<< Back >>
SIAPA TAKUT KOMUNIS

ANALISIS

        Di Yogyakarta tahun enam puluhan, ada sebuah bangunan kecil di pinggir jalan lingkar Alun-alun utara. Dari luar bangunan itu tampaknya sangat sederhana, luasnya pun kira-kira tidak lebih sepuluh kali sepuluh meter. Gedung itu menjadi markas sempalan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia. Jika kami berjalan di depan gedung tersebut, tidak terlihat ada kegiatan berarti, bahkan hanya ada satu dua orang yang tampak. Walaupun demikian, gedung itu terasa angker dan seperti menyimpan sesuatu misteri. Terasa ada sesuatu kekuatan di sana yang harus menjadi seteru, orang-orang yang ada diseberang sana yang berlawanan arah.>

      Di kawasan Gampingan, juga ada sebuah sanggar pelukis anak-anak muda yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), letaknya diseberang gedung Akademi Seni Lukis Indonesia (ASRI). Jika tidak salah dihalaman sanggar tersebut, dipajang patung kertas berkepala manusia, wajahnya berwarna merah seperti orang yang marah. Patung itu mungkin bekas dipakai pawai. Anggota sanggar kadang-kadang terlihat bercengkerama di depan sanggar tersebut. Tidak banyak orang yang memperhatikannya, kelompok seniman yang ada di situ dianggap hidup pada suatu dunia lain yang berbeda. Lagi pula apa pedulinya, mereka telah sibuk pada dunia mereka sendiri, dan barangkali merasa tidak perlu bersentuhan dengan orang lain. Seperti sajak sastrawan Lekra yang penuh percaya diri, semangat pemberontakan, semangat membela rakyat, apalagi jika menyerang "kapitalisme birokrat","setan-setan desa", dan"kaum borjuasi".

        Suasana saat itu, suasana takut pada komunis. Di Pagelaran dan Siti Hinggil bagian depan Istana Sultan Yogyakarta yang jadi "kampus"Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Gajah Mada. Para mahasiswa Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang bernaung di bawah PKI, sehari-hari berpenampilan sederhana, celana panjang hitam, bersepatu murahan, tetapi sangat militan. Mereka memiliki semangat pantang menyerah, karena mereka sudah lamaakrab dengan penderitaan, secara pribadi maupun komunal. Merekapun bergaul hanya di kalangan sendiri, kawan-kawan mereka sesama "mahasiswa revolusioner". Jika berpapasan, rasanya lebih baik menghindar. Mereka merupakan sebuah kekuatan yang mustahil dilawan apalagi dikalahkan ketika itu. Mahasiswa yang tidak tergolong dalam kelompok mereka, hanya menjadi penonton di luar pagar acara bergengsi yang diselenggarakan Dewan Mahasiswa.

        Waktu itu, semangat melawan komunis mati angin. Golongan "Manikebu" baru saja diganyang. Pengarang Hamka di fitnah sebagai plagiat karena bukunya,"Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk". CGMI minta penyair Taufiq Ismail dipecat sebagai dosen IPB. Buruh dan petani minta dipersenjatai. Gerakan aksi sepihak dimenangkan PKI.

.