Ada
isyarat dari Muladi, Menteri Kehakiman. Partai Komunis
Jepang sudah menyusup
ke Indonesia. Mereka berhubungan
Dengan salah satu organisasi
di sini. Harap waspada.
Ini tugas BIA untuk
melacak.
Muladi
mungkin teledor ketika melepas 10 napol PKI dari penjara Cipinang Maret
lalu. Dia lakukan ini karena alasan kemanusiaan dan usia mereka yang sudah
diatas 70 tahun.
Seperti sambaran
petir disiang bolong, Abdul Latief dan sembilan napol lainnya menampar
pemerintah yang baru saja memberinya grasi. Mereka memberikan serangkaian
keterangan dan wawancara pers, seolah-olah mereka tidak bersalah dan ingin
meluruskan sejarah.
Laporan-laporan
pers yang berpihak kepada mereka telah mengundang reaksi keras dari mantan
Menko/ Kasad Jenderal A. H. Nasution dan Presiden B.J. Habibie sendiri.
Gambaran yang mereka
kisahkan lewat pers telah menyudutkan TNI-AD, pemerintah Orde Baru dan
mengecilkan peranan PKI dalam gerakan pembantaian 7 Jenderal 1 Oktober
1965.
G-30-S/PKI yang
dipimpin Latief dan Untung digambarkan sebagai usaha untuk menyelamatkan
Presiden Soekarno dari ancaman kudeta Dewan Jenderal.
Adakah Muladi menyesal
karena membebaskan mereka ? Mantan anggota Komnas HAM itu tidak ingin mengoreksi
keputusannya. Namun menyadari bahaya komunisme tetap mengancam bangsa Indonesia.
" Para napol
PKI dilepas karena pertimbangan kemanusiaan. Lain tidak, " Muladi
menjawab Garda diruang kerjanya. Mereka rata-rata sudah mendekam lebih
dari 30 tahun dipenjara, setelah melalui suatu proses peradilan yang terbuka.
Pelepasan Latief
dkk bukan berarti Pemerintah mengampuni kesalahan dan dosa para gembong
PKI itu. " Tidak ada alasan sama sekali untuk mengampuni mereka, seolah-olah
mereka tidak bersalah, " kata Muladi.
DPR telah meratifikasi
RUU yang diajukan pemerintah tentang perubahan KUHP yang berkaitan dengan
kejahatan terhadap keamanan Negara. Pemerintah mencabut UU No. 11/1963
tentang Subversi.
Sebagai gantinya,
didalam UU yang baru dimasukkan pasal-pasal tentang anti komunisme,Marxisme
dan Leninisme.
Undang-undang tersebut
( Pasal 107d ) menekankan, barang siapa yang secara melawan hukum dimuka
umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan
atau mengembangkan Komunisme, Marxisme, Leninisme dengan maksud mengubah
atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan penjara
paling lama 20 tahun.
Protes datang bertubi-tubi
dari berbagai pihak ketika Muladi mengajukan RUU itu ke DPR. Namun dia
tidak bergeming sedikitpun. Baginya keselamatan negara dan bangsa sebagai
prioritas utama.
Dua ketetapan MPR
memperkuat larangan terhadap ajaran-ajaran tersebut, yaitu Tap MPRS No.
XXV/1966 dan Tap No. V/1973. " Itu langkah kita. Kita trauma terhadap
peristiwa pemberontakan tahun 1948 dan PKI tahun 1965, " kata Muladi.
Ketika PKI melakukan
pemberontakan tahun 1965, Muladi masih duduk di tingkat III Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang. Dia juga salah seorang komandan Resimen
Mahasiswa Undip. Dia bangga dan senang memakai seragam hijau dengan baret
di kepala. Layaknya seorang prajurit ABRI. Dia mengagumi sepak terjang
Pangkostrad Mayjen Soeharto yang memimpin operasi penumpasan sisa-sisa
G-30-S/PKI.
Orang-orang seperti
Latief, menurut Muladi, harus terus diwaspadai. Pelaku sejarah macam Latief,
akan mempunyai kecenderungan meninjau sejarah dari segi subyektivitas.
Dia sanggup memutar balik sejarah dan ini akan terus dilakukannya pada
sisa usianya.
" Saya sudah
tegaskan kalau sampai dia menyebar luaskan komunisme lagi kita tidak ragu-ragu
untuk memprosesnya dengan KUHP yang baru. Itu bukan kesalahan kita, "
tegas Muladi. Menteri Muladi sudah mengancam akan mengirim mereka kembali
ke Cipinang kalau berbicara macam-macam kepada pers.
Muladi menghargai
Pak Nas yang mau memberikan tanggapan terhadap pernyataan Latief, sementara
jenderal-jenderal senior lainnya memilih bungkam.
Meski aktifis PKI
kini berusia lanjut, bahkan mungkin sudah banyak yang meninggal dunia,
anak- cucu mereka tidak tinggal diam. Mereka bisa muncul dalam gerakan
politik lain dan melakukan balas dendam terhadap perlakuan yang ditimpakan
kepada orang tua mereka. Tapi kemana anak-cucu eks PKI massa wanita dibawah
naungan PKI, kini sudah bergerak secara terang-terangan. Dia mendatangi
Komnas HAM dan DPR, mencoba menarik simpati lembaga-lembaga itu dalam upaya
mereka menuntut pemerintah orde baru. Mereka merencanakan untuk melakukan
itu masuk, Muladi enggan untuk menyebutkannya. " Silahkan analisa
sendiri, " katanya pendek.
Meski ideologi komunis
telah gagal, tapi ada tokoh-tokohnya yang bernostalgia ingin mengembalikan
seperti dulu lagi. Presiden B.J. Habibie sudah memberi peringatan. Pemikiran
untuk menghidupkan kembali komunisme merupakan gagasan yang sangat berbahaya.
Sulasmi, bekas sekjen
Gerwani, organisasi longmaren ke Lubang Buaya. Ditempat inilah mereka membantai
para jenderal yang diculik hidup-hidup, dan mayatnya dibuang disebuah sumur
tua.
Menteri Kehakiman
Muladi tidak ingin cepat-cepat indikator secara nyata kembalinya PKI. Tapi
dia mengingatkan, ada istilah-istilah yang dulu digunakan PKI, kini muncul
lagi. Misalnya Komite Rakyat, Dewan Rakyat, Sosialisme Moral.
Singkat kata gerakan-gerakan
kebangkitan PKI itu memanipulasi rakyat yang sedang menderita. Komunis
biasa hidup mulai daerah-daerah yang dilanda kemiskinan. Mereka melakukan
gerakan populis. Misalnya bagaimana memanipulasi rakyat yang menderita.
Kemudian memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas. Menurut istilah mereka
untuk melawan kelompok kapitalis dan kekuasaan. Karena mereka anti agama,
atheis. Muladi memperkirakan yang meledakkan kantor-kantor Istiqlal menggunakan
cara-cara PKI.
Rakyat dipertentangkan
dengan penguasa. " Ini nyata sekali dan mereka selalu mengambil momentum
tertentu untuk menimbulkan kerusuhan. Itu cara-cara PKI lama, " kata
Muladi.
Muladi juga menjawab
pertanyaan seputar kemungkinan dilepasnya Budiman Sudjatmiko, ketua umum
PRD. Yang jelas katanya setelah pemilu nanti baru dipertimbangkan perlu
tidaknya melepas Budiman. Saat ini masih ada beberapa instansi yang menolak
untuk melepasnya. Muladi enggan menyebutkan. Desakan dari dalam dan luar
negeri ada. Menlu Albright ketika berada di Indonesia juga menyinggung
kemungkinan dilepasnya Budiman.
Dalam kasus Budiman
ini, Muladi tidak berdiri sendiri. Karena untuk melepas tapol-napol itu
harus melalui kelompok kerja nasional ( Pokjanas ). Kalau satu tidak setuju
tidak bisa. Pokjanas itu terdiri dari Menkeh, Jagung, Polri, Bakin, BIA,
Mabes TNI dan MA.
" Ada pertimbangan-pertimbangan
khusus dimana ada instansi yang tak setuju. Terutama menjelang pemilu mereka
harus membuktikan bahwa mereka ( PRD, ret ) tidak masuk dalam kelompok-kelompok
radikal, yang anti Pancasila, " kata Muladi.
.