Kesalahan
Pemahaman Tentang Wushu, di Indonesia
Penulis: James Waskita S.
Wushu
tradisional sudah dikembangkan di Indonesia sejak jaman Belanda
oleh para pelatih wushu berkebangsaan Indonesia yang terkenal seperti
Lo Ban Teng, Lauw Djing Tie, Chi Siao Fo
dan Ho Goan Ka. Liem
Joe Kiong, seorang cendekiawan Indonesia yang menjadi dosen
Sekolah Tinggi Olah Raga Bandung*,
pada tahun 50-60-an mencoba menyusun sistematika kung fu/ kun thao/
wushu tradisional agar bisa menjadi olahraga publik, dan bisa dipelajari
siapa saja. Padahal saat itu Cina, sebagai negeri asal wushu, belum
mempublikasikan wushu sebagai olahraga berstandar internasional
(RRC baru memasyarakatkan olahraga ini ke dunia internasional sekitar
tahun 1970-an). Hal ini merupakan prestasi yang patut dibanggakan.
Setelah era tersebut, perkembangan wushu tradisional di Indonesia
tidak banyak terdengar. Wushu tradisional kemudian menyebar melalui
perguruan-perguruan, les-les privat dan buku-buku. Akibat penyebaran
yang tak terstruktur itu, dimulailah era di mana wushu tradisional
dikaitkan dengan hal-hal yang yang tak ada hubungannya, sehingga
timbul banyak persepsi yang salah. Kesalahan-kesalahan pemahaman
tersebut antara lain:
-
Karena adanya latihan yang diadakan oleh lembaga-lembaga keagamaan
tertentu, maka ada yang menganggap wushu sebagai ritual agama
tertentu, padahal sesungguhnya wushu adalah murni olahraga beladiri
yang boleh dipelajari umat agama apapun;
-
Adanya anggapan yang tidak obyektif dengan menganggap wushu
adalah teknik-teknik yang menggunakan doa-doa dan mantra-mantra
tertentu, padahal hal itu tidak benar sama sekali;
-
Ada yang menganggap bahwa wushu adalah okultisme/kuasa gelap
karena mengandung hal-hal yang melanggar perintah agama tertentu,
padahal wushu adalah murni olahraga;
-
Ada yang mempolitisir dengan menganggap wushu sebagai pengaruh
budaya asing yang merugikan, padahalnya semua seni beladiri
selalu dipengaruhi oleh ciri-ciri negara asalnya, terutama dalam
model pakaian dan istilah-istilah (semisal karate dari Jepang,
dan taekwondo dari Korea, yang keduanya berkembang di Indonesia).
Bahkan sesungguhnya beberapa istilah wushu justru telah di-Indonesia-kan
karena sesungguhnya olahraga ini sudah dikenal sejak era penjajahan
Belanda, sementara olahraga lain tidak. Misalnya, atlet karate
disebut karateka (bahasa jepang), atlet kempo disebut
kenshi (bahasa jepang) sedangkan atlet wushu disebut
wushuwan-wushuwati (bahasa indonesia), meskipun istilah di negara
lain adalah wushuyuan.
Salah
satu hal yang menarik untuk diketahui ialah kaitan wushu dengan
nama-nama yang cukup dikenal yaitu Shaolin
pay, Butong pay, Kunlun pay dan sebagainya. Nama-nama tersebut
memang dikenal di negeri Cina sebagai perguruan kungfu yang hebat
di masa lalu. Nama-nama tersebut lebih mendunia lagi dikarenakan
cerita-cerita silat dan film-film silat yang sebagian besar merupakan
fiksi berlatarbelakang sejarah. Nama-nama tersebut memang lembaga
keagamaan, yang mengajarkan wushu sebagai alat kesehatan dan beladiri
bagi kelompok mereka, tetapi wushu tetaplah teknik beladiri yang
kebetulan banyak dipengaruhi ciri-ciri kelompok mereka. Teknik tersebut
bisa pula dipelajari orang-orang di luar kelompok mereka. Fakta
sejarah menunjukkan bahwa wushu Shaolin juga dipelajari rakyat sipil.
Bahkan perguruan wushu Shaolin yang dulu dikenal sebagai Shaolin
pay, kini telah menjadi institut wushu dengan nama Shaolin Wushu
Institut di Henan (Shaolin sendiri sebenarnya adalah nama kuil)
yang isinya adalah para akademisi dari dalam maupun luar Cina. Wushu
gaya shaolin sekarang banyak menjiwai materi wushu internasional
seperti chang quan, nan quan, dan sebagainya. Sedangkan wushu gaya
Butong dikembangkan masyarakat menjadi salah satu nomor wushu terpopuler
di dunia dengan nama taijiquan (tai chi). Jadi wushu sebenarnya
adalah ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan cukup lama, dan
bukan ritual dari agama-agama tertentu seperti Budha dan Tao. Fakta
sejarah yang memperkuat lainnya adalah gerakan Ming, yang terdiri
dari para ahli wushu, tapi mereka bukan lembaga agama melainkan
kumpulan cendikiawan dan ahli iptek. Fakta lain adalah kemunculan
gerakan Taiping di akhir Dinasti Qing (Manchu) yang dipimpin Hung
Xiu Quan. Kelompok pesilat Taiping ini adalah gerakan kaum pesilat
Nasrani/Kristen, dengan peraturan dasar kelompok tersebut adalah
Injil. Jadi jelas bahwa mempolemikkan wushu
dengan cara mengidentikannya dengan agama tertentu atau okultisme
dan bertentangan dengan ajaran agama-agama tertentu, merupakan pemikiran
yang sangat tidak tepat dan tidak bijaksana. Fakta-fakta
ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia generasi setelah
tahun 60-an, bahkan banyak yang lebih percaya cerita film dan dongeng
mulut ke mulut, daripada membaca sumber sejarah yang ilmiah yang
telah ditulis dalam berbagai bahasa dan beredar di dunia internasional.
Keadaan ini kemudian yang menyebabkan timbulnya salah pemahaman
sebagaimana dirinci di atas. Bahkan sampai saat ini, harus diakui
masih ada yang mengikuti pemikiran-pemikiran yang kurang tepat tersebut,
termasuk mereka yang terlibat dalam pengembangan olahraga wushu
di Indonesia saat ini.
*)
Kemudian menjadi bagian IKIP Bandung, dan sekarang disebut Universitas
Negeri Bandung
[Back
to Article Table of Content]
|