ANALISIS
< Akhir-akhir ini
di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, memuat berbagai
wawancara dari beberapa tokoh yang dulunya terlibat dalam gerakan G-30-S/PKI
dari sudut pandang mereka. Dari pembicaraan mereka seakan-akan tidak merasa
bersalah atas tindakan mereka di masa lalu. Yang sangat memprihatinkan
adalah hasil wawancara itu dilansir begitu saja tanpa berusaha untuk mempelajari
terlebih dahulu apa yang pernah mereka lakukan.
Dengan pemberitaan
tidak mendasar itu, bagi orang awam atau generasi yang tidak mengalami
peristiwa-peristiwa di masa lau itu dapat membawa dampak bagi pola pikir
mereka, bahkan bila kurang waspada dapat terbawa dalam alur pola pikiran
yang seharusnya dijauhi.
Mereka seakan-akan
tidak merasa bersalah, bahwa mereka melakukan pembunuhan terhadap para
Jenderal AD yang dimasukkan dalam sumur tua lubang buaya (di kawasan Halim).
Saya membaca dalam salah satu surat kabar Ibu Kota bahwa mereka telah membentuk
yayasan korban 1965-1966 untuk melakukan penelitian atas korban peristiwa
1965, bahkan katanya akan menuntut Jenderal Soeharto.
Di saat Dr Subandrio
dan Omar Dhani dibebaskan dari tahanan atas pertanyaan wartawan, saya jelaskan
bahwa sudah sepantasnya mereka dikeluarkan, karena mereka telah menjalani
hukuman selama 30 tahun lebih atas apa yang telah mereka perbuat sebelumnya.
Jenderal Soeharto
memang lengser dari kekuasaan karena reformasi. Itu harus dia terima
sebagai konsekuensi atas kepeminpinannya selama ini, karena sejak awal
Orde Baru ia terlalu mempercayai orang-orang yang suka ‘menggunting dalam
lipatan’ dan menjauhi mereka yang sesungguhnya berniat baik untuk bangsa
dan negara ini. Saya termasuk orang yang diadu domba dengan Jenderal Soeharto.
Dulu pun Bung Karno dikelilingi oleh Durno-durno yang memanfaatkan posisi
presiden dan akhirnya bermuara kepada peristiwa G-30-S/PKI.
Betapapun perbedaan
saya dengan kepeminpinan Jenderal Soeharto, tetapi saya tidak bisa memvonis
apa yang pernah dilakukan oleh Jenderal Soeharto itu semuanya salah.
Sebagai contoh,
saya membenarkan tindakan Jenderal Soeharto untuk membubarkan PKI pada
12 Maret 1966. Dari tindakan itu ia disalahkan oleh Presiden karena SP
11 Maret itu menurut Bung Karno adalah teknis keamanan bukan untuk tindakan
politik membubarkan PKI. Dari tindakan itu, timbul ketegangan antara AD
dan Pimpinan Angkatan lain karena Presiden memanggil (Wakil Perdana Menteri-WPM)
ke Bogor bersama Pimpinan Angkatan tersebut.
Kepala BPI Subandrio memberikan informasi kepada
AL, AU, dan AK bahwa AD akan menyerang Istana dan Halim. Rencana operasi
(SO Pang AU jatuh ke tangan Kostrad) sehingga menyebabkan kecurigaan di
antara sesama angkatan. Atas permintaan Kostrad maka saya mengundang para
panglima angkatan ke rumah saya tanggal 14 malam pada pukul 02.00 dinihari
untuk menjernihkan persoalan. Sementara pasukan masing-masing angkatan
bergerak pada posisi-posisi strategis.
< Setelah saya
mengetahui duduk persoalannya, maka saya jelaskan bahwa bila ingin aman
maka PKI harus dibubarkan dan apa yang dilakukan Jenderal Soeharto itu
saya benarkan. Setelah terjadi saling pengertian antara sesama angkatan
pada pukul 04.00 dan sebelum pulang saya pesankan agar semua pasukan harus
ditarik dari tempat-tempat strategis pada pagi harinya.Dan, ternyata mereka
melakukan seperti apa yang saya minta.
Dalam penyelesaian
krisis pada 14 Maret malam itu, memang untuk sementara AU tidak kami libatkan,
tetapi secara pribadi saya berhubungan dengan beberapa pimpinan teras AURI.
Ipar saya, Suhirman, memanggil Marsekal Rusmin Nuryadin (Deputi Panglima
AU) untuk berbicara dengan saya secara terpisah. Meskipun saya telah dipecat
dari semua jabatan pemerintahan dan ABRI tetapi saya memberanikan diri
memanggil mereka sebagai senior mereka, demi menghindari tabrakan antara
angkatan waktu itu. Saya memanggil Rusmin Nuryadin dan bukan Pang AU Sri
Mulyono Herlambang, mengingat kedudukannya pada 30 Septembar 1965 sebagai
Deputi Operasi Menpang AU Omar Dhani.
Memang, selama
pemutaran film G-30-S/PKI, saya banyak mendapat keluhan dari senior-senior
AURI mengenai hal itu. Saya pun mendorong untuk pelurusan atas peristiwa-peristiwa
sejarah di masa itu. Tetapi tidaklah berarti menyalahkan sesuatu yang sesungguhnya terjadi.
Saya sependapat bahwa AURI secara organ memang tidak terlibat, tetapi oknum-oknum
pimpinan AURI waktu itu sangat berperan.
Kegiatan-kegiatan perjuangan PKI biasanya dilakukan
secara bertahap, tahap pertama :
a. Membentuk kader-kader dan
pimpinan partai.
b. Setelah memperoleh posisi
penting dari partai maka mulai melakukan penetrasi-penetrasi terhadap badan-badan
pemerintahan, ABRI, pers, pendidikan, orsospol/ormas, serta lembaga-lembaga
lain yang sifatnya strategis.
c. Memobilisir gerakan-gerakan
(mahasiswa, pemuda, tani, buruh, dan sebagainya). Biasanya berkedok bekerja
sama di dalam berbagai bentuk.
Setelah menguasai
daerah-daerah yang dianggap basis strategis, maka meningkat kepada jenjang
yang kedua, yaitu mengadakan perlawanan kecil-kecilan/sporadis.
Pernah kita alami dengan peristiwa Jengkol, Indramayu, Kanigoro, Bandar
Betsy, dll. Sekarang, massa menyerang Koramil, Polsek, Kodim, Polres, dan
instansi-instansi pemerintah untuk menjatuhkan wibawa TNI dan pemerintah.
Setelah tahap kedua ini berhasil dimatangkan, maka beralih pada tahap ketiga,
yaitu tahap yang dianggap menentukan yakni dengan memberikan pukulan yang
menentukan (pemberontakan).
Pemberontakan Madiun (Madiun Affair)
Pada 18 September
1948 timbul pemberontakan PKI Madiun. Poros perjuangannya sama seperti
pemberontakan 1965, yaitu menguasai militer sebagai landasan untuk merebut
kekuasaan politik.
Saya masih ingat,
menjelang Maghrib, Menteri Ali Sastroamijoyo Residen Sudiro datang ke rumah
saya, berhubung Pak Dirman masih berada di Megelang maka saya menghadap
Presiden yang didampingi Menteri Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengkubuwono.
Presiden dengan singkat memerintahkan saya untuk membuat konsep tindakan
sebagai keputusan Presiden.
Pidato Presiden
tahun 1948 berbeda dengan pidato Presiden tahun 1965. Pidato Presiden pada
malam hari tanggal 19 September 1948 : "Kemarin pagi PKI Muso mengadakan
kup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan satu pemerintahan
Soviet dibawah pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan
untuk merebut seluruh Pemerintahan RI". Saya masih ingat Presiden
menyerukan kepada rakyat. " Ikut Soekarno Hatta atau PKI-Muso".
Berbeda dengan pidato Presiden pada tahun 1965, beliau masih membela keberadaan
PKI pada saat-saat kritis itu.
PKI tahun 1965
Pada umumnya
pihak mereka mempunyai dua fersi. Pertama, dalam pemberontakan itu
PKI tidak terlibat. Menurut mereka, peristiwa itu adalah dalam konteks
persaingan antara intern Angkatan Darat. Bahkan, disebutkan bahwa perwira-perwira
yang berperan didalam pemberontakan itulah yang membawa-bawa nama PKI.
Pengadilan mereka juluki sebagai sandiwara terpimpin. Padahal, untuk mewujudkan
pengadilan itu kita dengan gigih memperjuangkan kepada Presiden. Maka,
jelas dan nyatalah betapa sulitnya aparat penegak hukum dalam memeriksa
kejadian pada tahun 1965 itu. Kesulitan pemeriksaan itu karena terdapat
beberapa hal antara lain aparat kehakiman dan intel kita masih dikuasai
orang-orang garapan PKI. Melalui peranan aparat garapan PKI itu, mereka
berusaha untuk menutup-nutupi peranan tokoh-tokoh PKI itu dalam G-30-S/PKI
itu.
Kedua,
mereka berusaha dengan gigih menunjukkan bahwa Amerikalah yang mendorong
melalui pancingan. Dalam pandangan mereka, kita tidak memiliki pejuang patriot,
kita hanya bernilai sebagai suruhan atau antek asing. Para peminpin Indonesia
tidak lebih dari pemain bayaran. Dalam pandangan mereka, Indonesia tetaplah
sebagi bangsa "kuli" seperti pendapat para penjajah dulu.
Tetapi anehnya
dipihak lain juga mempunyai pandangan seperti itu. Ketika saya berobat di
Washington tahun 1975, saya membaca salah satu bahasan dalam salah satu
surat kabar. Surat kabar itu menyebutkan bahwa kehadiran tentara Amerika
di Vietnam telah berperan dalam keberhasilan TNI dalam menumpas pemberontakan
PKI tahun 1965. Sebagai orang yang dalam berbagai peristiwa di tanah air
ikut menanganinya, pemberitaan-pemberitaan pihak-pihak yang demikian itu
saya anggap sebagai lelucon. Tetapi, bagi mereka yang tidak pernah mengalami
cukup memberi pengaruh. Juga disayangkan dimasa Orde Baru kalangan intelektual
Indonesia banyak yang tertarik membaca sesuatu tentang Indonesia yang ditulis
oleh orang-orang asing yang mengutip sumber-sumber dari Indonesia yang
kurang akurat.
Saya merasa perlu
mengantarkan uraian tentang tragedi Nasional 1965 itu dengan mengedepankan
hal-hal diatas, karena telah bersimpang-siurnya penulisan mengenai peristiwa
itu, apalagi di luar negeri. Dan, pasti mereka akan mencap uraian saya
sekedar sebagai "versi TNI" yang mereka tuduh dari dulu berusaha
mengkup Presiden Soekarno atas perintah imperialis Amerika Serikat seperti
yang diumumkan Letkol Untung. Perincian mengenai kejadian itu dapat dibaca
dalam buku saya (Memoar jilid 6 hal : 207 –286).
Dan, saya berharap
kepada komponen bangsa mencintai kedamaian agar mewaspadai upaya balas
dendam dari mereka dan memutarbalikan sejarah yang telah dibuktikan oleh
pengadilan G-30-S/PKI. Saya berharap pula kepapa mereka yang dipersilahkan
pada peristiwa G-30-S/PKI untuk tidak melakukan balas dendam, karena akan
berbuntut kepada pembalasan lagi dan bangsa Indonesia akan tetap terpuruk
serta terpecah belah.
Kepada seluruh
komponen bangsa termasuk yang dipersalahkan pada peristiwa G-30-S/PKI untuk
saling memaafkan dan mengubur semua tragedi sedih bangsa, agar bangsa Indonesia
bisa tegar kembali menghadapi tantangan di masa depan.
.
|