<< Back >>

TAP XXV/MPRS/1966
Oleh: Dr Sulastomo MPH, Ketua Umum PB HMI 1963-1966.


Presiden Abdurrahman Wahid dalam beberapa hari terakhir, dengan gigih, telah melempar gagasan untuk mencabut Ketetapan (Tap) XXV/ MPRS. Alasannya, karena Tap ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan, terakhir Gus Dur mengatakan bahwa Tap XXV/ MPRS itu juga tidak sesuai dengan Pancasila. Tap MPRS itu juga telah merugikan banyak anak-anak, yang tidak dapat sekolah, memperoleh pekerjaan , dan bahkan kehilangan hak-hak politiknya, karena kartu penduduknya pun ditandai.

Reaksi masyarakat cukup keras, termasuk dari kalangan umat Islam dan sebagian kalangan NU. Pada umumnya, reaksi keras itu menggunakan berbagai alasan. Komunisme, pada dasarnya, anti-Tuhan (ateis), mempunyai metodologi perjuangan "tujuan menghalalkan cara", dan teori pertentangan kelas, tidak demokratis, yang semua itu tidak sesuai dengan Pancasila. Selain itu, secara historis, PKI telah melakukan perebutan kekuasaan, disertai tindakan berupa kekejaman di luar batas kemanusiaan. 

Cukupkah alasan bagi kita untuk melarang ideologi komunisme? 
Mengapa MPRS sampai pada kesimpulan seperti itu? Barangkali ada baiknya kita sedikit membuka catatan di sekitar tahun-tahun itu, untuk dapat meletakkan permasalahan ini pada proporsi yang sebenarnya.

Prolog dan Epilog G30S/PKI
Situasi politik sebelum G30S/PKI, sebagaimana kita ketahui sangat panas. Panasnya situasi politik di waktu itu, tidak saja dimanifestasikan dengan berbagai isu politik yang saling berlawanan, tetapi juga ditandai dengan pertentangan ideologi di antara sesama bangsa. Sebagian (besar) isu itu memang bersumber dari PKI. Sebab, PKI memang mampu mengambil inisiatif dan menguasai isu politik nasional. Tujuannya? Sudah tentu untuk memenangkan tujuan politiknya. Suatu hal yang sebenarnya wajar-wajar saja.

Ambillah contoh inisiatif PKI untuk membubarkan HMI. Semula, di mulai dari daerah yang jauh dari Jakarta, yaitu di Jember. Tentu, kita tidak menduga bahwa itu adalah "garis" PKI. Di sana, ada seorang profesor yang bernama Utrecht yang menganggap HMI "kontrarevolusi" dan melarang HMI. 

Isu pembubaran HMI ini ternyata kemudian menjadi isu nasional, yang melibatkan Bung Karno, umat Islam, dan bahkan TNI/ ABRI. Hampir setiap hari ada demonstrasi dan media massa pun dipenuhi dengan berita-berita tuntutan pembubaran HMI. Bung Karno, yang mengeluarkan Instruksi Presiden No 8/1964 tentang pembinaan terhadap HMI dan TNI/ABRI, sebagaimana kita ketahui sering menunjukkan sikap "membela" HMI. Demikian juga seluruh organisasi/parpol Islam. Mereka terpanggil untuk membuat pernyataan bersama membela HMI. Dapatkah Anda bayangkan panasnya situasi politik di waktu itu?

Puncak dari isu pembubaran HMI itu, terjadi pada tanggal 29 September 1965, dua hari sebelum G30S/PKI. Di Istora Senayan, diiringi yel-yel yang garang dari ribuan anggota CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) DN Aidit sendiri hanyut di dalam tuntutan untuk membubarkan HMI. Akan tetapi, Bung Karno waktu itu bergeming. Bung Karno dengan tegar menolak tuntutan DN Aidit dan CGMI itu secara langsung, di kandang CGMI/PKI.

Di bidang ideologi, perdebatan politik berada di sekitar isu Nasakom (Nasionalisme- Agama-Komunisme). Analog dengan sikap ini (barangkali), Gus Dur mengatakan, komunisme tidak dilarang oleh Pancasila. Sebab, Bung Karno sendiri justru mengakomodasi komunisme di dalam kerangka negara Pancasila melalui konsep Nasakom.

Menghadapi konsep Nasakom, kekuatan bangsa memang terbelah. Antara yang pro dan yang kontra. Padahal, dengan konsep Nasakom itu, Bung Karno hendak mempersatukan potensi bangsa ini. Kalangan yang kontra membelokkan konsep itu sebagai Nasasos (Nasionalisme- Agama-Sosialisme). 

Bung Karno toh, diam saja, membiar-kan perbedaan itu berjalan. Secara pribadi, penulis yakin, Bung Karno pun sesungguh-nya cenderung ke konsep Nasasos. Namun, sebagai pemimpin bangsa, tentunya Bung Karno harus melihat realitas politik, bahwa PKI memang bukan kekuatan yang dapat diabaikan. Hal ini juga terbukti, sampai detik-detik terakhir pemerintahan Bung Karno, PKI tidak dapat masuk dalam posisi yang strategis di pemerintahan/kabinet, meskipun di luar itu konsep Nasakom telah berjalan. 

Puncaknya, sebagaimana kita ketahui, adalah peristiwa G30S/PKI itu sendiri. Peristiwa itu, sebagaimana kita ketahui, dimulai dengan penculikan dan kemudian 
pembunuhan terhadap pimpinan teras TNI/Angkatan Darat, yang kemudian oleh Bung Karno dianugerahi predikat "Pahlawan Revolusi". Penculikan ini diikuti di berbagai daerah, misalnya Kol Katamso di Yogyakarta. Selain itu, di daerah juga beredar daftar tokoh-tokoh yang juga harus "dihabisi". Maka lahirlah "hukum", daripada dihabisi, lebih baik menghabisi. Terjadilah saling bunuh, dan karena PKI "kalah", ribuan warga PKI, tua-muda, habis menjadi korban. Sebuah ekses atau efek samping sebuah peristiwa yang perlu disesalkan, meskipun sulit terelakkan. 
Dengan gambaran seperti itu, mungkin dapat dipahami, suasana batin bangsa ini sangat tidak senang dengan PKI dan ideologinya. Apakah bangsa Indonesia masih akan menenggang peristiwa seperti itu, setelah PKI melancarkan kudeta sebanyak dua kali (1948 dan 1965)? 

Kap Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan) G30S/PKI atau Front Pancasila, yang lahir beberapa hari setelah peristiwa G30S/PKI, yang didukung berbagai kesatuan aksi (mahasiswa, sarjana, tani, dan lain-lain) menuntut pembubaran PKI. Front Pancasila, sebagaimana kita ketahui, dipimpin oleh seorang Ketua PB NU, yaitu H Subchan ZE. Demikian juga Tritura, Januari 1966, yang salah satu tuntutannya adalah pembubaran PKI. Toh, Bung Karno, tetap tidak mau membubarkan PKI. Sebuah sikap yang mungkin sama dengan yang dianut Gus Dur sekarang. Namun, sikap inilah yang mendorong kejatuhan Bung Karno secara bertahap, melalui sidang umum MPRS tahun 1966 dan kemudian sidang istimewa MPRS tahun 1967, karena pertanggungjawaban Bung Karno tidak diterima oleh MPRS. 

Jalan Keluar
Sekarang, bagaimana mencari jalan keluar dari polemik di sekitar Tap XXV/ MPRS itu? Apa untung ruginya kalau Tap itu dicabut? Ada kesan, ada cara pandang yang berbeda antara Gus Dur dan yang lainnya.

Memahami jalan pikiran Gus Dur, tampaknya dia melandasi sikapnya dari nilai-nilai yang mendasar, demokrasi, HAM, dan bahkan Pancasila dan Islam, yang sifatnya abadi dan universal. Dari nilai dasar seperti itu, Gus Dur menilai belum atau tidak relevan untuk melarang ideologi komunis. Demokrasi dan HAM tidak mengenal perbedaan agama, etnis, status sosial, dan bahkan ideologi seseorang. Demikian juga Islam. 

Apa landasan berpikir yang menentang Gus Dur? Ideologi komunis memang atheis (anti-Tuhan), antidemokrasi, tujuan meng-halalkan cara, perjuangan kelas, dan lain sebagainya. Di Indonesia, PKI telah melakukan kudeta dua kali. Bahkan, kalau dihitung dengan tahun 1926, sudah tiga kali. Gerakannya sama, selalu disertai kekerasan dan gerakan massa. 

Sudah berubahkah komunisme sekarang? Banyak di antara kita yang mungkin sangat percaya bahwa komunisme internasional telah berubah. Barangkali yang lebih tepat adalah komunisme sekarang  (baca beberapa negara komunis, termasuk Uni Soviet) dipaksa berubah oleh perkembangan zaman, khususnya oleh teknologi informasi. Kalau komunisme masih dapat bertahan, ia (ternyata) tidak perlu merasa harus berubah. Hal ini terlihat dari beberapa sisa negara komunis, antara lain Kuba dan dalam beberapa hal termasuk RRC. Partai komunis masih merupakan satu-satunya partai dan berkuasa di sana, meskipun di bidang ekonomi telah terjadi banyak perubahan.

Sekarang, ada pertanyaan, seandainya MPRS tidak mengeluarkan Tap XXV, apakah mungkin PKI bangkit kembali? Tentunya sangat sulit dijawab, tetapi hal itu bukan suatu kemustahilan. Mengapa? Kekuatan komunisme internasional baru susut di akhir dasawarsa 1980-an, diawali dengan Perestroika-nya Mikhail Gorbachev, yang berarti pendemokrasian dan keterbukaan. Antara tahun 1966 sampai akhir dasawarsa 1980-an ada tenggang waktu lebih dari 20 tahun. 

Sedangkan tenggang waktu 1948 dan 1965 hanya 17 tahun. Dapat disimpulkan, kemungkinan PKI melancarkan kudeta ketiga masih terbuka, karena kondisi sosial/ekonomi kita yang masih sangat kondusif bagi komunisme. Selain itu, kekuatan komunis internasional masih utuh, sehingga dukungan terhadap PKI masih besar. Relakah kita mengorbankan bangsa ini untuk ketiga kalinya menjadi korban kudeta PKI?

Kalau berhasil, keberadaan kita sebagai bangsa mungkin berubah, di samping akan lahir pemerintahan yang tidak demokratis dan bahkan otoriter. Dari cara pandang seperti itu, Tap MPR XXV dapat dianggap sangat relevan. Setidaknya di waktu itu. Selain itu, seandainya MPRS tidak mengambil keputusan seperti itu, kekacauan (barangkali) justru semakin tidak terkendali. Gelombang anti-PKI sudah ibarat air bah. Dan sikap seperti itu pun, dibenarkan oleh agama (Islam), karena Islam mengajarkan lebih baik mencegah hal-hal yang lebih mudarat. 

Selama 20 tahun setelah kemerdekaan (1945), kita telah menerima keberadaan PKI dan ideologi komunis. Akan tetapi, kalau PKI dan ideologi komunis itu selalu berusaha meniadakan kita, apakah kita diam saja? Lantas, bagaimana mengakhiri polemik seperti itu? Sebenarnya, sudah ada kesamaan antara Gus Dur dan penentangnya. 

Kesamaan itu adalah agar hak-hak asasi keluarga, anak-anak, dan cucu eks anggota PKI dapat diperoleh kembali. Mengapa kita tidak memfokuskan diri kepada hal-hal yang sudah sama (terlebih dulu)? Biarlah yang masih berbeda (nantinya) akan disamakan juga oleh perkembangan waktu. Atau, kita memang tidak mau saling mengalah? Kalau begitu, serahkan saja kepada sidang MPR yang akan datang. Ini berarti, agenda sidang MPR yang akan datang akan semakin 
banyak dan kompleks. 
Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi petunjuk kepada bangsa ini. Amin.

.