Eksponen '66: PEMBUBARAN
PKI HARGA MATI
Gelombang protes pencabutan
Tap No XXV/MPRS/1966 kian tak terbendung. Kini, giliran Eksponen Angkatan
'66 menyoal gagasan Presiden Abdurrahman Wahid yang mengusulkan pencabutan
Tap MPRS No XXV/1966 tentang pelarangan Komunisme, Marxisme dan Leninisme.
''Pembubaran PKI sebagai
partai terlarang, dan larangan setiap kegiatan penyebaran komunisme, marxisme,
leninisme, bagi seluruh rakyat Indonesia adalah harga mati yang tidak boleh
diubah oleh siapa pun juga, termasuk MPR sekalipun,'' tulis pernyataan
Eksponen Angkatan '66 Surakarta.
Puluhan anggota Eksponen
Angkatan '66, menentang gagasan Kepala Negara yang berniat mencabut Tap
tersebut. Kesatuan yang turut membikin pernyataan berasal dari KAMMI, KAPPI,
dan KAGI. Mereka, sebagian dari saksi, bahkan pelaku sejarah dalam meghadapi
kekejaman kaum komunis. Atau dalam aksi pemberontakan G-30-S/PKI.
Menurut H A Walid SH, saksi
da pelaku sejarah, menyatakan peristiwa yang terjadi 22 Oktober 1965, komunis
melakukan pemberondongan dengan senjata api, penganiayaan, penyiksaan,
penyembelihan, dan pembunuhan terhadap rakyat anti-PKI. Banyak korban dari
kalangan mahasiswa, pemuda, pelajar gugur, luka oleh keganasan PKI.
Atas dasar fakta sejarah
tersebut, lanjutnya, Eksponen Angkatan '66 menolak pencabutan Tap tersebut.
''Kami bersama anggota eksponen, justru mendesak MPR untuk mengukuhkan
kembali Tap No XXV/MPRS/1966,'' katanya. Juga mendukung penegakan HAM tanpa
mengubah, apalagi mencabut ketetapan tersebut.
Segenap potensi Eksponen
'66, lanjut anggota dari kesatuan KAPPI Moedrick SM Sangidoe, siap melakukan
perlawanan terhadap setiap bentuk atau upaya kebangkitan kembali komunis
di Indonesia. Mereka juga mengimbau segenap komponen masyarakat untuk mewaspadai
dan mencegah bangkitnya komunis. Baik dalam bentuk partai atau organisasi
berpaham komunis.
Moedrick berharap MPR tak
goyah oleh gagasan Kepala Negara soal ide pencabutan tersebut. Sekalipun,
gagasan tersebut datang dari Presiden, MPR harus bersikap tegas. ''Pemaksaan
kehendak yang didukung kekuatan kekuasaan untuk menggolkan usul pencabutan
Tap adalah manifestasi arogansi posisi. Ini, tak sesuai dengan alam semangat
reformasi,'' katanya.
Menurut Moedrick, kedaulatan
tertinggi di negeri ini adalah di tangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya
oleh MPR.
Pemikiran atau usul pencabutan
Tap No XXV/MPRS/1966 dari manapun asalnya, meski datang dari Presiden sekalipun,
harus ditolak. Apalagi bila pemikiran atau usul tersebut dilatarbelakangi
tekanan pihak luar. Baik dari negara liberalis, seperti Amerika Serikat
(AS), maupun negara komunis RR Cina, Rusia, musti ditentang.
Soal implikasi Tap di bidang
penegakan HAM bagi keturunan PKI, atau mereka yang ternyata tidak terlibat
terhadap pengkhianatan bangsa dan negara, bisa diperbaiki apabila terdapat
kekeliruan. Ataupun dilakukan rehabilitasi atau pemberian grasi, abolisi
maupun amesti. (Sumber: Republika, Jumat, 14 April 2000)
.
|