<< Back >>

TAP NO XXV/ MPRS/1966

Sampai hari ini skenario Gerakan 30 September (1965) masih belum jelas. Barangkali tak akan pernah jelas. Setahun setelah kejadian berdarah yang merupakan salah satu momen tergelap dalam sejarah Indonesia modern itu, dua ilmuwan Universitas Cornell, Benedict R Anderson dan Ruth Mc Vey, bersama-sama menulis kertas kerja A Preliminary Analysis of the October 1, 1965: Coup in Indonesia yang dikenal luas sebagai Cornell Paper. Kedua ilmuwan berkesimpulan, G30S merupakan puncak konflik internal di tubuh Angkatan Darat. 

Dalam waktu dekat di bulan April ini, Institut Studi Arus Informasi (ISAI) akan menerbitkan pledoi Kolonel Infanteri A Latief, komandan Brigif I Jaya Sakti Kodam V Jaya waktu itu, yang menyebutkan keterlibatan Soeharto dalam gerakan itu dalam sebuah buku berjudul Soeharto Terlibat G30S.

Namun, Pemerintah Orde Baru merasa pidato Mayor Jenderal Soeharto pada tanggal 4 Oktober 1965, setelah menyaksikan pembongkaran enam jenazah jenderal dan satu jenazah perwira pertama, merupakan titik awal kejelasan Gerakan 30 September sebagai terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Rangkaian sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili mereka yang terlibat dalam kudeta tersebut telah mengungkapkan lebih dalam lagi keterlibatan PKI. Partai ini terbukti merupakan dalang dan pelaku dari aksi subversi sejak tahun 1954, yang berpuncak pada kudeta berdarah pada awal bulan Oktober 1965 tersebut," demikian petikan buku putih Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang dikeluarkan Sekretariat Negara Republik Indonesia pada tahun 1994.

Pengungkapan peranan PKI dalam sidang mahkamah tersebut, menurut buku putih itu, berujung dengan penetapan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 pada tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi PKI, dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

"Untuk mencegah, menangkal, serta menanggulangi ancaman mendasar itu, harus ada suatu kebijakan kenegaraan yang mendasar pula. Demikianlah, dengan Ketetapan Nomor XXV/MPRS/1966, MPRS sebagai lembaga tertinggi negara telah memutuskan melarang untuk selama-lamanya ideologi Marxisme-Leninisme/ Komunisme dan Partai Komunis Indonesia," tulis Menteri Sekretaris Negara (waktu itu) Moerdiono dalam buku putih tersebut.

Pasal 1
Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi PKI, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 Nomor 1/3/1966, dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut di atas menjadi Ketetapan MPRS.
Pasal 2
Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut, dilarang.

Pasal 3

Khususnya mengenai kegiatan mem-pelajari secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan bahwa pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengaman. (Sumber: Kompas, Jumat, 14 April 2000)

.