oleh BHIKKHU PESALA
ALIH BAHASA:
Kaliyani Kumiayi, SE
Dra. Sujata Lanny Anggawati
Dra. Yasodhara Wena Cintiawati
EDITOR: Bhikkhu Uttamo
BAGIAN TIGA BELAS
52. Dua Buddha Tidak Dapat Muncul Bersama
"Sang Buddha bersabda, 'Dalam dunia ini, tidak
mungkin dua Buddha yang telah
mencapai Penerangan Sempurna ada bersamaan.'(M.
iii. 65; A. i. 27; Vbh. 336)
Tetapi, Yang Mulia Nagasena, jika semua Tathagata
mengajarkan ajaran yang
sama mengapa mereka tidak boleh ada bersama?
Jika ada dua Buddha, mereka akan dapat mengajar
lebih santai dan dunia ini
akan lebih mendapat penerangan."
"O Baginda, seandainya ada dua Buddha muncul
sekaligus, bumi ini tidak akan
mampu menahan beban kebajikan mereka berdua.
Bumi akan bergetar, bergoncang
dan hancur. Misalnya, O Baginda, ada orang yang
telah makan begitu banyak
sehingga tidak ada lagi tempat yang tersisa di
perutnya. Jika ia harus makan
sebanyak itu lagi apakah ia akan merasa nyaman?
"Tentu saja tidak, Yang Mulia. Jika ia makan
lagi ia akan mati."
"Demikian juga halnya, O Baginda raja, bumi ini
tidak akan dapat tahan kalau
terdapat satu Tathagata lagi. Sama halnya seperti
orang yang tidak akan
dapat tahan kalau harus makan lagi. Dan jika
ada dua Buddha, maka akan
timbul persengketaan di antara para pengikutnya.
Lagipula, pernyataan bahwa
Sang Buddha adalah yang utama dan tidak ada bandingannya
akan menjadi salah."
"Dengan baik sekali dilema ini telah dijelaskan.
Bahkan orang yang tidak
pandaipun akan merasa puas, apalagi orang yang
bijaksana. Bagus sekali, Yang
Mulia Nagasena, aku menerimanya seperti yang
telah Bhante katakan."
53. Persembahan bagi Sangha
"Ketika Mahapajapati Gotami mempersembahkan jubah
mandi bagi Sang Buddha,
Beliau bersabda padanya, 'Berikanlah pada Sangha,
Gotami. Jika kau berikan
pada Sangha, Aku akan merasa dihormati. Demikian
juga Sangha.' Apakah itu
karena Sangha lebih penting dari pada Sang Buddha?"
"O Baginda, bukan berarti bahwa persembahan bagi
Sang Buddha tidak akan
memberikan manfaat yang besar. Itu dimaksudkan
untuk menunjukkan kebesaran
Sangha sehingga pada waktunya nanti Sangha akan
dijunjung tinggi. Seperti
halnya, Baginda tuan, seorang ayah memuji anaknya
di pengadilan kerajaan
dengan pikiran, 'Jikalau ia mendapat nama baik
di sini sekarang, maka dia
akan dihormati juga setelah aku tiada.' Atau
misalkan, O Baginda, seseorang
mempersembahkan suatu hadiah pada raja, dan kemudian
raja memberikan hadiah
itu kepada orang lain - prajurit atau pesuruh.
Apakah orang itu lalu menjadi
lebih tinggi dibandingkan raja?"
"Tentu saja tidak, Yang Mulia. Orang itu menerima
gajinya dari sang raja,
dan rajalah yang menempatkannya pada kedudukan
itu."
"Demikian juga, O Baginda, Sangha tidak menjadi
lebih tinggi
dibandingkan Sang Tathagata hanya karena suatu
persembahan. Dan tidak ada, 0
raja, makhluk apapun yang lebih pantas menerima
persembahan dari pada Sang
Tathagata (M. iii. 253). Hal ini telah disabdakan
oleh Sang Buddha sendiri:
'Ada satu maldaluk;
O, para bhikkhu, yang dilahirkan di dunia
ini demi kebaikan dan manfaat banyak pihak,
karena rasa welas
asihnya pada dunia, serta
demi kebaikan
dan manfaat para dewa dan manusia.
Dan siapakah makhluk
itu?
Seorang Tathagata,
seorang Arahat, Buddha Yang Utama."'
(A. i. 20)
54. Manfaat Hidup sebagai Pertapa
"Sang Buddha bersabda, 'Aku akan memuji umat awam
ataupun bhikkhu yang telah
berlatih dengan benar dan mendapatkan cara yang
benar' (M. ii. 197; A. i.
69). Jika seorang umat awam, yang menikmati kenikmatan
indria, hidup dengan
istri serta anak-anaknya, menggunakan wewangian
serta menerima emas dan
perak, dapat mencapai tingkat Arahat, lalu apa
gunanya menjadi seorang
bhikkhu dengan kepala tercukur, makan tergantung
pada pemberian umat,
memenuhi 150 aturan dan menjalani tigabelas latihan
pertapa? Bhikkhu menahan
diri tidak ada hasilnya, bhikkhu meninggalkan
keduniawian tidak ada gunanya,
bhikkhu memperhatikan peraturan itu sia-sia belaka,
dan bhikkhu mengucapkan
tekad lainnyapun tidak ada
artinya. Apa gunanya menyusahkan diri sendiri
dengan kesulitan, jika dengan
kenyamananpun kebahagiaan itu dapat dicapai?"
"Memang benar adanya jika dikatakan bahwa orang
yang berlatih dengan benar
adalah orang yang terbaik, tak peduli apakah
dia itu seorang bhikkhu ataupun
umat awam. Jika seorang pertapa yang berpikir
Aku adalah seorang pertapa
tidak berlatih dengan benar, maka ia jauh dari
kehidupan pertapa. Apalagi
perumah tangga yang mengenakan pakaian umat awam!
Tetapi walaupun demikian, keuntungan yang didapat
sebagai seorang pertapa
itu terlalu banyak untuk bisa diukur. Karena
hanya mempunyai sedikit
keinginan, maka ia mudah puas. Ia menjauhkan
diri dari masyarakat. Dengan
bersungguh hati, tidak berumahtangga, ia menjalani
peraturan, ia teguh dan
trampil dalam latihan menyingkirkan kekotoran
batin. Karena itulah ia dapat
dengan cepat menyelesaikan tugas yang
dijalaninya. Seperti halnya, O Baginda, tombak
Baginda, karena halus dan
lurus ia dapat dengan cepat mencapai sasaran."
55. Praktek Penahanan Diri
"Ketika Sang Bodhisatta sedang mempraktekkan penahanan
diri dengan begitu
kerasnya, Beliau tidak dapat mencapai tujuannya.
Maka kemudian Beliau
meninggalkan praktek tersebut dan berpikir, 'Tak
mungkinkah ada jalan lain
menuju kebebasan?' (M. i. 246). Tetapi ketika
menyuruh para
muridnya, Beliau bersabda:
Ambillah tindakan, tinggalkan
kehidupan duniawi,
Paksakanlah diri kalian
dalam ajaranKu,
Dan hancurkanlah pasukan
kematian
Bagaikan gajah menghancurkan
rumah buluh'."
(S. i. 156, Kvu. 203, Thag. 256)
"Mengapa Sang Tathagata menyuruh para muridnya
mengikuti latihan yang oleh
Beliau sendiri telah ditinggalkan?"
"Karena pada saat itu, O Baginda, dan masih sampai
saat ini juga, hanya
itulah satu-satunya jalan. Dan lewat jalan itulah
Sang Bodhisatta mencapai
ke-Buddha-an. Sang Bodhisatta, yang memaksakan
dirinya dengan amat sangat,
mengurangi makanan yang dimakannya sampai kemudian
tidak makan sama sekali.
Karena kurang makan, Beliau lalu menjadi lemah.
Akan
tetapi ketika Beliau kemudian mulai makan makanan
padat, lewat pemaksaan
diri jugalah Beliau mencapai ke-Buddha-an. Tidak
ada yang salah dalam
pemaksaan diri itu. Hanya karena kurang makananlah
maka pemaksaan diri itu
tidak membawa hasil. Ibarat orang yang karena
sangat terburu-buru
kemudian menjadi sangat lelah, lalu jatuh dan
tidak dapat meneruskan lagi,
bukanlah kesalahan bumi ini maka ia terjatuh.
Kesalahannya terletak pada
pemaksaan dirinya yang keterlaluan. Seperti halnya,
O Baginda, bila ada
orang yang memakai jubah tetapi tidak pemah mencucinya,
kesalahannya tidak
terletak pada airnya, melainkan pada orang itu.
Itulah sebabnya Sang
Tathagata mendorong dan memimpin para muridnya
di sepanjang Jalan itu.
Karena Jalan itu selalu siap, dan selalu benar."
56. Kembali pada Kehidupan Awam
"Apakah benar memperbolehkan umat awam masuk ke
dalam Sangha sebelum mereka
mencapai Sotappana Magga? Jika orang seperti
itu lalu meninggalkan kehidupan
kebhikkhuan, orang-orang mungkin akan berpikir
bahwa agama tidak memberikan
manfaat.'
"Jika, O Baginda, ada kolam yang airnya sangat
bersih dan ada orang yang
ingin mandi pergi ke sana, tetapi kemudian dia
berbalik pergi lagi tanpa
mandi, apakah orang-orang akan menyalahkan orang
itu tadi atau kolamnya?"
"Mereka akan menyalahkan orang itu."
"Demikian juga, O Baginda, Sang Tathagata telah
membangun kolam yang penuh
dengan ajaran Dhamma yang murni. Sang Buddha
bcrpikir, 'Mereka yang
mempunyai kekotoran batin tetapi pandai dapat
menghilangkan kekotoran mereka
di sini.' Tetapi jika ada orang yang kembali
ke kehidupan awam tanpa
membersihkan kekotoran batinnya, maka yang bersalah
adalah orang itu. Tidak ada alasan untuk mencari
kesalahan dalam Ajaran.
Sebaliknya, mereka yang kembali pada kehidupan
berumahtangga menunjukkan 5
sifat khusus Ajaran Sang Penakluk. Mereka menunjukkan:
1. betapa mulianya Ajaran itu,
2. betapa murninya Ajaran itu,
3. betapa Ajaran itu terbebas dari segala kejahatan,
4. betapa sulitnya untuk menembus Dhamma, dan
5. betapa banyaknya kontrol diri dalam kehidupan
suci.
"Dan bagaimana mereka menunjukkan kemuliaan kehidupan
suci itu? Sama halnya,
O Baginda, bila ada orang yang dilahirkan di
kasta rendah, miskin dan tidak
pandai. Jika ia mendapat kekayaan kerajaan yang
agung, tidak lama kemudian
ia akan terguling dan terlepas dari kemuliaan.
Demikian juga orang yang
tidak mempunyai kebijaksanaan dan hanya mempunyai
sedikit kebajikan. Bila ia
meninggalkan kehidupan duniawi, ia
tidak akan mampu melaksanakan Ajaran Sang Penakluk
dan akan kembali ke
tingkat yang lebih rendah.
"Dan bagaimana mereka menunjukkan kemurniannya?
Seperti halnya, O Baginda,
bila air jatuh pada bunga teratai, air itu akan
bergulir dan tidak melekat
pada teratai itu. Demikian juga mereka yang bersifat
tidak murni, yang
melekat pada pandangan salah. Ketika mereka masuk
ke dalam agama Sang
Penakluk, tidak lama kemudian mereka akan terlepas
dari agama
yang murni tanpa kesalahan itu, karena mereka
tidak dapat melekat padanya.
"Dan bagaimana mereka menunjukkan kebebasannya
dari segala tindakan jahat?
Seperti samudera yang tidak mau menerima mayat
dan dengan cepat
menggulungnya ke pantai dan melemparnya ke tanah
kering; demikian juga, O
Raja, mereka yang berpikiran jahat dan malas
tidak akan dapat bertahan
di dalam Sangha dan berhubungan dengan para Arahat
yang bebas dari noda.
"Dan bagaimana mereka menunjukkan sulitnya menembus
Dhamma? Seperti halnya,
0 Baginda, seorang pemanah yang ceroboh dan tidak
trampil tidak dapat
mempertunjukkan keahliannya seperti misalnya
membelah rambut, atau mungkin
malahan meleset dari sasarannya; demikian juga
mereka yang dungu dan bodoh,
yang meninggalkan kehidupan duniawi tidak dapat
memahami Empat Kesunyatan
Mulia Sang Penakluk yang sangat halus. Karena
tidak dapat memahaminya,
mereka kembali ke tingkat yang lebih rendah."
"Dan bagaimana mereka menunjukkan berbagai macam
kontrol dalam kehidupan
suci? Seperti halnya, O Baginda, seorang pengecut
yang pergi ke medan
perang. Ketika dikepung oleh musuhnya dari segala
penjuru ia akan berbalik
dan lari terbirit-birit, takut kehilangan kehidupannya;
demikian juga
siapapun yang tidak terkontrol, tidak tahu malu,
tidak
sabar dan plin-plan. Ketika meninggalkan kehidupan
duniawi mereka tidak akan
mampu melaksanakan berbagai macam peraturan dan
akan kcmbali ke tingkat yang
lebih rendah."
57. Penguasaan Para Arahat
"Bhante mengatakan bahwa para Arahat hanya mempunyai
satu jenis perasaan
yaitu perasaan fisik, bukan perasaan mental.
Tetapi bagaimana hal ini bisa
terjadi? Arahat tetap hidup dengan menggunakan
tubuhnya. Apakah itu berarti
bahwa ia tidak lagi punya kuasa atas tubuhnya?
Bahkan burungpun merupakan
penguasa sarang yang dipakainya sebagai tempat
tinggal."
"O Baginda, ada sepuluh kondisi dalam tubuh yang
berada di luar kontrol
Arahat: rasa dingin, rasa panas, rasa lapar,
rasa haus, pembuangan kotoran,
kencing, lelah, usia tua, sakit dan mati. Seperti
halnya semua mahluk yang
hidup di dunia ini tergantung pada dunia ini
tetapi tidak mempunyai kuasa
atasnya, demikian juga Arahat tergantung pada
tubuhnya tetapi tidak
mempunyai kontrol atasnya."
"Mengapa, Yang Mulia Nagasena, orang biasa merasakan
perasaan tubuh dan juga
perasaan mental?"
"Karena keadaan pikirannya yang tidak terlatih.
Seperti halnya seekor sapi
lapar yang diikat dengan tali rumput yang rapuh
akan dengan mudahnya memutus
tali itu dan lepas, demikian juga perasaan orang
biasa menjadi resah karena
rasa sakit, sehingga ia merasakan rasa sakit
mental juga. Tetapi pikiran
seorang Arahat telah terlatih dengan baik. Sehingga
ketika tubuhnya terserang rasa sakit, dengan
teguh ia memusatkan pikirannya
pada pengertian ke-tidakkekalan. Pikirannya tidak
terganggu dan ia tidak
merasakan sakit mental. Sama seperti batang pohon
yang kuat tidak tergerak
oleh angin meskipun mungkin cabang-cabangnya
akan berayun."
58. Kejahatan Berat
"Jika seorang awam telah melakukan kejahatan berat
(Garuka Kamma) sebelum ia
memasuki Sangha tetapi tidak menyadarinya, apakah
ia akan dapat mencapai
tingkat sotappana?"
"Tidak, tidak dapat. Ini disebabkan karena dasar
untuk pemahaman Dhamma
dalam dirinya telah dihancurkan ."
"Tetapi Bhante mengatakan bahwa bila orang menyadari
dirinya telah melakukan
pelanggaran, akan datang penyesalan yang menyebabkan
adanya suatu penghalang
dalam pikirannya. Akibatnya, ia tidak akan dapat
memahami kesunyataan
(A.iii. 165). Tetapi bila orang tidak menyadari
bahwa dirinya telah
melakukan pelanggaran, tidak akan ada penyesalan,
dan ia akan tetap
merasakan kedamaian dalam pikirannya."
"Jika, O Baginda, ada orang yang telah minum
racun tetapi ia tidak
menyadarinya, apakah ia masih tetap akan mati?"
"Ya, Yang Mulia."
"Demikian juga, O Baginda, meskipun seseorang
tidak sadar akan
pelanggarannya, ia tetap tidak akan dapat memahami
kesunyataan."
"Yang Mulia Nagasena, itu pastilah kata-kata
dari Sang Penakluk.
Mencari-cari kesalahan dalam kata-kata itu akan
sia-sia belaka. Kebenaran
itu pasti seperti yang Bhante katakan dan aku
menerimanya."
59. Yang Tidak Bermoral
"Apakah perbedaan antara seorang umat awam yang
telah berbuat
kesalahan dan seorang. bhikkhu yang telah berbuat
kesalahan?"
"Ada sepuluh sifat yang membedakan seorang bhikkhu
yang mempunyai kebiasaan
moral yang lemah dengan seorang umat awam yang
mempunyai kebiasaan moral
yang lemah:
1. Seorang bhikkhu penuh hormat pada Buddha,
2. ia penuh hormat pada Dhamma, dan
3. ia penuh hormat pada Sangha;
4. ia membaca kitab suci dan menanyakan artinya;
5. ia telah banyak mendengar;
6. ia memasuki kelompok para bhikkhu dengan penuh
harga diri karena takut
dicela;
7. ia menjaga badan dan perkataannya;
8. ia mengarahkan pikirannya untuk terus berusaha;
9. ia berteman dengan para bhikkhu, dan
10. jika berbuat salah ia merahasiakannya.
Dan dengan sepuluh cara ia memurnikan pemberian
yang diperolehnya karena
keyakinannya:
1. dengan mengenakan jubah para Buddha,
2. dengan kepala yang tercukur ia membawa tanda
orang bijak,
3. dengan berteman dengan para bhikkhu,
4. dengan berlindung pada Buddha, Dhamma, dan
Sangha,
5. dengan bertempat tinggal di tempat yang sepi,
yang sesuai untuk latihan
keras,
6. dengan menyelidiki Dhamma yang tak ternilai
harganya,
7. dengan membabarkan Dhamma yang indah,
8. karena ia menjadikan Dhamma sebagai pelita
pembimbingnya,
9. karena ia mengganggap Sang Buddha itu agung,
dan
10. dengan memperhatikan Hari Uposatha.
Karena semua alasan itulah maka ia patut mendapatkan
persembahan meskipun ia
telah jatuh dari nilai-nilai luhur.
"Dan ini disabdakan oleh Sang Buddha dalam Majjhima
Nikaya:
'Siapapun yang berbudi luhur
dan memberi pada yang tidak saleh
'Pemberian yang benar-benar
dibutuhkan, Pikiran menjadi senang,
'Sepenuhnya percaya akan buah
kamma yang subur,
'Inilah pemberian yang dimurnikan
oleh si pemberi."'
(M. iii. Sta. 142)
"Alangkah indahnya Bhante Nagasena. Meskipun pertanyaanku
hanya sederhana,
jawabannya sungguh luar biasa. Bagaikan seorang
juru masak ahli yang diberi
sepotong daging biasa, dia mengolahnya menjadi
makanan yang pantas bagi
seorang
raja."
60. Apakah Air Hidup?
"Ada beberapa pengikut sekte lain yang berkata
bahwa Bhante
mencelakakan suatu kehidupan bila menggunakan
air dingin (MLS. ii. 41 n 4;
D.i. 167). Bila air dipanaskan dalam ketel, ia
membuat berbagai suara.
Apakah itu disebabkan karena air
mempunyai jiwa dan hidup?"
"Tidak, Raja yang agung, air tidak hidup. Air
yang ada dalam
kubangan dangkal akan mengering bila terkena
panas dan angin, tanpa ada
suara apapun yang terdengar. Genderang mengeluarkan
suara tetapi ia tidak
berisikan kehidupan ataupun sesuatu yang hidup."
BAGIAN EMPAT BELAS
61. Berada Tanpa Rintangan
"Sang Buddha bersabda, 'Hiduplah dengan bakti
pada apa yang tanpa rintangan
dan berbahagialah dalam apa yang tanpa rintangan
itu' (M. i. 65). Apakah
yang tanpa rintangan itu?"
"Empat Phala dari Sang Jalan dan nibbana adalah
yang tanpa
rintangan."
"Tetapi jika demikian, Yang Mulia Nagasena, mengapa
para bhikkhu merepotkan
diri dengan mempelajari ajaran Sang Buddha serta
membangun apa yang harus
diperbaiki dan memberi persembahan pada Sangha?"
"Para bhikkhu yang melakukan hal-hal itu perlu
melepaskan pikiran mereka
dari rintangan sebelum mereka dapat mencapai
Empat Phala Sang Jalan. Akan
tetapi mereka yang pada dasarnya memang sudah
murni, sebenarnya telah
melakukan pekerjaan persiapan seperti itu dalam
kehidupan mereka sebelumnya.
Maka dengan mudah mereka dapat mencapai Phala
Sang Jalan tanpa persiapan
seperti itu. Seperti halnya seorang petani di
beberapa daerah berhasil
menanam tanpa harus membangun pagar,
sementara di tempat lain ia terlebih dahulu harus
membangun pagar atau
tembok; atau seperti orang yang mempunyai kesaktian
khusus dapat dengan
mudahnya memetik buah yang ada di puncak pohon
yang tinggi, sementara orang
lain harus membuat tangga terlebih dahulu. Demikian
juga, belajar,
bertanya, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya adalah
seperti tangga yang
membantu para bhikkhu mencapai Phala dari empat
pencapaian tersebut.
Selama masih dibutuhkan proses belajar pada guru,
bahkan bhikkhu seperti
Bhante Sariputta-pun masih mengganggap tidak
mungkin dapat berhasil mencapai
tingkat Arahat tanpa bantuan guru, maka tetap
bergunalah pembacaan kitab
suci. Dan dengan demikian para murid akan terbebas
dari rintangan dan akan
mencapai tingkat Arahat."
62. Arahat Awam
"Bhante berkata bahwa jika seorang umat awam mencapai
tingkat
Arahat, ia harus memasuki Sangha pada hari itu
juga, atau mati dan mencapai
parinibbana. Tetapi jika ia tidak bisa mendapat
jubah, mangkok dan penahbis,
maka kondisi ke-Arahat-an yang mulia itu akan
sia-sia karena melibatkan
hancurnya suatu kehidupan."
"Kesalahannya bukan terletak pada ke-Arahat-annya,
melainkan pada keadaan
umat awam yang terlalu lemah unmk menopang ke-Arahat-an
itu.
Seperti halnya, O Baginda, meskipun makanan melindungi
kehidupan makhluk ia
juga akan mengambil nyawa orang yang pencernaannya
lemah. Demikian juga,
jika seorang awam mencapai tingkat Arahat, maka
karena kelemahan kondisi
itulah ia harus memasuki Sangha pada hari itu
juga. Kalau tidak,
ia akan mati."
63. Pelanggaran Para Arahat
"Bhante mengatakan bahwa seorang Arahat tidak
mungkin mempunyai kewaspadaan
yang kebingungan. (Pts. contr. 114) Kalau begitu,
dapatkah ia melakukan
pelanggaran?"
"Dapat, O Baginda, pada masalah ukuran kutinya.
Dia mungkin saja bertindak
sebagai perantara perjodohan, makan tidak pada
waktunya, makan makanan yang
tidak dipersembahkan, atau mengira ia tidak diundang
padahal sebetulnya
diundang."
"Tetapi Bhante mengatakan bahwa orang yang melakukan
pelanggaran itu
melakukannya karena kebodohan atau rasa tidak
hormat. Jika seorang Arahat
dapat jatuh dalam pelanggaran dan jika tidak
ada rasa hormat di dalam diri
Arahat, apakah itu berarti ada kebingungan dalam
kewaspadaan?"
"Tidak, tidak ada kebingungan pada kewaspadaan
dalam diri seorang Arahat.
Ada 2 jenis pelanggaran. Ada hal-hal yang salah
di mata dunia umum seperti
misalnya pembunuhan, pencurian dan sebagainya.
Serta ada hal-hal salah yang
hanya berlaku bagi para bhikkhu, seperti misalnya:
makan tidak pada
waktunya, merusak pepohonan dan tumbuhan, atau
bermain di air. Dan banyak
lagi hal-hal seperti itu, O Raja, yang tidak
salah di dunia umum tetapi
salah bagi seorang bhikkhu. Seorang Arahat tidak
mungkin berbuat kesalahan jenis pertama, tetapi
ia mungkin dapat melakukan
kesalahan jenis kedua karena ia tidak mengetahui
segala hal.
Ia mungkin tidak tahu jam berapa saat itu, atau
hari apa, atau nama keluarga
seorang wanita. Akan tetapi setiap Arahat mengetahui
tentang kebebasan dari
penderitaan."
64. Apa yang Tidak di Dunia
"Ada banyak macam hal yang dapat ditemui di dunia
ini, Yang Mulia Nagasena.
Tetapi katakanlah padaku apa yang tidak dapat
ditemukan di dunia ini."
"Ada tiga hal, 0 Baginda, yang tidak dapat ditemukan
di dunia ini:
1. Sesuatu, yang sadar ataupun yang tidak sadar,
yang tidak lapuk dan lenyap.
2. Paduan Unsur (sankhara) atau hal terkondisi
yang kekal.
3. Dan dalam arti yang sebenar-benarnya tidak
ada sesuatu yang disebut
makhluk."
65. Yang Tanpa Sebab
"Bhante Nagasena, terdapat hal-hal di dunia ini
yang menjadi ada karena
kamma, ada yang merupakan hasil dari suatu sebab,
dan ada yang dihasilkan
oleh musim. Beritahukan padaku, apakah ada yang
tidak masuk di dalam tiga
kategori itu?"
"Ada dua hal, O Baginda; ruang dan nibbana."
"Bhante Nagasena, janganlah mengubah kata-kata
Sang Penakluk, atau menjawab
pertanyaan tanpa mengetahui apa yang Bhante katakan!"
"Apa yang telah saya katakan, O Baginda, sehingga
Baginda berkata demikian?"
"Yang Mulia, memang betul apa yang Bhante katakan
tentang ruang. Tetapi
dengan ratusan alasan Sang Buddha menyatakan
pada muridnya cara menuju
perwujudan nibbana. Dan Bhante mengatakan bahwa
nibbana bukanlah hasil dari
suatu sebab.
"Memang benar, O raja, dengan banyak cara Sang
Buddha
menunjukkan jalan bagi perwujudan nibbana, tetapi
Beliau tidak menunjukkan
sebab bagi timbulnya nibbana."
"Di sini, Bhante Nagasena, kami melangkah dari
kegelapan menuju ke kegelapan
yang lebih besar; dari ketidakpastian menuju
ke kebingungan total.
Jika ada ayah dari seorang anak, maka kami akan
mengharapkan
dapat menemukan ayah dari sang ayah. Demikian
juga, jika ada penyebab bagi
perwujudan nibbana maka kami mengharapkan dapat
menemukan penyebab bagi
timbulnya nibbana itu."
"Nibbana, O Raja, tidak dibangun, dan karenanya
tidak ada sebab yang dapat
ditunjuk bagi pembuatannya. Tidak dapat dikatakan
bahwa nibbana itu telah
timbul atau dapat timbul; bahwa nibbana itu adalah
masa lalu, masa kini atau
masa depan; atau dapat dikenali dengan mata,
telinga, hidung, lidah atau
tubuh."
"Kalau begitu, Yang Mulia Nagasena, nibbana adalah
kondisi yang tidak ada!"
"Nibbana itu ada, O Baginda, dan dapat dikenali
lewat pikiran.
Seorang siswa Arya yang pikirannya murni, mulia,
tulus, tidak terhalang, dan
bebas dari kemelekatan dapat mencapai nibbana."
"Kalau begitu, jelaskanlah dengan perumpamaan
apa nibbana itu."
"Apakah ada sesuatu yang disebut angin?"
"Ya, ada."
"Kalau begitu, jelaskanlah dengan perumpamaan
apa angin itu."
"Tidaklah mungkin dapat menjelaskan apa angin
itu dengan menggunakan
perumpamaan. Tetapi angin itu ada."
"Demikian juga, O Baginda, nibbana itu ada tetapi
tidak mungkin digambarkan."
66. Cara-cara Menghasilkan
"Apa saja yang dilahirkan oleh kamma, apa yang
dilahirkan oleh sebab, dan
apa yang dilahirkan oleh musim? Dan apa yang
bukan semua ini?"
"Semua makhluk, 0 Baginda, dilahirkan oleh kamma.
Api, dan semua yang
bertumbuh dari biji, dilahirkan oleh sebab. Tanah,
air dan angin dilahirkan
oleh musim. Sedangkan ruang dan nibbana itu ada,
tetapi tidak tergantung
dari kamma, sebab dan musim. Tentang nibbana,
tidak dapat dikatakan dapat
dikenali oleh panca indera, tetapi dapat dipahami
oleh
batin. Seorang murid yang batinnya murni, dan
bebas dari rintangan dapat
mencerap nibbana."
67. Setan
"Apakah ada sesuatu yang disebut yakkha (setan)
di dunia ini?"
"Ya, O Baginda, ada."
"Kalau begitu mengapa sisa yakkha yang telah
mati tidak terlihat?"
"Sisa yakkha dapat dilihat dalam bentuk serangga,
seperti belalang, semut,
ngengat, ular, kalajengking, lipan dan binatang-bintang
liar lainnya."
"Siapa lagi, Nagasena, yang dapat memecahkan
teka-teki ini kecuali orang
sebijaksana Bhante !"
68. Menetapkan Peraturan bagi Para Bhikkhu
"Para dokter yang terkenal mampu menuliskan resep
obat yang sesuai bagi
suatu penyakit sebelum penyakit tersebut timbul,
meskipun mereka tidak
mahatahu. Kalau begitu mengapa Sang Tathagata
tidak menetapkan peraturan
bagi para bhikkhu sebelum ada kejadian, tetapi
menunggu sampai suatu
pelanggaran terjadi dan terdengar keributan?"
"Sang Tathagata, O Baginda, telah mengetahui
sebelumnya bahwa 150 aturan itu
semuanya harus ditetapkan. Tetapi Beliau berpikir,
'Jika Saya menetapkan
semua peraturan ini sekaligus maka akan banyak
yang takut memasuki Sangha
karena melihat begitu banyaknya aturan yang harus
diperhatikan, karenanya
Aku akan menetapkan peraturan ketika dibutuhkan."'(Vin.iii.
9,10)
69. Panas matahari
"Mengapa panas sinar matahari terkadang garang
dan terkadang tidak?"
"Terhalang oleh empat hal, O Baginda, maka matahari
tidak bersinar garang:
oleh awan badai, kabut, awan debu, atau oleh
bulan (= gerhana)." (Vin. ii.
295;.A. ii. 53)
( Demikian pula, empat hal yang menghalangi sinar
para pertapa: minum
minuman yang memabukkan, melakukan hubungan seksual,
menerima emas dan perak
serta menjalani kehidupan dengan cara yang tidak
benar).
"Betapa mengagumkan, Yang Mulia Nagasena, bahwa
matahari yang begitu hebat,
dan begitu kuat, dapat terhalang. Apalagi makhluk
lain"
70. Matahari Musim Dingin
"Mengapa matahari lebih garang di musim dingin
daripada di musim panas?"
"Di musim dingin langit cerah, sehingga matahari
bersinar dengan garang.
Tetapi di musim panas debu beterbangan dan awan
terkumpul di langit,
sehingga panas sinar matahari terkurangi."
BAGIAN LIMA BELAS
71. Pemberian Vessantara (Ja.vi. 479 ff)
"Bhante Nagasena, apakah semua Boddhisatta meninggalkan
isteri
dan anaknya,
atau hanya Vessantara saja?"
"Semuanya."
"Tetapi apakah semua isteri dan anaknya menyetujuinya?"
"Para isteri menyetujuinya, tetapi anak-anaknya
tidak setuju,
karena usia mereka yang masih muda."
"Tetapi apakah tindakan itu bijak, karena toh
anak-anaknya
ketakutan dan menangis ketika ditinggalkan?"
"Ya. Seperti halnya seseorang yang ingin berbuat
kebajikan, dia
akan membawa
seseorang yang cacat dalam kereta kemanapun ia
pergi sehingga
membuat
kerbaunya menderita; atau seperti halnya seorang
raja harus
menarik pajak
dalam rangka berbuat kebajikan yang besar; demikian
juga
tindakan memberi.
Meskipun hal itu dapat menyebabkan kesedihan
yang mendalam bagi
beberapa
orang, tetapi akan membawa kelahiran kembali
di
alam surga. Apakah ada, O Baginda raja, pemberian
yang
seharusnya tidak
diberikan?"
"Ya, Bhante Nagasena, ada sepuluh macam pemberian
yang tidak
seharusnya diberikan, pemberian yang menyebabkan
kelahiran
kembali di alam
yang menyedihkan:
1. pemberian yang dapat membuat mabuk,
2. pemberian dalam bentuk pesta,
,
3. pemberian dalam bentuk wanita,
4. pemberian dalam bentuk pria,
5. pemberian dalam bentuk maksud-maksud tertentu
yang tidak
baik,
6. pemberian dalam bentuk senjata,
7. pemberian dalam bentuk racun,
8. pemberian dalam bentuk rantai atau alat penyiksaan,
9. pemberian dalam bentuk unggas dan babi,
10. pemberian dalam bentuk timbangan dan alat
ukur yang salah."
"Saya tidak bertanya tentang pemberian yang tidak
disetujui
secara duniawi.
Saya bertanya tentang pemberian yang tidak boleh
diberikan
meskipun ada
orang yang patut menerimanya."
"Kalau begitu, Bhante Nagasena, tidak ada pemberian
yang tidak
seharusnya
diberikan. Bilamana keyakinan dalam Dhamma telah
muncul,
beberapa orang
memberikan 100.000, atau suatu kerajaan, atau
bahkan kehidupan
mereka."
"Kalau begitu mengapa Baginda mengkritik pemberian
Vessantara
dengan begitu
sengitnya? Bukankah terkadang ada kasus di mana
seseorang yang
terlilit
hutang mungkin menjual anaknya atau menanggungkannya
sebagai
agunan?
Demikian juga, Vessantara memberikan anaknya
sebagai tekad bagi
pencapaian
kemahatahuannya di masa depan."
"Tetapi mengapa ia tidak memberikan dirinya sendiri
saja?"
"Karena bukan itu yang diminta. Menawarkan sesuatu
yang lain
akan menjadi
rendah nilainya. Lagi pula, O Baginda raja, Vessantara
tahu
bahwa Brahmana
tersebut tidak akan mampu mempekerjakan anak-anaknya
sebagai
budak dalam
waktu yang lama karena ia telah lanjut usia dan
kakek mereka
akan menebus
mereka kernbali."
"Dengan baik sekali, Bhante, teka-teki ini telah
tersingkap dan
jaring
klenik ini telah terobek-robek. Bagus sekali
cara Bhante tetap
menjaga
kata-kata dalam kitab suci ketika Bhante menjelaskan
apa yang
tersirat.
Demikianlah adanya, dan saya menerimanya seperti
kata Bhante."
72. Disiplin yang keras (Kesederhanaan, tanpa kesenangan)
"Apakah semua Boddhisatta berlatih pengendalian
diri dengan
disiplin yang
amat keras, atau hanya Bodhisatta Gotama?"
"Hanya Bodhisatta Gotama (M. Sta. 81, Ap. 301
- sebagai akibat
melecehkan
Buddha Kassapa dalam kehidupan yang lampau).
Ada empat
perbedaan di antara
Bodhisatta.
Tentang:
1. keluarga (yaitu antara kasta prajurit atau
kasta brahmana),
2. lamanya waktu untuk mengembangkan kesempurnaan,
3. masa hidup, dan
4. ketinggian.
Tetapi tidak ada perbedaan di antara para Buddha
dalam hal
keluhuran atau
kebijaksanaan mereka. Dalam rangka membawa pengetahuan
ini
menuju
kematanganlah maka Beliau harus berlatih pengendalian
diri
dengan disiplin
yang amat keras."
"Kalau begitu, Bhante Nagasena, mengapa Beliau
pergi ketika
pengetahuannya masih belum matang? Mengapa Beliau
tidak
mematangkan terlebih
dahulu pengetahuanNya dan kemudian baru meninggalkan
kehidupan
duniawi?"
"Ketika Bodhisatta, O Baginda raja, melihat wanita-wanita
di
harem-nya tidur dengan tidak teratur, beliau
merasa muak dan
resah. Karena
melihat bahwa pikiran beliau dipenuhi dengan
ketidakpuasan,
Mara berkata,
'Tujuh hari dari sekarang kau akan menjadi Monarki
Penguasa
Dunia'. Tetapi
Sang Bodhisatta malah merasa telinganya seakan-akan
dimasuki
sepotong besi
panas, dan beliau dipenuhi dengan kegelisahan
dan ketakutan.
Apalagi, O
Baginda raja, Sang Bodhisatta berpikir, 'Jangan
sampai aku disalahkan di kalangan dewa dan manusia
karena tidak
memiliki
pekerjaan atau sarana. Biarlah aku menjadi orang
yang mau
bertindak dan
tetap bersungguh-sungguh.' Dengan demikian Sang
Bodhisatta
menggunakan
pengendalian diri tersebut untuk mematangkan
pengetahuannya."
"Yang Mulia Nagasena, ketika Sang Bodhisatta
sedang menjalani
pengendalian diri, timbul dalam pemikiran beliau,
'Mungkinkah
ada jalan lain
menuju pengetahuan yang lebih tinggi yang dapat
dicapai orang
yang mulia?'
Apakah itu berarti bahwa Beliau bingung mengenai
jalan yang
benar?"
"Ada dua puluh lima kondisi, O Baginda raja,
yang menyebabkan
lemahnya pikiran: kemarahan, permusuhan, kemunafikan,
kedengkian,
keirihatian, ketamakan, kebohongan, pengkhianatan,
kekeraskepalaan, suka
melawan, harga diri, kesombongan, kecongkakan,
ketidakpedulian,
keengganan,
rasa mengantuk, kemalasan, teman yang jahat,
penglihatan,
suara, bau, rasa, sensasi sentuhan, kelaparan,
kehausan, dan
ketidakpuasan. Dan kelaparan serta rasa hauslah
yang menguasai
tubuhnya
sehingga pikirannya menjadi tidak terarah dengan
benar untuk
memusnahkan
banjir (asava). Sang Bodhisatta telah mencari
percerapan Empat
Kesunyataan
Mulia selama beberapa kalpa, jadi bagaimana mungkin
dapat
timbul kebingungan dalam pikirannya tentang jalan
itu?'
Meskipun begitu
beliau berpikir, 'Mungkinkah ada jalan lain untuk
mencapai
kebijaksanaan?'
Sebelumnya, ketika berumur satu bulan Sang Bodhisatta
telah
mencapai empat
penyerapan (jhana) ketika sedang bermeditasi
di bawah pohon
rose-apel ketika
ayahnya sedang membajak."(M.i.246, Ja.i. 57)
"Bagus sekali Bhante Nagasena, saya menerimanya
seperti apa
yang Bhante
katakan. Ketika sedang membawa pengetahuannya
menuju
kematanganlah Sang
Bodhisatta berlatih pengendalian diri dengan
disiplin yang amat
keras."'
73. Kekuatan Kejahatan
"Manakah yang lebih kuat, kebajikan atau kebatilan
(ketidak-bajikan)?" (Lihat pertanyaan Bab 7 No.
7 di atas)
"Kebajikan lebih kuat, O Baginda raja."
"Itu adalah sesuatu yang tidak dapat saya percaya.
Orang-orang
yang
melakukan kejahatan dalam kehidupan ini sering
menerima hasil
perbuatannya
itu pada kehidupan yang sekarang ini juga ketika
mereka dihukum
karena
kejahatannya. Tetapi apakah ada orang, yang karena
memberikan
persembahan
bagi Sangha atau menjalankan Uposattha, menerima
manfaatnya
pada kehidupan
sekarang ini juga?"
"Ada, O Baginda raja, enam kasus seperti itu.
(Lihat juga Bab 8
No. 4)
1. Si budak, Punnaka, dengan memberikan makanan
kepada
Sariputta, pada hari
yang sama mendapat kehormatan menjadi seorang
bendahara.
2. Kemudian ada juga ibu Gopala, yang menjual
rambutnya agar
dapat
memberikan makanan kepada Maha Kaccayana dan
sebagai hasilnya
menjadi
permaisuri Raja Udena.
3. Si wanita saleh Suppiya, yang memotong daging
di pahanya
untuk memberi
makan seorang bhikkhu yang sakit, keesokan harinya
lukanya
langsung sembuh
sama sekali.
4. Mallika, ketika masih menjadi seorang budak
wanita,
memberikan makanannya
sendiri kepada Sang Buddha dan pada hari itu
juga menjadi
permaisuri di
Kosala.
5. Sumana, tukang bunga, yang memberikan delapan
ikat bunga
melati pada Sang
Buddha, memperoleh kemakmuran yang melimpah;
serta
6. Ekasataka si Brahmana yang memberikan satu-satunya
pakaian
luarnya kepada
Sang Buddha dan pada hari itu juga menerima pemberian
'Serba 8'
(8 gajah, 8
kuda, 8 ribu kahapanna, 8 wanita, 8 budak, dan
hasil penjualan
dari 8 desa).
"Jadi, Bhante, kalau begitu Bhante hanya dapat
menemukan
delapan kasus dari
seluruh penyelidikan Bhante?"
"Demikianlah, O Baginda raja."
"Kalau
begitu kebatilan lebih kuat daripada kebajikan.
Karena saya
telah melihat
banyak orang ditusuk dengan senjata tajam sebagai
hukuman atas
perbuatan
jahat mereka. Dan dalam peperangan yang dipimpin
oleh Jendral
Bhaddasala
mewakili keluarga kerajaan Nanda melawan Chandagutta
ada 80
Tarian Mayat,
karena mereka berkata bahwa ketika terjadi pembantaian
besar-besaran,
mayat-mayat tanpa kepala tersebut bangkit
kembali dan menari di kancah peperangan. Dan
semua orang itu
hancur sebagai
hasil dari perbuatan jahat mereka. Tetapi ketika
raja Kosala
memberikan
persembahan dana makanan yang tidak tertandingi,
apakah dalam
kehidupannya
itu juga ia menerima kekayaan atau keagungan
atau kebahagiaan?"
"Tidak, O Baginda raja, tidak."
"Kalau begitu, Bhante Nagasena, tentu saja kebatilan
lebih kuat
daripada
kebajikan."
"Seperti halnya, O Baginda raja, padi yang jelek
akan masak
dalam waktu satu
atau dua bulan tetapi padi yang baik akan masak
baru setelah
lima atau enam
bulan, perbuatan baik baru akan berbuah
dalam jangka waktu
lama. Apalagi, O
Baginda raja, hasil dari perbuatan baik maupun
perbuatan jahat
akan dialami
dalam kehidupan yang akan datang; tetapi karena
kesalahan
kejahatan, maka
telah ditetapkan bahwa mereka yang
berbuat jahat akan dihukum menurut Hukum; tetapi
mereka yang
berbuat baik
tidak akan dihadiahi. Jika seandainya telah ditetapkan
suatu
hukum untuk
memberikan hadiah bagi pelaku perbuatan baik,
maka perbuatan
baik juga akan
dihadiahi dalam kehidupan ini juga."
"Bagus sekali, Bhante Nagasena, hanya oleh seseorang
yang
bijaksana seperti
Bhante maka teka-teki semacam ini dapat diselesaikan.
Pertanyaan yang saya
ajukan dari sudut pandang yang biasa telah Bhante
jelaskan
dengan cara yang
luar biasa."
74. Membagikan jasa
"Apakah ada kemungkinan bagi keluarga yang telah
meninggal
untuk ikut
menerima jasa dari suatu perbuatan baik?"
"Tidak. Hanya mereka yang dilahirkan sebagai
setan kelaparan
yang makanannya
adalah perbuatan baik orang lainlah yang dapat
ikut menerima
jasa. Mereka
yang dilahirkan di neraka, surga, terlahir sebagai
binatang,
setan kelaparan
yang makanannya muntahan, atau setan kelaparan
yang dipenuhi
oleh ketamakan,
tidak akan mendapatkan manfaat."
"Kalau begitu, persembahan dalam kasus-kasus
itu tidak ada
gunanya, karena
mereka yang diberi tidak mendapat manfaat."
"Tidak demikian, O Baginda raja. Persembahan-persembahan
itu
bukannya tidak berguna atau tidak berbuah, karena
si pemberi
sendiri
mendapat manfaat darinya."
"Yakinkanlah saya dengan alasan."
"Bila beberapa orang telah menyiapkan hidangan
dan mengunjungi
sanak
saudaranya tetapi sanak-saudara mereka itu tidak
menerima
pemberian itu,
apakah pemberian tersebut menjadi sia-sia?"
"Tidak, Yang Mulia, si pemilik sendiri dapat
memakannya."
"Demikian juga, O raja, si pemberi persembahan
mendapatkan
manfaat dari
persembahan dana tersebut."
"Kalau begitu, apakah juga mungkin membagikan
ketidakbajikan?"
"Ini bukanlah pcrtanyaan yang patut ditanyakan,
O Baginda raja.
Anda
kemudian akan bertanya kepada saya mengapa ruang
angkasa tidak
berbatas dan
mengapa manusia dan burung mempunyai dua kaki
sedangkan rusa
mcmpunyai empat!"
"Saya tidak bertanya seperti itu untuk menjengkelkan
Bhante,
tetapi banyak
orang di dunia ini yang tersesat (berpikiran
jahat, memiliki
pandangan
salah) atau tidak dapat melihat (bodoh).'
"Meskipun suatu tanaman dapat menjadi masak dalam
air tangki,
tetapi tidak
mungkin dalam air laut. Perbuatan jahat tidak
dapat dibagikan
kepada siapa
yang tidak melakukannya dan tidak menyetujuinya.
Orang
mengalirkan air
dengan menggunakan pipa-pipa air tetapi mereka
tidak dapat
mengalirkan batu
yang padat dengan cara yang sama. Kebatilan atau
ketidakbajikan
adalah
sesuatu yang jahat, sedangkan kebajikan adalah
sesuatu yang sangat hebat."
"Berikanlah penjelasan.".
"Jika setetes air jatuh ke tanah, apakah air
itu dapat mengalir
sepanjang 50
atau 60 kilometer?."
"Tentu saja tidak, Bhante. Titik air itu hanya
akan
mcmpengaruhi tanah di
mana ia jatuh."
"Mengapa demikian?"
"Karena sifat sedikitnya."
"Demikian juga, O Baginda raja, kebatilan adalah
sesuatu yang
jahat dan
karena sifat sedikitnya, ia hanya dapat mempengaruhi
si pelaku
dan tidak
dapat dibagikan. Tetapi jika ada hujan badai
yang sangat hebat,
apakah
airnya akan sampai ke mana-mana?"
"Tentu saja, Bhante, bahkan bisa sejauh 50 atau
60 kilometer."
"Demikian juga, O raja, kebajikan adalah sesuatu
yang hebat dan
karena sifat
melimpahnya; ia dapat dibagikan baik kepada manusia
maupun
dewa."
"Bhante Nagasena, mengapakah kebatilan begitu
terbatas
sifatnya, sedangkan
kebajikan dapat menjangkau lebih jauh?"
"Siapa pun, O Baginda raja, yang memberikan persembahan,
menjalankan sila
dan melakukan Uposatha, ia akan merasa gembira
dan berada dalam
ketenangan.
Karena ketenangannya maka kebaikannya bahkan
menjadi semakin
melimpah.
Seperti kolam air yang dalam dan jernih, segera
setelah air
mengalir keluar di salah satu sisinya, tempat
itu akan terisi
penuh lagi
dari segala arah. Demikian juga, O raja, jika
seseorang akan
mengirimkan
kebajikan yang telah dilakukannya kepada orang
lain, bahkan
selama 100 tahun
kebaikannya akan semakin bertumbuh. Itulah sebabnya
mengapa
kebajikan itu
begitu hebat. Tetapi dengan perbuatan jahat,
O Baginda
raja, orang akan dipenuhi oleh rasa penyesalan
dan pikirannya
tidak akan
dapat terlepas darinya. Dia merasa tertekan dan
tidak
mendapatkan
ketenangan, lalu karena merasa putus asa dia
menjadi sia-sia.
Seperti
halnya, O raja, setetes air yang jatuh di sungai
yang kering
tidak akan
dapat menambah isinya dan malahan akan langsung
tertelan di
titik jatuhnya.
Inilah sebabnya ketidakbajikan sangat jahat dan
mempunyai sifat
sedikit."
75. Mimpi
"Apakah sesuatu yang disebut mimpi itu dan siapakah
yang
bermimpi?"
"Mimpi adalah tanda yang datang melintasi jalur
pikiran. Dan
ada enam macam
orang yang melihat impian. Orang yang dipengaruhi
1. oleh angin melihat impian; yang dipengatuhi
2. oleh empedu,
3. oleh lendir,
4. oleh dewa,
5. oleh kebiasaannya sendiri, dan
6. oleh pertanda.
Hanya yang terakhir inilah yang benar, sedang
yang lain
semuanya tidak benar."
"Ketika seseorang bermimpi, apakah ia sedang
terjaga atau
tidur?"
"Tidak kedua-duanya. Ia bermimpi ketika sedang
'tidur-tidur
monyet', yaitu
keadaan antara tidur dan sadar."
76. Kematian yang prematur
"Bhante Nagasena, apakah semua makhluk hidup mati
ketika jangka
waktu hidup
mereka telah berakhir, atau apakah beberapa di
antaranya mati
prematur?"
"Keduanya, O Baginda raja. Seperti halnya buah
di pohon yang
terkadang jatuh ketika telah masak dan
terkadang sebelum masak
karena
pengaruh angin, serangga atau tongkat. Demikian
juga ada
makhluk mati ketika
jangka waktu hidup mereka telah tiba, tetapi
ada juga yang
mati secara
prematur."
"Tetapi Bhante Nagasena, semua yang mati prematur
tersebut,
baik yang mati
tua atau muda, telah mencapai akhir dari jangka
waktu hidup
yang telah
ditentukan sebelunmya. Jadi tidak ada sesuatu
yang dinamakan
mati prematur."
"O raja, ada tujuh macam kematian prematur bagi
mereka yang
mati secara
prematur, walaupun mereka itu sebenarnya masih
mempunyai jangka
waktu hidup:
1. karena kelaparan,
2. kehausan,
3. gigitan ular,
4. racun,
5. api,
6. tenggelam,
7. senjata.
Dan kematian datang melalui delapan cara:
1. melalui angin,
2. empedu,
3. lendir,
4. campuran cairan tubuh,
5. pembahan temperatur,
6. tekanan keadaan lingkungan,
7. pengaruh luar, dan
8. kamma. (Lihat pula Bab 8 No. 8)
Dan dari semua tadi, hanya yang melalui kamma
saja yang dapat
disebut akhir dari jangka waktu hidup.
Yang lain semuanya
prematur."
"Yang Mulia Nagasena, Bhante mengatakan ada kematian
prematur.
Berikanlah
alasan lain untuk itu."
"Api besar, O raja, yang kehabisan tenaga dan
mati ketika bahan
bakarnya
telah habis, bukan sebelumnya karena berbagai
penyebab lain,
dikatakan api
itu telah mati sesuai dengan waktunya.
Demikian juga dengan
seseorang yang
mati dalam usia tua tanpa ada kecelakaan apapun
dikatakan telah
mencapai
akhir jangka waktu hidupnya. Tetapi dalam kasus
api yang
dipadamkan oleh
curahan hujan, tidak dapat dikatakan bahwa api
itu telah mati
sesuai dengan
waktunya. Demikian juga, siapa pun yang mati
sebelum waktunya
karena
penyebab selain kamma dikatakan mati prematur."
77. Mukjijat pada Altar para Arahat
"Apakah ada mukjijat pada altar (cetiya) semua
Arahat atau
hanya pada cetiya
beberapa Arahat saja?"
"Hanya pada beberapa. Dengan tekad kemauan keras
dari tiga
macam individu
maka akan ada keajaiban:
1. oleh seorang Arahat ketika ia masih hidup,
2. oleh para dewa, atau
3. oleh seorang murid bijaksana yang mempunyai
keyakinan.
Jika tidak ada tekad kemauan keras maka tidak
akan ada
keajaiban sekali pun
di altar para Arahat yang mempunyai kekuatan
kesaktian. Tetapi
meskipun
tidak ada keajaiban, orang harus mempunyai keyakinan
terhadap
mereka setelah
mengetahui kelakuan mereka yang murni dan tanpa
cela."
78. Dapatkah semua mengerti Dhamma?.
"Apakah semua yang berlatih dengan benar mencapai
pandangan
terang dalam
Dhamma, atau adakah beberapa yang tidak mencapainya?"
"Tidak akan ada pencapaian pandangan terang bagi
mereka yang,
meskipun telah berlatih dengan benar, merupakan
binatang, setan
kelaparan,
para penganut pandangan salah, penipu, pembunuh
ibu, pembunuh
ayah, pembunuh
Arahat, pemecah belah Sangha, yang menyebabkan
berdarahnya
seorang
Tathagata, yang mencuri jubah dan menyamar sebagai
bhikkhu
(Vin. i. 86 -
mengenakan jubah sendiri dan berpura-pura menjadi
seorang bhikkhu), yang berpindah ke sekte lain,
yang bertindak
kejam kepada
anagarini/bhikkhuni, menyembunyikan pelanggaran
yang
menyebabkan perlunya
pertemuan Sangha, orang kasim atau banci. Demikian
juga anak
yang berusia di
bawah 7 tahun tidak akan mampu mengerti Dhamma."
"Apakah alasannya sehingga anak yang berusia
di bawah tujuh
tahun tidak
dapat mencapai pandangan terang? Bukankah pikiran
seorang anak
itu murni dan
seharusnya siap untuk menyadari Dhamma?"
"Jika seandainya saja, Baginda, seorang anak
di bawah usia
tujuh tahun dapat
merasakan nafsu untuk hal-hal yang menyebabkan
nafsu, dapat
merasakan
kebencian untuk hal-hal yang menimbulkan kebencian,
dapat
dibodohi oleh
hal-hal yang menyesatkan dan dapat membedakan
antara kebajikan
dan
ketidakbajikan, maka pandangan terang mungkin
baginya.
Tetapi, Baginda, pikiran anak yang berusia di
bawah tujuh tahun
masih lemah
sedangkan unsur Nibbana yang tak berkondisi itu
berat dan
dalam. Oleh
karenanya, 0 raja, meskipun berlatih dangan benar,
anak yang
berusia di
bawah tujuh tahun tidak dapat menyadari Dhamma."
79. Berkah Nibbana
"Apakah Nibbana itu sepenuhnya membahagiakan ataukah
sebagian
menyakitkan?"
"Sepenuhnya membahagiakan."
"Hal itu tidak dapat saya terima. Mereka yang
mencarinya harus
berlatih
dengan pengendalian diri yang keras dan usaha
keras bagi tubuh
dan pikiran,
tidak makan kecuali pada saat yang benar, mengurangi
tidur,
mengendalikan
indria, dan mereka harus meninggalkan kekayaan,
keluarga, dan
teman-temannya. Yang berbahagia adalah mereka
yang dapat
menikmati
kesenangan-kesenangan indria tetapi Anda menahan
diri dan
mencegah
kenikmatan semacam itu, dan karenanya mengalami
penderitaan
secara fisik
maupun mental serta rasa sakit."
"O Baginda raja, Nibbana tidak mempunyai rasa
sakit. Apa yang
Baginda sebut rasa sakit itu bukanlah Nibbana.
Memang benar
bahwa mereka
yang sedang mencari Nibbana mengalami rasa sakit
dan
ketidaknyamanan, tetapi
sesudah itu mereka akan mengalami berkah Nibbana
yang tidak
terhingga. Saya
akan memberikan alasan untuk itu. Apakah ada,
O raja, suatu
kebahagiaan
tertentu yang didapat karena kedaulatan raja?"
"Ya, ada."
"Apakah hal itu bercampur dengan rasa sakit?"
"Tidak."
"Kalau begitu, mengapa, O raja, bila para prajurit
garis depan
memberontak,
raja-raja harus meninggalkan istananya dan menempuh
perjalanan
pada tanah
yang tidak rata, menderita akibat gigitan nyamuk
dan angin yang
panas, dan
terlibat dalam suatu pertempuran yang ganas yang
membahayakan
nyawa mereka?"
"Itu, Bhahte Nagasena, bukanlah kebahagiaan dari
kedaulatan.
Itu hanyalah
tahap awal dari pencaharian kedaulatan tersebut.
Baru sesudah
memenangkannya
maka mereka dapat menikmati kebahagiaan suatu
kedaulatan. Dan
kebahagiaan
itu, Bhante Nagasena, tidak bercampur dengan
rasa sakit."
"Demikian juga, O Baginda raja, Nibbana adalah
berkah yang
tidak
tertandingi, dan tidak ada rasa sakit yang tercampur
di
dalamnya."
80. Gambaran tentang Nibbana
"Apakah mungkin, Bhante Nagasena, Nibbana ditunjukkan
ukurannya, bentuknya
atau jangka waktunya dengan menggunakan perumpamaan?"
"Tidak, hal itu tidak mungkin. Tidak ada sesuatu
yang
menyerupainya."
"Apakah ada sifat pada Nibbana yang terdapat
pada sesuatu yang
lain yang
dapat ditunjukkan dengan perumpamaan?"
"Ya, itu dapat dilakukan."
"Sama seperti bunga teratai yang tidak basah
oleh air, Nibbana
tidak
tercemar karena kegelapan batin.
"Sama seperti air, Nibbana mendinginkan panasnya
kegelapan
batin dan
menyegarkan kehausan akan lobha.
"Sama seperti obat, Nibbana melindungi makhluk
yang terkena
racun kegelapan
batin, menyembuhkan penyakit penderitaan, dan
memberi gizi
seperti nektar.
"Sama seperti samudra yang tidak menyimpan mayat,
Nibanna sama
sekali tidak
menyimpan kegelapan batin; sama seperti samudra
yang tidak
bertambah ketika
semua air sungai mengalir padanya, demikian juga
Nibbana tidak
akan
bertambah karena adanya makhluk yang mencapainya;
Nibbana
adalah tempat
kediaman bagi para makhluk yang luar biasa (para
Arahat), dan
ia dihiasi
oleh gelombang pengetahuan dan kebebasan."
"Sama seperti makanan yang menopang kehidupan,
Nibbana
menyingkirkan usia
tua dan kematian; Nibbana meningkatkan kekuatan
spiritual
makhluk-makhluk;
Nibbana memberikan keindahan keluhuran, Nibbana
menghilangkan
tekanan
kegelapan batin, Nibbana mengusir kelelahan yang
terjadi karena
penderitaan."
"Sama seperti ruang, Nibbana tidak dilahirkan,
tidak lapuk
ataupun hilang,
Nibbana tidak berlalu di sini dan muncul di tempat
lain,
Nibbana tidak
terkalahkan, pencuri tidak dapat mengambilnya,
Nibbana tidak
terikat pada
apapun, Nibbana adalah lingkup bagi para ariya
ibarat
burung-burung di
angkasa, Nibbana tidak terhalangi dan tidak terhingga.
"Sama seperti permata yang bisa memenuhi segala
permintaan,
Nibbana memenuhi
semua keinginan, menyebabkan sukacita dan berkilau.
"Sama seperti kayu cendana merah, Nibbana itu
sulit didapat,
keharumannya tak ada bandingnya dan Nibbana dipuji
oleh
orang-orang yang
baik ...
"Seperti ghee yang dikenal karena kekhususannya,
begitu juga
Nibbana
mempunyai kekhususannya sendiri; seperti ghee
yang mempunyai
aroma yang
harum, begitu juga Nibbana mempunyai keharuman
keluhuran;
seperti ghee yang
mempunyai rasa yang lezat, begitu juga Nibbana
mempunyai
kelezatan rasa
kebebasan.
"Seperti puncak gunung, Nibbana itu sangat tinggi,
tidak
tergoyahkan, tidak ada jalan masuk bagi kegelapan
batin,
Nibbana tidak
mempunyai ruang bagi kegelapan untuk dapat tumbuh,
dan Nibbana
tidak memihak
atau memiliki prasangka."
81. Perwujudan Nibbana
"Bhante berkata, bahwa Nibbana itu bukan masa
lalu, bukan masa
kini, dan
bukan masa mendatang, bukan timbul dan bukan
pula tidak-timbul,
dan tidak
dapat dihasilkan (bandingkan dengan Bab 14 No.
65). Dalam hal
itu, apakah
orang yang telah menyadari Nibbana menyadari
bahwa sesuatu
telah dihasilkan,
atau dia sendiri yang pertama-tama menghasilkannya
dan baru
kemudian menyadarinya?"
"Bukan semua itu, tetapi Nibbana itu benar-benar
ada.'
"Bhante Nagasena, janganlah menjawab pertanyaan
ini dengan
membuatnya semakin tidak jelas. Jelaskan dan
babarkanlah.
Nibbana merupakan
titik yang membuat banyak orang menjadi bingung
dan tersesat
dalam keraguan.
Patahkanlah ketidakpastian ini."
"Unsur Nibbana itu benar-benar ada, O Baginda
raja, dan orang
yang telah
berlatih dengan benar dan yang benar-benar mengerti
bentukan-bentukan
menurut apa yang telah diajarkan oleh Sang Penakluk,
dia,
dengan
kebijaksanaannya, mencapai Nibbana."
"Dan bagaimanakah Nibbana ditunjukkan? Dengan
terbebasnya dari
rasa tertekan
dan bahaya, dengan kemurnian dan ketenangan.
Seperti halnya
seseorang, yang
ketakutan dan ngeri karena telah jatuh ke tangan
musuh, akan
merasa lega dan
sangat berbahagia ketika ia dapat meloloskan
diri
ke tempat yang aman; atau seperti halnya seseorang
yang
terjatuh di selokan
yang penuh kotoran akan merasa tenang dan senang
setelah ia
keluar dari
selokan itu dan membersihkan diri; seperti halnya
seseorang
yang terjebak
api di hutan akan menjadi tenang dan merasakan
kesejukan
setelah dia
mencapai daerah yang aman. Anda harus menganggap
kecemasan
yang timbul terus-menerus karena kelahiran, usia
tua, penyakit
dan kematian
itu sebagai sesuatu yang menakutkan dan mengerikan;
Anda harus
mengganggap
keuntungan, kehormatan dan ketenaran itu sebagai
kotoran; Anda
harus
mengganggap api berunsur tiga: lobha (nafsu),
dosa (kebencian)
dan moha
(khayalan) sebagai sesuatu yang panas dan tajam.
"Dan bagaimana orang yang berlatih dengan benar
mencapai
Nibbana? Dengan
benar dia memahami sifat bentukan yang terus
berputar dan di
sana dia hanya
melihat kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian;
dia tidak
melihat
sesuatu yang menyenangkan atau yang serasi di
bagian mana pun.
Karena dia
melihat bahwa tidak ada yang dapat dilekati di
sana, maka
bagaikan di atas
bola besi yang panas membara, dengan ketidakpuasan
dan panas
menjalar di
seluruh tubuhnya; karena merasa putus asa dan
tanpa
perlindungan dia menjadi
jijik dengan kehidupan yang terulang-ulang. Dan
bagi orang yang
melihat
teror rantai kehidupan yang terus berjalan, timbullah
pikiran:
'Di atas api
dan kilatanlah roda kehidupan ini berada, penuh
dengan
penderitaan dan
keputusasaan. Jika saja ada akhir dari semua
ini, akhir itu
akan penuh
ketenangan, dan hebat sekali; berhentinya semua
bentukan-bentukan mental,
lepasnya kemelekatan, musnahnya lobha, hilangnya
nafsu,
berhentinya
penderitaan, Nibbana!'
"Dari situ pikirannya melompat ke depan menuju
keadaan dimana
tidak ada lagi
dumadi. Pada saat itulah dia telah mencapai kedamaian,
kemudian
ia bersyukur
dan bersukacita pada pemikiran 'Sebuah perlindungan
akhirnya
telah
ditemukan!' Ia terus berusaha keras di Sang Jalan
untuk
menghentikan
bentukan-bentukan, menemukan caranya, mengembangkannya,
dan
mengambil banyak manfaat darinya. Untuk tujuan
itulah dia
menimbulkan sati,
semangat dan sukacitanya; dan dengan berulang-ulang
memperhatikan pemikiran
itu (muak pada bentukan-bentukan mental), setelah
melampaui
rantai kehidupan
yang terus berjalan, dia telah dapat menghentikan
roda
itu. Orang yang telah menghentikan rantai kehidupan
yang terus
berjalan ini
dapat dikatakan telah mencapai Nibbana."
82. Dimanakah Nibbana?
"Apakah ada tempat, Nagasena, dimana Nibbana tersimpan?"
"Tidak, tidak ada, tetapi Nibbana itu benar-benar
ada. Seperti
halnya tidak
ada tempat di mana api disimpan tetapi toh api
dapat dihasilkan
dengan
menggosokkan dua batang kayu kering."
"Tetapi apakah ada tempat di mana orang bisa
berdiri dan
menyadari Nibbana?"
"Ya, ada; keluhuran adalah tempatnya (bandingkan
Bah I No. 9);
dengan
berdiri di atas keluhuran, dan dengan pengertian,
di manapun ia
berada, baik
di Sychtia atau di Bactria, di China atau Tibet,
di Kashmir
atau Gandhara,
di puncak gunung atau cakrawala tertinggi, orang
yang telah
berlatih dengan
benar menyadari Nibbana."
"Bagus sekali! Bhante Nagasena, Anda telah mengajarkan
Nibbana,
telah
menjelaskan tentang pencapaian Nibbana, telah
memuji kualitas
dari
keluhuran, menunjukkan cara berlatih yang benar,
menjunjung
tinggi
panji-panji Dhamma, memantapkan Dhamma sebagai
prinsip utama,
tidak akan
sia-sia atau tanpa buah usaha orang-orang yang
mempunyai tujuan
yang benar!"
BAGIAN ENAM BELAS
1. PERTANYAAN YANG DISELESAIKAN DENGAN KESIMPULAN
Milinda sang raja menemui Nagasena di kediamannya,
dan setelah
memberi
hormat, raja duduk di satu sisi. Karena ingin
mengetahui,
mendengar dan
mengingat di dalam pikiran, serta karena ingin
menghalau
kebodohan batinnya,
Milinda mengumpulkan keberanian dan semangatnya,
memantapkan
kontrol diri
dan perhatiannya dan kemudian berbicara kepada
Nagasena:
"Sudah pemahkah Bhante melihat Sang Buddha?"(D.
i. Sta. 13)
"Belum, Baginda raja."
"Sudah pernahkah guru-guru Bhante melihat Sang
Buddha?"
"Belum, Raja yang agung."
"Kalau begitu, Bhante Nagasena, Sang Buddha itu
tidak ada;
tidak ada bukti
yang jelas akan keberadaan Sang Buddha."
"Baginda, apakah para pejuang gagah berani yang
merupakan
pendiri dari
deretan raja yang menurunkan Baginda itu ada?"
"Tentu saja, Bhante, tidak ada keraguan tentang
hal itu."
"Sudah pernahkah Baginda melihat mereka?"
"Belum, Bhante."
"Apakah para guru dan menteri negara yang menetapkan
undang-undang sudah
pernah melihat mereka?'
"Belum, Bhante."
"Kalau begitu, Baginda, tidak ada bukti yang
jelas tentang
keberadaan para pejuang jaman dahulu itu."
"Tetapi Bhante Nagasena, lencana kerajaan yang
mereka gunakan
masih dapat
dilihat, dan dari situ kita dapat menyimpulkan
dan mengetahui
bahwa para
pejuang dahulu itu benar-benar ada."
"Demikian juga, O Baginda raja, kita dapat mengetahui
bahwa
Sang Buddha
pernah hidup dan kita dapat mempercayai Beliau.
Lencana
kerajaan yang
dipakai Sang Buddha masih dapat dilihat. Ada
empat landasan
perhatian, empat
daya upaya benar, empat landasan keberhasilan,
lima kekuatan
moral, lima
indriya pengontrol, tujuh faktor pencerahan dan
Jalan Mulia
Berunsur
Delapan. Dari semua ini kita dapat menyimpulkan
dan
mengetahui bahwa Sang Buddha benar-benar ada."
"Berilah saya ilustrasi."
"Seperti halnya orang yang melihat kota yang
indah dan
terencana dengan baik
akan mengetahui bahwa kota itu ditata oleh arsitek
yang ahli;
demikian juga
kota kebenaran yang dibangun oleh Sang Buddha
dapat dilihat.
Kota ini
memiliki perhatian yang tak terputus sebagai
jalan utamanya,
dan di jalan
utama itu terdapat kios-kios pasar yang menjual
bunga, parfum, buah, penawar racun, obat-obatan,
nektar,
permata yang tak
ternilai, dan segala macam barang dagangan. Demikianlah,
O
Baginda raja,
kota kebenaran Sang Buddha direncanakan dengan
baik, dibangun
dengan kuat,
dan terlindung dengan baik sehingga kota itu
tak dapat
ditembus musuh; dan dengan cara menyimpulkan
seperti inilah
Baginda dapat
mengetahui bahwa Sang Buddha pernah ada."
"Apakah bunga di kota kebenaran itu?"
"Ada beberapa objek meditasi yang diperkenalkan
oleh Sang
Buddha:
persepsi tentang ketidak-kekalan, tentang ketidak-puasan,
tidak
adanya jiwa,
sifat yang menjijikkan, bahaya, meninggalkan
keduniawian,
hilangnya nafsu,
kekecewaan terhadap semua alam kehidupan, ketidak-kekalan
semua
bentukan
mental (sankhara); meditasi dengan memperhatikan
nafas,
persepsi mengenai
sembilan macam mayat dalam proses pembusukan
yang berlangsung,
meditasi
cinta kasih (metta), welas asih (karuna), sukacita
dengan
simpati (mudita)
dan keseimbangan batin (upekkha); serta kesadaran
akan kematian
dan
kesadaran tentang 32 bagian tubuh. Siapapun yang
ingin terbebas
dari usai
tua dan kematian dapat memilih salah satu dari
objek tersebut.
Dia akan
dapat terbebas dari
nafsu ketamakan (lobha), kebencian (dosa) dan
kebodohan batin,
kesombongan
dan pandangan salah (moha). Dia dapat menyeberangi
lautan
samsara,
membendung derasnya aliran nafsu keinginan, dan
menghancurkan
semua
penderitaan. Dia kemudian dapat memasuki kota
Nibbana di mana,
terdapat rasa
aman, ketenangan dan kebahagiaan."
"Apakah parfum kota kebenaran itu?"
"Parfum itu ada dalam bentuk pelaksanaan pengendalian
diri
lewat tiga
perlindungan (Tisarana), Pancasila, Atthasila,
Dasasila, serta
Patimokkha
bagi para bhikkhu. Hal ini dikatakan oleh Sang
Buddha:
'Tak ada bau harum bunga yang dapat melawan arah
angin,
Baik itu cendana, sari wewangian, atau bunga
melati'.
Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan arah
angin,
Ke segala arah menyebar harumnya nama orang yang
bajik.' (Dhp.
v. 54)
"Apakah buah dari kota kebenaran itu?"
"Buah itu ada dalam bentuk sotapana, sakadagami,
anagami,
Arahat, pencapaian
kekosongan, pencapaian animitta (keadaan tanpa
tanda) dan
pencapaian
hilangnya nafsu. Orang yang dengan tekad yang
besar merenungkan
anicca
(ketidak-kekalan) mencapai animitta, yang
dengan ketenangan
yang besar
merenungkan dukkha (ketidakpuasan) mencapai keadaan
tanpa
keinginan, yang
dengan kebijaksanaan yang besar
merenungkan anatta (tiada 'aku') mencapai kekosongan.
"Apakah penawar racun di kota kebenaran itu?"
"Empat Kesunyataan Mulia adalah penawar bagi
racun kegelapan
batin. Siapapun
yang merindukan pandangan terang yang tertinggi
dan mendengar
Ajaran ini
akan terbebas dari kelahiran, usia tua, kematian,
penderitaan,
kesakitan,
dukacita, ratap-tangis dan keputusasaan."
"Apakah obat di kota kebenaran itu?"
"Obat-obat tertentu, O raja, telah diramu oleh
Sang Buddha
untuk
menyembuhkan para dewa maupun manusia. Obat-obatan
itu adalah:
Empat
Landasan Perhatian, Empat Usaha Benar, Empat
landasan
keberhasilan, Lima
indriya pengontrol, Lima kekuatan moral, Tujuh
faktor Kesucian,
dan Jalan
Mulia Berunsur Delapan. Dengan obat-obatan ini
Sang Buddha
menyembuhkan
orang dari pandangan salah, pikiran salah, ucapan
salah,
tindakan salah, mata pencaharian salah, usaha
salah, perhatian
salah, dan
konsentrasi salah. Beliau membebaskan mereka
dari ketamakan,
kebencian dan
khayalan, kesombongan, sakayyaditthi (pandangan
tentang diri),
keraguan,
kegelisahan, kemalasan dan kelambanan, tidak
tahu malu
dan kesembronoan serta semua kekotoran batin
lainnya."
"Apakah nektar di kota kebenaran itu?'
"Perhatian akan tubuh adalah bagaikan nektar,
karena semua
makhluk yang
minum nektar perhatian akan tubuh ini akan terbebas
dari segala
penderitaan.
Hal ini dikatakan oleh Sang Buddha:
'Mereka yang memanfaatkan perhatian
akan tubuh
akan menikmati nektar keadaan
tanpa kematian.' (A. i. 45)
"Apakah permata yang tak ternilai di kota kebenaran
itu?"
"Kemoralan, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan,
pengetahuan
dan visi
kebebasan, pengetahuan membedakan, dan faktor-faktor
pencerahan
adalah
permata yang tak ternilai dari Sang Buddha.
"Dan apakah permata yang tak ternilai dari kemoralan?
Yaitu
nilai-nilai luhur pengendalian diri lewat peraturan
Patimokkha;
nilai-nilai
luhur pengendalian diri dari indra; nilai-nilai
luhur dari mata
pencaharian
yang benar; nilai-nilai luhur dari perenungan
terhadap
penggunaan empat
kebutuhan pokok secara benar: pindapatta, obat-obatan,
jubah, dan tempat tinggal; nilai-nilai luhur
pengendalian diri
sesuai dengan
vinaya yang pokok, menengah dan kecil, serta
nilai-nilai luhur
yang sudah
menjadi kebiasaan bagi orang-orang yang luhur.
"Dan apakah permata yang tak ternilai dari konsentrasi?
Yaitu jhana pertama dengan savitakkasavicara
(pikiran yang
diterapkan dan
pikiran yang bertahan), jhana kedua dengan avitakkasavicara
(tanpa pikiran
yang diterapkan tetapi dengan pikiran yang bertahan),
jhana
ketiga dengan
avitakka-avicara (tanpa pikiran yang diterapkan
maupun pikiran
yang
bertahan) tetapi dengan sukacita yang murni,
kebahagiaan, dan
tertuju
pada satu titik; dan ini juga merupakan konsentrasi
pada
kekosongan,
animitta dan tiadanya nafsu. Ketika seorang bhikkhu
mengenakan
permata
konsentrasi ini, maka pikiran yang jahat dan
pikiran yang tidak
bermanfaat
akan terkibas dari pikirannya bagaikan air di
daun teratai.
"Dan apakah permata yang tak ternilai dari kebijaksanaan?
Yaitu
pengetahuan
tentang apa yang bajik dan tidak bajik, apa yang
tercela dan
apa yang
terpuji, serta pengetahuan tentang Empat Kesunyataan
Mulia.
"Dan apakah permata yang tak ternilai dari kebebasan?
Menjadi
Arahat adalah
permata dari segala permata, permata yang tak
ternilai dari
kebebasan. Jika
seorang bhikkhu mengenakannya, dia akan menjadi
lebih cemerlang
daripada
yang lainnya.
"Dan apakah permata yang tak ternilai dari pengetahuan
dan visi
kebebasan?
Yaitu pengetahuan yang digunakan para siswa untuk
meninjau lagi
Sang Jalan,
buah-buahnya dan Nibanna, dan merenungkan kekotoran
batin yang
telah dapat
dihilangkan dan kekotoran batin yang masih ada.
"Dan apakah permata yang tak ternilai dari pengetahuan
membedakan?
Yaitu pemahaman analitis terhadap arti, hukum,
bahasa dan
inteligensi.
Siapapun yang mengenakan permata ini tidak akan
takut
menghadapi segala
macam pertemuan, dan percaya diri karena tahu
bahwa ia dapat
menjawab segala
macam pertanyaan yang diajukan padanya.
"Dan apakah permata yang tak ternilai dari faktor-faktor
kesucian?
Yaitu permata kesadaran (sati), penyelidikan
Dhamma
(Dhammacicaya), usaha
yang bersemangat (Viriya), sukacita (Piti), ketenangan
(Passaddhi),
konsentrasi (Samadhi) dan keseimbangan batin
(Upekkha).
Dihiasi dengan permata-permata ini, seorang bhikkhu
akan
menerangi dunia
dengan keluhurannya."
2. LATIHAN PERTAPA
Sang raja melihat para bhikkhu di hutan yang sendiri
dan jauh
dari orang
lain, yang menjalankan latihan yang berat sesuai
tekadnya. Dan
kemudian ia
juga melihat para perumahtangga di rumah mereka
yang memetik
buah manis dari
Jalan Mulia. Mempertimbangkan kedua hal ini,
raja merasakan
keraguan yang
dalam. "Jika umat awam juga mewujudkan kebenaran,
maka bertekad
seperti itu
tentunya sia-sia saja. Baiklah!
Akan saya tanyakan pada guru yang terbaik, yang
bijaksana dalam
ketiga kitab
suci yang berisi sabda Sang Buddha, yang terampil
menyanggah
argumentasi
lawannya. Ia akan mampu memecahkan keragu-raguanku!"
Milinda mendatangi Nagasena, memberi hormat, duduk
di satu sisi
dan bertanya:
"Bhante, apakah ada umat awam yang telah mencapai
Nibbana?"
"Tidak hanya seratus atau seribu, tetapi lebih
dari semilyar
yang telah
mencapai Nibbana." (Selain manusia, banyak dewa
yang mencapai
Nibbana pada
waktu mendengarkan Dhamma)
"Bhante Nagasena, jika seorang perumah tangga
yang hidup di
rumahnya bisa
menikmati kesenangan-kesenganan indria, dan juga
dapat mencapai
Nibbana,
apakah gunanya tekad tambahan tersebut? Jika
musuh dapat
dikalahkan hanya
dengan menggunakan tinju, apa gunanya mencari
senjata ?
Jika pohon dapat dipanjat begitu saja, apa gunanya
tangga? Jika
berbaring di
lantai sudah nyaman, apa gunanya tempat tidur?
Demikian juga,
jika orang
awam dapat mencapai Nibbana sementara hidup di
rumah, apa
gunanya tekad
tambahan?"
"O raja, ada 28 keluhuran tekad ini yang dinilai
tinggi oleh
para Buddha.
Menjaga tekad adalah
01. suatu cara hidup murni,
02. buahnya membahagiakan,
03. tidak tercela,
04. tidak membawa penderitaan bagi yang lain,
05. memberikan keyakinan (dia bebas dari rasa
takut terhadap
perampok),
06. tidak menekan (tak perlu melindungi hartanya),
07. pasti menyebabkan pertumbuhan sifat-sifat
yang baik,
08. mencegah kemunduran,
09. tidak mengotori batin,
10. merupakan suatu perlindungan,
11. memenuhi keinginan,
12. menjinakkan semua makhluk,
13. baik bagi disiplin diri,
14. pantas bagi seorang pertapa,
15. dia mandiri (tidak melekat kepada keluarga),
16. dia bebas (dan bebas pergi kemana pun juga).
(Vism. 59-83)
17. Kemoralan ini juga menghancurkan nafsu (lobha),
18. menghancurkan kebencian (dosa),
19. menghancurkan kebodohan batin (moha),
20. mengikis kesombongan,
21. memutus pikiran yang melantur dan membuat
pikiran menuju
satu titik,
22. mengatasi keraguan,
23. menghalau kelambanan,
24. melenyapkan ketidak-puasan,
25. membuat orang toleran.
26. Keluhuran ini tidak ada bandingnya,
27. tak terukur, dan
28. mengarah pada penghancuran segala penderitaan.
"Dan siapa pun yang melaksanakan tekad-tekad itu
akan mendapat
18 sifat baik:
01. Kelakuannya murni,
02. latihannya sepenuhnya tercapai,
03. tindakan dan kata-katanya terjaga baik,
04. pikirannya murni,
05. semangatnya bangkit,
06. ketakutannya berkurang,
07. pandangannya tentang ego hilang,
08. kemarahannya lenyap dan
09. cinta-kasihnya tumbuh,
10. dia makan dengan pemahaman sifat makanan
yang menjijikkan,
11. dia dihormati oleh semua makhluk,
12. dia makan secukupnya,
13. dia penuh kewaspadaan,
14. dia tak-berumah dan
15. dapat bertempat tinggal di manapun juga,
16. dia jijik terhadap kejahatan,
17. dia bersukacita dalam kesendirian dan
18. dia selalu penuh perhatian.
"Dan sepuluh macam orang yang pantas mengambil
sumpah-sumpah
itu:
01. orang yang penuh dengan kepercayaaan diri,
02. orang yang tahu malu,
03. orang yang penuh keberanian,
04. orang yang tidak memiliki kemunafikan,
05. orang yang mengandalkan diri sendiri,
06. orang yang tegar,
07. orang yang berniat untuk berlatih,
08. orang yang memiliki kebulatan tekad,
09. orang yang sangat mawas diri, dan
10. orang yang penuh kasih sayang.
"Dan semua orang awam yang mewujudkan Nibbana
sementara hidup
di rumah
adalah mereka yang telah menjalankan tekad ini
dalam
kehidupan-kehidupan mereka sebelumnya. Tidak
mungkin ada
realisasi tujuan
menjadi Arahat dalam hidup kali ini tanpa tekad-tekad
tersebut.
Arahat hanya
dapat dicapai dengan kerja yang amat sangat keras.
Oleh karena
itulah maka
nilai menjaga tekad tersebut sangat tinggi dan
berharga.
"Dan siapapun, O Baginda raja, yang mempunyai
pikiran jahat dan
berniat
mengambil tekad ini dengan tujuan mencari keuntungan
materi,
akan
mendapatkan hukuman ganda: di dunia ini dia akan
dipandang
rendah dan
dicemooh, dan sesudah mati dia akan mcnderita
di neraka.
"Tetapi siapapun, O Baginda raja, yang prilakunya
sesuai dengan
kehidupan
kebhikkhuan, yang layak menjadi bhikkhu, yang
keinginannya
sedikit dan dapat
berpuas hati, terbiasa dengan kesendirian, penuh
semangat,
tidak memiliki
akal bulus, dan telah meninggalkan keduniawian
bukan karena
ingin memperoleh
keuntungan dan ketenaran melainkan karena
memiliki keyakinan terhadap Dhamma, yang menginginkan
kebebasan
dari usia
tua dan kematian, dia pantas mendapat penghormatan
ganda karena
dia dicintai
oleh para manusia maupun dewa. Dan dengan cepat
dia memperoleh
empat buah,
empat jenis diskriminasi (diskriminasi arti,
hukum, bahasa,
dan inteligensi), visi berunsur tiga [Tevijja
- ingatan akan
kehidupan lalu,
pengetahuan akan muncul dan lenyapnya makhluk,
pengetahuan akan
penghancuran
banjir (asava)], dan pengetahuan berunsur enam
yang lebih
tinggi (abhinnana
- kekuatan supra-normal seperti misalnya terbang
di angkasa,
memiliki
telinga yang luar biasa daya dengarnya, penembusan
pikiran, ditambah tiga di atas).
"Dan apakah tiga belas tekad tersebut?
01. Mengenakan jubah yang dipotong-potong,
02. menggunakan hanya tiga jubah,
03. hidup hanya dengan pindapatta,
04. pindapatta dari satu rumah ke rumah lain
tanpa pilih-pilih,
05. makan sekali sehari,
06. makan dari mangkuk saja,
07. menolak makanan yang ditawarkan sesudah (pindapatta)
itu,
08. hidup di hutan,
09. bertempat tinggal di bawah pohon,
10. bertempat tinggal di tempat terbuka,
11. hidup di kuburan,
12. menggunakan tempat tidur manapun yang diberikan,
dan
13. tidak berbaring untuk tidur. (Baca Vism.
59 ff untuk
keterangan lebih
terinci)
"Dan dengan menjalankan tekad-tekad inilah Upasena
dapat
mengunjungi Sang Buddha ketika Beliau sedang
menyendiri
(Vin.iii.230 ff),
dan karena tekad yang sama pula Sariputta
memiliki keluhuran
yang begitu
tinggi sehingga dia dinyatakan sebagai orang
kedua yang hanya
kalah oleh
Sang Buddha dalam kemampuannya membabarkan Dhamma."
(A.i.23,
S.i. 191)
"Bagus sekali Bhante Nagasena, seluruh ajaran
Sang Buddha,
pencapaian adi-duniawi (lokuttara) dan semua
hasil terbaik di
dunia ini
termasuk di dalam 13 latihan pertapa ini."
BAGIAN TUJUH BELAS
KIASAN-KIASAN
"Bhante Nagasena, apa sifat-sifat yang harus dimiliki
seorang
bhikkhu agar dapat mencapai tingkat Arahat?"
1. Keledai
"Seperti halnya, O Baginda, seekor keledai, di
mana pun ia
berbaring ia
tidak akan beristirahat lama; demikian juga seorang
bhikkhu
yang berniat
mencapai tingkat Arahat tidak akan beristirahat
lama."
2. Ayam
"Seperti halnya seekor ayam yang bertengger pada
saat yang
tepat; demikian
juga seharusnya seorang bhikkhu dengan cepat
melaksanakan
tugas-tugasnya
setelah berpindapatta dan pergi ke tempat yang
sunyi untuk
bermeditasi.
"Seperti seekor ayam yang bangun pagi; demikian
juga seorang
bhikkhu harus
bangun pagi.
"Seperti seekor ayam yang terus-menerus mengais
tanah mencari
makan;
demikian juga seorang bhikkhu harus terus-menerus
merenungkan
makanan yang
dimakannya dengan mengingat: 'Saya makan bukan
untuk kenikmatan
dan bukan
untuk keindahan melainkan hanya untuk meredakan
sakit karena
rasa lapar dan
memungkinkan diri ini menjalani kehidupan suci.
Dengan
demikian saya menghentikan penderitaan'.
"Seperti ayam yang meskipun mempunyai mata namun
buta pada
waktu malam;
demikian juga seorang bhikkhu menjadi seolah-olah
buta ketika
sedang
bermeditasi, tidak memperhatikan objek indra
yang mungkin akan
mengganggu
konsentrasinya.
"Dan seperti ayam yang meskipun diusir dengan
tongkat dan batu
tidak akan
meninggalkan tempatnya bertengger; demikian juga
seorang
bhikkhu tidak
meninggalkan perhatiannya walaupun dia sedang
sibuk membuat
jubah,
membangun, mengajar, mempelajari kitab suci,
atau apa pun.
4. Panther betina
"Seperti seekor panther betina yang begitu hamil
tidak
berpaling lagi kepada
yang jantan; demikian juga seharusnya seorang
bhikkhu. Setelah
melihat
penderitaan yang menjadi sifat kelahiran, seorang
bhikkhu
memutuskan untuk
tidak memasuki kelahiran yang mana pun di masa
yang akan
datang. Hal ini
telah dikatakan oleh Sang Buddha, O Baginda raja,
dalam Dhaniya
Sutta di
Sutta Nipata:
'Setelah mematahkan
belenggu-belenggu seperti banteng,
dan seperti
gajah yang telah mematahkan tanaman-tanaman jalar,
maka tidak
akan ada lagi
kelahiran bagiku. Jadi, curahkan hujan, O awan,
semaumu!'
(Sn.v. 29)
7. Pohon Bambu
"Seperti pohon bambu yang berayun ke mana angin
bertiup;
demikian juga
seharusnya seorang bhikkhu, fleksibel dan menyesuaikan
diri
pada Ajaran.
10. Monyet
"Seperti seekor monyet yang tinggal di pohon
besar yang
rindang, tertutup
rapat oleh dahannya; demikian juga seorang bhikkhu
harus
tinggal dengan guru
yang terpelajar, yang patut dihormati dan mampu
membimbingnya.
12. Teratai
"Seperti teratai yang tidak ternoda oleh air
di mana ia
dilahirkan dan
bertumbuh; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu
tidak
ternoda oleh
sokongan, persembahan dan penghormatan umatnya.
"Seperti teratai yang berada jauh di atas air;
demikian juga
seharusnya seorang bhikkhu berada jauh di atas
keduniawian.
"Dan seperti teratai yang bergetar terkena hembusan
angin
sepoi; demikian
juga seharusnya seorang bhikkhu gemetar walaupun
hanya berpikir
ingin
melakukun suatu yang jahat, karena melihat adanya
bahaya dalam
kesalahan
yang paling kecil pun.
20. Samudera
"Seperti samudera yang melemparkan mayat ke pantai;
demikian
juga seorang
bhikkhu harus menyingkirkan kekotoran batin dari
pikirannya.
"Seperti samudera yang meskipun menyimpan banyak
kekayaan tidak
akan
mengangkatnya ke atas; demikiun juga seorang
bhikkhu harus
memiliki permata
pencapaian tetapi tidak memamerkannya.
"Seperti samudera yang berhubungan dengun makhluk-makhluk
yang
besar; begitu
juga seharusnya seorang bhikkhu berhubungan dengan
murid-murid
yang hanya
mempunyai sedikit keinginan, yang berbudi luhur,
terpelajar dan
bijaksana.
"Seperti samudera yang tidak membanjiri pantainya;
demikian
juga seharusnya
seorang bhikkhu tidak pemah melanggar sila sekalipun
demi
kehidupannya.
"Dan seperti samudera yang tidak penuh meskipun
semua sungai
mengalir ke dalamnya; demikian juga seorang bhikkhu
seharusnya
tidak pernah
bosan mendengarkan Ajaran dan instruksi Dhamma,
Vinaya, dan
Abhidhamma.
21. Bumi
"Seperti bumi yang besar yang tidak tergoyahkan
oleh
barang-barang, yang
baik maupun yang busuk, yang dilemparkan kepadanya;
demikian
juga seharusnya
seorang bhikkhu tetap tidak tergoyahkan bila
dipuji atau
dicaci, didukung
atau diabaikan.
"Seperti bumi yang besar yang tidak berhias tetapi
mempunyai
aroma sendiri;
demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak
dihiasi oleh
parfum tetapi
memiliki keharuman nilai-nilai kemoralannya.
"Seperti bumi yang tidak pernah lelah menyangga
beban yang
sangat banyak;
demikian juga seorang bhikkhu tidak boleh lelah
memberikan
petunjuk,
peringatan dan dorongan.
"Dan seperti bumi yang besar yang tidak mempunyai
rasa benci
atau rasa suka;
demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak
mempunyai
kebencian dan
kesukaan.
22. Air
"Seperti air yang secara alami tetap tenang;
demikian juga
seorang bhikkhu
memiliki sifat tidak munafik, tidak suka berkeluh-kesah,
tidak
berbicara
dengan maksud untuk memperoleh keuntungan, tidak
berperilaku
yang tercela,
tetap tenang tak terganggu dan murni secara alami.
"Seperti air yang selalu menyegarkan; demikian
juga seharusnya
seorang
bhikkhu penuh dengun welas asih, selalu mencari
yang baik dan
bermanfaat
bagi semuanya.
"Dan seperti air yang tidak pemah mencelakakan
siapa pun;
demikian juga
seorang bhikkhu bersungguh-sungguh berusaha,
tidak pernah
melakukan
kesalahan yang menyebabkan pertengkaran atau
perselisihan,
kemarahan atau
ketidakpuasan. Hal ini telah dikatakan oleh Sang
Buddha dalam
Kanha
Jataka:
'O Sakka, raja seluruh
dunia, sebuah pilihan kau nyatakan:
Tidak seharusnya ada
makhluk yang dilukai untukku,
'O Sakka, di manapun,
tidak di tubuh tidak pula di
pikiran:
ini, Sakka, adalah doaku.'
(Ja. iv. 14.PTS trnsl)
27. Bulan
"Seperti bulan yang berubah semakin besar dari
hari ke hari;
demikian juga seorang bhikkhu seharusnya meningkatkan
sifat-sifatnya yang
baik dari hari ke hari.
30. Raja semesta
"Seperti halnya raja semesta yang disenangi rakyatnya
karena
empat dasar
ketenaran yaitu kemurahan hati, keramah-tamahan,
keadilan dan
sifatnya yang
tidak memihak; demikian juga seharusnya seorang
bhikkhu yang
disenangi oleh
para bhikkhu dan umat awam.
"Seperti raja semesta yang tidak mengijinkan
para perampok
berdiam di
alamnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya
tidak
mengijinkan pikiran
yang jahat, yang bernafsu atau yang kejam berdiam
di dalam
pikirannya.
"Dan seperti raja semesta yang berkelana ke seluruh
dunia
memeriksa yang
baik dan jahat; demikian juga seorang bhikkhu
seharusnya
memeriksa dirinya
dengan seksama dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya.
40. Gajah.
"Seperti seekor gajah yang memutar seluruh tubuhnya
ketika
memandang
sekelilingnya; demikian juga seorang bhikkhu
seharusnya memutar
tubuhnya
ketika memandang sekelilingnya. Tidak melihat
ke sana sini
melainkan
mengendalikan matanya dengan baik.
"Seperti gajah yang mengangkat kakinya dan melangkah
dengan
hati-hati; demikian juga seorang bhikkhu harus
selalu waspada
dan sepenuhnya
menyadari gerak jalannya.
46. Bangau India
"Seperti bangau India yang dengan jeritannya
memperingatkan
orang akan nasib
mereka yang akan datang; demikian juga seorang
bhikkhu harus
memperingatkan
orang akan nasib mereka di masa mendatang dengan
Ajaran
Dhammanya.
47. Kelelawar
"Seperti kelelawar yang meskipun terkadang memasuki
rumah orang
dengan
segera akan pergi; demikian juga seorang bhikkhu,
meskipun dia
memasuki
rumah orang untuk berpindapatta, segera dia akan
pergi.
"Dan seperti kelelawar yang tidak merugikan bila
mengunjungi
rumah
seseorang; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu.
Ketika
mengunjungi
rumah orang dia tidak merugikan karena mudah
dilayani dan penuh
tenggang
rasa melihat kesejahteraan mereka.
48. Lintah
"Seperti lintah yang menghisap sampai kenyang
sebelum melepas;
demikian juga
seharusnya seorang bhikkhu teguh kukuh dalam
objek meditasinya
dan menghirup
sepuasnya nektar kebebasan yang lezat.
50. Ular batu
"Seperti ular batu yang dapat bertahan hidup
selama beberapa
hari tanpa
makan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya
dapat terus
bertahan
meskipun dia hanya menerima sedikit makanan.
Hal ini telah
dikatakan oleh
Bhante Sariputta:
'Tak peduli makanan basah atau kering yang dia
santap, tidak
pernah dia
membiarkan dirinya makan kekenyangan. Pertapa
yang baik
meninggalkan
keduniawian dalam kekosongan, dan tetap makan
secukupnya saja.
Jika dia
hanya mendapat empat atau lima suap, biarlah
dia minum air. Hal
itu
bukan masalah bagi orang yang pikirannya tertuju
ke tingkat
Arahat dan
mencari ketenteraman.' (Thag. vv .982,983)
60. Tukang kayu
"Seperti tukang kayu yang membuang bagian kayu
yang empuk dan
hanya
menggunakan bagian kerasnya saja; demikian juga
seorang bhikkhu
seharusnya
membuang pandangan-pandangan salah seperti misalnya
keabadian,
kenihilan,
jiwa adalah tubuh, jiwa adalah satu hal sedangkan
tubuh adalah
hal lain,
semua ajaran sama baiknya, yang tidak terkondisi
merupakan
ketidak-mungkinan, tindakan manusia tidak ada
gunanya, tidak
ada kehidupan
suci, ketika satu makhluk mati maka lahirlah
satu makhluk yang
baru, hal-hal
yang terkondisi secara abadi ada, seseorang yang
bertindak akan
langsung
mengalami hasil daripadanya, seseorang bertindak
dan orang
lainlah yang akan
menerima akibamya, dan segala macam pandangan
salah lainnya
mengenai buah dari kamma (niat) dan kiriya (perbuatan).
Setelah
membuang
segala macam jalan seperti itu, dia harus memahami
ide tentang
kekosongan
(void) yang merupakan keadaan yang sebenarnya
dari hal-hal yang
terkondisi.
61. Pot air
"Seperti halnya pot air yang penuh tidak menimbulkan
suara;
demikian juga
seharusnya seorang bhikkhu tidak menjadi banyak
mulut meskipun
dia tahu
banyak. Hal ini telah dikatakan oleh Sang Buddha:
"Dengarkanlah suara air. Dengarkanlah
air yang mengalir
melalui celah
jurang dan bebatuan.
Sungai yang kecillah yang
menimbulkan suara yang keras.
Sungai yang
besar mengalir tanpa suara.
Yang kosong bersuara dan yang penuh tenang. Kebodohan
seperti
sebuah pot
yang berisi setengahnya; orang bijaksana bagaikan
sebuah danau
yang penuh
air."(Sn. vv. 720, 721)
Pada akhir perdebatan antara Sang bhikkhu thera
dan raja ini,
bumi yang
besar ini bergetar enam kali, kilat menyambar
di langit dan
para dewa
menaburkan bunga dari surga. Milinda dipenuhi
oleh sukacita di
dalam hatinya
dan semua kesombongan lenyap dari dalam dirinya.
Ia tidak lagi
mempunyai
keraguan tentang Sang Tiratana dan tidak lagi
mempertahankan
kekeras-kepalaannya, bagaikan kobra yang tidak
lagi memiliki
taring.
Raja kemudian berkata, 'Sangat hebat, Yang Mulia
Nagasena!
Teka-teki yang
pantas diselesaikan oleh seorang Buddha, telah
Bhante selesaikan. Tidak ada yang seperti Bhante
di antara para
murid Sang
Buddha, terkecuali Yang Mulia Sariputta. Bhante,
maafkanlah
segala kesalahan
saya. Semoga Bhante sudi menerima saya sebagai
murid, sebagai
seseorang yang
telah menemukan perlindungan selama hidupnya.'
Dan sang raja, beserta para prajuritnya, menyokong
Sang bhikkhu
thera itu
beserta sejumlah besar pengikutnya. Dia membangun
tempat
tinggal yang diberi
nama Vihara Milinda. Dan di kemudian hari, Milinda
menyerahkan
kerajaannya
kepada putranya. Setelah meninggalkan kehidupan
berumah tangga,
dia
mengembangkan pandangan terang dan mencapai tingkat
Arahat.
KATA-KATA PALI DAN ISTILAH TEKNIS
4 Buah Sang Jalan
1. Pemenang Arus (Sotappana, tingkat kesucian
pertama).
Ketika mewujudkan nibbana untuk pertama kalinya,
Sotapana telah
menghancurkan 3 belenggu pandangan salah: percaya
adanya
pribadi
(sakkaya-ditthi), percaya pada tata-cara dan
ritual, dan
keraguan. Dia tidak
mungkin dapat melakukan kejahatan yang keji,
dan seandainya dia
melakukan
suatu
perbuatan jahat, dia tidak dapat menyembunyikannya.
Dia
terjamin pasti
mencapai tingkat Arahat, paling banyak dalam
7 kali kelahiran.
2. Yang Kembali Sekali (Sakadagami, tingkat kesucian
kedua).
Sakadagami ini telah menghilangkan sebagian besar
kekuatan
belenggu nafsu
dan niat jahat; dia akan dilahirkan di bumi paling
banyak hanya
1 kali lagi
sebelum mencapai tingkat Arahat.
3. Yang Tidak Kembali (Anagami, tingkat kesucian
ketiga).
Anagami ini telah sepenuhnya menghilangkan belenggu-belenggu
nafsu dan niat
jahat; dia tidak akan dilahirkan kembali di bumi
tetapi akan
mencapai
tingkat Arahat di alam-alam yang lebih tinggi,
di alam dewa
atau alam Brahma.
4. Arahat.
Arahat telah menyingkirkan 5 sisa belenggu, telah
menghancurkan semua kebodohan batin dan nafsu
keinginan, serta
mengakhiri
semua bentuk kelahiran kembali. Dengan demikian
dia mencapai
tujuan akhir
kehidupan suci.
4 Cara hidup tanpa rasa takut (vesarajja)
Sang Buddha berkata, "Saya tidak melihat alasan
apapun yang
dapat dipakai
orang untuk marah terhadap saya dalam hal:
1) telah sepenuhnya tercerahkan,
2) banjir-banjir (asava) yang telah sepenuhnya
dihancurkan,
3) pengetahuan tentang penghalang kemajuan,
4) pengetahuan Dhamma yang menuju ke penghancuran
banjir-banjir
(asava) itu.
5 Khandha Makhluk (fenomena pembentuk)
Ketika kita mengatakan 'makhluk hidup', ini hanyalah
suatu cara
bicara
konvensional. Yang mendasari konvensi ini adalah
pandangan
salah mengenai
kepercayaan akan adanya pribadi (sakkaya ditthi),
kekekalan dan
adanya
substansi. Tetapi, apabila kita periksa dengan
lebih seksama
apakah
sebenarnya makhluk hidup atau orang itu, maka
yang akan kita
temukan
hanyalah suatu arus fenomena yang terus-menerus
berubah.
Fenomena-fenomena ini dapat diatur dalam 5 kelompok:
tubuh atau fenomena materi (rupa),
perasaan (vedana),
pencerapan (sanna),
bentukan-bentukan mental (sankhara), dan
kesadaran murni (vinnana).
Ini hanya kategori, dan jangan menganggap bahwa
kelompok-kelompok ini adalah
sesuatu yang stabil.
5 Halangan (nivarana)
Nafsu, keinginan jahat, kelambanan dan kemalasan,
keresahan dan
penyesalan
yang dalam, serta keraguan.
Kekotoran-kekotoran batin ini disebut penghalang
karena mereka
menghambat
perkembangan konsentrasi.
8 Penyebab gempa bumi
1. Bumi ini ditopang oleh air, air ditopang oleh
udara, udara
oleh ruang.
Kadang-kadang angin besar bertiup kencang dan
air tergoncang.
Ketika air
tergoncang, bumi tergoncang. (Air adalah elemen
kohesi/kepaduan
atau
ketidak-stabilan, udara adalah elemen gerak.
Elemen-elemen ini
ada sekalipun
pada batu karang yang leleh).
2. Seorang pertapa atau dewa dengan kekuatan
(bala) yang besar
menyebabkan
bumi bergoncang lewat kekuatan konsentrasinya.
3. Ketika Sang Bodhisatta secara sengaja dan
sadar meninggal
dari Surga
Tusita, dan terkandung dalam rahim ibunya, maka
bumi besar ini
bergoncang.
4. Ketika Sang Bodhisatta secara sengaja dan
sadar keluar dari
rahim ibunya,
bumi besar ini bergoncang.
5. Ketika Sang Tathagata mencapai pencerahan
tertinggi yang
sempurna, bumi besar ini bergoncang.
6. Ketika Sang Tathagata memutar roda Dhamma,
bumi besar ini
bergoncang.
7. Ketika Sang Tathagata secara sengaja dan sadar
melepaskan
proses mental yang menahan kehidupan, bumi besar
ini
bergoncang. (Dengan
kekuatan kesaktiannya beliau sebenarnya dapat
memperpanjang
kehidupannya,
tetapi karena tidak diminta, beliau melepaskan
kemungkinan itu
dan
mengumumkan waktu wafatnya)
8. Ketika seorang Buddha meninggal dunia dan
mencapai
Parinibbana, bumi
besar ini bergoncang.
10 Belenggu (samyojana)
Kamachanda (nafsu), byapada (maksud jahat), mana
(kesombongan),
sakkaya-ditthi (percaya adanya pribadi), vicikiccha
(keraguan),
silabattam
(kemelekatan pada ritual dan upacara), ruparaga
(nafsu akan
keberadaan),
issa (iri hati), macchriya (ketamakan), avijja
(kebodohan
batin).
10 Kesempurnaan (Parami)
Dana (kedermawanan), sila (keluhuran), nekkhama
(meninggalkan
keduniawian), panna (kebijaksanaan), viriya (semangat),
khanti
(kesabaran),
Sacca (kejujuran), adhitthana (tekad), metta
(cinta-kasih),
upekkha
(ketenang-seimbangan).
18 Sifat Ke-Buddha-an (Buddhadhamma)
1-3. Melihat segala hal: di masa lampau, kini,
dan yang akan
datang.
4-6. Kebenaran dalam tindakan, ucapan dan pikiran.
7-12. Mantapnya hal-hal berikut ini sehingga
tidak dapat
dicegah oleh yang
lain: kehendak, doktrin, hal-hal yang dihasilkan
oleh
konsentrasi, semangat,
pembebasan dan kebijaksanaan.
13-14. Menghindari: kesenangan atau apa pun yang
dapat
mengundang hinaan,
serta perselisihan dan pertikaian.
15. Maha tahu.
16. Melakukan segala hal dengan kesadaran penuh.
17. Melakukan semua hal dengan tujuan tertentu.
18. Tidak melakukan apa pun secara memihak atau
tidak
bijaksana.
32 Bagian Tubuh (untuk perenungan)
Rambut kepala, bulu tubuh, kuku, gigi, kulit;
daging, otot,
tulang, sumsum tulang, ginjal; jantung, hati,
jaringan, limpa,
paru-paru;
usus besar, usus kecil, mesentery (????), perut,
tinja; empedu,
lendir,
nanah, darah, keringat; lemak padat, lemak cair,
ludah, ingus,
cairan
synovic (???), air kencing, otak.
Abhidhamma - berarti Ajaran yang lebih tinggi.
Abhidhamma
menggunakan metode
analitis. Sementara khotbah-khotbah menggunakan
bahasa
konvensional manusia
atau makhluk, Abhidhamma menggunakan istilah-istilah
seperti
'lima khanda
manusia."
Penyerapan (Jhana) - yaitu tahap-tahap konsentrasi
mental yang
dicapai
dengan mengatasi 5 rintangan. Hasil dari keadaan-keadaan
ini
adalah
kelahiran kembali di alam Brahma.
Latihan keras (dukkarakarikam) - Ini adalah latihan-latihan
pengendalian
diri yang keras yang dijalankan oleh Sang Bodhisatta
tetapi
harus dibedakan
dari latihan-latihan pertapa (dhutanga), yang
walaupun sulit
namun bukannya
rendah dan bukan pula tidak menguntungkan.
Arahat - Lihat 4 Buah Sang Jalan.
Yunani Baktria (Bactrian Greek) - (Yonaka). Ada
beberapa acuan
untuk kata
yonaka selain yang ada di dalam Milinda Panha.
Sebuah prasasti
di gua di
Nasik, dekat Bombay, menyebutkan 9 Yonaka yang
merupakan donor,
dan
Mahavamsa menghubungkannya pada bhikkhu-bhikkhu
dari Yona, pada
seorang Yonadhammarakkhita yang pasti merupakan
seorang bhikkhu
Yunani
Baktria.
Bhlkkhu - Biarawan Buddhis yang telah menerima
pentahbisan yang
lebih tinggi.
Bodhisatta - Makhluk yang sepenuhnya mengabdi
untuk mencapai
pencerahan
sempurna seorang Buddha. Untuk itu dia harus
mengembangkan
kesempurnaan-kesempurnaan (parami) selama berkalpa-kalpa.
Pohon Bodhi - Pohon di mana Sang Bodhisatta menjadi
seorang
Buddha.
Pohon Bodhi Ananda merupakan anak pohon dari
pohon aslinya,
yang dibawa
Ananda ke Savatthi guna mengingatkan orang-orang
akan Sang
Buddha jika
beliau sedang pergi. Sebatang anak pohon lain
dikirim ke Sri
Lanka oleh Raja
Asoka dan masih dipuja sampai kini.
Brahma - Seorang dewa atau makhluk agung yang
berada dalam alam
kehidupan
yang terbebas dari hawa nafsu.
Brahmacarin - Orang yang menjalani kehidupan
kesucian.
Brahmana - Seorang pendeta Hindu atau orang dari kasta itu.
Cara (Prilaku Baik) merupakan penggenapan tugas-tugas:
Imbangannya, sila
adalah penahanan diri dari perbuatan salah.
Jasa (punna) - Perbuatan-perbuatan baik yang merupakan
landasan
untuk
kebahagiaan dan kemakmuran dalam lingkaran kelahiran
kembali.
Peraturan-peraturan yang Minor dan Kurang Penting-
Pengarang
Milinda Panha
mengatakan bahwa peraturan-peraturan minor adalah
pelanggaran
karena
tindakan salah (dukkata), sedangkan peraturan-peramran
yang
kurang penting
adalah pelanggaran karena ucapan salah (dubhasita),
walaupun
dia mengakui
bahwa 500 bhikkhu thera yang mulia tersebut tidak
satu suara
mengenai hal ini.
Yang Tidak Kembali (Anagami) - Lihat 4 Buah Sang Jalan.
Yang Kembali Satu Kali (Sakadagami) - Lihat 4 Buah Sang Jalan.
Parinibbana - Kematian seorang Buddha, Paccekka
Buddha atau
Arahat.
Patimokkha - 227 peraturan latihan yang diucapkan
lagi oleh
para bhikkhu
pada upacara hari oposatha, setiap bulan baru
dan bulan
purnama.
Masa vassa - Masa tiga bulan, dari Agustus sampai
Oktober, di
mana para
bhikkhu tetap tinggal di satu tempat. Senioritas
seorang
bhikkhu diukur dari
vassa atau jumlah tahun dia menjadi bhikkhu.
Penalaran (Yoniso Manasikara) - Sering diterjemahkan
sebagai
"perhatian
sistimatis". Artinya perhatian akan sifat-sifat
yang mengikis
kekotoran
batin dan bukannya sifat-sifat yang meningkatkan
kekotoran
batin.
Samana - Seorang pertapa, tidak harus Buddhis.
Buddha soliter - Pacceka Buddha atau Buddha yang
mencapai
pencerahan tanpa
bantuan seorang Buddha Maha Tahu. Tidak seperti
Buddha Maha
Tahu, seorang
Buddha soliter belum sepenuhnya mengembangkan
kemampuan untuk
mengajar orang
lain.
Pemenang Arus (Sotapana) - Lihat 4 Buah Sang Jalan.
Tipitaka - Kumpulan berunsur tiga, yaitu Sutta,
Vinaya dan
Abhidhamma; yang
berupa khotbah, peraturan disiplin, dan filsafat
- Lihat Kitab
Suci Pali.
Vedagu - digunakan dalam Milinda Panha dalam pengertian
suatu
jiwa atau
sesuatu yang mengalami, yang melihat, mendengar,
membau,
mencicipi, merasa
atau mengetahui. Ini juga merupakan julukan bagi
Sang Buddha
yang artinya
'Yang Telah Memperoleh Pengetahuan."
Vinaya - Enam dari Kitab Suci yang menangani disiplin-disiplin
para bhikkhu
dan urusan urusan pengaturan lainnya.
Visuddhimagga - Suatu buku pegangan yang sangat
berharga yang
ditulis dalam
bahasa Pali pada abad ke 3 M oleh Yang Mulia
Buddhaghosa, yang
menjelaskan
latihan berunsur tiga: keluhuran, konsentrasi
dan
kebijaksanaan.