolakan daerah-daerah (DI/TII, RMS, dll); 2. gereja-gereja dan DGI hidup dalam suatu masyarakat yang dinamis dalam kesetiaan kepada Tuhan. Sebagai demikian, gereja-gereja mengikuti perkembangan dan pembaruan yang mestinya tercermin dalam pemikiran teologis dalam organisasi dan dalam strukturnya, berikut program-program DGI dan anggota-anggotanya dalam menjalankan pelayanan dan kesaksian di tengah-tengah masyarakat. 3. gereja-gereja dan DGI ikut-serta dalam gerakan oikoumene yang lebih luas di Asia dan dunia. Terdapat hubungan pengaruh-memengaruhi secara timbal-baik antara pergerakan oikoumene di Indonesia dan pergerakan oikoumene di dunia.[7]
Bagaimana mewujudkan keesaan dari gereja-gereja yang mempunyai latar-belakang sejarah masing-masing, dan yang kebanyakannya masih berbentuk gereja-gereja suku? Itulah pertanyaan penting. Anggaran Dasar DGI pasal 3 merumuskan tujuan pembentukan DGI sebagai, “mewujudkan Gereja Kristen yang esa (GKYE) di Indonesia”. Tetapi bagaimana?
Setidak-tidaknya tiga pandangan muncul pada waktu itu: pertama, kesatuan gereja tidak terletak pada kesatuan organisasi, kesatuan tatagereja, kesatuan liturgia, dan kesatuan rumusan pengakuan percaya, tetapi pada kesatuan roh. Pandangan ini diwakili oleh Pendeta G.H.M.Siahaan (Sekjen HKBP). Kedua, bersama-sama hidup sebagai satu gereja, tetapi setiap gereja mempunyai keunikannya sendiri. Contoh dalam hal ini adalah GPI. Pandangan ini dikemukakan oleh Pdt P.H. Rompas (GPI). Ketiga, adanya keesaan seperti dirumuskan dalam Doa Yesus, yang juga berarti baik kesatuan organisatoris, mau pun organisme. Pandangan ini dikemukakan oleh Dr. R. Sudarmo dari GKJ.[8]
Dari berbagai pemahaman dan juga pengalaman gereja-gereja di Indonesia dalam beroikoumene, Dr.F.Ukur mengkonstatir, bahwa dalam proses pengembangan dan pemahaman mengenai wujud GKYE itu ada semacam ketegangan antara dua kecenderungan: a. kecenderungan untuk mengutamakan keesaan rohani dalam Kristus dan karena itu enggan membahas hal-hal yang menjurus kepada penyatuan keesaan struktural-organisatoris, dan b. kecenderungan untuk mengutamakan keesaan struktural-organisasi, dan karena itu kurang sabar terhadap segala perbedaan dan sikap mempertahankan identitas masing-masing.[9]
Banyak diskusi digulirkan seputar keesaan macam manakah sesungguhnya dikehendaki gereja-gereja di Indodnesia. Pernah misalnya dikonsepkan sebuah Tata Sinode Gereja Oikoumene di Indonesia (Sinogi), yang sedianya akan dibahas dalam Sidang Raya VI (waktu itu disebut Sidang Lengkap) DGI di Makassar. Namun sebelum dibawa ke sana konsep itu telah digugurkan karena dianggap tidak realistis. Kendati demikian, itu tidak berarti bahwa perjalanan gerakan keesaan mandek. Dalam Sidang Raya VII Pematang Siantar (1971) diambil keputusan: 1. menerima dan mengesahkan struktur baru DGI. Dengan demikian gereja-gereja anggota langsung bertanggungjawab atas usaha perwujudan keesaan gereja. 2. menempatkan keesaan gereja dalam hubungan dengan kesaksian dan pelayanan.[10]
Dalam Sidang Raya Tomohon (1980) diputuskan: “Supaya masa 4 tahun mendatang ini sungguh-sungguh dimanfaatkan DGI dan gereja-gereja anggota untuk secara bersama-sama menyusun dan melaksanakan program-program yang konkret secara bertahap, di tingkat setempat, sewilayah dan nasional, guna mempersiapkan pembentukan satu gereja Kristen yang esa di Indonesia di dalam Sidang Raya X DGI.”[11]
Dari berbagai diskusi setelah Tomohon makin terlihat bahwa untuk menuju kepada satu GKYE setidaknya harus nampak dalam ciri berikut: a. adanya satu pengakuan iman; b. adanya satu wadah bersama; c. adanya satu tugas panggilan dalam satu wilayah bersama; d. saling mengakui dan saling menerima; dan e. saling menopang. Maka lahirlah apa yang disebut simbol-simbol keesaan (Sidang BPL-DGI 1981) yang meliputi 4 dokumen: 1. Piagam Prasetya Keesaan; 2. Pemahaman Iman Bersama; 3. Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima; dan 4. Tata Dasar.[12]
Sidang Raya X DGI di Ambon mengalami suatu “lompatan” kendati kecil, yaitu diubahnya “Dewan” menjadi “Persekutuan”. Dengan demikian, Dewan Gereja-gereja di Indonesia berganti nama menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Dengan perubahan ini gereja-gereja diajak untuk terus memikirkan perwujudan GKYE. Dalam SR ini juga disepakati untuk menerima Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) yang terdiri dari: a. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB); b. Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK); c. Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM); d. Tata Dasar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (TD-PGI); e. Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana (MKTDD).
Dengan sengaja PTPB didahulukan dalam urutan, sebab menurut gereja-gereja inilah yang paling “mudah” dilakukan. “Suatu wawasan tugas panggilan dan misi bersama gereja-gereja di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang sedang membangun masa depannya dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.”[13] Maka misi bersama itu mesti dilihat sebagai misi yang mencakup tanggungjawab gereja guna berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.
SR Surabya (1989) dan SR Jayapura (1994) tidak mengubah apa yang ditetapkan di Ambon itu. Dalam perjalanan gereja-gereja, demikian juga bangsa selama tahun-tahun itu banyak sekali pesoalan-persoalan yang muncul. Salah satu persoalan akut yang dihadapi adalah kemiskinan. Hal itu terungkap dalam SR Surabaya. Kemiskinan adalah musuh bersama yang mesti dieliminasi. Tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan itu sebagai akibat salah-urus dalam pembangunan, seperti masalah keadilan. Maka ketika LDKG, dan secara khusus PTPB disempurnakan, hal-hal yang disebutkan ini ikut mewarnainya. Dalam SR Jayapura ditetapkan upaya-upaya untuk Penjemaatan dan Penggerejaan LDKG. Penjemaatan menempatkan anggota jemaat sebagai sasaran, sedangkan penggerejaan menjadikan struktur gereja sebagai sasaran. Dengan demikian diharapkan LDKG makin lama makin difahami dan dihayati.
Sidang Raya Palangka Raya (2000) menegaskan bahwa GKYE harus sudah diwujudnyatakan selambat-lambatnya pada Sidang Raya XIV PGI (2004-2005). Untuk itu perlu disiapkan Konsep DKG 2000, PGI 2000-2005, dan AOG, bukan sebagai syarat tetapi sebagai persiapan menyambut wujud-nyata GKYE[14]. Guna menyongsong wujud-nyata GKYE itu gereja-gereja sudah harus dalam kondisi siap dengan melaksanakan 4 agenda gereja, yaitu, 1. program mengatasi kekerasan; 2. upaya ikut mewujudkan civil society; 3. Degree of Connectivity; dan 4. Accountability gereja-gereja. Disebutkan bahwa ada perjumpaan antara Tuhan dan manusia, dan perjumpaan itu direfleksikan dalam pengakuan iman. Alhasil, PBIK ditempatkan dalam urutan pertama dalam (L)DKG.
Pengalaman 4 tahun terakhir ini memperlihatkan bahwa tidak mungkin mewujudkan GKYE kalau yang dimaksud adalah keesaan struktural-organisatoris. Dalam DKG Keputusan SR XIV Jakarta (2004) kita membaca: “SR XIV Jakarta (2004) menilai bahwa gereja-gereja ternyata belum dalam kondisi siap melaksanakan 4 agenda tersebut, yang juga berarti belum dalam kondisi siap mewujudnyatakan GKYE. Itu tidak berarti bahwa kita meninggalkan cita-cita perwujudan GKYE. Namun Sidang Raya memahami bahwa wujud keesaan gereja mestinya tidak saja dinilai dari keesaan struktural-organisatoris, tetapi juga fungsional-organisme. Ini berarti bahwa keesaaan kita adalah keesaan in action, dalam artian bahwa justru dalam melaksanakan aksi bersama keesaan kita makin lama makin nyata. Tetapi memang aksi bersama itu mesti ditempatkan dalam kerangka (frame) visi dan misi bersama, yang setiap lima tahun sekali diperbaharui dengan diinspirasikan oleh tema dan subtema SR. Maka Sidang Raya kembali menegaskan pelaksanaan PTPB sebagai agenda bersama gereja-gereja dalam lima tahun mendatang. Sebagai demikian, PTPB ditempatkan pada urutan pertama, tanpa mengabaikan keyakinan bahwa melakukan aksi bersama itu, justru merupakan wujud perjumpaan Allah dengan manusia (baca: gereja-gereja)”[15].
Dari penjelasan yang singkat di atas, mudah-mudahan telah jelas apa yang diharapkan oleh Seminar ini dalam kitan dengan gerakan keesaan di Indonesia. Meredefenisikan gerakan oikoumene berarti, kita tidak akan terjebak dalam diskusi tanpa habis-habisnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan struktur dan institusi GKYE, kendati hal itu tetap penting. Itulah sebabnya, gerakan oikoumene dirumuskan sebagai keesaan in action. Artinya kalau saja gereja-gereja secara bersama-sama melakuan tugas-tugas (kesaksian dan pelayanan)nya sebagaimana dirmuskan dalam PTPB, maka keesaan itu akan makin nyata. Dalam menjalankan tugas-tugas ini, kita dapat ikut memecahkan berbagai persoalan di dalam masyarakat kita, bersama-sama dengan teman sebangsa kita, yang tentu saja dilandaskan pada pengakuan iman kita sebagai gereja. Tema SR Jakarta adalah, “Berubahlah Oleh Pembaruan Budimu (Roma 12:2b)”. Ini merupakan landasan bagi gereja-gereja untuk menjalankan tugas-tugas kesaksian dan pelayanannya di dalam masyarakat majemuk Indonesia, seraya mengintrospeksi dirinya, sungguh-sungguhkah pembaruan budi itu sudah terjadi pada segala aras gerejawi. Dalam lima tahun mendatang, gereja-gereja diharapkan akan ikut-serta mewujudkan civil society (masyarakat berkeadaban) bersama-sama dengan teman sebangsa, yang di dalamnya hukum yang berkeadilan ditegakkan, hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi, keutuhan ciptaan dihormati dengan saksama. Ini berarti bahwa gerakan keesaan kita, bukan saja mengatur hal-hal intern (kendati tetap penting), tetapi juga yang mengarah “keluar”, kepada sesama (“Gereja Bagi Orang Lain”), yang tidak terisolasi di dalam ghettonya sendiri. Alhasil, relasi dengan para penganut agama-agama lain misalnya, mesti diberikan perhatian yang jauh lebih serius lagi.
Revitalisasi adalah bagaimana kita makin mendorong supaya gerakan keesaan bukan hanya merupakan gerakan dari para “elit” gereja, tetapi sungguh-sungguh merupakan gerakan anggota-anggota jemaat. Sidang Raya Jayapura sesungguhnya telah merumuskan itu dengan istilah penjemaatan, dan adagium, “Visi Sentral, Prakarsa Desentral”. Gereja-gereja bertugas untuk terus membangkitkan semangat (boleh juga dibaca, demam) keesaan di dalam gereja-gereja sendiri sampai kepada aras jemaat. Prakarsa-prakarsa yang diambil bahkan pada aras yang paling basis guna mewujudkan kebersamaan dengan sesama anggota gereja lain, mesti dipandang sebagai bahagian dari gerakan keesaan. Kenyataan selama ini adalah, adanya anggapan bahwa seakan-akan gerakan keesaan itu hanya ada di PGI Salemba 10. Anggapan ini mesti dikoreksi, dan kita memindahan prakarsa itu dari Salemba 10 ke jemaat-jemaat sendiri. Kita mendorong supaya élan gerakan keesaan itu sungguh-sungguh bertumbuh dan berakar di dalam jiwa anggota-anggota jemaat kita.
Restrukturisasi gerakan keesaan tentu saja tetap penting. Ini berkaitan dengan organisasi gereja dan lembaga-lembaga keesaan. Diharapkan bahwa di dalam gereja-gereja sendiri dilakukan restrukturisasi yang dapat mendukung tugas-tugas pelayanan dan kesaksian gereja di tengah-tengah masyarakatnya. Struktur yang terlampau “berat” supaya ditinggalkan, digantikan dengan yang lebih “lincah”. Di Salemba 10 juga sedang dilakukaan restrukturisasi, misalnya saja bagaimana menetapkan departemen-departemen yang sungguh-sungguh dapat menampung tugas-tugas sebagaimana dirumuskan dalam PTPB 2004-2009. Juga tetap menjadi pergumulan gereja-gereja kita sekarang ini, bagaimana memberi daya dorong kepada PGIW/Synode Am agar sungguh-sungguh dapat berfungsi secara optimal di dalam wilayahnya masing-masing.
Pergumulan jangka panjang kita adalah bagaimana memperoleh sebuah ekklesiologi yang sungguh-sungguh (bersifat) Indonesia. Artinya sebuah ekklesiologi yang, pada satu pihak, memerdekakan kita dari warisan ekklesiologi “Barat” yang tidak perlu, dan pada pihak lain, yang membebaskan kita dari penjara-penjara kesukuan sempit. Alangkah indahnya apabila itu kita wujudkan, kendati juga harus diingat bahwa bahkan di dalam Perjanjian Barupun keberbagaian ekklesiologi bukanlah hal aneh. Sebagai langkah pertama, sesungguhnya kita telah mempunyai semacam embrio ekklesiologi, yaitu yang disebut “Piagam Saling Mengakui Dan Saling Menerima” (PSMSM). Dalam rangka revitalisasi gerakan oikoumene, kita menghimbau agar dokumen ini sungguh-sungguh dilaksanakan. Gejala “pencurian domba” yang selama ini terdengar lantang, adalah tanda bahwa kita belum menghormati PSMSM.
Bagaimanapun gereja Tuhan berada di Indonesia. Maka keberadaannya di Indonesia juga tidak boleh (tetap) merupakan obyek kecurigaan teman-teman sebangsa kita. Maraknya tuduhan bahwa seakan-akan telah terjadi proses kristenisasi di Aceh, ketika terjadi bencana alam gempa dan tsunami, maraknya penutupan gedung-gedung gereja di Banten dan Jawa Barat, pada satu pihak dapat dilihat sebagai “bukti” bahwa kecurigaan itu tetap ada, tetapi pada pihak lain, adalah dorongan untuk kita merenungkan kembali makna keberadaan kita sebagai gereja di tengah-tengah masyarakat majemuk ini.
Ambon, 26 Februari 2005
__________
*) Disampaikan Dalam Seminar Sehari “Mengkritisi Peran Protestantisme Dalam Proses Menyejarahnya di Indonesia”, di Ambon, 25-26 Februari 2005.
**) Ketua Umum PGI.
[1] Di Indonesia dewasa ini cukup banyak persekutuan-persekutuan yang mengklaim dirinya sebagai gerakan keesaan. Ada PII, PGPI, dan seterusnya. Di samping itu terdapat juga berbagai forum (terdiri dari warga gereja) yang juga mengklaim dirinya sebagai sedang melakukan gerakan keesaan.
[2] Konferensi IMF yang diselenggarakan di Yerusalem pada tahun 1928 dihadiri oleh prof.Dr.TSG Mulia. Sepulang dari sana ia mengritik kebijakan lembaga-lembaga Zending yang menganggap sepi saja semua peristiwa-peristiwa dunia, di mana imperialisme diperhadapkan dengan nasionalisme dan komunisme.
[3] J.S.Aritonang, “Tinjauan Sejarah”, dalam J.S.Aritonang (Peny.), Gereja di Abad ke 21, Balitbang PGI, Jakarta 2000, p. 13
[4] J.S.Aritonang, ibid, p. 14.
[5] J.S.Aritonang, ibid, p. 7. Lihat pula F.Ukur, “Kebangkitan Agama Kristen Dalam Abad XX dan Dampaknya Pada Pembangunan Nasional”, Ceramah pada Pertemuan Depag RI, 1983, p. 17.
[6] Manifest Pembentukan DGI berbunyi sebagai berikut: “Kami anggota2 Konferensi Pembentukan Dewan Geredja2 di Indonesia, mengumumkan dengan ini bahwa sekarang Dewan Geredja2 di Indonesia, menudju kepada keesaaan Geredja2 di Indonesia, seperti termaktub dalam Anggaran Dasar Dewan Geredja2 di Indonesia, yang sudah ditetapkan oleh sidang pada 25 Mei 1950. Kami pertjaja bahwa berdirinja Dewan Geredja2 di Indonesia sebagai usaha kearah terlaksananja amanat Tuhan kepada umatNja adalah semata-mata karunia Tuhan. Kami serahkan Dewan ini ke dalam Tangan Allah, Bapa dan AnakNya dan Roh Kudus. Kiranja Tuhan senantiasa menunggu keluar masuknja daripada sekarang ini sampai selama2nja untuk kemuliaan nama Tuhan dalam dunia ini. Djakarta, 25 Mei 1950.” (dikutib dari BAKI 2000, p. 12)
[7] A.A.Yewangoe, “Dari ‘Dewan’ Ke ‘Persekutuan’, Menuju GKYE, Sebuah Refleksi”, dalam J.S.Aritonang (peny.), op.cit. p. 269.
[8] J.L.Ch.Abineno, “Masalah-masalah Keesaan”, dalam T.B.Simatupang (Peny), Dua Puluh Lima Tahun DGI, Jakarta, 1975, p. 47. Lihat juga A.A.Yewangoe, op.cit. pp. 270-271.
[9] F.Ukur, “Pembimbing Ke Dalam Lima Dokumen Keesaan Gereja”, dalam Dalam Kemantapan Kebersamaan Menapaki Dekade Penuh Harapan (Lima Dokumen Keesaan Gereja), Jakarta, 1991.
[10] A.A.Yewangoe, op.cit. p. 272. Selama ini keesaan hanya dilihat sebagai keesaan organisatoris saja. Sesuai dengan tema SR pada waktu itu, “Disuruh Ke Dalam Dunia”, keesaan gereja tidak saja nyata dalam ibadah gereja, tetapi juga dalam kesaksian dan pelayanannya. Atas dasar itu pula maka DGI Wilayah diberikan status dan tugas lain, yaitu tidak lagi merupakan alat-alat (“cabang”) dari DGI, tetapi sebagai wadah dari gereja-gereja anggota.
[11] F.Ukur, “Pembimbing….”, dalam Dalam Kemantapan…p. 12; A.A.Yewangoe, op.cit., p. 274.
[12] F.Ukur, ibid., p. 13
[13] Dikutib dari PTPB tersebut.
[14] PGI, Dokumen Keesaan Gereja di Indonesia, Jakarta 2003, (edisi revisi), p. 4
[15] PGI, Dokumen Keesaan Gereja 2004-2009.