Senin pagi yang panas menerpa kota
Bogor. Terdengar tawa canda riang sekelompok anak muda yang turun dari bis
kota. Mereka terlihat begitu riang padahal untuk mencapai sekolahnya mereka
masih harus berjalan kurang lebih 15 menit lagi. Namun, beberapa langkah di
belakang kelompok tersebut melangkah seorang pemuda sendirian. Ia tidak
bergabung dengan rekan-rekannya. Kedua tangannya diselipkan di kantung
celananya, memainkan koin-koin logam yang selau berbunyi di setiap langkahnya.
Ia tertunduk, melangkah sambil memandangi jalanan yang sedikit lembab. Tidak
diperhatikannya kemilau embun pagi di helai-helai rerumputan, atau kicau burung
yang dengan riang menanyakan kabarnya. Ia mendesah dan mengangkat wajahnya.
Kelompok teman-temannya telah cukup jauh di depannya. Gelak tawa mereka masih
terdengar di telinganya. Mendadak ia terhenti. Sebuah pikiran nakal terlintas
di benaknya, dan ia tersenyum. Tak lama kemudian ia berbalik dan melangkah ke
arah yang berlawanan dengan tujuannya. Beberapa ratus meter sebelum persimpangan
yang menghubungkan jalan sekolah dan dunia luar sang pemuda kembali berhenti.
Ia memalingkan wajahnya sejenak ke dunia yang akan ditinggalkannya seakan
mengucapkan selamat berpisah dan melanjutkan langkahnya.
Terminal bus baranang siang tidak nampak
begitu padat hari itu. Beberapa gelintir manusia nampak hilir mudik, sibuk
dengan berbagai kegiatannya. Sang pemuda memicingkan matanya. Mengapa matahari
begitu terik hari ini, pikirnya. Ia berjalan agak cepat menuju halte bus dan
dengan setengah memaksa berusaha naik ke dalam bus kota yang telah penuh sesak.
Berjejalan di antara penumpang dan hembusan asap rokok, ia akhirnya
menghempaskan dirinya di atas kap mesin di dekat supir sambil matanya menatap
berkeliling memperhatikan suasana sekitarnya. Seorang kakek tua dengan kemeja
hitam yang lusuh lengkap dengan kopiah bututnya tengah tertidur lelap. Mulutnya
setengah terbuka, sementara disebelahnya seorang ibu muda tengah berusaha
mendiamkan bayinya yang terus menangis karena panas yang melekap. Sang pemuda
menyeka keningnya dari keringat yang mengalir turun.
Bus kota mulai melaju. Berjalan
mengikuti trayek yang telah ditentukan. Sang pemuda tertunduk, memejamkan
matanya dan terlelap dalam kesendiriannya.
Jakarta. Kota tujuan dari bus yang
ditumpangi seorang pemuda berpakaian seragam sebuah smu yang cukup terkenal di
kota hujan kini telah berada di ambang mata. Sang pemuda terbangun matanya
menatap kosong. Untuk beberapa saat ia tidak tahu sedang berada dimana. Namun,
sejenak kemudian ia sadar dan teringat akan tujuannya. Sebuah rumah kecil di
daerah Kelapa Gading, tempat dimana ia melarikan diri bila merasa hampa. Tempat
dimana ia terbiasa untuk mentransmutasikan emosi jiwa menjadi suatu karya.
Tempat dimana ia merasa diterima sebagai dirinya sendiri. Tempat dimana ia
tidak dibenci hanya karena ia berbeda. Tempat dimana perbedaan kultur, ras, dan
agama bukanlah suatu hal yang perlu dipersoalkan. Sebuah Sanctuary bagi manusia
yang terbuang dari kalangannya.
Terdengar suara kondektur menandakan
bahwa bus akan memasuki terminal. Terminal. Pikir sang pemuda. Sebuah tujuan
akhir, yang akhirnya justru hanya menjadi tempat singgah. Just like me. Seulas
senyum sinis terlukis di bibirnya yang tipis. Ia melompat turun dari bus yang
tengah melaju pelan. Tujuan dihatinya telah ditetapkan dan ia kini semakin
mendekatinya.
Angkutan yang membawa sang pemuda
berhenti tempat di depan jalan kecil pintu rumah itu. Sebuah rumah berwarna
putih berpagar hitam. Biasanya dari luar tempatnya berdiri, dapat terdengar
suara riang penuh canda yang kadang diselingi dengan bunyi hentakan alat musik
elektrik. Namun hari ini semuanya begitu sunyi. Senyap, tanpa ada tanda-tanda
kehidupan. Hening. Sang pemuda mengulurkan tangan untuk membuka pagar besi
tersebut, namun beberapa senti sebelum jemarinya sempat menyentuh, ia berhenti.
Ada ragu di hatinya. Sejenak ia berfikir, seakan mengulur waktu sebelum ia
melakukan sebuah kesalahan yang lebih fatal. Akan tetapi, kebutuhan untuk
menyalurkan rasa itu lebih kuat daripada nalarnya dan ia melangkah memasuki
pekarangan rumah putih berpagar hitam.
Hening. Sang pemuda melangkah di atas
lantai teras dan mengetuk pintu kayu yang memisahkan penghuninya dari dunia
luar. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Kembali tangannya terulur mengetuk
dan ia menunggu. Tanpa disadarinya dua pasang mata mengawasi dari balik
pepohonan pagar yang tumbuh cukup lebat di pekarangan rumah. Beberapa pasang
mata yang menatap nanar penuh nafsu. Sang pemuda tak sempat berteriak saat
beberapa tangan meringkusnya. Ia berusaha melawan namun sebuah pukulan keras
dikepalanya membuatnya kehilangan kesadaran dan semuanya menjadi gelap.
Rintihan. Ya, ada suara rintihan wanita.
Sang pemuda mulai tersadar dari kegelapan. Ada sakit yang teramat di bagian
pelipisnya dan sedikit rasa basah yang lengket pada rambutnya. Ada rintihan.
Suara wanita yang merintih kesakitan. Perlahan-lahan ia membuka matanya.
Ruangan itu gelap. Cahaya matahari hanya dapat meremangi kamar dari balik
gorden tebal yang menutupi kaca jendela. Ada suara tawa lelaki. No, a couple of
them. Ia memeriksa sekelilingnya. Hening. Sepertinya ia ditinggalkan sendiri
sementara para penyerangnya sibuk dengan diri masing-masing.
Perlahan sang pemuda bangkit berdiri.
Ada noda merah di pakaian seragam putihnya. Blood, pikirnya. It’s my blood. Ada
sesuatu yang gawat tengah berlangsung di rumah ini. Saat itu tidak ada terpikir
olehnya bahwa ia harus berlindung. Nalurinya mengatakan ada wanita yang tengah
disakiti dan membutuhkan pertolongan. Dan ia akan menjawab panggilan itu.
Perlahan-lahan sang pemuda melangkah, mengikuti arah suara wanita yang kini
memelas memohon belas kasihan. Permohonan yang ditanggapi dengan gelak tawa dan
ancaman bengis. Tiga orang. Pikir sang pemuda. Paling tidak ada tiga orang.
Perlahan disibakannya pintu kamar tidur utama sumber dari suara-suara itu. Dan
sejenak ia terpana. Tiga orang pria dengan pakaian yang awut-awutan tengah
tertawa-tawa sementara di lantai teronggok sesosok tubuh dengan busana yang
compang-camping. Sosok tubuh dilantai itu jelas tubuh wanita. Seorang wanita
yang menangis dan berusaha menutupi ketelanjangannya. Sosok yang amat
dikenalnya. Ketiga lelaki itu tertawa melihat sang wanita tanpa daya berusaha
melindungi dirinya, kehormatannya. Mereka kemudian berunding sambil tetap
bercanda siapa yang akan mendapatkan giliran pertama menikmati tubuh indah itu.
Si pemuda merasakan darahnya bagai
mendidih. Bergolak panas mengalirkan amarah ke sekujur tubuhnya. Memacu
kelenjar-kelenjar penghasil adrenalin bekerja menghasilkan tenaga baru di
dirinya. Ingin rasanya ia menerjang masuk dan menghajar ketiga lelaki bangsat
tersebut, namun nalarnya mengatakan bahwa ia justru akan membahayakan jiwa
orang yang ingin dilindunginya. Orang yang harus diselamatkan jiwa dan
kehormatannya. Have to come out with some distraction pikirnya. Akhirnya ia
melangkah menjauh dari kamar tersebut. Keuntungan ada dipihaknya bahwa kondisi
rumah itu cukup gelap. Dan ia membuat sedikit keributan.
Sebuah kepala melongok dari pintu kamar
tidur yang terbuka mencoba memastikan apa yang membuat suara tersebut. Dan saat
mata di kepala tersebut terhenti pada pintu kamar yang terbuka, pintu kamar
dimana sang pemuda tadi terkulai layu tak berdaya, ekspresi di wajah lelaki itu
dipenuhi rasa kaget dan takut. Sejenak kepala itu menghilang dan beberapa saat
kemudian dua orang lelaki muncul dari kamar. Salah satu diantaranya memegang
belati. Sepucuk belati yang biasa digunakan oleh tentara dalam perang. A
commando blade. Si pemuda mengintip dari persembunyiannya. Ia tidak takut
menghadapi mereka. Ia tahu bahwa ia mungkin akan menghadapi kematiannya saat
itu, tapi ia tidak peduli. Mereka orang-orang yang terlatih. Matanya mengawasi
kedua orang tersebut berjalan perlahan mencari sumber suara yang mengusik
kesenangan mereka. Terlatih untuk membunuh. Saat kedua orang lelaki itu
melewati tempat persembunyiannya, sang pemuda melemparkan bola karet yang telah
disiapkan ke arah yang berlawanan dari dirinya. Kedua lelaki itu terhenyak.
Dengan isyarat tubuh, salah seorang dari mereka, lelaki yang bersenjatakan
belati, bergerak ke arah suara, memeriksa. Good, they’re separated. Suara
rintihan di kamar tidur yang terdengar sayup-sayup semakin mengusik amarahnya.
Have to act fast. Or it’ll be too late. Perlahan sang pemuda keluar dari
persembunyiannya. Mangsanya telah ditentukan. Mangsa yang lengah. Dalam
kegelapan dan kesunyian sang pemburu mengintai mangsanya.
Sebuah pukulan karate di bagian leher
dengan telak merubuhkan tubuh tegap lelaki itu. Ia jatuh tanpa suara, kecuali
suara crack yang menandakan keretakan tengkorak. Sang pemburu tersenyum puas.
Two more to go. Ia beranjak menuju mangsa berikutnya.
Diluar dugaannya, ternyata lelaki tegap
berpisau itu kembali lebih cepat dan mereka berdua sempat terkejut saat
berhadapan untuk beberapa saat. Mangsa kali ini lebih terlatih dan dengan cepat
tersadar. Lengannya mengayun menebaskan senjata ke arah perut sang pemburu yang
terbuka. Ia mengelak. Melompat ke belakang. Keduanya terdiam. Saling menatap.
Mencoba mengantisipasi gerakan lawan. Namun, suara-suara erangan di kamar tidur
itu mengganggu konsentrasinya dan sang pemburu menjadi lengah. Ia tak sempat
menghindar ketika serangan kedua datang dan semburan cairan merah terpancar
dari perutnya. Sang pemburu terhuyung. Goyah sudah keseimbangannya. Mangsa yang
seharusnya diburu kini berubah posisi. Ada hawa kematian yang terpancar dari
bayangan musuhnya. I won’t last long. Have to make it quick. And deadly. Sang pemburu
kembali terhuyung. Sebelah tanganya mendekap luka untuk menghentikan
pendarahan. Mencoba menipu musuhnya. Kali ini ia berhasil. Saat serangan itu
datang ia telah siap. Sebuah kejutan di selangkangan memaksa mangsanya untuk
berhenti yang dilanjutan dengan serangan mematikan ke arah dagu. Ada semburan
merah dari mulut mangsanya. Semburan yang semakin mebasahi pakaian si pemburu
yang telah basah. Kemarahan dan kebencian semakin terpancar di wajah dan sorot
mata sang pemburu. Tidak dipedulikannya tatapan memohon ampunan dari mangsanya.
Dalam serangkaian gerak indah yang mematikan terdengar suara crack yang kedua.
Suara yang menandakan kehidupan telah berakhir. Suara yang menandakan datangnya
kelumpuhan total bagi siapa pun yang terkena. Suara yang menandakan patahnya
tulang belakang mahluk yang bernama manusia.
Suara rintihan itu kini berubah menjadi
isak tangis tertahan. Sang pemburu yang terluka melangkah perlahan memasuki
ruangan. Belati tajam terhunus di tangannya. Adegan yang terlihat dimatanya
menambah beban amarah dan rasa benci yang kian merasuki otaknya. Menghilangkan
nalarnya. Tanpa pikir panjang, tangannya terayun dan sekelebat terlihat
pantulan cahaya dari mata belati yang dilemparkannya sebelum senjata itu
menghilang, tenggelam di kepala mangsa terakhirnya. Jasad itu rubuh menimpa
sosok yang tengah merintih dibawahnya. Rubuh tak bernyawa. Si pemuda melangkah
dan membantu menyingkirkan mayat itu dari atas tubuh telanjang yang tengah
gemetar ketakutan. Ada ketakutan terpancar di bola mata yang indah itu. Ada
teror yang mengusik wajah ayu. Diraihnya tubuh itu dan dirangkulnya. Membisikan
kata-kata yang memberikan rasa aman. Dan sang wanita menangis dalam pelukannya.
Hening… Tidak seperti biasanya. Kali ini
keheningan itu terasa begitu menakutkan. Where the hell am I? Putih. Segala
sesuatunya berwarna putih menyilaukan. Is this heaven or is it hell? Gumaman
dan celoteh suara-suara yang tak jelas menari di telingaku. Can’t move. Kaku.
Bisu. Kegelapan kembali melanda.
Perih. Itulah perasaan pertama yang
membuktikan bahwa aku masih hidup. Ada rasa perih di lambung kiriku. Perlahan
tanganku merayap mencoba meraba tempat rasa itu berasal. Bebal. Ada perban yang
membebat perutku, dan rasa basah serta lengket yang sempat tersentuh oleh
jemariku sebelum aku benar-benar terjaga. Ruangan itu gelap dan aku berada
diatas sebuah ranjang yang bersih. Hospital? Pikirku. Apakah aku berada di
rumah sakit? When? How? Where? Aku tak tahu. Hal terakhir yang kuingat adalah
kutarik Venus ke dalam dekapanku. Setelah itu semuanya gelap seakan ada sebuah
lubang di dalam ingatanku.
Venus. Ya, my venus. Ada dimanakah dia
sekarang? Bagaimanakah keadaannya? Move… Aku berusaha bangkit, namun gerakan
itu membuat tubuh secara tak sengaja menyentuhnya. Aku berpaling. Venus. She is
here. Rambut panjangnya yang hitam tergerai menutupi wajah yang ayu. Mata indah
itu terkatup rapat dalam kedamaian nikmat Ilahi yang kita namakan tidur. Ku
elus rambutnya, Wajahnya. Dan aku berpikir apakah kejadian tadi itu benar-benar
nyata, or apakah semua itu cuma mimpi. Ia mendesah. Indah sekali terdengar di
telingaku. Suara desahan itu bagaikan instrumen nada surgawi yang memberikan
keyakinan. Meyakinkan bahwa aku masih seorang manusia, walaupun sedikit
berbeda. Genggaman jemari lentiknya di tanganku terasa semakin erat dan aku tak
kuasa untuk melepaskannya. Aku tak mampu menghentikan rasa haru yang merebak di
dalam hatiku, dan tak terasa airmataku mengalir turun.
Pagi menjelang. Sinarnya masuk melalui
jendela, menusuk-nusuk kelopak mataku, memaksaku untuk terjaga. Sekilas mataku
melirik dan kutemui tempat itu kosong. Semakin diriku bertanya apakah semua ini
cuma mimpi adanya? Kutekan tombol merah yang ada disamping tempat tidurku.
Beberapa saat kemudian seseorang datang. Seorang malaikat berwajah pualam dalam
seragam dinasnya. Dengan agak segan aku bertanya tentang kejadian semalam. Sang
malaikat tersenyum. Hanya tersenyum. Pertanyaanku dibalasnya dengan serangkaian
pertanyaan dalam bahasa yang tidak kumengerti dan aku terdiam. Aku tetap
terpaku dalam kebisuan itu. Segala sesuatunya terasa begitu asing dan aku mulai
merasa terperangkap. Namun tubuhku menolak bekerjasama. Kedua kakiku terasa
begitu kelu. Aku terperangkap dalam diriku sendiri. Is this the price? Pikirku.
Apa yang telah terjadi? Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab dan kulewati
hari itu dalam kekosongan.
Malam menjelang. Sinar-sinar sang surya
yang terakhir menghias langit dalam semburat lembayung senja dan kemudian
berangsur-angsur pudar. Kupalingkan wajahku dari kemegahannya dalam kebencian.
Dan kulihat ia kembali berdiri disana. Venus. Samar-samar kulihat sosoknya
melayang mendekatiku sebelum pengaruh obat yang dipaksakan ke dalam
kerongkonganku menelan diriku dalam kegelapan.
Tiga hari berlalu. Tiga hari dalam
kebencian, Tiga hari dalam kepedihan. Sejak kemarin, aku telah mendapatkan
sebuah mainan baru. Sebuah mainan yang akan menemaniku untuk beberapa waktu
lamanya. Sebuah kursi roda. Luka yang mengakibatkan aku harus kehilangan fungsi
kedua kakiku. Sebuah harga yang teramat mahal. Namun, semua itu akan dapat
kulalui dengan tenang seandainya keberadaan dewi-ku benar nyata adanya. Tiga
hari lamanya ia selalu datang. Sosok itu. Wajah itu. Kehadirannya menimbulkan
rasa damai dan sekaligus pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Dan kulalui
hari-hariku dalam kesunyian…
Satu minggu telah berlalu. Aku telah
menguasai seni bermain dengan sahabat baruku. Ada sedikit rasa senang yang
menguak. Paling tidak kini aku tak lagi terkurung dan tergantung pada kehadiran
orang lain. Kami tengah bermain. Berputar putar mengelilingi ruangan tempat
jasadku terpenjara saat mereka muncul. Empat orang pria berseragam coklat hadir
mengusik kesenanganku. Salah seorang dari mereka menghampiriku. Menghujaniku
dengan serangkaian pertanyaan yang tidak kumengerti. Aku tetap dalam
keheninganku. Biarlah sorot mataku yang menjawab semua pertanyaan mereka. Aku
berpaling. Kembali ke dalam dunia kecilku. Kembali bersama dengan sahabatku.
Berdua bermain dalam kunkungan jasad manusia yang lemah ini.
Hari demi hari berlalu. Luka yang
menghantui diriku telah mengering. Meninggalkan bekas yang tak akan pernah
terhapus dalam sejarah hidupku. Terdengar suara berderit dibelakangku. Suara
gerbang besar yang menghubungkan duniaku dengan dunia luar. Seorang wanita
berambut emas datang diikuti oleh beberapa malaikat dengan seragam
putih-putihnya. Ia menghampiriku, memeriksa diriku. Kubiarkan ia melakukannya.
Kutatap bola matanya yang biru dalam-dalam, tetapi mulutku terkunci. Dan
kulalui hari hariku dalam kebisuan.
Ruangan itu penuh dengan kepala-kepala
yang berambut pendek diatas badan-badan tegap terbungkus warna hijau. Aku
terdiam di tengah-tengah ruangan bersama sahabatku. Ada beberapa wajah yang
kukenal, namun tak kulihat dirinya. Venus, where are you? Batinku. Tak
kudengarkan celotehan para jagal dalam seragam hitamnya. Tak kupedulikan suara
ketukan palu yang terus-menerus mendera telingaku. Mereka semua berbicara dalam
dialek yang tak kumengerti dan aku tak peduli. Yang kuinginkan hanya satu. Aku
ingin bertemu dengan Venus-ku.
Entah berapa lama waktu yang terbuang
dalam monolog yang dimainkan teater keadilan dihadapanku. Tapi aku tak peduli.
Jiwaku melayang jauh melintasi batas angan. Menggapai keabadian. Kehidupan yang
pernah kukenal telah berakhir. Dan aku terdiam.
Riuh rendah suara memenuhi ruangan itu.
Ada cemoohan. Ada ungkapan syukur. Ada ucapan selamat. Aku tak mengerti.
Wajah-wajah keras dalam selubung hijaunya meninggalkan ruangan tinggallah aku
bersama sahabatku. Sendiri. Menanti dalam kesunyian.
Entah berapa lama aku termenung, sampai
kurasakan kehadirannya. Kehadiran yang menimbulkan rasa hangat di jiwaku saat
kurasa tangannya menyentuh bahuku. Dan aku tahu bahwa ia telah datang. Venus.
You’re here at last. Roda-roda kecil berputar membawa jasadku kehadapan kekasihku.
Begitu banyak pertanyaan yang tersimpan. Begitu dalam hasrat yang terpancar
lewat tatapannya. Aku terpana. Wajah ayu itu tampak lebih kurus. Matanya yang
dulu berkilau-kilau penuh harapan, kini nampak kusam dan kehilangan binarnya.
Namun ia masih tersenyum. Seulas senyum yang menghadirkan harapan baru.
Membangkitkan gelora dan menghadirkan keinginan untuk menyatu kembali dengan
dunia. Bibir-bibir indah itu bergerak dan aku terpesona. Nada-nada indah yang
mengalun dari mulutnya mengantarkanku ke ambang nirwana. Usai sudah penantian
panjang yang kuderita. Hangat kurasakan di pipiku saat kami bersatu. Ia
menangis. Entah mengapa, tapi ia menangis. Aku terdiam tak tahu harus berbuat
apa. Dan kupererat dekapanku.
Pagi menjelang. Dengan agak malas kubuka
kedua mataku, dan kulihat wajahnya yang indah tersenyum mesra. Aku tertunduk
malu. Venus, entah untuk berapa lama aku berada disini dan selama itu pula ia
selalu berada disisiku. Memberiku semangat dan dorongan. Namun, aku tahu ada
bara yang telah padam dalam dirinya. Tatapan mata indah yang dulu begitu
kunantikan. Begitu kurindukan telah padam. Api itu telah redup. Seakan
eksistensinya di dunia ini tergantung sepenuhnya pada sesuatu yang tidak
kumengerti. Namun, bibirku memilih untuk diam tak bertanya. Ada sesuatu
diantara kami yang mengikat. Sesuatu yang menghubungkan kami dalam keabadian
yang mulia. Sesuatu yang kuharap takkan pernah padam.
Hari ini aku akan menjalani
fisioterapiku. Aku telah memutuskan untuk kembali melangkah diatas kakiku
sendiri. Perlahan aku bangkit dan menggiring tubuh kaku ini ke atas kursi roda
yang menerima dengan penuh rasa ikhlas. Aku tersenyum saat Venus membawaku
keluar dari ruangan yang kini telah kuanggap menjadi milikku. Nada-nada riang
dari suaranya membantu membuatku kembali ceria. Dan untuk pertama kalinya sejak
peristiwa itu aku tertawa. Tertawa lepas yang berasal dari hati. Hancur sudah
kebekuan yang selama ini membatasi kami. Kebekuan yang kubangun dari
benih-benih amarah dan kebencian tergantikan oleh kehangatan beralaskan karpet
merah bertahtakan cinta dan kehangatan.
Meja makan di tengah ruang telah diisi
oleh dua sosok setengah baya. Sosok seorang lelaki dan wanita yang tersenyum
melihat kehadiran kami. Mereka menyapa hangat yang kubalas dengan senyuman dan
sedikit canda. Betapa beruntungnya diriku mendapatkan mereka, sementara aku
ditolak oleh lingkunganku hanya karena aku sedikit berbeda. Tapi biarlah, semua
itu telah berlalu dan kini kumulai hidup baru dengan kehadirannya disisiku.
Venus, ia dengan setia menunggu setiap
detik fisioterapiku, memberiku semangat, membantuku menghadapi galaunya rasa
kecewa yang kadang melanda sehingga pada akhirnya aku kembali dapat berjalan,
walaupun tertatih-tatih, dengan kakiku sendiri. Kemenanganku hari itu dirayakan
dengan sebuah pesta kecil dan kuucapkan selamat tinggal pada sahabat setiaku,
yang kini harus puas menerima nasibnya teronggok tak berdaya berselimut debu di
salah satu sudut kamarku. Dan aku tersenyum, menatapnya. Ada binar bahagia
terpancar disana. Ada hangat yang kurasakan merambat pelan ke sekujur tubuhku.
Membasahi jiwaku. Ada pengabdian yang terbaca disana. Dan kulihat bara api yang
dulu sirna, perlahan kembali menyala dalam sorot matanya yang indah.
Beberapa bulan telah berlalu sejak
peristiwa itu. Kini aku telah kembali berada dalam kondisi prima, walaupun
kadang rasa sakit itu masih datang. Sering kali diam-diam kuelus bekas luka
yang ada diperutku, dan berterimakasih kepada-Nya atas semua nikmat yang telah
diberikan kepadaku. A blessing in disguise. Dan aku tersenyum bila mengingat
semuanya. Pendidikanku yang sempat terhenti telah kulanjutkan kembali. Hidup
berjalan seperti semestinya. Kuyakini diriku bahwa aku akan sanggup menghadapi
semua rintangan selama dirinya bersamaku. Hari-hari yang kami jalani penuh dengan
kehangatan. Dan saat itu aku merasa benar-benar hidup.
Hari itu tiba. Sebuah hari yang kuyakini
sebagai saat pertama aku menjenguk dunia. Seperti yang biasa kulakukan, hari
itu aku ingin menghilang untuk merenung. Sekedar me-review langkah-langkahku
dalam menjalani hidup ini, namun sepucuk kertas merah muda yang diselipkan
diatas meja kecil di samping peraduanku, membuat aku mengurungkan niat
tersebut. Sepucuk surat dengan lukisan hati bertahtakan tinta emas, membuatku
tersenyum. Betapa tidak? Belum pernah ada orang yang mengingat hari kelahiranku
dengan cara seperti ini. Kembali kurasakan ada hangat yang mengalir mengisi
relung hati ini. Dan kuterlena dalam hangat buaiannya.
Malam datang menjelang. Istana kecil
tempat kuberdiam selama ini tampak sunyi. Namun, ada kehangatan dibalik
dinding-dindingnya. Kusapa para penjaga yang dengan setia menjalankan tugasnya
sebelum kumasuki pekarangan itu. Dan aku terkejut menyaksikan pemandangan yang
terpampang dihadapan kedua mataku.
Seluruh ruangan dipenuhi oleh cahaya
lilin yang menari-nari dalam keremangannya. Ruangan itu dihiasi oleh segarnya
wewangian bunga mawar. Aku terpana. Tak mampu bergerak. Suasana malam itu
begitu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata. Lirih terdengar lagu-lagu cinta
mengalun lembut mengisi suasana. Dan kulihat ia datang menghampiriku. Venus.
Dalam balutan gaun malam hitam yang semakin menambah keindahannya. Rambut hitam
yang sehari-hari dibiarkan tergerai lepas menutupi lehernya yang jenjang malam
ini terangkat menampilkan keindahan leher dan bahunya. Senyum dari bibir merah
itu semakin membuat kuterpana.
Hati ini berdesir saat ia mengecup kedua
pipiku. Mengucapkan selamat ulang tahun. Jemarinya yang lentik mengapai
tanganku membawaku melangkah ke kamarku. Venus. Aku terdiam tak mampu bicara.
Kuikuti seluruh gerakannya. Kunikmati seluruh gerak bibirnya saat ia berkata.
Kucoba untuk menyelami setiap nada dalam suaranya. Dan saat ia melangkah ke
luar kamarku, aku masih terpersona oleh bayangnya. Venus. Apakah maksud dari
semua ini, pikirku.
Kubersihkan diriku dalam kucuran air
hangat dari shower. Kurasakan seluruh tubuhku memberikan respons. Kesegaran itu
muncul kembali. Saat aku beranjak dari shower untuk mengeringkan tubuh masih
tergiang di telingaku akan ucapan-ucapannya. Dan hatiku berdesir….
Ada getaran asing yang kurasakan
membelai seluruh indraku. Dan aku menikmatinya…
Kukenakan pakaian yang telah disiapkan
di ujung tempat tidurku. Sebuah kemeja putih dari bahan satin dengan paduan
celana panjam hitam. Hmm. Belum pernah aku melihat pakaian ini sebelumnya.
Kukenakan sepatu hitamku, dan kusisir rambutku. Aku tersenyum menatap sosok
diriku yang lain di dunia sana. Sosok yang menggambarkan seorang pemuda yang
tidak dapat dikatakan jelek. Bola mata birunya berkedip dan bibirnya
mengulaskan seuntai senyuman. Ada hasrat yang melanda. Kukedipkan kedua mataku
mencoba untuk membuang semua angan itu. Dan aku melangkah keluar ke dalam
tebaran cahaya lilin.
Venus. Ia tersenyum menatapku. Menarikku
ke dalam dekapannya lewat tatapan. Aku bertanya mengapa? Dan dijawabnya dengan
derai tawa khasnya yang manja. Derai tawa yang dahulu telah membuat diriku
tersihir saat pertama berjumpa dengan dirinya. Dan aku pun tersenyum. Malam
terasa begitu indah. Enggan rasanya bagiku untuk mengakhirinya.
Ditengah cahaya lilin itu kami bercanda.
Tertawa. Bercerita tentang segalanya. Tentang harapan. Tentang kenangan.
Tentang kepedihan dan tentang cinta. Entah berapa lama kami bercanda, dan aku
bahkan tak sadar siapa yang memulainya. Yang kusadari adalah bibir-bibir kami
saling bertemu, lidah kami saling mengait, ingin memuaskan dahaganya. Dan aku
terlena dalam buaian kehangatan malam itu. Ada desahan lirih di bibirnya saat
kukecup leher jenjang itu. Ku hirup dalam-dalam wangi tubuhnya. Venus.
Didekapnya tubuhku erat-erat. Ada permintaan yang kubaca disana. Ada hasrat
yang terpancar diantara spektrum pelangi yang terpantul dalam bola mata indah
itu.
Kutatap matanya yang sayu dengan penuh
tanya. Pertanyaan yang dijawabnya dengan satu kecupan lembut di bibirku. Satu
kecupan yang menjawab semua tanya dan menghapus semua keraguan. Dan aku
mengerti… Aku mengerti apa yang diinginkannya.
Pasir putih dan angin pantai. Pemuda
berbaju besi berlari dengan gadis molek bergaun putih dalam gendongannya.
Menelusuri garis buih-buih yang terhempas ke tepian. Tawa kecil penuh keriangan
terdengar dari bibir gadis. Kebencian dan kesedihan yang menyatu dalam dirinya
dan membuatnya bisu akan kata-kata sudah sirna. Dekapan kehangatan dan
kemesraan pemuda berbaju besi menyapu awan-awan kelabu itu.Pemuda berhenti dan
meletakkan tubuh gadis di atas pasir. Kepalanya menunduk dan mengecup mesra
bibir gadis.
"Aku mencintaimu. Sekarang,
selamanya."
"Tapi aku...."
"Apa adanya."
Gadis molek bergaun putih membiarkan
bibir pemuda berbaju besi melumat bibirnya. Pasir putih dan angin pantai
menjadi saksi dua tubuh yang saling menggapai kecintaan itu. Erangan, desahan,
dan rintihan menyatu dengan debur ombak dan desau angin. Pemuda bercinta dengan
si gadis bagaikan di alam mimpi. Sentuhan demi sentuhan, tekanan demi tekanan.
Gadis merintih memuncakkan kenikmatan. Pemuda tersentak, mengejang dan
terkulai. Matahari yang semakin tenggelam dan langit yang menghitam tersenyum
dan tertawa riang. Tiang api turun dari angkasa, membelah langit, bergemuruh
dan memamerkan eksistensinya.
Gadis molek bergaun putih tersenyum dan
terharu. Pemuda berbaju besi mengecup pipi gadis dan menatap tiang api yang
perlahan membuyar. "Ternyata Kau masih di atas sana....."
Somewhere in Jakarta
Tanah itu masih merah. Masih basah. Ciri
khas tanah yang baru digali. Sebuah gundukan tanah merah dengan batu nisannya.
Sebuah nisan batu pualam dengan ukiran sebuah nama disana. Sebuah nama yang
akan selalu terkenang.
Seorang lelaki muda berambut panjang
berpakaian hitam-hitam berdiri terpaku dihadapan nisan itu. Seorang lelaki yang
datang dengan penuh harap hanya untuk menemukan bahwa harapan itu telah sirna.
Hancur bagaikan debu yang tertiup angin lalu.
Venus. Selamat jalan kekasihku. Sang
pria berlutut. Sebuah cincin bermata berlian diselipkannya di antara tanah
merah itu. Dan ia berbalik. Melangkah menuju matahari yang terbenam.