TRADITIONAL ISLAM as understood by the vast majority of ulama' of the Ahli Sunnah wal Jamaah
|
SEKULARISASI
DAN LIBERALISASI ISLAM -
CABARAN TAMADUN MELAYU Oleh:
Adian Husaini, MA (Ahli
Majlis Ulama Indonesia) Islam
dan Tamadun Melayu Ramai
para cendekiawan merumuskan, bahawa unsur pokok suatu tamadun atau peradaban (civilization)
adalah agama. Agama, kata mereka, adalah faktor terpenting yang
menentukan karakteristik suatu tamadun. Sebab itu, Bernard Lewis, menyebut
peradaban Barat dengan sebutan “Christian Civilization”, dengan unsur
utama agama Kristian. Samuel P. Huntington juga menulis: “Religion is a
central defining characteristic of civilizations.”
Menurut Christopher Dawson, “The great religions are the
foundations of which the great civilizations rest.”
Di antara empat peradaban besar yang masih eksis – Islam, Barat, India,
dan Cina, menurut Huntington, terkait dengan agama Islam, Kristian, Hindu, dan
Konghucu. 1 Peradaban-peradaban
kuno, seperti Mesopotamia dan Mesir Kuno juga menempatkan agama sebagai unsur
utama peradaban mereka. Marvin Perry mencatat: “Religion
lay at the center of Mesopotamian life. Every human activity - political,
military, social, legal, literary, artistic - was generally subordinated to an
overriding religious purpose. Religion was the Mesopotamians' frame of reference
for understanding nature, society, and themselves; it dominated and inspired all
other cultural expressions and human activities.” 2 Begitu
juga dalam tradisi peradaban Mesir Kuno, agama menempati peranan yang sangat
penting: “Religion
was omnipresent in Egyptian life and accounted for the outstanding achievements
of Egyptian civilization. Religious beliefs were the basis of Egyptian art,
medicine, astronomy, literature, and government.” 3
Pakar sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyebutkan, bahawa dalam perjalanan sejarah ketamadunan Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh lebih dari 100 juta jiwa. 4 Sebab
itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan
unsur terpenting dalam tamadun Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil
menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat masalah
ini: “Together
with the historical factor, the religious and language factors began setting in
motion the process towards a national consciousness. It is the logical
conclusion of this process that created the evolution of the greater part of the
Archipelago into the modern Indonesian nation with Malay as its national
language… The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in
the history of the Malay-Indonesian Archipalego” 5 Kamus
Dewan yang diterbitkan oleh Dewan
Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1989, juga
menegaskan keidentikan antara Islam dengan Melayu. Disebutkan, bahawa istilah
“masuk Melayu” mempunyai dua erti, yaitu (1) mengikut cara hidup orang-orang
Melayu dan (2) masuk Islam. Berangkat
dari pentingnya peranan agama dalam suatu tamadun, maka dapat dijelaskan, bahwa
tanda-tanda kehancuran suatu tamadun dapat dilihat sejauh mana unsur utama
(agama) dalam tamadun tersebut tetap terpelihara dengan baik. Jika agama yang
menjadi pondasi utama tamadun itu sudah rosak, maka dapat diartikan, tamadun itu
telah mengalami satu perubahan yang signifikan. Mungkin tamadun itu tinggal
hanya namanya sahaja. Tetapi, hakikatnya, tamadun tersebut sudah rosak atau
sudah hancur. Al-Quran
dan Kehancuran Tamadun Beberapa
ayat al-Quran al-Karim memberikan penjelasan tentang kehancuran suatu bangsa.
Penjelasan al-Quran ini sangatlah penting untuk menjadi pelajaran, khususnya
bagi kaum Muslimin, agar mereka tidak mengulang kembali tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh umat terdahulu, yang boleh menjejaskan dan menghancurkan tamadun
mereka. Allah
SWT berfirman: Maka
apabila mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun
membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka
dengan tiba-tiba (sekonyong-konyong), maka ketika itu mereka terdiam dan
berputus asa. (QS al-An’am: 44). Dan
jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi
mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepatutnya berlaku
keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya. (QS al-Isra’: 16) Dua
ayat dalam al-Quran yang menjelaskan tentang kehancuran suatu negeri itu
bercerita, bahwa kehancuran suatu kaum berhubungan dengan hal-hal:
Apabila
di dalam suatu tamadun sudah tampak dominan adanya para pembesar, tokoh
masyarakat, orang-orang kaya yang bergaya hidup ranggi, atau sesiapa saja yang
bermewah-mewah dalam hidupnya, maka itu pertanda kehancuran tamadun itu sudah
dekat. Akan
tetapi, dari kedua hal tersebut, inti dari kehancuran tamadun atau bangsa,
adalah kehancuran iman dan kehancuran akhlak. Apabila iman kepada Allah SWT
sudah rosak, maka secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap
aturan-aturan Allah SWT. Rasulullah saw berkata: “Apabila
perzinahan dan riba sudah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah
menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri.” (HR Thabrani dan
al-Hakim). Dalam
sejarah manusia, berbagai kehancuran tamadun di muka bumi sudah begitu banyak
terjadi. Dan Allah SWT menganjurkan kaum Muslimin agar mengambil pelajaran (hikmah)
dari peristiwa-peristiwa sejarah tersebut. “Maka berjalanlah di muka bumi
dan perhatikanlah bagaimana hasilnya orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul
Allah SWT) (QS an-Nahl: 36) Sebagai
misal, Kaum ‘Ad, telah dihancurkan oleh Allah SWT Kerana berlaku takabbur dan
merasa paling berkuasa dan paling kuat. Mereka merasa tiada siapa saja yang
dapat mengalahkan mereka, sehingga mereka berkata: “Siapa
yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” (QS Fusshhilat:15). Begitu juga
kehancuran yang menimpa Fir’aun, Namrudz, dan sebagainya. Di masa Rasuullah
saw, kaum Muslim yang jumlahnya sangat besar dan berlipat-lipat daripada kaum
kuffar, hampir saja dikalahkan dalam Perang Hunain (QS at-Taubah:25). Sejarah
juga mencatat, bagaimana Tamadun Islam di Sepanyol yang sangat agung dan sudah
bertahan selama 800 tahun dapat dihancurkan oleh kaum Kristian dan akhirnya kaum
Muslimin dimusnahkan dari bumi Sepanyol. S.M. Imamuddin menyebutkan beberapa
faktor penyebab kehancuran tamadun Islam di Sepanyol. Yang terpenting adalah
adanya perpecahan dan kecemburuan antara suku. Bahkan ada beberapa penguasa
Muslim di Sepanyol, seperti Ma’mun dari Toledo dan Dinasti Nasrid, mendapatkan
kekuasaan dengan bantuan kekuatan Kristian untuk menghancurkan kekuatan Muslim
lainnya.6 Sejarah
jatuhnya Palestina ke tangan Zionis Yahudi juga boleh dijadikan pelajaran bagi
kaum Muslimin. Bagaimana suatu kaum yang minoriti dari segi jumlah dapat
mengalahkan kaum Muslim yang sangat besar. Pada tahun 1917, ketika Deklarasi
Balfour diumumkan, jumlah orang Yahudi di Palestin adalah 56,000 orang,
sedangkan jumlah orang Arab Palestina sekitar 644,000 orang. Tahun 1922,
terdapat 83,794 orang Yahudi dan 633,000 orang Arab di Palestin. Pada tahun
1931, terdapat 174,616 orang Yahudi dan 750,000 orang Arab. Tahun 1947,
menjelang pembagian wilayah Palestina oleh PBB, jumlah orang Yahudi sudah
mencapai 608,225 orang. Sedangkan orang Arab Palestin mencapai 1.237.332 orang.
Pada tahun 1917, kaum Zionis baru menguasai 2.5% dari tanah Palestin. Tahun
1947 – setahun menjelang berdirinya negara Israel 14 Mei 1948 -- kaum Zionis
baru menguasai 6.5% tanah Palestin.7
Mengapa kaum Muslimin kalah di Palestin, dan sampai sekarang kaum Muslimin yang
jumlahnya sekitar 1.2 billion jiwa belum boleh merebut kembali Kota Suci
Jerusalem dan Masjid al-Aqsha dari tangan Zionis Israel? Padahal, jumlah kaum
Yahudi seluruh dunia, sampai sekarang tidak lebih dari 16 juta jiwa. Bahkan,
hampir setiap hari ada berita tentang pembunuhan kaum Muslimin di Palestin oleh
kaum Zionis. Mulai 28 September 2000 sampai 18 Mei 2003 sudah 3,238 orang
Palestin yang menjadi korban keganasan Zionis Israel. 8 Kehancuran
dan kejatuhan berbagai kaum, negeri, bangsa, dan tamadun, inilah yang sepatutnya
direnungkan secara mendalam dan sungguh-sungguh oleh kaum Muslimin, khususnya
para ulama dan cendekiawan Muslim di wilayah Tamadun Melayu. Apakah
gejala-gejala kehancuran suatu negeri atau tamadun seperti yang disebutkan dalam
al-Quran dan pernah terjadi dalam sejarah manusia sudah ditemukan dalam wilayah
tamadun Melayu? Kalau gejala-gejala itu sudah ada, bagaimana cara
menghindarkannya? Tulisan
pada bagian berikutnya akan menfokuskan pada fakta-fakta tentang tanda-tanda
kehancuran keimanan (Tauhid/aqidah Islam) yang terjadi di wilayah tamadun Melayu,
khususnya yang terjadi di Indonesia. Di kalangan kaum Muslimin, tidak ada
ikhtilaf sedikit pun, bahwa Tauhid atau aqidah Islamiyah adalah asas tegaknya
agama Islam. Jika asas Tauhid ini runtuh atau rosak, maka akan runtuhlah
bangunan agama Islam. Mungkin Kerana menyedari pentingnya akidah Islam untuk
menjaga ketahanan masyarakat, JAKIM menyatakan: "Kerajaan
tidak pernah bersikap sambil lewa dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah
umat Islam. Segala pendekatan dan saluran digunakan secara bersepadu dan
terancang bermula dari pendidikan hinggalah ke penguatkuasaan undang-undang
semata-mata untuk melihat akidah umat Islam terpelihara di bumi Malaysia". 9 Kalimat
itu boleh diertikan bahawa Kerajaan Malaysia akan bersikap sungguh-sungguh untuk
menghalangi masuknya fahaman-fahaman yang merosak akidah Islam. Kalimat setegas
itu untuk menjaga akidah Islam belum pernah secara resmi disampaikan oleh
Kerajaan Indonesia. Dalam Konstitusi Indonesia, Undang-undang Dasar 1945 pasal
29, disebutkan:
Jadi,
tidak secara tegas negara Indonesia menyatakan untuk melindungi akidah Islam.
Sebab itu, di Indonesia berbagai fahaman yang merosak akidah Islam berkembang
dengan bebasnya, termasuk yang disebarkan oleh tokoh-tokoh dan cendekiawan
Muslim; bahkan ada yang disebarkan oleh orang-orang yang disebut sebagai ulama
dan kiyai. Tentunya hal ini sangat merugikan dan boleh membawa kesan yang serius
terhadap akidah umat Islam yang awam, Kerana para tokoh, cendekiawan dan ulama
itu dijadikan sebagai contoh dan teladan bagi umatnya. Sekularisasi
dan hadiah Kristian Sebenarnya,
sejak Tamadun Barat menguasai dunia, kaum Muslimin di seluruh dunia Islam sudah
menghadapi masalah sekularisasi, dan kemudian juga liberalisasi Islam. Dua
tamadun itu – Barat dan Islam – memiliki perbedaan yang asasi dari segi
pandangan hidup. Peradaban Barat yang merupakan ramuan dari ajaran Kristian,
filsafat Yunani, dan tradisi Romawi memang bertentangan secara mendasar dengan
pandangan hidup Islam. Kerana itu, akan selalu terjadi “konfrontasi” antara
Islam dengan Barat (permanent confrontation). Barat akan selalu melihat
Islam sebagai tentangan terhadap pandangan hidup mereka. Tentang konflik abadi
Islam-Barat ini, Naquib al-Attas mencatat: “The
confrontation between Western culture and civilization and Islam, from the
historical religious and military levels, has now moved on to the intellectual
level; and we must realize, then, that this confrontation is by nature a
historically permanent one. Islam is seen by the West as posing a challenge to
its very way of life; a challenge not only to Western Christianity, but also to
Aristotelianism and the epistemological and philosophical principles deriving
from Graeco-Roman thought which forms the dominant component integrating the key
elements in dimensions of the Western worldview.” 10
Al-Attas
juga menekankan, bahawa dalam melihat ancaman Islam, Barat tidak bersikap pasif,
tetapi sangat aktif memerangi Islam dalam berbagai bidang. Dalam sebuah
risalahnya kepada kaum Muslimin, al-Attas mengingatkan: “Shahadan,
maka sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristian Barat dan orang
Barat yang menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama
dan orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai
tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk
mencapai kedaulatan duniawi. Dan kita pun tahu bahawa tiadalah dapat Islam itu
bertolak-ansur dalam menghadapi serangan Kebudayaan Barat, justeru sehingga
Kebudayaan Barat itu tentulah menganggap Islam sebagai seterunya yang mutlak;
dan kesejahteraannya hanya akan dapat terjamin dengan kemenangannya dalam
pertandingan mati-matian dengan Islam, sebab selagi Islam belum dapat ditewaskan
olehnya maka akan terus ada tanding dan seteru yang tiada akan berganjak
daripada mencabar dan menggugat kedaulatan serta faham dasar-dasar hidup yang
dida’yahkan olehnya itu.” 11 Agama
Kristian, yang merupakan agama majoriti daripada Tamadun Barat, telah lama
tersekularkan atau ter-Barat-kan (Westernized Christian) E.L. Mascall,
dalam bukunya, The Secularization of Christianity, menyatakan, “… that
instead of converting the world to Christianity they are converting Christianity
to the World.” 12 Kerana
itu, tidaklah menghairankan jika kaum Kristian tidak memandang sekularisme
sebagai ancaman bagi agama mereka. Gereja tidak memandang sekularisme atau
sekularisasi sebagai hal yang selalu negatif. Menurut seorang tokoh Kristian di
Indonesia, Tom Jacobs SJ, "Revolusi Perancis bererti didirikannya negara
sekular. Seluruh proses ini, khususnya sekitar revolusi Perancis, tidak hanya
terang bersifat anti-Gereja, tetapi anti-agama, bahkan menjadi ateis. Namun
perkembangan ke arah sekularisme atau sekularisasi sebetulnya belum berarti
sesuatu yang negatif." Tom
Jacobs menjelaskan, sekularisasi dapat dilihat sebagai usaha pemurnian agama dan
reaksi terhadap "sakralisasi" yang melampaui batas. Pada dasarnya,
sekularisasi sebagai usaha "desakralisasi" adalah suatu reaksi melawan
kuasa pimpinan Gereja, yang mau menguasai seluruh dunia. Maka akhirnya
permasalahan itu kembali kepada soal yang dirumuskan oleh Pope Gelasius I:
Kerana Gereja mengidentifikasikan diri dengan kuasa dunia, maka reaksi terhadap
kuasa gereja ini menjadi suatu proses melawan Gereja dan agama. 13
Arend
Theodore van Leeuwen mengatakan, bahawa penyebaran agama Kristian ke seluruh
dunia membawa pesan sekularisasi. Oleh kaum sekular Kristian, hubungan erat
antara gereja dan negara di abad pertengahan adalah kesalahan dan
“pencerahan” (renaissance) berhasil membawa misi sekularisasi Kristian ini
kembali ke rel-nya. Secara umum, sejarah revolusioner Barat sampai sekarang
adalah melanjutkan proses sekularisasi dan hal itu merupakan proses yang tak
bisa dihentikan dan terus berputar. Sebab itu, kata Leeuwen, budaya sekular
merupakan hadiah Kristian kepada dunia.14 Sekularisasi
dan Liberalisasi Islam di Indonesia Sebagaimana
di bagian dunia Islam lainnya, wilayah Tamadun Melayu, juga tidak terlepas dari
usaha sekularisasi oleh Barat. Di Indonesia, usaha sekularisasi sudah dilakukan
sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1930-an, Soekarno yang ketika itu belum
menjadi Presiden sudah menulis beberapa artikel yang mendukung sekularisasi yang
dilakukan Mustafa Kemal Attaturk di Turki. Dalam Majalah Pandji Islam
nombor 12 dan 13 tahun 1940, Soekarno menulis sebuah artikel berjudul
“Memudakan Islam”. Menurut Soekarno langkah-langkah sekularisasi yang
dijalankan kemal Attaturk adalah tindakan “paling modern” dan “paling
radikal”. Katanya: “Agama
dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam
itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada negara.
Maka oleh Kerana itu, salahlah kita kalau kita mengatakan bahwa Turki adalah
anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan,
misalnya, Rusia.” Mengutip
Frances Woodsmall, Soekarno mencatat: “The
attitude of modern Turkey towards Islam has been anti-orthodox, or anti-ecclesiatical,
rather than anti-religious… The validity of Islam as a personal belief has not
been denied. There has been no cessation of the services in the mosque, or
rather religious observances.” Jadi,
kata Soekarno, apa yang dilakukan Turki sama dengan yang dilakukan negara-negara
Barat. Di negara-negara seperti Inggris, Perancis, Belanda, Belgia, Jerman, dan
lain-lain, urusan agama diserahkan kepada individu pemeluknya, agama menjadi
urusan pribadi, dan tidak dijadikan sebagai urusan negara, tidak dijadikan
sebagai agama resmi negara. Pemikiran
Soekarno itu ditentang oleh tokoh-tokoh Islam seperti A. Hassan dan Mohammad
Natsir. A. Hassan mengritik keras pandangan Soekarno
tentang sekularisme. Di Majalah yang sama ia menulis artikel berjudul
“Membudakkan Pengertian Islam”. Hassan menyebut logika Soekarno sebagai
“logika otak lumpur”. Sebagian besar pejabat
pemerintah Turki di masa Attaturk, menurut A. Hassan, adalah pemabok,
hobi dansa, dan pelaku berbagai kegiatan maksiat lainnya. Tetapi, itulah yang
justeru dipuji Soekarno sebagai tindakan paling modern dan radikal. Mereka juga
yang menghapus hukum-hukum Allah dari masyarakat Turki. Tulisan Arab diganti
dengan Latin. A. Hassan mencontohkan, di negara Rusia saja, orang Islam bebas
salat di masjid dan boleh berazan dalam bahasa Arab. Sedangkan di Turki, oleh
Kemal Attaturk, azan pun harus dilakukan dengan bahasa Turki. A. Hassan juga
membantah logika Soekarno bahwa pengaruh Islam di Turki hilang Kerana diurus
oleh pemerintah. Faktanya, penguasa Islam waktu itu tidak menjalankan dan
mengurus Islam sebagaimana semestinya diajarkan oleh Islam. Bahkan, tak jarang,
agama hanya dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi, kata A.
Hassan, ini bukan berarti Islam tidak sanggup mengurus negara.15
Usaha
kelompok sekular di Indonesia berhasil menggagalkan berdirinya negara Indonesia
yang berdasarkan Islam. Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945, kelompok nasionalis sekular
terus berhadapan dengan kelompok nasionalis Islam. Kedua kelompok ini akhirnya
bersepakat membentuk Panitia Sembilan yang dipimpin oleh Soekarno dan pada
tanggal 9 Juli 1945 berhasil menyusun Piagam Jakarta. Piagam ini memuat
kata-kata: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya (yang kemudian dikenal dengan istilah “tujuh kata”. Soekarno
mengatakan, bahawa "tujuh kata" itu adalah "kompromi untuk
menyudahi kesulitan antara kita bersama." 16 Dalam
sejarah perjalanan politik Indonesia, kelompok sekular tetap berhasil
mempertahankan dominasinya dalam politik Indonesia, sejak kemerdekaan sampai
zaman reformasi. Usaha-usaha untuk menetapkan Islam sebagai agama resmi negara
atau menerapkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara senantiasa
mengalami kegagalan. Bahkan, setelah reformasi, tokoh-tokoh Islam turut menolak
dimasukkannya “tujuh kata” dari Piagam Jakarta ke dalam konstitusi. Sebagai
contoh, pada tanggal 10 Agustus 2000, tiga tokoh Islam Indonesia, yaitu Ketua
Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Syafii
Ma’arif, dan Prof. Dr. Nurcholish Madjid membuat pernyataan bersama. Isinya:
menolak masuknya Piagam Jakarta dalam pasal UUD 1945. Ada
tiga alasan yang dikemukakan:
Perubahan
besar yang terjadi di kalangan tokoh-tokoh Islam ini menunjukkan suksesnya
gerakan sekularisasi di Indonesia. Usaha ini dimulai oleh Nurcholish Madjid,
yang ketika itu menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
sebuah organisasi mahasiswa Islam terbesar. Pada tanggal 2 Januari 1970, dalam diskusi yang diadakan oleh
HMI, PII, GPI, dan Persami, di Menteng Raya 58, Nurcholish Madjid membacakan
makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat”. Nurcholish
Madjid menulis dalam makalah itu: “… dengan sekularisasi tidaklah
dimaksudkan penerapan sekularisme dan merobah kaum muslimin menjadi kaum
sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya
bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrowikannya.” Dalam
wawancara dengan Harian Kompas tanggal 1 April 1970, Nurcholish
mengatakan: “Orang yang menolak sekularisasi lebih baik mati saja. Kerana
sekularisasi adalah inherent dengan kehidupan manusia sekarang di dunia ini (saeculum
berarti jaman atau keadaan sekarang, juga berarti dunia ini). Dalam makalahnya
yang lain, “Sekali Lagi tentang Sekularisasi”, ia juga memaparkan pengertian
sekularisasi. Agama Islam, katanya, bila diteliti benar-benar dimulai dari
proses sekularisasi terlebih dahulu. Justeru ajaran Tauhid itu merupakan pangkal
tolak proses sekularisasi secara besar-besaran. Nurcholish
juga mengatakan: “Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep 'Negara Islam'
adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara
adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan
kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya spiritual dan
peribadi." Terhadap
fikiran Nurcholish tersebut, cendekiawan Muslim Indonesia, Prof. Rasjidi
berkomentar "kata-kata tersebut bukan kata-kata orang yang percaya kepada
Quran, akan tetapi merupakan kata orang yang pernah membaca Injil. Dalam Matheus
22-21 disebutkan: Render unto Caesar the things which are caesar' and unto
God the thing which are God's. Prof.
Tahir Azhary, pensyarah di Faulti Hukum Universiti Indonesia, juga menilai
gagasan pembaharuan Nurcholish mengarah kepada sekularisasi Islam, selain
mengecewakan umat Islam, menurut Azhary, Nurcholish juga tidak berhasil memahami
bagaimana sesungguhnya hubungan antara Agama Islam dan kehidupan kenegaraan dan
masyarakat.18
Meskipun
mendapatkan tentangan keras dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia, fahaman
sekularisasi Nurcholish Madjid tetap berjalan dan membawa kesan yang besar
terhadap para intelektual Muslim, disebabkan kuatnya dukungan kerajaan Orde Baru
dan mass media di Indonesia. Nurcholish Madjid membungkus fahaman
sekularisasinya dengan kata “pembaruan”. Ia diberi sebutan oleh Majalah
Tempo sebagai "Penarik Gerbong Kaum Pembaharu". Greg
Barton juga menyebut perang Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid sangat
sentral dalam gerakan kaum neo-modernis pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun
1970-an. Gerakan ini mendapat sebutan berbagai nama, seperti "Pembaruan
Pemikiran Islam", "akomodasionis", "substansialis",
"progresif", dan "liberal". Mass media Barat, kadangkala
menyebut Nurcholish Madjid sebagai "voice of reason" (suara
kebenaran) atau "heart of his nation" (hati nurani bangsanya). Greg
Barton menjelaskan beberapa prinsip
gagasan Islam Liberal: (a)
Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b)
Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c)
Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d)
Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian
negara. Menurut
Barton, ada empat tokoh Islam Liberal di Indonesia, iaitu Abdurrahman Wahid,
Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, dan Djohan Efendi. 19 Tokoh-tokoh
Islam Liberal di Indonesia kemudiannya menjadikan sekularisasi sebagai program
penting gerakan liberalisasi Islam. Koordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil
Abshar Abdalla mengatakan: Islam
liberal bisa menerima bentuk negara sekuler... sebab, negara sekuler bisa
menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus. 20 Aktivis
Islam Liberal lainnya, Dr. Denny JA, juga menulis: Sudah
saatnya komunitas Islam Liberal di Indonesia mengembangkan sebuah teologi
tersendiri yang sah secara substansi dan metodologi, yaitu Teologi Islam
Liberal. Ini sebuah filsafat keagamaan yang bersandar kepada teks dan tradisi
Islam sendiri, yang memberi pembenaran kepada sebuah kultur liberal. Dalam
politik, teologi itu menjadi Teologi Negara Sekular (TNS), yaitu sebuah filsafat
keagamaan, yang menggali dari teks dantradisi Islam, yang parallel atau
membenarkan perlunya sebuah negara yang sekular sekaligus demokratis.21 Jadi,
perjuangan kelompok Islam Liberal di Indonesia secara jelas mahu membentuk
negara sekular. Mereka sudah menyatakan secara terbuka dan mendapat dukungan
yang kuat dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Hal inilah yang belum pernah
terjadi dalam sejarah Islam di Indonesia. Sebab, dulunya yang mengembangkan
fahaman sekular bukanlah dari kelompok-kelompok dan organisasi Islam, tetapi
dari kelompok sekular atau kebangsaan. Mencanggah
aqidah, syariah, dan al-Quran Fahaman
gerakan Islam Liberal bukan hanya memperjuangkan negara sekular dan menolak
syariat Islam, tetapi mereka juga sudah mencanggah aqidah Islam. Sebagai contoh,
kelompok liberal Islam sering mengatakan, bahawa Islam bukanlah satu-satunya
agama yang benar. Semua agama adalah sama. Semuanya boleh masuk syurga Allah SWT.
Koordinator Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar Abdalla mengatakan: Semua
agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.
22 Jilbab
intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public
decency).” … “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan
Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. 23 Prof.
Dawam Rahardjo, seorang tokoh Muhammadiyah Indonesia, membela keberadaan fahaman
kelompok Ahmadiyah di Indonesia. Dia mengatakan: Ahmadiyah
sama dengan kita .... Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah
mereka, apapun akidah mereka itu. Kita menyangka, akidah mereka menyimpang.
Misalnya, mereka percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Tapi kalau sudah
menjadi kepercayaan mereka, mau apa? Itu 'kan soal kerpercayaan. Itu 'kan sama
saja dengan kita percaya pada Nabi Muhammad saw. 24 Prof.
Dr. Said Aqiel Siradj, ketua Syuriah Pengurus Besar NU, mengatakan: "Agama
yang membawa misi Tauhid adalah Yahudi, Nasrani (Kristian) dan Islam. Ketiga
agama tersebut datang dari Tuhan melalui seorang rasul dan nabi pilihan. Agama
Yahudi diturunkan melalui Musa, Nasrani diturunkan melalui 'Isa (Yesus), dan
Islam melalui Muhammad. Kedekatan ketiga agama samawi yang sampai saat ini masih
dianut oleh umat manusia itu semakin tampak jika dilihat dari genealogi ketiga
utusan (Musa, 'Isa, dan Muhammad) yang bertemu pada Ibrahim (Abraham). Ketiga
agama tersebut mengakui Ibrahim sebagai "the foundation father's" bagi
agama taukhid. Singkatnya, ketiga agama tersebut sama-sama memiliki komitmen
untuk menegakkan kalimah Tauhid... Dari ketiga macam Tauhid di atas, tauhid
Kanisah Ortodoks Syria tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan Islam. 25
Cendekiawan
Muslim terkenal yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Dr. Alwi Shihab
mengatakan: Prinsip
lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang
berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak
memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai
pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain,
eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab Al Quran
tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya. 26 Dr.
Abdul Munir Mulkhan, wakil sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan: Jika
semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu
itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap
agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan
manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat
agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan
dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.27
Ucapan-ucapan
itu disampaikan oleh tokoh-tokoh dan cendekiawan Islam terkenal di Indonesia
yang juga pengurus organisasi-organisasi Islam yang penting, dan bukan oleh
orang awam, atau masyarakat umum, atau pendeta Kristian. Sebab itu, boleh
dikatakan, telah terjadi suatu perkembangan besar dalam pemikiran Islam di
Indonesia. Ulil Abshar Abdalla adalah Koordinator Jaringan Islam Liberal (Islib)
Indonesia, dan juga Ketua Lakpesdam NU (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Nahdhatul ‘Ulama). NU adalah Organisasi Islam terbesar di
Indonesia. Prof. Dawam Rahardjo adalah wakil ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
yang juga Presiden International Institute of Islamic Thought/IIIT Indonesia.
Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj adalah Ketua Syuriah NU yang juga Direktur Pasca
Sarjana Universitas Islam Malang (Jawa Timur). Dr. Alwi Shihab adalah
cendekiawan Muslim terkenal lulusan al-Azhar University dan Temple University,
yang sekarang juga Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa. Sedangkan Dr. Abdul
Munir Mulkhan, selain tokoh Muhammadiyah juga dosen agama dan penulis artikel di
serta buku di beberapa mass media di Indonesia. Di samping mereka, masih ada
lagi ratusan aktivis organisasi Islam dan penulis-penulis yang aktif menyebarkan
fahaman liberal Islam di Indonesia. Sebelum
tokoh-tokoh itu berbicara tentang fahaman “persamaan agama” (yang mereka
sebut dengan pluralisme agama), sudah ada tokoh-tokoh lain yang berbicara hal
yang sama. Kiyai Haji Abdurrahman Wahid, apabila menjadi Presiden Indonesia,
pernah berpidato dalam malam
Perayaan Natal Bersama, tanggal 27 Desember 1999: Bagi
saya, peringatan Natal adalah peringatan kaum Muslimin juga. Kalau kita
konsekuen sebagai seorang Muslim merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw,
maka adalah harus konsekuen merayakan malam Natal. 28 Tokoh
gerakan sekularisasi di Indonesia, Nurcholish Madjid, juga tidak hanya
berpendapat dalam bidang sosial-politik, tetapi juga mempromosikan Teologi
Inklusif. Pendapatnya ditulis oleh Sukidi dalam sebuah buku berjudul “Teologi
Inklusif Cak Nur”. Cak Nur adalah sebutan untuk Nurcholish Madjid. Ditulis
dalam buku tersebut: "Bangunan
epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-islam sebagai
sikap pasrah ke hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur, menjadi
karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah world view Al Quran,
bahwa semua agama yang benar adalah
al-islam, yakni sikap berserah diri kehadirat Tuhan (QS 29:46)_ "Dalam
konteks inilah, sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi
inklusif Cak Nur. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi
"muslim" itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi
bagi penganut agama lain, khususnya para penganut kitab suci, baik Yahudi maupun
Kristian. Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapa pun di antara kita - baik
sebagai orang Islam, Yahudi, Kristian, maupun shabi'in --, yang benar-benar
beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan
mendapatkan pahala di sisi Tuhan ... (QS 2:62, 5:69). Dengan kata lain, sesuai
firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologis bagi umat beragama, apa pun
"agama"-nya, untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan. Bayangkan
betapa inklusifnya pemikiran teologi Cak Nur ini." 29
Lebih
jauh, konsep inklusivisme dan pluralisme Nurcholish Madjid itu bukan semata
wacana, tetapi sudah dieksperimenkan di sekolah-sekolah Paramadina (Madania
School), mulai SD-SMU. Secara sederhana, kata Budhi Munawar Rachman, tokoh
Paramadina, wawasan aplikasi konsep pluralisme di sekolah-sekolah Paramadina,
dimulai dengan menghormati orang yang berbeda agama dan tidak menghina mereka.
Orang yang berbeda agama lantas tidak diklaim "kafir". Juga tidak
menyebut agama lain itu sesat dan menyesatkan. Dari situlah dimulai langkah
pertama untuk bisa menerima friendship dan partnership dalam suatu kenyataan
bernama sekolah. 30
Konsep
Teologi Inklusif atau Pluralis yang mengakui kebenaran semua agama – seperti
yang disampaikan para tokoh Islam di Indonesia itu jelas-jelas bercanggah dengan
konsep Tauhid Islam, yang secara tegas disebutkan dalam al-Quran: "Sesungguhnya
agama (yang diredhai) di sisi Allah hanyalah Islam" (QS Ali Imran: 19).
"Barangsiapa
mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS
Ali Imran: 85). Mencermati
fenomena sekularisasi-liberalisasi di Indonesia seperti itu, boleh dikatakan
bahawa negara Muslim terbesar di dunia itu sedang mengalami proses penghancuran
aqidah secara besar-besaran. Cuba bayangkan, sebagai contoh, pada tahun 1981,
diterbitkan sebuah buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian
Ahmad Wahib. Di antara isinya ada kata-kata Ahmad Wahib: Wah,
andaikata hanya tangan kiri Muhammad yang memegang kitab, yaitu al-Hadits,
sedang dalam tangan kanannya tidak ada Wahyu Allah (Alquran), maka dengan tegas
aku akan berkata bahwa Karl Marx dan Frederich Engels lebih hebat dari utusan
Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasa dan pengabdiannya yang luar
biasa pula, akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah
penghuni sorga tingkat pertama, berkumpul dengan para nabi dan syuhada.31 Apa
yang terjadi seketika itu? Majelis Ulama Indonesia meminta pemerintah melarang
buku Ahmad Wahib itu. Tetapi, penerbitan buku tersebut dibela oleh Prof. Dr.
Mu’thi Ali, bekas Menteri Agama Indonesia, yang waktu itu juga rektor IAIN
Yogyakarta. Prof.
Dr. Rasjidi menyatakan, terbitnya buku itu merupakan tragedi bagi umat Islam.
Sekarang, tahun 2003, buku itu dicetak kembali, kerjasama antara LP3ES dengan
Freedom Institute. Buku itu dipromosikan secara besar-besaran, begitu juga
dengan fahaman Ahmad Wahib yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam: Tanggal
7 Maret 2003, Harian Kompas menulis berita:
Freedom
Institute - sebuah lembaga kajian independen yang bergerak dalam pengembangan
kebebasan berpikir - dan HMI Cabang Ciputat menyelenggarakan sayembara penulisan
esai tentang pemikiran keislaman Ahmad Wahib. Ahmad Wahib (1943-1971) adalah
aktivis HMI dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di akhir tahun 1960-an. Dia
dikenal luas setelah buku catatan hariannya diterbitkan oleh LP3ES pada tahun
1981, dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam. Dalam buku tersebut, terakam
sosok Wahib sebagai aktivis Islam yang bergulat dengan tema Islam, modernitas,
dan keindonesiaan, dengan perspektif yang liberal, progresif, dan terbuka._
Pemenang penulisan itu akan mendapati hadiah Rp 30 juta. Itulah
yang terjadi di Indonesia sekarang. Fahaman-fahaman yang salah dan bertentangan
dengan aqidah Islam, malahan dipromosikan dan disebar-luaskan ke tengah
masyarakat secara bebas, melalui buku, jurnal, TV, radio, akhbar, dan sebagainya.
Akan tetapi, yang diserang oleh kelompok Islam Liberal bukan hanya aqidah dan
syariat Islam, melainkan juga al-Quran. Kelompok ini memiliki program untuk
menerbitkan al-Quran Edisi Kritis, Kerana al-Quran yang sekarang, yaitu Mushaf
Utsmani, mereka anggap masih perlu diragukan validitasnya. Taufik Adnan Amal,
pensyarah mata kuliah ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, menulis satu paper
berjudul Edisi Kritis al-Quran, yang isinya menyatakan: Uraian
dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses
pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut
masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun
pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Kerana
itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu
upaya penyuntingan edisi kritis Alquran. 32 Istilah
Quran Edisi Kritis adalah istilah yang sudah mapan di kalangan orientalis yang
menekuni bidang al-Qur'an dan merujuk kepada usaha mereka untuk membongkar
Mushaf Uthmani, baik dari segi susunan surah-surahnya, kronologinya, qiraahnya,
jumlah surah dan ayat-ayatnya dan lain-lain. Mereka ingin melakukan dekonstruksi
terhadap Mushaf Uthmani. Dr.
Ugi Suharto, pensyarah di ISTAC-IIUM telah menyanggah rencana kelompok Islam
Liberal ini. Menurut Dr. Ugi Suharto, upaya para orientalis itu sudah gagal dan
orientalis sekarang sudah tidak berminat lagi untuk membentuk Quran Edisi Kritis.
Encyclopaedia of the Qur'an, Leiden 2001, 1: 420b. menulis: "Hence,
the battle for a critical edition of the text of the Qur'an including most
notably a chronological ranking of the suras (SEE CHRONOLOGY AND THE QUR'AN), is
not as persistent as it was in the period between T. Noldeke and R. Blachere."
33 Misionari
Kristian
Umat
Islam yang berada di wilayah Tamadun Melayu seharusnya boleh belajar dari
sejarah umat-umat terdahulu, utamanya sejarah agama Kristian di Eropa. Agama
Kristian boleh dikatakan sebagai salah satu “korban” Westernisasi dan
hegemoni peradaban Barat. Akibat liberalisasi dan sekularisasi di Barat, agama
Kristian telah menjadi mangsa yang teruk. Anehnya, setelah tidak berkembang di
Barat, agama Kristian ini diekspot ke negara-negara Islam. Padahal, di
negara-negara Barat, agama Kristian sudah tinggal nama, tidak menjadi pedoman
hidup masyarakat di sana. Bahkan masyarakat Barat sudah banyak yang secara
terbuka menyatakan dirinya tidak beragama atau atheis atau agnostis. Di
Amsterdam, Belanda, sebagai misal, 200 tahun lalu, 99% penduduknya beragama
Kristian. Sekarang, hanya tersisa 10% saja yang dibaptis dan ke gereja.
Sebahagian besar mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi
sekular. Di Perancis, yang 95% penduduknya tercatat beragama Katholik, hanya
13%nya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali. Pada 1987, di
Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinion Research, 46% penduduknya
mengatakan, bahawa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finland, yang 97%
Kristian, hanya 3% saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di
Norway, yang 90% Kristian, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar
kepercayaan Kristian. Juga, hanya sekitar 3% saja yang rutin ke gereja tiap
minggu. Masyarakat
Kristian Eropa juga tergila-gila pada aktiviti mistis, mengalahkan kepercayaan
mereka pada pendeta atau imam Katholik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu
dengan Jerman Timur -- terdapat 30,000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun
klnik/witchcraft) mencapai 90,000 orang. Di
Perancis terdapat 26,000 imam Katholik, tetapi jumlah peramal bintang (astrologi)
yang terdaftar mencapai 40,000 orang. Fenomena Kristian Eropa menunjukkan, agama
Kristian kalah dalam menghadapi serbuan arus budaya Barat yang didominasi
nilai-nilai liberalisme, sekularisme, dan hedonisme. Serbuan praktik mistis juga
tidak mampu dibendung. Di
beberapa gereja, arus liberalisasi mulai datang dengan kuat. Misalnya, gereja
mulai menerima praktik-praktik homoseksualiti. Eric James, seorang pejabat
gereja Inggeris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral
Church” mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual
dan mengizinkan perkahwinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita
dengan wanita.34
Negara
Belanda sekarang sudah menjadi satu-satunya negara yang melakukan “revolusi
jingga”, Kerana secara resmi telah mengesahkan perkahwinan sejenis. Parlimen
Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat,
praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga
praktik-praktik perzinaan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat
tidak mengenal sistem dan standard nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba
relatif; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang
berlaku. Maka,
orang berzina, minum alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah
dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat.
Itulah yang kini melanda masyarakat Muslim. Masyarakat lebih hormat kepada
selebriti daripada kepada ulama. Negara sangat menghormati selebriti dan pemain
olah raga (sukan) dibandingkan kaum intelektual. (Di Indonesia, Presiden mau
menerima pemenang ratu kecantikan sedunia, tetapi tidak menerima pemenang
olimpiade fisika internasional). Kondisi seperti ini, serupa dengan apa yang
digambarkan Rasulullah saw, dalam sebuah haditsnya: Akan
datang suatu zaman di mana tidak tersisa dari Islam, kecuali tinggal namanya
saja; tidak tersisa dari al-Quran kecuali tinggal tulisannya saja; masjid-masjid
mereka megah, tetapi jauh dari petunjuk Allah; ulama-ulama mereka menjadi
manusia-manusia yang paling jahat yang hidup di bawah kolong langit; dari mulut
mereka keluar fitnah dan akan kembali kepada mereka. (HR
Baihaqi) Kerosakan-kerosakan
yang terjadi pada masyarakat Kristian Barat itu telah dan sedang diekspot
berterusan kepada masyarakat Muslim. Di wilayah Tamadun Melayu boleh disaksikan
kerosakan akhlak masyarakat yang semakin teruk. Perjudian, pornografi,
prostitusi, minuman keras, dan aktiviti free sex dianggap hal biasa oleh
masyarakat, bahkan didukung oleh tokoh-tokoh masyarakat. Di Indonesia, pada
tahun 2003, terjadi kes Inul Daratista, seorang penyanyi dan penari lucah. Meskipun
Majelis Ulama Indonesia menentang show Inul, tetapi KH Abdurrahman Wahid,
penasihat Pengurus Besar NU, mendukung Inul. Hampir semua mass media juga
mendukung Inul sehingga show Inul tetap berjalan dan Inul semakin terkenal.
Kekalahan ulama dalam kes Inul ini menunjukkan, bahawa sebagian besar masyarakat
sudah semakin tidak peduli dengan nasihat ulama, sehingga mereka lebih
menurutkan hawa nafsunya. Ini juga tidak lepas dari peranan seorang ulama juga,
iaitu KH Abdurrahman Wahid. 35 Berkembangnya
sekularisasi-liberalisasi di dunia Islam seharusnya disikapi sebagai
“ancaman” bagi umat Islam. Sebab, sejatinya, inilah cara efektif
menghancurkan Islam. Di saat sekularisasi-liberalisasi Islam terjadi, misi
Kristian di dunia Islam terus berjalan. Misi Kristian di dunia Islam sudah
belajar dari sejarah Perang Salib, bahawa umat Islam tidak dapat dikalahkan,
sebelum pemikiran mereka dihancurkan. Henry Martyin, seorang missionari Kristian
terkenal menyatakan, “I come to meet the Moslems, not with arms but with
words, not by force but by reason, not in hatred but in love.” 36 Kristianisasi
di Indonesia juga sering dilakukan dengan cara-cara jahat dengan menggunakan
ayat-ayat al-Quran untuk memurtadkan kaum Muslim. Sebagai contoh, ditemukan
sejumlah buku dan brosur missionari Kristian yang menggunakan judul-judul Islam,
untuk menipu umat Islam. Misalnya, buku-buku karangan Pendeta R. Mohammad Nurdin
yang berjudul:
Juga
buku Upacara Ibadah Haji karya H. Amos, dan buku-buku karya Pendeta A.
Poernama Winangun yang berjudul seperti Riwayat
Singkat Dan Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad, Ayat-ayat Al-Qur’an Yang
Menyelamatkan. Misi
Kristian juga menggunakan brosur-brosur yang menggunakan nama-nama Islam,
seperti Brosur: Membina Kerukunan Hidup Antara Umat Beragama, Yang
dikeluarkan oleh Dakwah Ukhuwah (P.O. BOX 1272/JAT Jakarta 13012). Cara-cara
merosak Islam seperti ini lebih vulgar dari apa yang dilakukan Zwemmer, meskipun
sejenis. Zwemmer menulis buku berjudul “Islam: A Challenge to Faith”
(terbit pertama tahun 1907). Ia menyebut bukunya sebagai “studies on the
Mohammedan religion and the needs and opportunities of the Mohammedan World From
the standpoint of Christian Missions”. Ada
indikasi kuat, misi Kristen juga menggunakan penyebaran faham “pluralisme”.
Indikasi ini bisa dilihat pada kes Ahmad Wahib yang diasuh oleh dua orang Pastor
Katholik, iaitu H.C. Stolk dan Willenborg selama beberapa tahun, yang menjadikan
Ahmad Wahib seorang pluralis. Ahmad Wahib berkata: “Dalam
Gereja mereka, Tuhan adalah pengasih dan sumber segala kasih. Sedang di masjid
atau langgar-langgar, dalam ucapan da’i-da’i kita, Tuhan tidak lebih mulia
dari hantu yang menakutkan dengan neraka di tangan kanannya dan pecut api di
tangan kirinya… Kami saling menghormati dalam dialog kerana sama-sama penganut
pluralisme… Aku tak tahu, apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang
bapakku itu ke dalam api neraka. Semoga Tidak” 37 Bagi
para missionari Kristian, mengKristiankan kaum Muslim adalah satu kewajiban.
Dalam laporan tentang “Centenary Conference on the Protestant Missions of the
World” di London tahun 1888, tercatat ucapan Dr. George F. Post: “We
must meet Pan-Islamism with pan-Evangelism. It is a fight for life… we must go
into Arabia; we must go into the Soudan; we must go into central Asia; and we
must Christianize these people or they will march over their deserts, and they
will sweep like a fire that shall devour our Christianity and destroy it.” 38
Umat
Islam harusnya belajar dari sejarah. Kristianisasi bukan hanya dilakukan dengan
cara konversi agama, tetapi juga menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam.
Penyebaran faham pluralisme teologis oleh kelompok-kelompok dan
universiti-universiti Kristian/Katholik, dapat dilihat dalam kerangka untuk
menjauhkan umat Islam dari agamanya. Wilayah Tamadun Melayu, sebagaimana bagian
dunia Islam lainnya, sejatinya belum terlepas dari cengkeraman imperialisme
Barat, yang sekarang berbentuk imperialisme pemikiran, ekonomi, politik, dan
budaya. Sebab itu, seperti di zaman kolonial fisikal dahulu, misi Kristian masih
diperlukan untuk mempertahankan hegemoni kaum Imperialis. Di masa penjajahan,
penjajah Kristian selalu bekerjasama dengan missionari Kristian untuk
mempertahankan kekuasaannya. Dua tokoh Kristian Belanda yaitu Alb C. Kruyt (tokoh
Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum mengatakan:
“Bagaimanapun
juga Islam harus dihadapi, kerana semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan
ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini diakui
bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending
Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga
pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan
zending.” 39 Di
wilayah Indonesia, Kristenisasi telah berjalan sukses sehingga banyak
mendapatkan pengikut, sebab sejak dulu,
Indonesia dianggap sebagai lahan subur untuk Kristenisasi. Berkhof
menyatakan, “Indonesia adalah suatu daerah Pekabaran Injil yang diberkati
Tuhan dengan hasil yang indah dan besar atas penaburan bibit Firman Tuhan.” 40
Tahun 1999, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) menyebutkan, bahawa jumlah
orang Kristian (Protestan) di Indonesia sudah lebih dari 20%. Dan itu adalah
akibat “terjadinya pembaptisan-pembaptisan massa di berbagai tempat”. 41 Data
resmi umat Protestan di Indonesia tahun 1990 adalah 6%. Data bahawa umat Kristen
sudah lebih dari 20 persen juga dikeluarkan Global Evangelization Movement
Database, yang menyatakan, jumlah orang Kristian di Indonesia sudah lebih
dari 40 juta. Secara internasional, jumlah umat Kristen setiap tahun meningkat
6.9%, sehingga sekarang jumlahnya sudah mencapai 2 billion jiwa lebih.42 Penutup
Sebagaimana
dijelaskan terdahulu, gerakan sekularisasi dan liberalisasi Islam di wilayah
tamadun Melayu, khususnya di Indonesia, telah berjalan dengan sangat serius dan
mengkhuatirkan, Kerana gerakan itu telah mendapat sokongan dari tokoh-tokoh dan
para cendekiwan Muslim. Negara-negara Barat juga sangat bersetuju dengan gerakan
sekular-liberal tersebut, dengan memberikan sokongan dana melalui
yayasan-yayasan seperti Ford Foundation, Asia Foundation, Sorosh Foundation, dan
sebagainya. Umat Islam yang tidak bersetuju dengan gerakan Islam Liberal,
dimasukkan ke dalam golongan Islam Radikal, yang dibuat imej seakan-akan
golongan ini adalah kelompok fundamentalis, militan, yang dekat dengan teroris (pengganas).
Tokoh
Muhammadiyah Prof. Dawam Rahardjo, sebagai misal, menulis sebuah artikel di
Majalah TEMPO (edisi 12 Januari 2003, yang diberi judul “Islam Radikal Vs
Islam Liberal”, yang membela Koordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar
Abdalla. Dawam mengatakan: “… menurut hemat saya, Ulil justeru mengangkat
wahyu Tuhan di atas syariat.” Padahal, seperti disebutkan sebelumnya, Ulil
menulis: “Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar
kepantasan umum (public decency) … Larangan kawin beda agama, dalam hal
ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.”
Apabila ucapan yang jelas-jelas salah dibela dan dikatakan meninggikan
wahyu Tuhan, bagaimanakah kesan yang akan terjadi kepada orang-orang awam? Inilah
musibah besar yang sedang melanda wilayah Tamadun Melayu, khususnya di wilayah
Indonesia. Mungkin, peristiwa-peristiwa seperti itu belum terjadi di wilayah
Tamadun Melayu yang lain, tetapi dengan kedudukan Indonesia sebagai negeri
Muslim terbesar di dunia, dan perkembangan pemikiran Islam serta kebebasan pers
yang luas, bukan mustahil, peristiwa sejenis akan menimpa wilayah Tamadun yang
lain. Sebab itu, adalah sangat strategis dan baik jika wilayah Tamadun Melayu
lainnya, seperti Malaysia, bersiap-siap dan berjaga-jaga, agar peristiwa serupa
yang terjadi di Indonesia tidak masuk ke negeri ini. Apalagi, kerajaan Malaysia
sudah mempuyai sikap yang tegas untuk melindungi akidah umat Islam agar
senantiasa terpelihara di bumi Malaysia: Kerajaan
tidak pernah bersikap sambil lewa dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah
umat Islam. Segala pendekatan dan saluran digunakan secara bersepadu dan
terancang bermula dari pendidikan hinggalah ke penguatkuasaan undang-undang
semata-mata untuk melihat akidah umat Islam terpelihara di bumi Malaysia. (JAKIM) Allah
SWT juga sudah memperingatkan, supaya kaum Muslimin senantiasa berwaspada
terhadap segala serangan, dari mana juga datangnya. Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah dan perkuatkanlah kesabaranmu, dan
bersiapsiagalah senantiasa, agar kamu mendapatkan kemenangan. (QS
Ali Imran: 200) Wallahu
a’lam. Kuala
Lumpur, 19 Rabi’ul-awwal 1424 H/21 Mei 2003 (telah
disunting – webmaster) RUJUKAN Abdul
Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, 2002. Adian
Husaini, Gus Dur Kau Mau Kemana: Telaah Kritis Atas Pemikiran dan Politik
Keagamaan Presiden Abdurrahman Wahid, DEA Press, Jakarta, 2000. Adian
Husaini, Penyesatan Opini, Gema Insani Press, Jakarta, 2002. Ahmad
Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, LP3ES,
2003. Alwi
Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, 1997. Aqib
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1985. Bambang
Noorsena, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogyakarta,
2001. Banawiratma
SJ (ed), Gereja dan Masyarakat, Kanisius, Yogyakarta, 1994. Bernard
Lewis, Islam and the West, Oxford University Press, New York, 1993. Greg
Barton, Gagasan Islam
Liberal di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1999. Herlianto,
Gereja Modern, Mau Kemana? Yabina, Bandung, 1995. H.
Berkhof, Sejarah Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1990. Lukman
Hakiem (ed), Fakta dan Data, Media Dakwah, Jakarta, 1991. Luthfie
Assyaukani (ed), Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jaringan Islam
Liberal, Jakarta, 2002. Marvin
Perry, Western Civilization A Brief History, Houghton Mifflin Company,
Boston-New York, 1997 M.
Sukru Hanioglu, The Young Turks In Position, Oxford University Press,
1995. Mark
Jurgensmayer, Menentang Negara Sekular, Mizan, Bandung, 1998. M.
Thalib dan Haris Fajar, Dialog Bung Karno-A. Hassan, Sumber Ilmu,
Yogyakarta, 1985. Muhammad
Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta. Paul
Findley, Deliberate Deceptions-Facing the Facts about the US-Israeli
Relationship, Lawraence Hill Books, New York, 1993. S.M.
Imamuddin, A Political History of Muslim Spain, S.M. Shahabuddin,
Pakistan, 1969. Sukidi,
Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, 2001. Samuel
M. Zwemmer, Islam: A Challenge to Faith, Darf Publisher Limited, London,
1985. Samuel
P. Huntington, Clash of Civilizations and the Remaking of World Order,
Touchtone Books, New York, 1996. Sekretariat
Negara RI, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI,
1995. Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, ISTAC, Kuala Lumpur,
1993. Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, Kuala
Lumpur, 2001. Victor
Silaen (ed), Gereja dan Reformasi, Yakoma-PGI, Jakarta, 1999.
Notakaki:
1 Samuel P. Huntington, Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Touchtone Books, New York, 1996, hal. 47; Bernard Lewis, Islam and the West, Oxford University Press, New York, 1993. 2 Marvin Perry, Western Civilization A Brief History, Houghton Mifflin Company, Boston-New York, 1997, hal. 9. 3 Ibid, hal. 15 4
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, ISTAC, Kuala
Lumpur, 1993, hal. 169-179. Angka 100 juta itu disebut al-Attas pada tahun
1969, saat ia menerbitkan bukunya Preliminary Statement on a General
Theory of Islamizatin of the Malay-Indonesian Archipelago. Tahun 2003,
jumlah Muslim di kepulauan itu sudah lebih dari 200 juta jiwa.
Penduduk Muslim Indonesia sahaja, ada sekitar 180 juta jiwa. 5
Ibid, hal. 178. Di Indonesia, sampai sekarang, beberapa suku bangsa masih
tetap identik dengan Islam, seperti suku bangsa Aceh, Betawi, Minangkabau,
Bugis, Makasar, Sunda, Madura, Palembang, dan sebagainya. Keidentikan inilah
yang diusahakan untuk dipisahkan oleh gerakan misionaris Kristian di
Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda sampai sekarang. Sebagai contoh,
di Indonesia ada Yayasan Doulos yang secara aktif berusaha mengKristiankan
suku Sunda. Pada tanggal 16 Agustus 1999, Komplek Yayasan ini diserang kaum
Muslimin, dan tidak diizinkan dibuka kembali oleh pemerintah, kerana
melanggar berbagai peraturan kerajaan Indonesia. (Majalah Media Dakwah,
edisi Desember 1999). Namun, usaha misionari Kristian ini cukup berhasil. Di
Sumatera Barat, misalnya, usaha Kristianisasi dilakukan dengan
sungguh-sungguh oleh Yanuka (Yayasan Nurkalimatullah dan Perkantas), dan
hingga sekarang sudah ada sekitar 80 pendeta dari suku Minang, yang aktif
menyebarkan Kristian ke masyarakat Minang). 6
S.M. Imamuddin, A Political History of Muslim Spain, S.M. Shahabuddin,
Pakistan, 1969, hal. 321-323. (Kes penguasa-penguasa Muslim Sepanyol yang
meminta perlindungan dan bantuan kepada kaum Kristian untuk meraih kekuasaan
– dengan mengalahkan kaum Muslim lainnya – perlu untuk diperhatikan dan
dijadikan pelajaran, kerana ada ayat al-Quran yang menjelaskan tentang hal
seperti ini, seperti QS al-Maidah:51-52. Ayat ini melarang kaum Muslim
menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai wali – teman kepercayaan,
pelindung, penolong, dan sebagainya. Mungkin,
dengan menjadikan non-Muslim sebagai wali, mereka akan mendapatkan kesenangan dan kemenangan duniawi sementara, tetapi
hakikatnya, dalam jangka panjang, tindakan itu justru menghancurkan mereka
sendiri, bahkan umat Islam secara keseluruhan) 7
Paul Findley, Deliberate Deceptions-Facing the Facts about the US-Israeli
Relationship, Lawraence
Hill Books, New York, 1993, hal. 5-6. 8
Berita RTM 18 Mei 2003. (Jatuhnya Palestin ke tangan kaum Yahudi tidak
terlepas dari hancurnya aqidah dan pemikiran para tokoh dan cendekiawan
Ottoman Empire, yang waktu itu membawahi wilayah Palestin. Cendekiawan
Ottoman yang tergabung ke dalam Young Turk Movement – yang kemudian
menjadi penguasa Turki setelah jatuhnya Ottoman Empire – adalah
orang-orang yang bekerjasama dengan Zionis Yahudi. Mereka memiliki fahaman
materialisme, positivisme, dan nasionalisme chauvinistik. Kemal Attaturk,
misalnya, adalah penganut fahaman Social Darwinism. Abdullah Cevdet,
tokoh the Young Turk Movement menyatakan, “There is only one
civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow
western civilizaton with both its rose and its thorn. (Lihat: M. Sukru
Hanioglu, The Young Turks In Position, Oxford University Press, 1995;
juga lihat tulisan Prof. Halil Inalcik bertajuk The Caliphate and
Ataturk’s Inkilab, di Jurnal Belleten, XLVI/182, 1982, hal.
353-365) 9
(*http://www.islam.gov.my/e-rujukan/islammas.html) 10
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam
and Secularism, ISTAC, Kuala Lumpur, 1993,
hal. 105. 11 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, Kuala Lumpur, 2001, h. 16. 12 al-Attas, Islam and Secularism, hal. 5. 13
Tom Jacobs SJ, "Gereja dan Dunia" dalam buku Gereja dan
Masyarakat, ed. JB Banawiratma SJ, 1994, hal. 17-19. 14
Mark Jurgensmayer, Menentang Negara Sekular, Mizan, Bandung, 1998,
hal. 29. 15
M. Thalib dan Haris Fajar, Dialog Bung Karno-A.
Hassan, Sumber Ilmu, Yogyakarta, 1985, hal.75-89. 16
Lihat: Risalah Sidang BPUPKI yang diterbitkan Sekretariat Negara RI.
Seperti diketahui, hasil kompromi ini pun kemudian dibatalkan pada tanggal
18 Agustus 1945, kerana kelompok Kristian di Indonesia bagian Timur
memberikan ultimatum, jika Piagam Jakarta tetap dimasukkan ke dalam UUD
1945, maka mereka akan memisahkan diri dari negara Indonesia. Lihat: Moh. Natsir, "Tanpa Toleransi Takkan Ada Kerukunan",
dalam buku Fakta dan Data, (ed. Lukman Hakiem), Media Dakwah,
Jakarta, 1991, hal. 44-45). 17
Adian Husaini, Penyesatan Opini, Gema Insani Press, Jakarta, 2002,
hal. 91-98. 18
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan
Bintang, Jakarta, h. 33-37. 19
Greg
Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Paramadina,
Jakarta, 1999; New
York Times.com,
16 Maret 2002. 20
Majalah Tempo, edisi 19-25 November 2001. 21
Lihat buku Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jaringan
Islam Liberal, Jakarta, 2002, hal. 232-233. 22
Majalah GATRA, edisi 21 Desember 2002. 23 Harian Kompas edisi 18 November 2002. 24
(www.Islamlib.com) 25
Lihat
buku Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogyakarta,
2001, hal. 165-169. 26
Dr. Alwi Shihab, Islam
Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, 1997, hal.
108-109. 27 Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hal. 44. 28 Adian Husaini, Gus Dur Kau Mau Kemana: Telaah Kritis Atas Pemikiran dan Politik Keagamaan Presiden Abdurrahman Wahid, DEA Press, Jakarta, 2000, hal. 162. 29
Sukidi,
Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, 2001,
hal. 21-22. 30
Harian Jawa
Pos,
11 Mei 2003. 31
Lihat buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian
Ahmad Wahib, LP3ES, 2003 (cetakan keenam), hal. 98. 32
Lihat buku Wajah Liberal Islam di
Indonesia, Jaringan Islam Liberal, Jakarta, 2002, hal. 78.
33
Perdebatan antara Taufik Adnan Amal dengan Dr. Ugi
Suharto dapat dilihat dalam bulletin INSIST No1 dan 2 dan website
www.insistnet.com, yang diterbitkan Institute for the Study of Islamic
Thought and Civilization (INSIST). 34 Herlianto, Gereja Modern, Mau Kemana?, Yabina, Bandung, 1995. 35
Dalam
masalah Inul, Abdurrahman Wahid mengatakan, bahawa Inul Daratista tidak
boleh dilarang untuk menyanyi dan menari, sebab itu termasuk kebebasan
berekspresi. "Setahu saya kebebasan berekspresi dan berkesenian tidak
bertentangan dengan undang-undang," kata Abdurrahman Wahid, stelah
dalam acara makan siang dengan penyanyi dan penari erotik tersebut di sebuah
Hotel di Jakarta. (Republika Online, 29 April 2003). 36
Samuel M. Zwemmer, Islam: A Challenge to Faith, Darf Publisher
Limited, London, 1985, hal. 190. 37
Lihat buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib,
LP3ES dan Freedom Institute, 2003, hal. 40. Sekarang, pengaruh pluralisme
dapat dilihat pada alumnus Sekolah Tinggi Filsafat (Katolik) Driyarkara,
seperti Budhy Munawar Rachman (Paramadina) dan Ulil Abshar Abdalla (Jaringan
Islam Liberal). Penyebaran paham ini dari kalangan Kristen Protestan bisa
dijumpai pada alumnus pasca Sarjana studi agama-agama di Universitas Kristen
Satya Wacana (UKSW) – seperti buku Wahdat
al-Adyan:Dialog Pluralisme Agama yang ditulis Fathimah Usman (lulusan
S-2 Studi Agama di UKSW), diterbitkan
LKiS Yogyakarta, 2002). Sekolah Tinggi Teologi (STT) Apostolos dan Institut
Teologi Kalimatullah juga aktif mengembangkan pluralisme. 38
Samuel M. Zwemmer, Islam: A Challenge to Faith, hal.
240. 39
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta,
1985, hal. 26. 40 H. Berkhof, Sejarah Gereja, BPK Gunung Mulia, 1990, hal. 321. 41 Victor Silaen (ed), Gereja dan Reformasi, Yakoma-PGI, 1999, hal. 31-32. 42
Majalah Rohani Populer BAHANA, edisi September 2002.
|
|