ANALISIS
Pada Pemilu 1955 PKI menempati urutan keempat.
Dimasa Orde Baru mereka memilih jalur aman : mencoblos Golkar.
Pada Pemilu nanti, partai yang berhasil mengambil suara mereka bisa
memenangkan Pemilu 1999. Peluang siapa?
Dalam skripsinya yang ditulis 1969,
Arbi Sanit menyebutkan Partai Komunis Indonesia (PKI) mengklaim di tahun
1963 memiliki 2,5 juta anggota. Sedangkan ormas onderbouwnya memiliki 10
juta anggota - 8,5 juta di antaranya diklaim sebagai anggota Barisan Tani
Indonesia.
Klaim itu boleh jadi tak mengada-ada.
Pada Pemilu 1955 saja PKI telah meraih 6.176.914 suara atau 16,4 persen
- menduduki urutan keempat setelah PNI (22,3 persen), Masjumi (20,9 persen),
dan NU (18,4 persen). Sementara partai-partai lain hanya meraih suara di
bawah tiga persen.
Namun, sejarah kemudian berputar. Pada
1965 - 1966, pasca G30S/PKI, ratusan ribu orang yang diindikasikan memiliki
kaitan dengan organisasi yang dipimpin Dipo Nusantara Aidit itu dibunuh.
Buku-buku sejarah juga menyebutkan jutaan lagi ditahan. Dan kini, setelah
dibebaskan, kemanakah mereka, seberapa besar pula suara mereka.
Jika kemenangan PKI diandaikan terulang
dalam Pemilu 1999 ini, 16,4 persen di kemenangan PKI pada Pemilu 1955 itu
sama dengan 20.457.507 orang. Bila per kursi mewakili 400 ribu suara seperti
yang disepakati Komisi Pemilihan Umum, kemenangan itu berarti sama dengan
51 kursi DPR. Betapa besar suara mereka.
Hitung-hitungan itu akan lebih kecil
bila asumsi jumlah pemilih - seperti diperkirakan pengamat politik dari
LIPI Samsudin Haris - hanya 60 persen dari angka total pemilih pada Pemilu
1997 sebanyak 124.740.897 orang. Atau : 74.844.538 orang.
Angka kemenangan 16,4 persen itu berarti
12.274.504 orang atau 31 kursi. Ini pun kursi yang cukup besar.
Persoalannya, adakah kini para kader
dan pendukung PKI tersebut masih terajut dalam satu ikatan, minimal secara
emosional? Inilah pertanyaan yang sulit dijawab. Yang pasti organisasi
PKI sudah mati, setidaknya telah dilarang sejak rezim Orde Baru, dan tak
pernah muncul ke permukaan. Kendatipun selalu saja ABRI mengingatkan bahaya
laten komunis.
Dimasa Orde Baru, jika pemerintah atau
sebagaian pengamat dan politisi mengingatkan bahaya laten komunis, mereka
segera diteriaki sebagai membicarakan hantu di siang bolong, alias omong
kosong. Walau begitu, pers tetap saja gemar memuat pernyataan pemerintah
atau sebagian pengamat dan politisi tersebut.
Masyarakat sendiri seakan bersikap
mendua dalam menghadapi antara ada dan tiadanya gerakan PKI tersebut. Apalagi,
partai ini dikenal cukup berpengalaman jatuh bangun. Setelah pemberontakan
1926/1927, pemerintah kolonial Belanda memberangus mereka. Para pemimpinnya
seperti Muso, Alimin, Semaun, ataupun Darsono, lari keluar negeri. Sebanyak
13 ribu orang ditahan, 4.500 dipenjara, dan 1.380 lainnya dibuang ke Digul,
Irian Jaya.
Toh duapuluh tahun kemudian mereka
bisa bangkit lagi. Pada 21 Oktober 1945, PKI muncul secara terbuka. Hanya
butuh waktu tiga tahun untuk melakukan pemberontakan kedua 1948, yang berpusat
di Madiun. Muso berkeyakinan akan menang karena ada Lasykar bersenjata
Pesindo berjumlah 25 ribu.
Muso juga memperkirakan 40 ribu atau
35 persen dari 100 ribu tentara republik akan bersedia berperang di pihaknya.
Namun dalam waktu singkat pemerintah bisa menumpasnya. Kendati menewaskan
Amir Sjarifudin, toh murid-muridnya yang dikenal sebagai generasi 1935
muncul memimpin PKI. Mereka, antara lain, Aidit, Sudisman, dan Njoto. Mereka
terpilih pada 1954 -- setelah pemerintahan RIS membolehkan PKI berdiri
lagi pada 1950.
Sampai keruntuhannya pada 1966 orang
- orang PKI telah menduduki jabatan lurah di 1.320 desa -- atau 15 persen
dari 8.466 desa yang ada di Jateng. Tujuh tahun sebelumnya PKI telah membentuk
organ, di tingkat desa sebanyak 18.722, dan 1.430 di tingkat kecamatan
di seluruh Jawa. Aidit juga pernah mengatakan PKI mempunyai basis pokok
di daerah antara Gunung Merapi - Merbabu, yakni segitiga Solo - Boyolali
- Klaten.
Pada sisi lain, orang selalu ingat
pada doktrin sistem sel dalam pengembangan PKI. Menurut Ruth T Mc Vey,
pengamat asing yang mengkhususkan pada persoalan PKI, sistem sel itu diputuskan
beberapa waktu sebelum pemberontakan 1926/1927 : "Rapat para pemimpin
PKI di Batavia tanggal 22 Maret 1925 berkeputusan untuk melaksanakan sistem
grup (lebih kurang 10 orang) dan sistem sel (lebih kurang 5 orang), sesuai
dengan keputusan yang telah diambil pada bulan Desember 1924."
Menurut Arbi Sanit, dalam skripsinya
yang membahas soal PKI. "Dengan sistim sel PKI bebas bergerak dalam
partai-par tai atau organisasi-organisasi yang bukan beraliran komunis.
Dan nanti ternyata dalam menghadapi risiko kegagalan pemberontakan 1926
maupun 1948, sistem ini dapat membantu pengawetan ajaran-ajaran komunisme
di kalangan masyarakat, hingga dalam saat yang menguntungkan ia dapat bangkit
kembali."
Kini, setelah pemerintahan BJ Habibie
membebaskan tokoh-tokoh narapidana PKI, beberapa media massa kembali berteriak
"Awas PKI Bangkit." Memang, jumlah mereka relatif besar, apalagi
mereka berkelas kader bukan cuma pendukung atau simpatisan.
Pada 1982, misalnya, berdasarkan data
Departemen Dalam Negeri, ada 1.583.540 eks-tapol PKI yang masih hidup,
pada 1989 berkurang menjadi 1.480.786 orang, dan pada Desember 1998 berkurang
lagi menjadi 1.087.465 orang. Pengurangan ini terjadi karena sebagian meninggal,
walaupun selalu mendapat tambahan tapol PKI yang dibebaskan kemudian, seperti
pembebasan Latief dan Boengkoes. Dan mereka semua mempunyai hak pilih dalam
pemilu nanti.
Memang terlalu cepat bersikap jika
menyebut PKI bakal bangkit setelah dibebaskannya para tokoh PKI. Usia mereka
pun sudah terlalu tua untuk kembali membangun gerakan. Apalagi pada awal
pekan ini, dalam pembahasan RUU KUHP Pengganti dan pencabutan UU Subversi,
pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk tetap melarang ideologi komunis.
Itu tetap seiring dengan Tap MPRS No XXV Tahun 1966. Yang baru di RUU itu
hanyalah bolehnya kalangan kampus untuk mengkajinya secara akademis.
Karena itu, yang lebih realistis adalah
memperhitungkan suara yang dulu dikantongi PKI bakal beralih ke partai
apa. Lain di masa Orde Baru. Kala itu pemilih dipaksa mencoblos Golkar
-- apalagi pendukung PKI yang selalu dikejar-kejar, termasuk diberi cap
ET dalam KTP-nya, juga ada aturan bersih diri, bersih lingkungan, dan keterpengaruhan.
Mereka tentu menyalurkan aspirasi ke partai beringin tersebut. Namun diera
reformasi ini mereka akan bebas menyalurkannya.
Secara manusiawi wajar saja jika sekelompok
orang yang diburu akan selalu menjalin hubungan untuk saling melindungi.
Sehingga kalau di antara mereka tetap berhubungan, salah satu alasannya
adalah untuk alasan kemanusiaan.
Bukti masih adanya ikatan emosional
itu, menurut sebuah sumber, terjadi di Pemda Jawa Tengah. Seorang wanita,
yang ternyata kader PKI dan kemudian menduduki posisi penting, mengangkat
kedudukan orang orang di sekitarnya yang juga kader PKI.
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, dosen
UI yang kini memimpin Partai Bulan Bintang, berkali-kali menegaskan bahwa
peta politik saat ini masih sama dengan peta politik 1955, alis, Islam
modernis, dan Islam tradisionalis. Yang dikecualikannya hanya komunisme
karena kini dilarang.
Ia tak menjelaskan partai apa saja
yang masuk kategori itu. Dulu itu berarti PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Kini
bisa jadi, seperti yang banyak diulas pengamat, PDI ganti NU. Nah siapa
pengganti Masyumi? Orang belum yakin PBB, yang diidentikkan pengganti Masyumi,
bisa menduduki urutan kedua seperti Pemilu 1955 -- memang bisa mampu masuk
10 besar. Karena selain ke PBB, Islam modernis telah tersebar ke Golkar,
PAN, PUI, PPP, dan Masyumi. Nah karena perolehannya sangat besar, suara
eks PKI dan keturunannya bisa menentukan pemenang Pemilu 1999.
Maka, mengulas faktor suara eks PKI dan keturunannya kini menjadi
menarik.
Basis mereka tampaknya tetap di Jawa
Timur dan Jawa Tengah, yang masing-masing menempati urutan kedua setelah
NU dan PNI. Basis PKI lainnya di Lampung dan Sumatera Utara. Selain itu,
yang pasti, basis kultural PKI adalah kelompok abangan, sekular, revolusioner,
dan dari rakyat kecil. Mudah ditebak, partai apa saja yang memiliki semua
ciri ini.
Walau bagaimanapun Pemilu 1955 selalu
membangkitkan romantisme : ideologis maupun asal - usul keturunan dalam
berpartai. Masa 32 tahun Orde Baru belum berhasil menghancurkannya, walaupun
memunculkan Golkar dan PAN yang mencoba memecah cara berpolitik semacam
itu. Sedangkan yang lainnya, PDI Perjuangan, PKB, ataupun PBB masih terlalu
sering menjual romantismes itu. Dan itu sah.
.
|