[Foto Tragedi] [Clipping] [Data Survey] [Terbaru] [Guest Book]
Minggu, 28 Mei 2000
PERJANJIAN ORANG-ORANG KRISTEN TERCEMAR OLEH KEMUNAFIKAN MEREKA SENDIRI.
Mobil-mobil truk beriringan dari arah Napu (Salah-satu daerah yang menjadi basis orang-orang kristen untuk mendapatkan pengetahuan dan latihan kemiliteran, tempat lainnya adalah desa Kelei yang kelak kami akan tuturkan dalam alur kronologi ini.)
Iring-iringan truk yang membawa ribuan crusader itu terus melaju menuju ke arah Kecamatan Poso-pesisir. Setelah melalui perjalanan yang agak melelahkan, pasukan yang berjulukan kelompok-merah itu tiba di wilayah Poso-pesisir sekitar Pk. 08.00.
Masyarakat Poso-pesisir yang baru kemarin melakukan perjanjian untuk tidak saling menyerang dengan warga muslim, dengan leluasa menyusun rencana makar di wilayah itu. Tanpa kecurigaan dan syakwasangka dari warga muslim yang ada disekitar mereka. Disinilah nampak sekali betapa lugunya warga muslim yang bermukim di sekitar daerah tersebut. Mereka (para warga muslim kampung-kampung itu) terlalu hidup dalam suasana kerohanian yang cenderung bersikap khusnu dzhan (praduga tak bersalah).
FAJAR YANG MERAH DAN MEMBARA
Dewa ahriman yang menyelubungi malam dengan selimut hitam, perlahan tersisih dengan datangnya dewa ormuz menyulut langit dengan fajar sadiq. Kokokan ayam yang disela kicauan burung-burung pagi menguak sinar putih yang terpancar dari sinar aurora. Azan mulai mengumandang seakan membelai langit yang masih dingin dipagi itu. Suasana yang syahdu itu tiba-tiba saja berubah menjadi keadaan yang sangat mengerikan. Orang-orang kafir telah memutuskan hubungan perjanjian damai secara sepihak. Suara letupan senjata api dan bom-bom molotov bersahut-sahutan diantara teriakan sang durjana yang mulai membakar rumah-rumah warga muslim. Rumah-rumah yang tidak sengaja dibakar hanyalah rumah-rumah yang telah diberi tanda salib saja.
Mengetahui bahwa perjanjian orang-orang kristen telah tercemar oleh kemunafikan mereka sendiri, maka seluruh warga muslim yang berada disitu berhamburan mencari tempat perlindungan di hutan atau di pantai. Mereka tak lagi memikirkan harta-bendanya, bahkan anak-anak yang terlepas dari gendongan ibunyapun hampir-hampir tidak dihiraukan lagi. Suasana begitu mencekamnya dan sangat melukai perasaan.
Serangan sporadis orang-orang kristen dikala itu dapat dianggap sebagai serangan yang cukup sukses dengan design simultansi perencanaan penyerangan yang efektif. Sebab hanya beberapa jam saja hampir sebelas desa/kelurahan mereka telah ratakan dengan bumi. Meskipun kemenangan itu sesungguhnya hanya mereka peroleh dari kemunafikan dan penipuan semata. Dalam tragedi pagi itu dinyatakan ribuan rumah penduduk/aparat dan sarana/prasarana sosial berupa Puskesmas, Pasar dan sekolah hangus/rusak berat, 1 orang meninggal dunia dan 12 orang luka berat.
SIMULTANSI SERANGAN
Setelah melakukan pembakaran di 11 desa/kelurahan yang dimulai dari desa Tabalu, Ratolene, Bega, Patiro-bajo, Mapane, Toini, Tolana, Landangan, Tompa. Kelurahan Maengko dan Kayamanya, maka pada hari itu juga pasukan kelelawar-hitam atau pasukan ninja dipimpin Kornelius Tibo (Pasukan yang melarikan diri ketika terkepung di kompleks gereja Sankta-Theresa pada hari pertama dalam awal tulisan ini) telah melakuakan aksi kebiadaban di desa Tagolu. Yang menjadi titik api dalam serangan di wilayah ini adalah Perkampungan Pondok Pesantren Walisongo.
POLA PENYERANGAN UMAT KRISTEN SELALU DIWARNAI DENGAN KEBOHONGAN DAN KEMUNAFIKAN.
Dalam hal ini kita tidak akan berandai-andai kalau saja pada saat sebelum terjadinya penganiayaan dan pembantaian serta perkosaan dan pelecehan terhadap warga muslim di desa ini terdapat seorang pemimpin ummat yang bijak serta mau didengar petuahnya. Warga muslim di desa ini terkesan kehilangan kewaspadaan. Naluri mereka seakan-akan tidak berfungsi terhadap peringatan Al-Qur'an yang mengisyaratkan kemunafikan orang-orang nasrani.
Saat itu Kepala desa tidak berada di tempat. Sang Kades sudah beberapa lama meninggalkan desa sebelum peristiwa kerusuhan terakhir terjadi. Suatu ketika Pesantren itu didatangi oleh aparat kecamatan yang didampingi oleh Kapolsek serta Babinsa (ketiga aparat ini semuanya beragama kristen). Dalam kunjungan tersebut tak ketinggalan pula hadirnya beberapa orang pendeta kristen, kedatangan tokoh/pemuka desa itu memberi keyakinan dan menjanjikan jaminan keamanan bagi para warga pesantren secara khusus dan warga muslim tagolu secara umum, bahwa di desa tersebut tidak akan ada kekacauan. Para tokoh/pemuka itu mayakinkan warga muslim setempat untuk tetap hidup tenang sebagaimana keseharian mereka dan dimintai untuk tidak keluar dari kampung. Mereka berjanji akan senantiasa menjaga dan menjamin keselamatan segenap warga muslim yang bermukim di desa itu.
MIMPI BURUK DI SIANG HARI BOLONG
Ketika itu pesawat SSB yang merupakan satu-satunya sarana komunikasi yang dimiliki Pesantren Walisongo tiba-tiba diputuskan dan dirusakkan oleh beberapa orang berseragam ninja. Salah seorang santri terinspirir melihat gelagat yang tidak bersahabat tersebut. Dalam keadaan yang kritis itu, santri tersebut segera berusaha menyingkirkan puluhan bocah-bocah kecil di desa itu menuju kota Poso yang jaraknya hanya sekitar 9 Km dari tempat itu, hanya 1 truk saja bocah-bocah di desa itu yang sempat diselamatkan, disebabkan terbatasnya sarana angkutan serta kelambanan sikap aparat keamanan menangani kasus tersebut. Masih banyak bocah-bocah mungil serta anak-anak dibawah usia yang tertinggal disana, yang pada akhirnya terbantai bersama keluarga mereka.
Serangan brutal itupun bermula di komplek perkampungan Ponpes Walisongo. Sepasukan manusia-manusia berseragam hitam dengan menggunakan cadar (ala ninja) tiba-tiba masuk dan menyerobot kedalam kompleks. selanjutnya memasuki asrama putra/putri dan mendobrak pintu-pintu yang tertutup dengan cara kasar. Karuan saja para santri itu terkejut dan panik lalu berhamburan dengan mengadakan perlawanan seadanya.
Seorang saksi hidup yang sempat lolos dari pembantaian massal di pesantren tersebut memberi kesaksian bahwa sekitar 80 orang santri telah diikat dan dianiaya sampai mati. Santri-santri itu dibunuh secara perlahan-lahan dengan cara mencincang tubuh mereka sedikit demi sedikit, yang selanjutnya korban-korban tersebut mereka ceburkan dan hanyutkan kedalam sungai dengan tubuh dalam keadaan terikat. Dan konon bagi para tawanan yang sudah tak berdaya untuk digiring ke sungai terpaksa dibantai di tengah jalan dan mayatnya dilemparkan kedalam hutan. Hal ini terbukti dengan banyaknya mayat-mayat yang diketemukan disemak-semak dan kubangan yang terpencil ditengah-tengah hutan.
Sementara wanita-wanita di pesantren itu ditelanjangi bulat-bulat tanpa sehelai benangpun yang melekat ditubuh mereka. Kemaluan mereka dikorek-korek secara kasar dengan dalih mencari jimat yang kemungkinan di sembunyikan dicelah benda yang suci dan terlarang itu. Kebiadaban pasukan crusader tidak berakhir disitu saja, mereka memaksa perempuan-perempuan itu menjadi jurumasak dan pelayan-pelayan yang menyajikan hidangan haram seperti daging babi dan anjing untuk disantap bersama.
KESAKSIAN SEORANG IBU
Seorang ibu yang berhasil dievakuasi dari sejumlah janda-janda Tagolu yang mendapat santunan kemanusiaan dari organisasi Wanita Islam, menuturkan ;
Ketika itu jam belajar telah usai, dari rumah kecil yang jaraknya tidak berjauhan dengan sekolah terdengar hiruk pikuk anak-anak yang berlomba-lomba untuk pulang.
Sang ibu telah menyiapkan makanan bagi putra kesayangannya, si bocah nampak sangat tampan dan rapih dengan topi dan baju seragam yang dikenakannya. Namun kekaguman sang ibu mendadak berubah menjadi suatu kengerian dan kekuatiran yang luar biasa, sesosok manusia bertopeng berseragam hitam menyambar si bocah secara kasar dan menyeretnya keluar rumah. Keadaan serupa dialami juga oleh anak-anak sekolah lainnya atas perbuatan segerombolan ninja di desa itu.
JERITAN NURANI
Dengan berbekal tenaga wanita yang dimilikinya, sang ibu tak mampu mempertahankan putranya dalam cengkeraman laki-laki kasar itu. Sang ibu memohon kepada sang durjana dengan jerit-jerit memelas; jangan ambil anak saya.. dia baru pulang dari sekolah... dia belum makan. Tapi sang durjana hatinya tak bergeming sedikitpun. Sang ibu mengejar untuk menyuapi makanan ke mulut anaknya yang terseot-seot dalam seretan laki-laki laknat itu.
Sang ibu melihat dengan matakepalanya sendiri ketika sang anak dan suaminya dibantai oleh pasukan kelelawar merah.
Masih bergunakah airmata sang ibu setelah kenyataan getir itu menyengat
kehidupannya??
[Foto Tragedi] [Clipping] [Data Survey] [Terbaru] [Guest Book]
[Home]