Profesi-Profesi Termahal Masa Depan: Makin Mahal dengan Sertifikasi Standar Global
    1 Tanggapan   

Jum'at, 22 Oktober 2004 10:48 WIB - warta ekonomi.com

Kebutuhan dan apresiasi terhadap pelaku profesi bersertifikasi standar global, seperti CFA, ChFC, FRM, CPIM, CPM, CISA, dan sebagainya, makin tinggi. Sertifikasi profesi terbukti menunjang karier dan peningkatan penghasilan para penyandangnya.

 

Tri Djoko Santoso kini menyimpan dua kartu nama dalam sakunya. Kartu  nama pertama menunjukkan identitas dirinya  sebagai  wakil presdir PT Panin Life Tbk., tanpa ada tambahan embel-embel  lagi. Adapun kartu kedua mencantumkan gelar (professional  designation) Chartered  Financial Consultant (ChFC) di belakang namanya.  "Itu saya  perlukan  kalau sedang dinas ke luar  negeri  atau  bertemu dengan  kolega  saya yang kebetulan orang  asing  di  Indonesia," ujarnya.

Tri berharap kartu nama kedua bisa lebih mempertebal keyakinan mitra  asingnya  bahwa dia dengan orang yang kompeten  di  bidang asuransi  dan layak dihargai karena menyandang gelar  sertifikasi berstandar  global, yaitu ChFC. "Kadang kartu nama itu juga  saya tunjukkan ke klien atau nasabah," ungkap Tri. Meski tanpa  sertifikasi ChFC, perkembangan karier dan gaji Tri cukup baik,  karena zaman makin terbuka, pengakuan yang bersifat internasional seperti gelar ChFC amat diperlukannya.

Sertifikasi  ChFC  milik Tri diperolehnya  dari  The  American College.  Selain  pengakuan internasional, apa  lagi  manfaatnya? "Banyak sekali," paparnya. Oleh karena program sertifikasi  lebih bersifat  aplikatif, banyak sekali pengetahuan baru yang  tak  ia peroleh  di  bangku kuliah. Selain itu, apresiasi  industri  jasa keuangan  terhadap mereka yang bersertifikasi global  juga  makin tinggi.  "Mereka  makin dihargai  karena  keahliannya  berkaliber internasional dan ini akan terus bergulir," tandasnya.

Sertifikasi Profesi Jadi Tuntutan
Menurut  Hari Sudarmadji, managing partner Optima  Consulting, perusahaan konsultan SDM, kini sertifikasi profesi memang menjadi tuntutan  untuk  melakukan pekerjaan di  berbagai  bidang  usaha, seperti menjadi manajer investasi atau wakil perantara  perdagangan efek. "Saya sangat setuju dengan adanya sertifikasi  profesi, sebab ini penting untuk kejelasan," ujarnya.

Hari mencermati, sekarang makin banyak profesi baru yang belum disentuh  banyak  orang dan membutuhkan upaya  sertifikasi,  baik yang  bersifat  global  maupun  nasional.  Misalnya,  sertifikasi profesi di bidang manajemen risiko, corporate secretary,  konsultasi manajemen, komite audit perusahaan publik, audit ISO,  audit TI,  dan audit lingkungan. "Mereka yang benar-benar  kompeten  di bidang  itu  sekarang banyak dicari," paparnya. Di  bidang  hukum juga  berkembang  sertifikasi profesi mediator  profesional  yang memberikan jasa mediasi untuk penyelesaian sengketa komersial  di luar pengadilan.

Ke depan, lanjut Hari, tak semua orang boleh menamakan dirinya berprofesi  di  bidang  itu  karena  tuntutan  pertanggungjawaban profesi  cenderung makin tinggi, seperti halnya profesi  akuntan, advokat,  notaris, dokter, dan apoteker, yang  sampai  dilindungi UU. Misalnya, dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, seharusnya  ada opini  dari  auditor  lingkungan  independen  dan  bersertifikasi standar  global yang layak disajikan dan  memiliki  akuntabilitas publik. "Ini belum ada. Namun, lima tahun mendatang pasti profesi ini banyak dicari, sehingga prospeknya bagus," kata Hari.

Di  bidang audit TI, Surdiyanto Suryodarmodjo, presiden  ISACA (Information  Systems  Audit and Control  Association)  Indonesia Chapter,  membenarkan bahwa auditor TI yang memiliki  gelar  CISA (Certified  Information Systems Auditor) yang dikeluarkan  ISACA, AS,  makin dibutuhkan. "Padahal di sini pemilik gelar  CISA  baru 30-50 orang," paparnya. Ia menambahkan, sertifikasi CISM  (Certified Information Security Manager) yang dikeluarkan ISACA   untuk para  manajer TI, juga sedang berkembang di Indonesia.  Saat  ini belum  ada 10 orang Indonesia yang menyandang gelar CISM.  "Sebab baru  berjalan  tahun lalu dan ujiannya Juli 2004  lalu,"  ungkap Surdiyanto.

Menurut Surdiyanto yang juga dirut PT Kliring Berjangka  Indonesia  itu,  audit TI yang dilakukan pemilik  gelar  CISA   jelas dapat  dipertanggungjawabkan karena ia memang  dibekali  pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang berstandar internasional. Tak  semua orang kompeten, berwenang, dan berhak melakukan  audit TI  untuk  meneliti adanya kontrol  dan  efektivitas  berjalannya sebuah  sistem  informasi. "Kalau auditor CISA  mengatakan  hasil auditnya bagus, pasti memang bagus, sebab dia independen dan  tak ada conflict of interest," tandasnya.

Lebih  lanjut  Surdiyanto memaparkan,  sarjana  akuntansi  dan manajemen  bisa  saja menjadi auditor  keuangan,  manajemen,  dan operasional, tetapi tidak semua bisa mengaudit sistem  informasi, perangkat  lunak, dan sistem aplikasi. Padahal,  ujarnya,  banyak perusahaan besar makin bergantung pada TI. "BCA saja sudah mengarahkan transaksi senilai Rp25 juta ke ATM. Dan ATM-nya sudah bisa untuk membayar banyak hal tanpa harus antre lama. Ini berarti  TI sudah menjadi jantung layanan bisnis BCA." 

Di  sektor  industri manufaktur, tenaga  profesional  bergelar CPIM (Certified in Production and Inventory Management) dan  CIRM (Certified  in Integrated Resource Management)  yang  dikeluarkan oleh APICS (American Production and Inventory Control Society) di AS juga makin dibutuhkan banyak perusahaan. Gelar CPIM menandakan penyandangnya  memiliki  kompetensi berstandar  internasional  di bidang  perencanaan  pengadaan, bahan baku,  kapasitas  produksi, pengukuran performa, hubungan dengan pemasok, perencanaan penjualan  dan operasional, kontrol kualitas, dan kesinambungan  operasional pabrik. Sementara itu, gelar CIRM menandakan penyandangnya juga menguasai cara mengelola interaksi antarbagian fungsional di sebuah  perusahaan  yang begitu kompleks, sehingga  bisa  bekerja lebih efektif dan produktivitas meningkat.

Sertifikasi  CPIM  dan  CIRM, menurut  Ahmad  Syamil,  sangat penting bagi kalangan profesional yang banyak bergelut di  bidang manajemen operasional perusahaan atau pabrik. Ahmad adalah  salah satu  penyandang  gelar  CPIM dan CIRM. Gelar  ini,  lanjut  staf pengajar  di  Arkansas State University, AS, itu, "Juga  membantu peluang kerja di berbagai negara."

Di  bidang  pemasaran, sertifikasi profesi  seperti  Chartered Marketer  (CM) yang dikeluarkan oleh The Chartered  Institute  of Marketing (CIM) juga sedang berkembang. Ario S. Setiadi,  marketing  & business development vice-president Medika Plaza  International  Clinic,  mengaku sedang belajar program CM.  "Cuma  pakar marketing  Hermawan  Kartajaya yang sejauh  ini  bisa  memperoleh gelar  Fellow  dari CIM," ujarnya. Padahal  Ario  sudah  memiliki gelar  CPM  (Certified Professional Marketer) Asia  Pacific  yang dirilis APMF (Asia Pacific Marketing Federation), yang di Indonesia baru ada 12 orang  yang memilikinya, termasuk Ario.

Sementara  itu, di bidang keuangan, Ferry Wong, manajer  riset BNP  Paribas,  mengamati minat orang untuk memperoleh  gelar  FRM (Financial  Risk Manager) sekarang makin tinggi, terutama  mereka yang  bekerja  di sektor perbankan.  "Sebab,  regulasi  perbankan mengharuskan  semua  bank mengikuti Basel Rule II  Accord,"  ujar Ferry, yang memperoleh gelar FRM dari Global Association for Risk Management Professional pada tahun 2002.

Basel Rule II Accord menjadi standar global yang harus diikuti semua  bank  dalam hal manajemen risiko dan  bakal  berlaku  pada 2006. Oleh karena itu, banyak kalangan bankir tertarik  mendapatkan sertifikasi FRM. Apalagi Bank Indonesia juga mengharuskan key person di bank memperoleh pelatihan manajemen risiko untuk memahami implementasi standar baru itu.

Menurut  Ferry,  pemilik gelar FRM di Indonesia  baru  delapan orang.  "Sebagian  besar  juga penyandang  gelar  CFA  (Chartered Financial Analyst)," tutur Ferry, yang juga bergelar CFA.  Sertifikasi  CFA,  walau sudah ada di Indonesia sejak 15  tahun  lalu, baru 70-80 orang yang memilikinya. "Meski yang ikut ujian CFA per  tahun 700-800 orang, yang lulus sangat sedikit," ungkap Ferry.

Th. Wiryawan, marketing communications & business  development director  Citibank Indonesia, menilai bahwa  masalah  sertifikasi profesi  memang  isu besar di industri jasa  keuangan  saat  ini. "Seperti  untuk  menjadi private banker,  sebenarnya  juga  tidak mudah,"  ujarnya. Di Citibank, mereka yang bisa  bekerja  sebagai private  banker harus berada pada level senior manager dan  lulus ujian  selama tiga bulan. Standar kualitas profesional  bankirnya juga minimal harus regional. "Jadi, masalah marked to market yang sempat menghebohkan itu sedikit banyak juga terkait dengan  standar  profesional global, yang umumnya menganut pendekatan  marked to market," jelasnya.

Menunjang Karier dan Penghasilan
Hari melihat kebutuhan paling besar profesional yang bersertifikasi  profesi  adalah  di industri  keuangan,  asuransi,  pasar modal,  dan  properti. "Ini lagi tren dan  membuat  tenaga-tenaga yang  memiliki  sertifikasi harganya naik," tegas  Hari.  Apalagi tenaga-tenaga  bersertifikasi juga tak mudah dicari  karena  yang bersangkutan  sudah  mendapatkan posisi dan  income  yang  bagus. Jadi, kalaupun ada, umumnya berharga mahal.

Berapa?  Ungkap Hari, "Per bulan bisa Rp85 juta." Oleh  karena mereka  memiliki  kemampuan khusus, perusahaan  pun  diuntungkan. Nilai  perusahaan  (corporate value)  otomatis  meningkat  karena mampu  mempekerjakan tenaga-tenaga bersertifikasi  global  dengan gaji  yang  tinggi. Hari menyarankan, tak ada  ruginya  eksekutif yang masih berusia 27-35 tahun untuk mengejar sertifikasi.  "Tren dunia  keprofesian  akan makin spesifik dan  ilmu  yang  dimiliki sangat spesial, bukan umum atau generik," jelas Hari.

Menurut  pemantauan Surdiyanto, umumnya auditor bergelar  CISA memang  memiliki penghasilan yang bagus dan posisi  strategis  di perusahaan.  "Ia betul-betul dipakai untuk memberikan  pendapatan besar  bagi perusahaannya," tambahnya. Apabila ada  proyek  audit perusahaan, ia pasti akan dilibatkan sehingga penghasilannya juga besar. Posisinya di perusahaan pun lebih bagus dibanding  auditor yang tak bergelar CISA. Makin banyak perusahaan besar  menerapkan TI, harga jasa tenaga auditor TI yang terhitung masih sedikit pun makin meningkat pula.

Namun,  menurut Tri Djoko Santoso, belum tentu seseorang  yang bersertifikasi  standar global akan berhasil di karier dan  gaji. Hanya,  memang,  dengan memiliki sertifikasi,  daya  tahan  untuk tetap  memiliki  posisi dan penghasilan  tinggi  cenderung  lebih kuat.  "Jika  tak punya sertifikasi, bisa saja  ia  diganti  oleh orang yang bersertifikasi," tuturnya. Apalagi, ke depan, persaingan bisnis makin terbuka, termasuk dengan orang asing. Jadi, jika  tak  memiliki kredibilitas, lewat sertifikasi, pasti  akan  kalah bersaing.  "Bank-bank  besar,  asuransi, dan  pasar  modal  makin melihat pentingnya sertifikasi ini," tandasnya.

Ferry  Wong berpendapat, sertifikasi memang  menunjang  karier dan gaji, tetapi tidak menjamin juga kalau pemilik gelar CFA  dan FRM pasti akan menjadi analis yang hebat. "Gelar hanya memberikan dasar  atau  tools  untuk menjadi analis  yang  baik,"  paparnya. Selebihnya  tergantung kemauan, usaha, dan keberuntungan.  Namun, Ferry mengakui, rekan-rekannya yang menyandang gelar CFA dan  FRM memang  memiliki posisi tinggi. "Oleh karena  jumlahnya  sedikit, apresiasi pasar pun makin tinggi," jelasnya.

Hal  senada juga diungkapkan Ario. Katanya,  penyandang  gelar CPM Asia Pacific di Indonesia umumnya berpenghasilan baik. Apalagi  gelar  ini dihargai di negara-negara Asia  Pasifik,  sehingga penyandangnya, apabila bekerja di luar negeri, mendapat pengakuan bahwa  standar  profesionalnya setara.  "Sementara  di  Indonesia masih banyak perusahaan tak mengerti makna titel CPM,"  paparnya. Ario  mensinyalir,  orang  masih rancu antara  gelar  formal  dan informal,  serta adanya stigma bahwa apabila gelar  informal  tak disahkan Departemen Pendidikan Nasional, ia dianggap tidak legal. "Padahal  di sini bukan soal legal atau tidak, tapi soal  profesi yang  kalau diterima pasar ya bisa berjalan," jelas  Ario.  Namun Ario  yakin, pemilik sertifikat CPM atau CM bakal  lebih  berdaya saing dibanding yang tidak memilikinya.

Di bisnis properti, Thomas Sugiarto, executive service  director  Century 21 Thomas Mitra, menjelaskan bahwa  sebagian  broker properti  memang belum memiliki sertifikasi broker   atau  analis properti.  Namun ia mengamati, mereka yang memilikinya  cenderung makin  baik  karier dan penghasilannya. Thomas,  yang  memperoleh gelar CPA (Certified Property Analyst) dari Pusat Studi  Properti Indonesia,  merasakan manfaat pendidikan yang  ditempuhnya  dalam menjalankan profesi sebagai broker properti.

Ke  depan, Thomas melihat sertifikasi profesi broker  properti makin  dibutuhkan  karena persaingan makin  sengit  dan  tuntutan konsumen  makin tinggi. "Itu baru bisa kami layani kalau  kaminya sendiri  makin berkualitas," ujarnya. Thomas menambahkan,  karier sulit berkembang kalau mau mengejar uang tanpa terus belajar.

Sulit Diperoleh
Namun  umumnya  sertifikasi  profesi  berstandar  global,  dan bahkan yang nasional sekalipun, tak mudah didapat. Bahkan,  papar Hari, dalam ujian profesi, lebih banyak yang gagal daripada  yang berhasil. Sinyalemen Hari dibenarkan oleh Ario. Misalnya, persyaratan  untuk ikut ujian CPM, seseorang minimal  sudah bekerja  di bidang  pemasaran  selama lima tahun, dan  biasanya  jarang  yang sekali  ujian  bisa langsung lulus. Umumnya dua kali  ujian  baru lulus.  "Saya  sendiri  waktu itu ada yang  satu  modulnya  tidak lulus,"  ungkap  Ario. Kesulitan makin tinggi  kalau  mereka  tak punya pengalaman dalam bidang pemasaran. Pasalnya, ujiannya hanya 20%-30%  yang bersifat teori, selebihnya bersifat praktis.  Jadi, bagi yang belum berpengalaman, pasti akan kesulitan.

Seorang  penyandang gelar sertifikasi berstandar global  tidak boleh hanya piawai teori, tetapi juga harus mampu mengaplikasikan ilmunya.  Misalnya di bidang hukum, ia harus terampil  berperkara di  pengadilan.  Kalau ia manajer investasi,  ia  harus  terampil mengelola  dana  triliunan rupiah. "Kepandaian  mengelola  risiko seperti itu tidak gampang," papar Hari.

Walau kesejahteraan penyandang sertifikasi profesi  berstandar global  meningkat,  gelar itu juga menuntut tanggung  jawab  yang juga  besar.  Menurut Hari, mereka tak bisa berlindung  di  bawah perusahaan  atau  organisasi profesi.  "Sebab,  pekerjaan  mereka kerap kali menyangkut nilai yang besar," tuturnya. Mereka, lanjut Hari, secara pribadi harus bisa bertanggung jawab di depan  hukum supaya  tidak  ada malapraktek. "Profesi  yang  sudah  dilindungi hukum saja bisa malapraktek," cetus Hari.

Oleh  karena itu, lanjut Hari, sertifikasi  berstandar  global bukanlah  lisensi seumur hidup, tetapi terus mendapat  pengawasan ketat  dari  institusi pemberi sertifikasi.  Penyandang  gelarnya wajib mengikuti pendidikan dan ujian berkesinambungan  (continual education) untuk terus meningkatkan kualitas  profesionalitasnya. "Bisa saja orangnya malas mengikuti perkembangan terbaru, sehingga  kualitas kerjanya turun dan opininya tidak layak lagi,"  urai Hari.  Mereka  juga  diwajibkan mematuhi  kode  etik  sertifikasi profesi. Kalau tidak, gelarnya bisa dicabut sewaktu-waktu.

Surdiyanto  membenarkan hal itu. Ia memaparkan, apabila  pemegang gelar CISA dalam setahun tak melakukan praktek apa pun  yang terkait  dengan gelarnya,  ia tidak akan mendapatkan poin  kredit sehingga  gelarnya bisa dicabut. Gelarnya baru bisa  diperpanjang kalau tiap tahun ia memberikan laporan yang diakui. Ia juga harus mematuhi  kode  etik yang ada. "Setiap akhir  tahun,  gelar  CISA harus  diperpanjang dan di-review, tidak bisa seumur hidup  memegang gelar CISA," paparnya.

Ferry Wong juga mengungkapkan bahwa gelar sertifikasi  profesi seperti CFA memang bisa dicabut kalau melanggar kode etik. "Jadi,  seperti  surat izin mengemudi," tandasnya. Oleh karena itu,  tambahnya,  penyandang  gelar  CFA cenderung  tak  berani  mengambil risiko melakukan penyimpangan atau penipuan. "Risiko dan tanggung jawabnya besar."

Biaya  pendidikan  dan ujian sertifikasi standar  global  juga terhitung mahal. "Ini wajar karena kalau murah, isinya tentu  tak bisa  dipertanggungjawabkan,"  papar Hari. Sampai di  sini,  Hari  cemas dengan makin menjamurnya institusi-institusi yang  menawarkan  fasilitas pendidikan dan ujian keprofesian, baik  berstandar global  maupun lokal, seiring tumbuhnya permintaan. Hari  mencermati, ada gejala banyak orang memburu sertifikasi sampai ke  luar negeri  sehingga kalau tidak diantisipasi,  disediakan  forumnya, Indonesia akan kebanjiran orang yang bersertifikasi profesi  dari luar  negeri yang tak diketahui seperti apa  kualitasnya.  "Tidak bisa  sekadar menerima selembar ijazah tanpa jelas maksud  kriterianya," tegasnya.

Untuk  itu Hari menilai pentingnya peran  berbagai  organisasi profesi dan organisasi sertifikasi profesi, bersama dengan  semua pihak yang terkait, seperti pemerintah dan badan-badan independen lainnya, memberikan arah terhadap perkembangan dunia keprofesian. Bentuknya bisa regulasi dan praktek di lapangan. "Kalau  pengaturan sertifikasi standar internasional sudah ada di induknya, tapi kalau sertifikasinya berasal dari dalam negeri, saya pikir memang perlu diatur," tukas Tri Djoko Santoso.

Ferry  Wong  juga khawatir jika sertifikasi  profesi  kemudian dianggap seperti mainan, mudah didapat dan kualitasnya tak  dapat dipertanggungjawabkan.  Ia  melihat ada  kecenderungan  tumbuhnya institusi pendidikan yang sekadar mencari uang dengan  memanfaatkan  momentum  dan bahkan membuat sertifikasi  profesi  yang  tak jelas  standarnya. Akan tetapi ia yakin, orang akan  tahu  dengan sendirinya, sertifikasi mana yang bagus dan layak dihargai.

Ferry mengemukakan, sertifikasi profesi yang bagus adalah yang standarnya terus dipertahankan dan cenderung makin sulit didapat. Misalnya,  gelar  CFA,  yang tahun ini  tingkat  kelulusannya  di seluruh dunia hanya 32% dari total peserta, dan bahkan di Indonesia hanya 10%-15%. "Pokoknya kalau mau mencari sertifikasi,  cari yang  susah karena itu yang akan dihargai.  Kalau  sertifikasinya mudah didapat, lebih baik tidak usah," tandasnya.

Beberapa Sertifikasi Profesi Standar Global:
 1. Chartered Financial Analyst (CFA)
 2. Certified Financial Planner (CFP)
 3. Financial Risk Manager (FRM)
 4. Chartered Financial Consultant (ChFC)
 5. Project Management Professional (PMP)
 6. Certified Information Systems Auditor (CISA)
 7. Certified in Production and Inventory Management (CPIM)
 8. Certified in Integrated Resource Management (CIRM)
 9. Certified Professional Marketing (CPM)
10. Senior Certified Valuers (SCV)
11. Certified Public Accountant (CPA)
12. Certified Internal Auditor (CIA)
13. Certified Information Systems Security Professional (CISSP)
14. Certified Professional Environmental Auditor (CPEA)

Profesi Termahal Masa Depan Tanpa Sertifikasi
Meski sertifikasi profesi menjadi syarat utama agar  pelakunya berharga mahal, tetapi itu bukan harga mati. Di luar profesi yang makin membutuhkan sertifikasi profesi yang ketat, muncul beberapa profesi  yang  sebenarnya  tak  membutuhkan  sertifikasi  khusus, tetapi juga langka sehingga harganya pun tergolong mahal.  Penyebabnya  mungkin  karena profesi-profesi  itu  lebih  mengandalkan bakat alam atau keahlian yang sulit didapat dari jalur pendidikan formal, sehingga tak semua orang bisa melakukannya.

Misalnya, ahli pemeriksa ikan tuna segar. Setiap pagi tugasnya memeriksa  tingkat  kesegaran  ikan hasil  tangkapan  agar  layak ekspor.  "Dia  tugasnya  hanya memegang dan  membaui  ikan  tuna, seperti  layaknya  menguji biji kopi atau daun teh,"  ujar  Irham Dilmy,  managing partner perusahaan executive search Amrop  Hever Indonesia.

Menurut  Irham, pemeriksa ikan tuna yang  notabene  ekspatriat itu  per bulan bisa mendapatkan gaji US$20.000. Dia layak  digaji tinggi  karena pabrik pengalengan ikan tak mau  mengambil  risiko produknya  ditolak di negara tujuan ekspor lantaran tak  memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ini bisa mencoreng reputasi, dan merugikan perusahaan. Sebab, per hari perusahaan itu mengekspor 100 ton lebih ikan tuna.

Ekspor ikan tuna membutuhkan perlakuan khusus karena tak boleh dibekukan  dan tidak boleh ditangkap dengan jaring agar  pembuluh darahnya  tidak  pecah. Orang Jepang tak suka  mengkonsumsi  ikan tuna  yang pembuluh darahnya sudah pecah karena  rasanya  menjadi tidak enak.

"Jumlah pemeriksa ikan tuna ini cuma segelintir, mungkin tidak sampai 10 orang," papar Irham. Yang menarik, lanjut Irham, mereka itu tak perlu sekolah tinggi-tinggi agar harganya mahal. "Derajat kesulitan pekerjaan mereka sebenarnya relatif sama dengan  pembau tembakau, tapi bayarannya jauh lebih mahal," ungkap Irham.

Sertifikasi Profesi dan Profesi Termahal Masa Depan
Kini  kian banyak profesi baru bermunculan. Misalnya,  profesi di bidang perencanaan keuangan, audit penerapan TI, audit manajemen  mutu,  manajemen  lingkungan,  manajemen  risiko,  manajemen proyek,  pemasaran,  manajemen pabrik,  dan  lain-lain.  Profesi-profesi itu relatif belum banyak disentuh orang, dan makin membutuhkan sertifikasi karena profesi-profesi baru itu umumnya spesifik  dan  membutuhkan  keahlian khusus.  Di  sinilah  sertifikasi profesi, terutama yang berstandar global, berhubungan erat dengan prediksi profesi-profesi termahal di masa depan.

Sertifikasi  profesi berstandar global makin diperlukan  untuk menegaskan  bahwa pelakunya layak diakui,  memiliki  pengetahuan, keterampilan,  dan  pengalaman  dengan  kualitas   internasional. Misalnya,  bidang audit penerapan TI dibutuhkan pelaku yang  bersertifikasi  CISA. Mereka ini diprediksi bakal mahal harganya  di masa depan.

Pelaku   profesi  bersertifikasi  standar  global   diprediksi "mahal"  karena beberapa sebab. Pertama, belum banyak orang  yang menekuninya.  Kedua, tak semua orang bisa menjadi pelaku  profesi ini bisa memiliki sertifikasi berstandar global. Ketiga,  permintaannya yang kian tinggi belum diimbangi dengan banyaknya pelakunya. Ini otomatis membuat "harga" mereka naik. 

Keempat,  mereka  mahal karena  sertifikasinya  diakui  secara  global.  Artinya, di mana pun ia bekerja, standar  keahlian  atau kompetensinya  diakui, sehingga bisa bekerja di negara mana  pun.  Sertifikasi standar global menegaskan bahwa penyandangnya  memang memiliki keahlian khusus, sehingga pantas mendapat bayaran  tinggi.

Kelima, keberadaan mereka juga ikut menaikkan nilai perusahaan (corporate  value). Perusahaan yang mampu mempekerjakan  karyawan bersertifikasi  standar  global  tentu  dianggap  memiliki  nilai lebih. Itu sebabnya perusahaan pun tak segan-segan membayar mahal gaji mereka.
 
FADJAR ADRIANTO DAN HENDARU

 

 

 

Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi.
Nama & E-mail (Penulis): Prof. Dr. Ny. Badriyah Rifai Amirudin, SH
Saya Dosen di Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Tanggal: 23 Pebruari 2004
Judul Artikel: Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governance di Tubuh Perusahaan Publik
Topik: Komisaris Independen dan Hubungannya dengan Penerapan Good Corporate Governance

PENDAHULUAN

Perseroan terbatas merupakan wadah untuk melakukan kegiatan usaha, yang membatasi tangung jawab pemilik modal, yaitu sebesar jumlah saham yang dimiliki sehingga bentuk usaha seperti ini banyak diminati, terutama bagi perusahaan dengan jumlah modal yang besar. Kemudahan untuk menarik dana dari masyarakat dengan jalan penjualan saham merupakan satu alasan untuk mendirikan suatu badan usaha berbentuk perseroan terbatas.

Pada perusahaan semacam ini, pemisahan antara pemilik modal dengan pimpinan perusahaan dapat terlihat dengan jelas. Fungsi masing masing pihak tidak dapat dipadukan : pemilik adalah pihak yang menyediakan modal dan pengelola adalah pihak yang memanfaatkan modal untuk menjalankan kegiatan ekonomi. Peran masing-masing dapat bergeser sesuai dengan besar, sifat kegiatan dan peraturan yang berlaku. Demikian juga tingkah laku masing masing dapat saling tidak mendukung kepentingan perusahaan.

Pada dasarnya, pemodal tidak dapat secara langsung berhubungan dengan pengelola terutama pada perusahaan besar, dalam keadaan inilah hubungan kelembagaan dewan komisaris diperlukan, sebagai suatu badan yang melakukan pengawasan terhadap pihak pengelola agar kepentingan perseroan dapat terjamin. Patut disadari, kepentingan pemilik tidaklah sama dengan kepentingan perseroan.

Kitab Undang undang Hukum Dagang (KUHD) tidak mengharuskan adanya lembaga komisaris sehingga tidak ada penjelasan bagaimana fungsi dan tugas dewan komisaris, meskipun dalam kenyataan kebanyakan perseroan yang didirikan berdasarkan KUHD, selalu ada lembaga komisaris.

Kini, fungsi perseroan bukan lagi hanya melihat kepentingan pemegang saham dan pimpinan, tetapi berpaling kepada tuntutan untuk memperhatikan kepentingan masyarakat yang dianggap sebagai pihak yang harus diutamakan. Pemegang saham meskipun sebagai pemilik, tetapi tidak perlu diperlakukan khusus, karena haknya dapat dipindah-tangankan kepada siapa saja : kedudukannya tidak banyak berbeda dengan pemodal lainnya semisal pemilik obligasi ataupun kreditur lainnya. Oleh karena itu, kepentingan perseroan patut didahulukan di atas kepentingan pemegang saham.

Undang undang No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), mengharuskan adanya kelembagaan komisaris sebagai salah satu organ perseroan. Bahkan perseroan terbuka, atau perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang atau perseroan yang melakukan fungsi fidusia, wajib memiliki sekurang-kurangnya 2 orang komisaris. Berdasarkan UUPT sistem kepengurusan perseroan terdiri dari dua jenjang yang masing masing melakukan fungsi kepengurusan dan fungsi pengawasan. Dalam hal hal tertentu, komisaris dapat melakukan fungsi kepengurusan perseroan. Sebagai organisasi yang teratur perseroan mempunyai organ yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris (Pasal 1 Butir (2) UU No. 1/1995). Keteraturan organisasi dapat diketahui melalui Undang-undang Perseroan; Anggaran Dasar Perseroan, Anggaran Rumah Tangga Perseroan dan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham

Kedudukan sebagai komisaris bukan lagi merupakan kedudukan yang empuk tanpa risiko, karena UUPT menetapkan persyaratan yang cukup ketat bahwa bagi seseorang yang ingin menduduki jabatan sebagai komisaris. Harus memiliki fiduciary duties terhadap perseroan mengenai kepemilikan sahamnya di perseroan. Dengan menyampaikan laporan kepemilikan saham tersebut, diharapkan dapat dicegah terjadinya tindakan mengandung benturan kepentingan yang merugikan perseroan.

Dalam rangka mengawasi dan menegakkan pelaksanaan prinsip fiduciary duties oleh direksi atau komisaris, UUPT menetapkan bahwa pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah saham dengan hak suara sah dapat mengajukan gugatan terhadap anggota direksi atau komisaris yang karena kesalahan atau kelalainnya menimbulkan kerugian terhadap perseroan (Pasal 98 ayat (3) UUPT).

Dewan komisaris bertanggung jawab dan berwenang mengawasi kebijakkan direksi dan memberikan nasehat kepada direksi dalam menjalankan kepengurusan perseroan (Pasal 1 ayat (5) dan 97UUPT) Berkenaan dengan tanggung jawab dewan komisaris, dapat dikatakan bahwa hubungan kepercayaan dan fiduciary duties anggota direksi secara mutatis mutandis berlaku bagi anggota dewan komisaris.

Komisaris menurut Pasal 98 Undang-undangg Perseroan Terbatas wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Selanjutnya Pasal 100 UUPT mengatur, bahwa dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada direksi, dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu dan jangka waktu tertentu. Dalam tindakan pengurusan tersebut berlaku semua ketentuan mengenai hak dan kewajiban terhadap perseroan dan pihak ketiga.

Sebagai akibat komisaris merupakan suatu majelis, maka seorang komisaris tidak dapat bertindak sendiri. Syarat untuk menjadi seorang komisaris ditentukan cukup berat. Pasal 96 UUPT menentukan, yang dapat menjadi komisaris adalah orang perorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum; tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan Negara dalam lima tahun sebelum pengangkatannya.

A. Komisaris dan Good Corporate Governance (GCG)

Good Corporate Governance terjemahan bebasnya adalah tata kelola perusahaan dengan baik. Sejak Indonesia terperosok dalam krisis ekonomi, maka good corporate governance menjadi bagian untuk pembenahan pengelolaan corporasi. Setiap emiten, direksi dan komisaris harus secara ikhlas bersedia mengubah dan menjadikan setiap gerak dari usaha mereka, telah mencerminkan prinsip tersebut.

Beberapa hal yang perlu digarisbawahi, untuk dapat menilai dunia usaha di Indonesia saat ini (a) ketertutupan diri pengusaha, baik pemilik maupun manager; (b) tidak dipergunakan kaedah-kaedah usaha dalam bekerja karena lebih menyenangi lobi; (c) kurangnya kesiapan sebagai entrepreneur yang mampu membawanya ke dunia usaha murni. Hal ini membawa pengusaha jauh dari corporate governance, sehingga tingkat kepercayaan dan kekuatan yang diterima dari relasi usaha rendah. Saat kondisi usaha bekerja dengan baik, pengaruh ini tidak terlihat tetapi di kala situasi ekonomi memburuk kehancuran usaha tidak terelakan.

Secara formal, good corporate hanya ditujukan bagi perusahaan yang statusnya merupakan perusahaan publik, khususnya emiten yang telah menyerap dana dari masyarakat dan memiliki saham publik yang sifatnya minoritas dan independen. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai bentuk dari pelaksanaan tanggung jawab antara perusahaan sebagai badan hukum, direksi dan komisaris sebagai pengurus dengan para pemegang saham. Caranya dengan menjalankan ketentuan Anggaran Dasar (AD) dalam rangkaian kewajiban untuk transparansi, bertanggung jawab, adil dan akuntabilitas.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka pelaksanaan prinsip good corporate governance, maka dunia usaha sekarang ini, memerlukan komisaris independen yang duduk dalam jajaran pengurus perseroan. Perkembangan ini patut dapat pujian karena memperlihatkan adanya kesadaran untuk menata ulang keberadaan dan kegiatan usahanya secara baik. Diharapkan kehadiran komisaris independen tidak hanya sekedar simbol, atau hiasan belaka. Mengapa? Karena pada prakteknya, tidak jarang komisaris independen hanya diperlukan sebagai suatu schock terapy bagi orang orang yang bermaksud tidak baik terhadap perseroan. Sebagai contoh, sewaktu jaman Orde Baru, banyak pensiunan jenderal yang diangkat sebagai komisaris, meskipun mereka jarang ke kantor, bahkan mereka tidak mengetahui seluk-beluk dan permasalahan perseroan.

Di dalam suatu perseroan, diwajibkan mempunyai sekurang kurangnya satu orang komisaris independen, berasal dari luar perusahaan serta tidak mempunyai hubungan bisnis dengan perusahaan atau afiliasinya.

Dalam persepektif hukum terdapat acuan yang menjadi landasan adanya komisaris independen, pertama acuan tentang kedudukan komisaris dalam suatu perseroan terbatas seperti yang diatur dalam Pasal 94 s/d 101 UUPT No.1/1995; kedua, ketentuan Pasal 80 UU No.8/1995 tentang Pasar Modal , yaitu tentang tanggung jawab atas informasi yang tidak benar dan menyesatkan, dimana komisaris termasuk pihak yang diancam oleh pasal tersebut, bila ikut menandatangani setiap dokumen yang berhubungan dengan penyampaian informasi kepada publik di dalam rangka pernyataan pendaftaraan. Bagi setiap calon emiten yang akan mencatatkan saham di bursa efek, maka PT Bursa Efek Jakarta, mewajibkan adanya komisaris independen didalam kepengurusan emiten tersebut; ketiga adanya pedoman yang dikeluarkan Komite Nasional Good Corporate Governance sehubungan kehadiran komisaris independen yang ada di perusahaan publik, dimana di bagian II.1 menyebutkan bahwa pada prisipnya, komisaris bertanggung jawab dan berwenang untuk mengawasi kebijakkan dan tindakan direksi, dan memberikan nasehat kepada direksi jika diperlukan. Untuk membantu komisaris dalam menjalankan tugasnya, berdasarkan prosedur yang ditetapkan sendiri, maka seorang komisaris dapat meminta nasehat dari pihak ketiga dan/ atau membentuk komite khusus. Setiap anggota komisaris harus berwatak amanah dan mempunyai pengalaman dan kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya (Indra Safitri 2002:3)

B. Posisi Komisaris Independen dihadapkan dengan posisi Board Of Director (BOD)

Secara teori dan praktek fungsi organ perseroan board of director (dewan direktur) melakukan perbuatan kepengurusan, sedang fungsi dewan komisaris (Dekom) atau dalam bahasa asingnya biasa disebut board of Commisaris melakukan fungsi pengawasan, mereka melakukan segala kemampuan terbaiknya hanya untuk kepentingan perseroan. Tujuan menghadirkan seorang komisaris independen adalah sebagai penyeimbang pengambilan keputusan dewan komisaris. Oleh sebab itu, harus ada tolak ukur penilaian kinerja board of director/dewan komisaris. Dalam konstruksi hukum Perseroan Terbatas, kinerja perseroan adalah indikator performa Board of Director. Hal ini sebagai konsekuensi bahwa BOD menjalankan fungsi kepengurusan.

Board of Directors adalah pilihan pemegang saham yang mewakili kepentingan mereka. Dengan demikian badan ini bukanlah independen, tetapi dalam setiap masalah berpihak kepada pemegang saham. Konsep ini berdasarkan pemikiran bahwa perseroan didirikan oleh pemilik sebagai pemegang saham terutama untuk kepentingannya.

Perbedaan dalam kepentingan dapat juga terjadi dikalangan pemegang saham. Tidak jarang pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek, terdapat berbagai kelompok pemegang saham yang mempunyai kepentingan yang berlainan, terutama bagi perusahaan yang mempunyai pemegang saham mayoritas dan minoritas, kepentingannya tidak selalu searah. Keadaan ini termasuk di Indonesia, semua perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek selalu dikuasi oleh pemegang saham mayoritas.

Kedudukan pemegang saham minoritas yang jumlahnya besar dan tersebar tidak dapat dipersatukan dan sering tidak terwakili dalam pengambilan keputusan, menyebabkan kedudukan dan kewenangannya juga kurang penting, dalam mengangkat dan menentukan siapa yang akan menjadi board of directors. Akhirnya yang menentukan keanggotan badan tersebut adalah pemegang saham mayoritas

C. Bentuk dan Kualitas Pengawasan

Efektifitas dari komisaris independen sangat tergantung dari desain, kualitas pengawasan yang patut diterapkan secara terus menerus, perilaku dan tanggung jawab hukum terhadap komisaris. Kedudukan komisaris independen didesain dan dituangkan dalam anggaran dasar perseroan. Keterkaitan antara aspek pengawasan dan tanggung jawab secara yuridis dalam setiap langkah usaha yang dilakukan oleh manajemen akan sangat mempengaruhi kemandirian dan keputusan yang dibuat oleh komisaris independen.

Kemampuan dan pemahaman komisaris independen terhadap bidang usaha emiten akan sangat mempengaruhi persetujuan dan keputusan yang dibuat, sesuai dengan tanggung jawab hukum emiten kepada pemegang sahamnya, komisaris independen tidak boleh secara gegabah memberikan persetujuannya terhadap transaksi transaksi atau kegiatan emiten, yang secara material mengandung informasi yang tidak benar atau menyesatkan (Pasal 80 ayat 1 UU No.8/1995).

Menurut Indra Safitri (Indonesia Market Links Network, 2-September-2002) seluruh keputusan yang dibuat oleh komisaris independen, tidak terpisahkan dari berjalannya mekanisme internal kontrol ditubuh emiten termasuk adanya komite audit. Bapepem melalui surat edaran No.03/PM/2000 yang ditujukan kepada setiap direksi emiten dan perusahaan publik mewajibkan dibentuknya komite audit. Tugas komite tersebut secara independen dan professional memberikan pendapat kepada dewan komisaris. Laporan yang dibuat oleh komite audit menjadi landasan bagi komisaris, termasuk komisaris independen dalam menilai dan mengindentifikasikan hal hal yang menyangkut laporan keuangan dengan berbagai pertimbangan risiko yang ada.

Di dalam Pedoman Good Corporate Governance (4.1) menyatakan bahwa dewan komisaris wajib membentuk komite audit yang beranggotakan satu atau lebih anggota dewan komisaris. Dewan dapat meminta kalangan luar dengan berbagai keahlian, pengalaman dan kualitas lain yang dibutuhkan , untuk duduk sebagai anggota komite audit. Komite audit harus bebas dari pengaruh direksi, eksternal auditor. Dengan demikian, komite audit hanya bertangung jawab kepada dewan komisaris. Penggantian anggota komite auditor harus mendapat persetujuan lebih dari 50% jumlah anggota komisaris.

Tidak bisa dipungkiri, terdapat rasa was-was bila kita coba melihat realita etika, kepatuhan hukum dan praktek bisnis di Indonesia saat ini, menyangkut peran dari komisaris independen yang ditempatkan di jajaran pengurus emiten (Indra Safitri, 2-September-2002) :

1.       Sejauh mana kesungguhan dan kesanggupan komisaris independen untuk dapat benar benar independen dan mampu menolak pengaruh, intervensi atau tekanan dari manajemen ataupun pemegang saham uatama yang memiliki kepentingan atas transaksi atau keputusan tertentu. Sebab rata rata struktur kepemilikan saham emiten, masih terkait kontrol mayoritas pemegang saham di dalam menjalankan perusahaannya, maka ketangguhan komisaris independen untuk tidak menyerah dan terhindar dari unsur benturan kepentingan merupakan ujian berat. Pada jaman orde baru banyak anak, saudara, cucu bahkan saudara jauh pejabat, petinggi, atau mantan jendral yang duduk sebagai komisaris hanya sekedar bertujuan untuk membuka akses hubungan koalisi antara pengusaha dan pemerintah. Sehingga pada waktu itu ada istilah komisaris aktif dan tidak aktif.

2.       Intensitas pengawasan yang terus menerus, mensyaratkan aktifitas dan perhatian dari setiap individu yang terpilih sebagai komisaris independen, didalam mengawasi kegiatan perseroan tidak dapat terpecah dengan adanya pekerjaan atau kesibukan lainnya. Untuk itu emiten yang memiliki komisaris independen hendaknya mereka yang berpengetahuan, berkemampuan serta memiliki waktu dan intergritas yang tinggi di dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang ada. Untuk dapat memastikan hal ini, perlu adanya ketentuan yang mewajibkan emiten menjelaskan sejauh mana prosedur dan ketentuan internal manajemen yang melibatkan komisaris independen didalam keputusannya. Kriteria dan kualifikasi komisaris independen didalam RUPS seharusnya dapat mencerminkan kepentingan pemegang saham independen dan merupakan usulan yang disetujui oleh mayoritas.

3.       Kualitas pengawasan juga ditentukan oleh bagaimana desain pengambilan keputusan bersama jajaran komisaris lainnya dan terpenuhi persyaratan yang ditentukan oleh bursa efek.

PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) didalam peraturan Pencatatan Efek No 1-A: tentang Ketetentuan Umum Pencatatan Efek yang bersifat Ekuitas di bursa, dalam angka 1-a menyebutkan tentang rasio komisaris independen yaitu" komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh yang bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari seluruh jumlah anggota komisaris. Selanjutnya dalam angka 2 menentukan persyaratan komisaris independen yang melarang adanya hubungan terafiliasi baik dengan pemegang saham pengendali, direktur atau komisaris lainnya, bekerja rangkap dengan perusahaan terafiliasi dan memahami peraturan per-undang- undangan di bidang Pasar Modal.

Menurut pendapat saya, seberapa besar pengaruh kinerja komisaris independen pada dewan komisaris apabila komposisi komisaris independen 30% melawan komisaris yang tidak independen sebesar 70%. Sekalipun komisaris independen dapat melakukan dissenting, namun tujuan diadakan komisaris independen tidak hanya sekedar untuk dissenting, namun tentu diharapkan mampu menyeimbangkan pengambilan keputusan Dewan komisaris

Apabila ingin memberikan akibat yang berarti terhadap kinerja Dewan Komisaris, maka keanggotaan komisaris independen harus lebih dari jumlah sehingga dapat outvoted dalam pengambilan keputusan, hal ini apabila dihubungkan dengan adanya anggota komisaris yang tidak independen. Alternative kedua adalah memberikan posisi yang lebih menentukan atau lebih memberikan pengaruh misalnya sebagai presiden komisaris. dari dewan direksi dan dewan komisaris adalah. untuk kepentingan perusahaan, baru kemudian untuk pemegang saham, bahkan dalam likuidasi pemegang saham memperoleh bagian terakhir (Pasal 124 ayat 2 UUPT). Persoalannya ialah, pemegang saham juga merupakan investor, dan undang undang melindungi kepentingan dari investor, mengapa setelah investor menjadi pemegang saham harus ditandingi dengan komisaris independen.

Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terdapat kekuasaan untuk menyetujui suatu rencana kerja perseroan, tetapi apabila menurut dewan direksi dan business judgement dari dewan direksi, rencana tersebut wajib dirubah, maka dewan direksi wajib menjalankan rencananya tersebut yang menurut pertimbangannya paling baik untuk kepentingan perseroan. Dengan demikian, manakala kepentingan perseroan tidak sejalan dengan putusan RUPS, maka dewan direksi harus mengutamakan kepentingan perseroan, sebab pada akhirnya dewan direksi tidak dapat bersembunyi dibalik RUPS atau komisaris apabila ternyata keputusannya tersebut salah. Dengan kata lain, pemberian persetujuan oleh RUPS maupun komisaris tidak dapat membebaskan direksi dari tanggung jawab atas kepengurusannya.

Perlu diperhatikan bahwa keputusan rapat umum pemegang saham maupun komisaris bukanlah tindakan kepengurusan, karena instruksi tersebut tidak wajib dilaksanakan oleh direksi. Dengan demikian direksi tetap independen , terutama untuk memutuskan apakah tindakan tersebut dilakukan atau tidak dilakukan

D. Hubungan Komite Audit Dengan Komisaris Independen

Bapepam menerbitkan Surat Edaran (SE-03/PM/2000) yang menghimbau agar emiten dan perusahaan publik mempunyai komite audit. Komite audit bertugas membantu komisaris dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan dan peningkatan efektivitas audit dan eksternal audit. Anggota komite audit sekurang kurangnya tiga orang yang diangkat dan diberhentikan komisaris, sedang anggota komite audit dari komisaris bertindak sebagai ketua.

Kedudukan komisaris independen dan komite audit yang dimilki oleh emiten atau perusahaan publik, adalah berkaitan dengan tanggung jawab pengawasan dari dewan komisaris. Oleh sebab itu, keberadaan dari komisaris independen yang duduk dalam komite audit dan anggota komite audit, wajib untuk mentaati ketentuan tentang kegiatan dari komite audit. Sebagai komite yang membantu fungsi pengawasan komisaris, komite audit memiliki fungsi dalam hal hal yang terkait dengan proses dan peran audit bagi perusahaan, terutama dalam pelaporan hasil audit keuangan perusahaan yang dipaparkan untuk publik.

Membangun komite audit yang efektif tidak boleh terlepas dari kacamata penerapan prinsip good corporate governance secara keseluruhan disuatu perusahaan dimana independency, transparency and disclosure, accountability, responsibility dan fairness menjadi landasan utama dalam menjalankan perusahaan.

Komite audit harus bersikap adil dalam pengambilan keputusan, hal ini ditujukan kepada semua pihak, terutama dalam penelaahan terhadap kesalahan asumsi maupun pelanggaran terhadap resolusi direksi.

Pertanyaan yang timbul sehubungan dengan hal tersebut di atas ialah, bagaimana dengan komite audit yang ditunjuk oleh komisaris perusahaan, apakah mereka benar benar mampu dan dapat bertindak secara kompeten dan independen?

Sebagai contoh Aburizal Bakrie dari Bakrie Group dan Mochtar Riady dari Lippo Group, akibat dari restrukturisasi dengan pola debt to equity swap, mengakibatkan kreditur menjadi pemegang saham mayoritas dari perusahaan yang bersangkutan, sedangkan founder menjadi minoritas. Dengan proporsi ini maka struktur perusahaan lama yang merupakan representasi dari pendiri lama, beberapa menjadi komisaris independen. Secara definisi legal per se, sah sah saja, dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, namun kita harus melihat persepsi publik. Berdasarkan Peraturan BEJ 1-A, sebetulnya mereka telah memenuhi persyaratan, namun persepsi publik wajib dipertimbangkan agar kepentingan publik tetap terjaga. Sehingga redefinisi komisaris independen harus dilakukan.

Selain itu dengan kecenderungan meningkatnya/meluasnya kewenangan komisaris independen, apalagi dengan membawahi komite audit, serta kewenangan dewan komisaris untuk dapat membentuk tim konsultan sendiri, apakah hal tersebut tidak menjadikan tanggung jawab seorang komisaris independen jadi lebih besar dari anggota komisaris lainnya. Apa saja sanksi yang dapat diberikan terhadap komisaris independen bila gagal memenuhi ketentuan. Herannya lagi bukankah keputusan dewan komisaris harus dilihat sebagai kesatuan dan tanggung jawabnya juga harus secara kolektif? Pengujian terakhir mengenai posisi komisaris independen adalah ditangan hakim, tetapi patut dipertanyakan sejauhmana para hakim memahami konsep komisaris independen, dan apa yang dipakai sebagai rujukan untuk bahan pertimbangan, UUPT, KUHPerdata, atau Keputusan Bursa Efek Jakarta?

PENUTUP

Dalam kaitan terciptanya perusahaan dengan penerapan good corporate governance, maka dianggap perlu adanya komisaris independen yang duduk dalam jajaran pengurus perseroan. Diharapkan dengan adanya komisaris independen ini tidak hanya sebagai pajangan, sebab dalam diri komisaris melekat tanggung jawab yuridis. Komisaris dalam organisasi perusahan sangat penting. Namun di Indonesia selama ini, ada dua kecenderungan. Pertama, peran komisaris mewakili pemegang saham mayoritas dan atau pemegang saham mayoritas itu sendiri. Dalam hal ini sering kali komisaris mengintervensi direksi dalam menjalankan tugasnya. Kedua, kedudukan direksi sangat kuat, direksi enggan menbagi wewenang, serta tidak memberikan informasi yang cukup. Selain itu, kompetensi dan integritas komisaris lemah, hal ini dapat terjadi karena pengangkatanya hanya didasarkan rasa penghargaan semata, adanya hubungan keluarga atau kenalan dekat. Padahal independensi komisaris adalah hal yang sangat fondamental sifatnya agar tercapai perusahaan yang corporate governance.

Kemampuan dan pemahaman komisaris independen terhadap bidang usaha emiten akan sangat mempengaruhi persetujuan dan keputusan yang dibuat, sesuai dengan tanggung jawab hukum emiten kepada pemegang saham.

Melalui surat edaran Bapepam No.03/IPM/2000 yang ditujukan kepada setiap direksi emiten dan perusahaan publik mewajibkan dibentuknya komite audit. Komite ini harus secara independen dan profesional memberikan pendapat kepada dewan komisaris, termasuk komisaris independen, dalam hal menilai dan mengidentifikasikan hal hal yang menyangkut laporankeuangan dengan berbagai pertimbangan risiko yang ada.

Perkembangan komisaris independen dewasa ini, memang masih dalam tahap awal, tetapi kita tidak boleh pesimis terhadap efektifitas dan keberadaanya didalam rangka terciptanya kegiatan pengelolaan usaha yang baik

$$$$$$$

 

 

 

 

 

 

 

 

MENGUNGKAP TINDAK KECURANGAN (KORUPSI) DENGAN BANTUAN FORENSIC ACCOUNTANT (FRAUD AUDITOR)

 

         Penyakit berdimensi ekonomi, politik, kultur, etika, moral bahkan agama, yang kini sedang menggerogoti segala aspek kehidupan kita saat ini adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) atau system kroni. Kata-kata tersebut hampir setiap hari kita baca dan kita dengar sehingga hampir membuat kita mengacuhkan dan bersikap masa bodoh terhadapnya. Kata kolusi berarti persekongkolan (collusion) atau mufakat jahat untuk melakukan suatu kejahatan yang menimbulkan kerugian pada pihak tertentu. Nepotisme adalah suatu kebijakan yang didasarkan atas hubungan keluarga yang muaranya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik bersifat keuangan atau bukan. Sedangkan system kroni adalah hubungan yang tidak didasarkan atas pertimbangan yang obyektif sama sekali. Korupsi termasuk dalam kelompok kecurangan (fraud). Dalam buku ajar yang ditulis Jones dan Bates (1990:213) dinyatakan bahwa menurut Theft Act 1968 yang termasuk dalam fraud adalah penggelapan yang mencakup berbagai jenis kecurangan, antara lain penipuan yang disengaja, pemalsuan rekening, praktik korupsi, dan lai-lain. Fraud terjadi dimana seorang memperoleh kekayaan atau keuangan melalui kecurangan atau penipuan. Korupsi pada dasarnya berhubungan dengan imbalan atau perangsang seperti suap. Dengan kata lain korupsi terjadi karena adanya suatu dorongan untuk melakukan penyuapan. Sedangkan menurut Ramsay (2000), Fraud menyangkut kesalahan disengaja yang dapat diklasifikasi kedalam dua tipe: (1) Fraudulent financial reporting yang meliputi: manipulasi, pemalsuan, atau alteration catatan akuntansi atau dokumen pendukung dari laporan keuangan yang disusun, tidak menyajikan dalam atau sengaja menghilangkan kejadian, transaksi, dan informasi penting dari laporan keuangan, dan sengaja menerapkan prinsip akuntansi yang salah, dan (2) misappropriation of assets yang meliputi; penggelapan penerimaan kas, pencurian aktiva, dan hal-hal yang menyebabkan suatu entitas membayar untuk barang atau jasa yang diterimanya. Hampir senada dengan Ramsay, Penulis lain (Calhoun dan Luizzo,1992) mengatakan bahwa irregulaties menyangkut kesalahan penyajian yang disengaja atau menghilangkan suatu jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan. Ini menyangkut fraudulent financial reporting (kecurangan pelaporan keuangan) yang menyebabkan laporan keuangan salah saji, yang kadang-kadang disebut manajemen fraud, dan misappropriation of assets, kadang-kadang disebut defalcations.

         Dalam tulisan ini yang dimaksud korupsi adalah konsep umum dan tidak terbatas seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Konsep korupsi dalam tulisan ini diartikan sebagai “perbuatan tercela” yang menimbulkan kerugian kepada lembaga public (keuangan Negara), lembaga swasta, maupun pihak perorangan.

         Teknik melakukan korupsi banyak sekali, yang kita simak tidak semuanya berkaitan langsung dengan akuntansi. Modus operandinya dapat dilakukan dalam berbagai bentuk (Regar,1998) antara lain: (1) mark-up pembelian/pengeluaran, (2) mark-up penjualan/penerimaan, (3) manipulasi pencatatan, (4) pemalsuan dokumen, (5)menghilangkan dokumen, (6) pencurian, (7) memalsukan kualitas, dan (8) membuat peraturan yang hanya membela atau menguntungkan pihak tertentu saja. Sedangkan menurut Jones dan Bates (1990), yang termasuk aktifitas-aktifitas yang cenderung korupsi adalah: (1) Tendering, hadiah dan penyelesaian kontrak, (2) pressure selling, (3) hospitality, (4) pemberian izin, lisensi, dan lain-lain untuk perencanaan atau perdagangan, (5) pembelian barang yang dikirim langsung ke tempat pembangunan dari pada ke stores, (6) konflik kepentingan yang timbul saat politikus atau pejabat (atau keluarga dan sahabat) mereka mempunyai suatu kepentingan dalam pekerjaan yang diberikan oleh badan public, (7) penggunaan peralatan khusu seperti computer atau sarana lain untuk kepentingan pekerjaan pribadi, dan (8) penghancuran dan pembuangan persediaan, mebel, dan perlengkapan yang usang.

         Dari informasi yang ada, terbukti bahwa praktik korupsi di Indonesia sudah melampaui batas dan termasuk tertinggi pada peringkat korupsi Negara-negara di Asia (misalnya di Kompas, “Korupsi di Indonesia Paling Parah di Asia,” Kamis 2 Maret 2000) bahkan di Dunia (Media Akuntansi, Juli 1999;16). Usaha-usaha untuk memberantas korupsi pembuatan Undang-undang No. 3 tahun 1971 (sekarang Undang-undang No. 31 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi) dengan peraturan pelaksanaanya, peraturan disiplin pegawai dan sumpah jabatan, bahkan dulu dengan penataran P4 bahkan menghabiskan anggaran Negara yang sangat besar, semua ini tidak menunjukkan hasil yang maksimal bahkan korupsi makin mengganas dan bahkan makin tersistem. Khusus mengenai penataran P4, sangat jelas bahwa saat itu kegiatan ini hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah bahkan tidak jarang dijadikan perisai untuk berbuat nista, seperti menjadi lahan korupsi misalnya! Sungguh ironi. Sementara perangkat pengawas keuangan dari yang tertinggi, seperti BPK (Badan Pengawas Keuangan), BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) dan berbagai tingkat inspektorat sektoral dan lintas sektoral praktis seakan tidak berdaya untuk mengurangi gelombang korupsi yang makin dahsyat.

         Salah satu upaya alternative untuk memberantas dan membuka rahasia korupsi yang sudah dahsyat tersebut adalah disamping oleh aparat BPK, BPKP, Kejaksaan dengan bantuan BPKP, adalah forensic accountant (fraud auditor). Bahkan dalam Media Akuntansi (juli 1999:17) dikatakan bahwa hampir semua auditor BPKP yang ada bisa atau dapat melakuakan pekerjaan akuntan forensic.

         Finansial audit yang diterapkan untuk menemukan penyimpangan keuangan untuk dituntut di peradilan disebut forensic auditing yang juga dimaksudkan untuk menemukan korupsi. Forensik Auditing mengandalkan kepada pengetahuan akuntansi dan auditing yang dibantu dengan kemampuan untuk melakukan penyidikan. Oleh sebab itu auditor yang sudah terlatih dalam bidang audit mempunyai potensi untuk menjadi forensic accountant. Forensic accountant adalah auditor yang melaksanakan suatu tugas yang berkenaan dengan akuntansi, auditing dan penyidikan pada umumnya dalm suatu forum peradilan umum atau forum public lainnya untuk pembahasan yang pada akhirnya sampai pada suatu kesimpulan yang akan dipergunakan oleh pihak tertentu. Forensic accountant dibekali dengan pengetahuan audit yang dalam termasuk akuntansi. Oleh sebab itu forensic accountant dapat secara efektif untuk membantu dalam menemukan dan memastikan adanya tindak pidana korupsi.

 

Institusi yang Dapat Memanfaatkan Forensic Accountant (Fraud Auditor)

         Institusi yang dapat memanfaatkan forensic accountant (fraud auditor) adalah : lembaga pemerintah;penegak hukum; pengacara; perusahaan asuransi; perbankan; lembaga peradilan; masyarakat bisnis, dan lain-lain.

 

Persyaratan keahlian audit

         Forensik auditing mengandalkan mengandalkan pada pengetahuan akuntansi dan auditing yang dibantu dengan kemampuan melakukan penyidikan. Forensic accountant (fraud auditor) dibekali dengan pengetahuan audit yang dalam termasuk akuntansi. Walaupun demikian, secara ringkas mengenai persyaratan keahlian yang harus dimiliki oleh seorang forensic accountant (fraud auditor) akan dijelaskan berikut ini.

         Orang yang ahli adalah orang yang dengan keterampilannya mengerjakan suatu pekerjaan dengan cara mudah, cepat, menggunakan intuisinya, dan sangat jarang melakukan kesalahan (Trotter dalam Murtanto dan Gudono, 1999). Menurut para ahli lain, keahlian merupakan pengetahuan tentang linkungan tertentu, pemahaman terhadap masalah dalam lingkungan tersebut dan keterampilan untuk memecahkan masalah yang timbul dalam lingkungan tersebut (Bedrad, 1998).

         Di bidang auditing, beberapa peneliti menyamakan keahlian audit dengan pengalaman audit, dan beberapa peneliti lain menggunakan penglaman ini sebagai variable pendukung keahlian. Bedrad (1998) menyatakan bahwa keahlian audit adalah pengetahuan dan ka=eahlian procedural yang luas yang ditunjukkan dalam penglaman audit. Tan dan Libby (1997) mengelompokkan keahlian dalam berdasarkan evaluasi kinerja auditor pada kantor akuntan public. Evaluasi ini di dasarkan pada pada tugas yang dibebankan pada auditor untuk menangani penugasan dari klien. Penanganan tugas tersebut memerlukan keahlian teknis dan non teknis. Sedangkan dalam Murtanto dan Gudono (1999) menyebutkan ada 5 kategori atribut personal yang ahli, yaitu: (1) komponen pengetahuan, (2) ciri-ciri psikologis, (3)kemampuan berpikir, (4) strategi penentuan keputusan, dan (5) analisis tugas.

         Pertama, komponen pengetahuan (knowledge component). Komponen pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur-prosedur dan pengalaman. Kedua, cirri-ciri psikologis (psychological traits). Atribut ini merupakan lahiriah seseorang yang memiliki hal-hal personal dari seseorang, yang meliputi kemampuan dalam berkomunikasi, kreatifitas, dapat bekerja sama dengan orang lain, dan kepercayaan terhadap keahlian. Tan dan Libby (1997) misalnya, menyatakan bahwa keahlian komunikasi dan keahlian interpersonal menjadi factor yang lebih penting dibangkan technical competence pada tingkatan manejerial.

         Ketiga, kemampuan berfikir (cognitive abilities). Atribut ini merupakan kemampuan dalam mengakumulasikan dan mengolah informasi. Salah satu contoh dari kemampuan berpikir adalah kemampuan untuk beradaptasi pada situasi yang baru yang baru dan ambiguous yaitu memberikan perhatian terhadap fakta yang relefan serta kemampuan untuk mengabaikan fakta yang tidak relevan yang dapat secara efektif digunakan untuk menghindari tekanan. Keempat, strategi penentuan keputusan (decision strategies). Strategi penetuan keputusan baik formal maupun informalakan membantu membuat keputusan yang sistematis dan membantu keahlian dalam mengatasi keterbatasan manusia (Shanteau 1989 dalam Murtanto dan Gudono, 1999).

         Kelima, analisis tugas (task analysis). Analisis tugas dipengaruhi oleh kompleksitas tugas (Raaheim, 1998; Bonner dan Lewis, 1990; dan Tan dan Libby, 1997). Sedangkan menurut Abdolmuhammadi dalam Murtanto dan Gudono (1999) menyatakan bahwa karakteristik ini banyak dipengaruhi oleh penglaman-pengalaman audit dan analisis tugas ini akan mempengaruhi pilihan terhadap bantuan keputusan oleh auditor yang mempunyai pengalaman banyak. Sedangkan menurut Tan dan Libby (1997), keahlian audit dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu: (1) keahlian teknis, dan (2) keahlian non teknis.

 

Keahlian Teknis (Technical Skills)

         Keahlian teknis merupakan kemampuan mendasar seorang auditor berupa pengetahuan procedural dan kemampuan klerikal lainnya dalam lingkup akuntansi secara umum dan auditing. Menurut Bonner dan Lewis (1990) keahlian mencakup tiga bentuk yaitu : (1) pengetahuan akuntansi dan auditing, (2) pengetahuan subspesial (derifative contract), dan (3) pengetahuan bisnis secara umum. Yang termasuk dalam keahlian teknis adalah:

a.       Komponen pengetahuan dengan factor-faktornya yang meliputi pengetahuan umum dan khusus, berpengalaman, mendapat informasi yang cukup relevan, selalu berusaha untuk tahu dan mempunyai visi.

b.      Analisis tugas yang mencakup ketelitian, tegas, professional dalam tugas, keterampilan teknis, menggunakan metode analisis, kecermatan, loyalitas, dan idealisme.

         Sedangkan menurut Regar (1998) pengetahuan yang harus dimiliki forensic accountant (fraud Auditor) adalah keahlian yang dalam mengenai: akuntansi umum (meliputi akuntansi keuangan  dan akuntansi manajemen/biaya); auditing keuangan, manajemen dan operasi; dan pengetahuan yang memadai mengenai hukum yang berkaitan dengan masalah tertentu.

 

Keahlian Non Teknis

         Keahlian non teknis merupakan kemampuan dari dalam diri seorang auditor yang banyak dipengaruhi oleh factor-faktor personal dan pengalaman. Keahlian non teknis mencakup:

a. Ciri-ciri psikologis yang meliputi rasa percaya diri, tanggungjawab, ketekunan, ulet dan enerjik, cerdik dan kreatif, adaptasi, kejujuran, dan kecekatan.

b.Kemampuan berpikir yang analitis dan logis, cerdas, tanggap dan berusaha untuk, menyelesaikan masalah, berpikir cepat dan terperinci.

c. Strategi penetuan keputusan yang mencakup independent, objektif, dan memiliki integritas.

Kemampuan atau keahlian nonteknis jug mencakup kemampuan interpersonal yang meliputi kemampuan berkomunikasi, kepemimpinan, dan dapat bekerjasama serta kemampuan relasional (Murtanto dan Gudono, 1999). Sedangkan Tan dan Libby (1997) mengelompokkan keahlian non teknis sebagai keahlian interpersonal, ciri-ciri psikologis, dan kemampuan berfikir.

         Disamping itu, forensic accountant (fraud auditor) harus memiliki ciri khusus (Regar, 1998) sebagai berikut:

a. Sikap ingin tahu (curiosity)

b.Curiga professional (professional skepticism)

c. Ketangguhan (persistence)

d.Kreatifitas (creativity)

e. Kepercayaan (confidence)

f.  Pertimbangan professional (professional judgment)

 

Apa yang dilakukan oleh Forensic Accountant (Fraud Auditor)?

         Jenis Pekerjaan yang dapat dilakukan oleh forensic accountant (fraud auditor) menurut Regar (1998) adalah sebagai berikut: penyidikan criminal ekonomi; sengketa antara pemegang saham; tututan atau klaim asuransi; penggelapan oleh karyawan; kerugian usaha; masalah profesi akuntan (misalnya penggunaan prinsip akuntansi); dan penyidikan dalam hal korupsi.

         Kalau kita lihat bahwa perkembangan teknologi forensic auditing semakin pesat untuk menjawab tantangan era baru white collar crime dan cretive accounting sendiri. Dan dalam melaksanakan pekerjaannya sendiri forensic accountant (fraud auditor) melakukan analisis, menafsirkan, mengikhtisarkan, dan menyajikan masalah keuangan dan bisnis sehingga dapat dipahami dengan dukungan bukti yang memadai seperti:

a. Penyidikan dan analisis bukti keuangan.

b.Mengkomunikasikan hasilnya dalam bentuk laporan.

c. Memberikan kesaksian sebagai ahli di persidangan peradilan dengan menyediakan dukungan bukti.

         Dalam hal korupsi, forensic accountant (fraud auditor) mempergunakan standar audit yang berlaku. Standar audit lapangan yang kedua harus dilaksanakan dengan patuh sebagai langkah awal. Standar tersebut mengatakan “pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan untuk menentukan sifat, saat, dan luas pengujian yang akan dilakukan” (Standar Akuntansi Keuangan, IAI, 1994: hal.150.2).

 

Pembahasan Mengenai Struktur Pengendalian Intern

         Perkembangan konsep pengendalian intern yang mutakhir harus dicermati oleh forensic accountant (fraud auditor) karena peranannya terbukti sangat besar dalam setiap audit. Forensic Accountant (fraud auditor) harus mempelajari dan menakuni secara sungguh-sungguh konsep tersebut, khususnya yang menyangkut dengan lingkungan pengendalian (control environment) yang salah satu komponennya adalah komite audit yang sangat mempengaruhi hasil suatu audit.

         Seperti yang dijelaskan diatas bahwa, modus operandi korupsi yang paling umum adalah mark-up pembelian/pengeluaran, mark-down penjualan/pemasukan, dan ditambah dengan dengan pengambilan komisi yang dilakukan pada BUMN/BUMD dan proyek atau lembaga pemerintah merupakan praktek yang merupakan bukan “rahasia umum” lagi. Bahanya lagi, hampir semua perbuatan in dilakukan dengan sengaja dengan memanfaatkan kelemahan struktur pengendalian intern dan juga memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki. Dan hampir semua perbuatan tersebut dilakukan secara kolusi (collusion) dengan melibatkan beberapa pihak seperti pimpinan/pejabat teras sehingga sulit untuk dilacak walaupun terlacak masalahnya langsung terkotakkan. Audit keuangan yang dilakukan oleh forensic accountant (fraud Auditor) dapat saja menemukan praktek ini jika ia diberi kewenangan yang cukup ditambah dalam melaksanakan pekerjaannya, ia melakukannya secara taat standar audit.

         Jika kita baca undang-undang yang menyangkut tindak korupsi di Indonesia (yaitu UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi), kita akan menjumpai bahwa undang-undang ini selain memberi ganjaran terhadap pelakunya, juga menguraikan cara pelaksanaan dan bagaimana mengungkapkannya. Hanya saja untuk pembuktian korupsi yang dilakukan melalui proses atau meminta bantuan forensic accountant (fraud auditor) sebagai orang yang ahli. Finansial audit yang lazim mengharuskan auditor untuk menilai apakah financial statement mengandung salah saji material sebagai akibat dari penyimpangan yang disengaja (irregularities) maupun yang tidak disengaja (errors). Standar audit yang umum pada dasarnya mampu mengetahui adanya kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja kecuali apabila dilakukan secara rapid an dengan cara kolusi seperti dijelaskan diatas. Jika audit yang akan dilakukan untuk mengetahui penyimpangan dan kecurangan (fraud) seperti korupsi, maka program audit harus diutamakan untuk maksud tersebut. Kemudian pengetahuan mengenai standar harga barang atau jasa dan pengetahuan pasarnya merepakan hal yang juga penting dikuasai oleh forensic accountant.

 

Mengapa Korupsi di Indonesia Sulit Diberantas?

         Seperti dijelaskan sebelumnya, Indonesia merupakan Negara yang paling parah penyakit korupsinya. Penyakit ini tidak hanya dimonopoli oleh lembaga pemerintah, tetapi keberadaan penyakit ini di lembaga pemerintah harus disoroti sejalan dengan keinginan untuk untuk menciptakan system pemerintahan yang bersih (good government governance). Sebenarnya Indonesia mempunyai lembaga-lembaga sebagai perangkat pengawas keuangan mulai dari tertinggi seperti badan pemeriksa keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan berbagai tingkat inspektorat sektoral dan lintas sektoral serta kantor akuntan pulik yang dapat diminta untuk melaksanakan audit jika dirasakan ada indikasi tindak pidana korupsi. Namun yang terjadi sampai detik ini kasus korupsi baik kecil maupun besar masih saja sulit diberantas, bahkan cenderung meningkat.

         Penyebab utama yang mungkin adalah karena kelemahan audit pemerintahan Indonesia. Mardiasmo (2000) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam audit pemerintahan di Indonesia, yaitu:

         Pertama, tidak tersedianya performance indicator yang memadai sebagai dasar untuk mengukur kinerja pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun daerah. Hal tersebut umum dialami oleh organisasi public karena output yang dihasilkannya berupa pelayanan public yang tidak mudah diukur. Kelemahan pertama ini bersifat inherent.

         Kedua, terkait dengan masalah struktur lembaga audit terhadap pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Permasalahannya adalah banyaknya lembaga pemeriksa fungsional yang overlapping satu dengan lainnya yang menyebabkan ketidak efisienan dan ketidakefektifan pelaksanaan pengauditan. Untuk menciptakan lembaga audit yang efisien dan efektif, maka diperlukan reposisi lembaga audit yang ada, yaitu pemisahan fungsi dan tugas yang jelas dari lembaga-lembaga pemeriksa pemerintah tersebut, apakah sebagai internal auditor atau eksternal auditor. Berdasarkan kedudukannya kedudukannya terhadap pemerintah kita mengenal adanya audit internal maupun audit eksternal. Audit internal dilaksanakan oleh Inspektorat jendral Departemen, Satuan Pengawas Interen (SPI) di lingkungan lembaga Negara/BUMN/BUMD, Inspektorat Wilayah Propinsi (Itwilprop), Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota (Itwilkab/Itwilko), dan BPKP. Sedangkan audit eksternal dilaksanakan oleh BPK sebagai unit pemeriksa yang independent karena berada di luar organisasi yang diperiksa.

         Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan diatas, Saefuddin (1997) menguraikan hal-hal yang menyebabkan mengapa korupsi di Indonesia sulit diberantas Yaitu:

1.Mental pegawai yang keropos, yang menyababkan mereka tidak ambil pusing untuk mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya. Mereka tak peduli untuk menyalahgunakan jabatan atau posisinya demi untuk kepentingan pribadi.

2.Adanya ketidakrelaan menerima gaji yang relative terbatas dibandingkan dengan tingkat kebutuhan yang layak. Hal ini menggiring mereka untuk mengejar pendapatan cepat tanpa memperhatikan proporsi.

3.Hampir seluruh jenjang berlomba mencari peluang untuk menggapai pendapatan sampingan, yang nilainya jauh lebih besar. Praktik korupsi terstruktur ini terkristalisai sejalan dengan struktur “ABS (Asal Bapak Senang)”. Implikasinya, banyak pimpinan yang  “tutup mata” ketika disodori amplop. Implikasi lebih lanjut adalah : siapa yang menolak amplop terimakasih dinilai menentang pimpinan, minimal menentang kemauan bersama. Tambahan lagi, menurut Baswir (2000) dijelaskan bahwa skandal-skandal yang terjadi di Indonesia (Buloggate misalnya) adalah disebabkan karena kekacauan manajemen keuangan public di Indonesia yang meliputi : (a) penyelenggaraan sejumlah kegiatan kegiatan public diluar mekanisme APBN, (b) dipeliharanya sejumlah dana public diluar APBN, (c) kehadiran sejumlah lembaga semipublic-semiprivat dalam lingkungan pemerrintahan. Dalam situasi manajemen keuangan public yang kacau itu, praktik korupsi terus merajalela dalam tubuh pemerintahan. Praktik korupsi di Indonesia tidak lagi dapat diisolir sebagai ekspresi niat jahat seseorang atau sekelompok orang untuk memperkaya diri mereka sendiri, melainkan telah  menjadi bagian yang integral dari system penyelenggaraan Negara yang telah dijalankan oleh pemerintah. Situasi korupsi seperti ini disebut sebagai korupsi sistemik. Artinya, tingkat perkembangan praktik korupsi di Indonesia sangat jauh melampaui tingkat korupsi personal dan korupsi institusional. Praktik korupsi di Indonesia tidak dilakukan hanya oleh beberapa orang atau oleh beberapa lembaga pemerintahan tertentu, melainkan langsung dipelihara oleh Negara.

4.Adanya diskriminasi penindakan terhadap pidana korupsi. Hanya kelas teri yang terjaring pasal pidana korupsi, sementara koruptor kelas kakap didera dengan mutasi, maksimal diberhentikan dengan tidak tidak terhormat.

         Untuk memberantas korupsi maupun penyalahgunaan jabatan dalam bentuk kolusi atau lainnya diperlukan kemauan politik dan aksi politik yang konkrit dari pemerintah. Keberadaan lembaga anti korupsi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bBebas dari korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) perlu diwujudkan peran nyatanya untuk membantu memberantas korupsi

$$$$$$$$$

Rabu, 26 Februari 2003 10:09 WIB - warta ekonomi.com
Akuntan, advokat, dan dokter spesialis dikenal luas sebagai profesi 'mapan' yang mampu memberi penghasilan bersih per tahun hingga lebih dari Rp1 miliar bagi para pelakunya. Namun, zaman sudah berubah. Sekarang profesi seperti interim executive, arsitek, investment banker, broker asuransi, artis, broker property, dan perancang busana adalah profesi-profesi yang juga mampu mencetak pelakunya menjadi miliarder.

Who wants to be a millionaire? Jawabnya, semua orang. Hampir pasti semua orang ingin kaya  atau menjadi miliarder. Sampai-sampai ada acara kuis bertajuk 'Who Wants to be a Millionaire' di televisi yang juga menjadi acara favorit penonton. Di situ, orang dari berbagai profesi berlomba mengejar perolehan Rp1 miliar jika berhasil menjawab 15 pertanyaan.
 
Akan tetapi, apakah memang itu jalan satu-satunya bagi orang untuk bisa menjadi miliarder? Sepertinya tidak. Sebab, jika orang-orang mau menekuni profesi-profesi tertentu, cepat atau lambat ia bisa juga menjadi miliarder. Profesi-profesi yang umumnya sudah dikenal orang sebagai profesi-profesi penghasil miliarder itu adalah akuntan, advokat, dan dokter spesialis.
 
Dalam dunia profesi akuntan, akuntan publik yang menjadi partner di firma-firma akuntan besar dikenal luas sebagai akuntan yang paling berpenghasilan tinggi. Firma-firma akuntan mereka ini biasanya terafiliasi dengan firma-firma akuntan kelas dunia, seperti Ernst & Young,  Pricewaterhouse Coopers, KPMG, dan Deloitte Touche Tohmatsu (DTT). Menurut sumber di kalangan akuntan, akuntan publik yang menjadi partner ini biasa dibayar setidaknya US$15.000-20.000 per bulan.
 
Ahmadi Hadibroto, ketua Ikatan Akuntan Indonesia, mengatakan akuntan publik yang memiliki  reputasi yang baik, otomatis membuat banyak pihak yang percaya menggunakan jasanya. Namun, masalahnya, tenaga dan waktu akuntan itu terbatas, maka muncullah tawar-menawar harga karena demand lebih besar daripada supply. 'Jika disetarakan, penghasilan mereka melebihi penghasilan seorang eksekutif perusahaan,' tutur Ahmadi kepada Warta Ekonomi.
 
Ini berlaku juga untuk profesi advokat atau pengacara (lawyer). Dalam profesi advokat ini, para advokat yang bekerja sebagai partner di firma-firma hukum besar rata-rata bisa berpenghasilan bersih di atas Rp1 miliar setahun. Bahkan pendapatan mereka ini bisa lebih tinggi dari senior partner yang mendirikan firma hukum itu. Pasalnya, mereka kerap mendapat bonus dan insentif jika berhasil memenangkan perkara di pengadilan. Pendapatan para advokat ini sekarang juga diperkirakan makin tinggi karena banyaknya perusahaan atau pengusaha yang membutuhkan jasa mereka dalam menangani restrukturisasi perusahaan dan sengketa bisnis.
 
Pengacara senior seperti Yan Juanda Saputra sepakat kalau dikatakan bahwa advokat tergolong profesi termahal. Lawyer-lawyer tertentu yang memiliki keahlian khusus, seperti masalah kepailitan, mempunyai jam terbang tinggi, umumnya menangani kasus-kasus besar atau biasa menjadi penasihat hukum perusahaan-perusahaan besar, disebutnya sebagai para pengacara yang bisa berpenghasilan jauh di atas Rp1 miliar dalam setahun.
 
'Kalau mereka memberi legal opinion untuk perjanjian-perjanjian yang nilainya puluhan miliar atau bahkan triliun, dan dia mengambil 0,5%-1% untuk fee, itu kan sudah besar,' tutur pemilik law firm Yan Juanda Saputra SH & Partner's ini kepada Warta Ekonomi. Menurut sumber di kalangan advokat, tokoh pengacara kepailitan seperti Hotman Paris Hutapea boleh dibilang merupakan contoh terkemuka pengacara miliarder Indonesia.
 
Profesi dokter spesialis juga dikenal luas bisa menjadikan orang sebagai miliarder. Sulit kiranya berbohong kalau rata-rata dokter spesialis di Indonesia tidak tinggi pendapatannya. Bahkan kuat ditengarai kalau pendapatan mereka sekarang ini kian tinggi dan tidak pernah turun.
 
Menurut Ahmad Djojosugito, ketua Ikatan Dokter Indonesia, jika rata-rata penghasilan dokter spesialis di Indonesia Rp1 miliar per tahun, itu tergolong biasa. Banyak dokter spesialis yang sebenarnya berpenghasilan Rp100-120 juta per bulan. 'Bahkan ada rekan saya yang berpenghasilan Rp240 juta per bulan,' ujar Ahmad yang juga direktur jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan ini kepada Warta Ekonomi.
 
Dari sekian banyak dokter spesialis, maka dokter spesialis bedah jantung (cardiac surgeon) yang ditengarai kuat sebagai yang termahal. Tarmizi Hakim, dokter ahli bedah jantung Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, mengemukakan ada beberapa hal yang menyebabkan dokter ahli bedah jantung dibayar mahal. Pertama, karena jumlahnya di Indonesia hanya sedikit, hanya 27 orang. 'Itu pun kebanyakan berada di Jakarta,' ujar Tarmizi yang juga direktur medical and research RS Jantung Harapan Kita ini.
 
Kedua, bedah jantung merupakan bidang yang berbiaya tinggi, memerlukan teknologi canggih, dan berisiko tinggi. 'Jadi, sebenarnya, apa yang didapat sesuai dengan risiko yang ditanggung,' tutur Tarmizi. Sayangnya, Tarmizi enggan menyebut secara pasti jumlah penghasilan yang didapat dokter ahli bedah jantung seperti dirinya.
 
Menurut Tarmizi, kalau dibanding standar gaji dokter ahli bedah jantung di Singapura, penghasilan dia hanya sepertiganya. Sementara itu, kalau dibandingkan dengan standar gaji dokter ahli bedah jantung di AS, penghasilannya tidak sampai sepersepuluhnya. 'Di Amerika, ada seorang ahli bedah jantung senior, terbaik, dan termahal, penghasilannya bisa mencapai US$1 miliar per tahun,' papar Tarmizi yang mengaku pernah ditawari bekerja di rumah sakit di Australia dengan gaji menggiurkan ini.
 
Profesi-Profesi Penghasil Miliarder

Lalu, apakah hanya profesi-profesi 'mapan' seperti akuntan, pengacara, dan dokter spesialis saja yang bisa menghasilkan banyak miliarder? Kalau menilik hasil penelusuran yang dilakukan Warta Ekonomi (lihat boks 'Mencari Profesi-Profesi Termahal'), ternyata ada tujuh profesi lain yang juga mencetak miliarder. Setidaknya 10 orang yang menekuni masing-masing ketujuh profesi itu layak disebut miliarder-miliarder juga. Profesi-profesi itu adalah broker properti, broker asuransi, interim executive, investment banker, perancang busana, artis, dan arsitek.
 
Orang mungkin tak bakal heran kalau profesi seperti artis dan perancang busana cukup banyak mencetak miliarder. Nama artis top seperti Krisdayanti kiranya sulit dimungkiri kalau penghasilannya mampu lebih di atas Rp1 miliar setahun. Menurut sumber di kalangan manajemen artis, bayaran Krisdayanti untuk sekali naik panggung saja bisa mencapai Rp250 juta.
 
Demikian juga halnya perancang busana atau desainer. Perancang busana papan atas seperti Kanaya Tabitha mengaku penghasilannya bisa mencapai lebih dari Rp1 miliar setahun. 'Seorang desainer mungkin saja bisa membukukan pendapatannya lebih dari Rp1 miliar setahun,' ujar Kanaya kepada Warta Ekonomi.
 
Kanaya mulai menggeluti profesi perancang busana sejak 1998. Ia hanya berbekal pendidikan desainer selama setahun ditambah kursus singkat. Belum lama menjadi perancang busana, Kanaya nekat menggelar acara peragaan busana karyanya. Hasilnya luar biasa. Usai acara itu, Kanaya mengaku berhasil memperoleh pendapatan hingga Rp200 juta waktu itu. 'Tidak sampai sebulan setelah acara peragaan busana itu,' tutur Kanaya.
 
Sejak itu, rezeki terus mengalir ke kantong Kanaya. Permintaan pembuatan busana terus berdatangan, terutama pemesanan seragam perusahaan dan lembaga pemerintahan. Belum lagi pendapatan dari penyewaan busana yang bisa mencapai puluhan juta rupiah sekali pinjam. Ia mengungkapkan, rumah mode Kanaya yang dimilikinya bisa mendulang pendapatan hingga lebih dari Rp10 miliar per tahun. 'Saya akan membuka dua butik baru lagi tahun ini,' tuturnya.
 
Namun, bagaimana halnya dengan profesi lain, seperti broker properti, yang ternyata bisa mencetak miliarder-miliarder juga? Mungkin bisa disimak pengalaman salah seorang broker properti bernama Ali Hanafiah. Direktur utama Century 21 Pertiwi Jakarta ini mulai menekuni profesi broker properti sejak tahun 1998 dengan bekal pengalaman sebagai project manager pembangunan sebuah kawasan perumahan.
 
Dalam tempo setahun, perusahaannya yang terafiliasi dengan perusahaan broker internasional Century 21 sudah mencatatkan diri sebagai top sales office Century 21 se-Indonesia. Saat itu ia rata-rata mampu menjual 10-15 unit properti sebulan, mulai dari rumah, kavling tanah, ruko, hingga pabrik, dengan rata-rata nilai transaksi mencapai Rp750 juta-Rp1,5 miliar. Sementara itu, fee yang ia pungut sebesar 2%-3% dari nilai transaksi. Fee itu kemudian dipotong royalti sebesar 10,8% ke kantor pusat Century 21, dan setelah itu dibagi dua dengan agen properti yang menjadi bawahannya.
 
Menginjak tahun 2000 hingga sekarang, perusahaannya terus berhasil bertahan sebagai salah satu top sales office Century 21 se-Indonesia. Rata-rata penjualannya pun terus meningkat. Ia rata-rata mampu menjual 20-25 unit properti per bulan. Bahkan ia pernah berhasil menjual tanah senilai Rp9,1 miliar, gedung perkantoran senilai Rp43 miliar, kompleks pertokoan senilai Rp25 miliar, dan pabrik senilai Rp36 miliar. Dari kebolehannya menjadi broker properti inilah bisa digambarkan betapa Ali jelas mampu memperoleh penghasilan di atas Rp1 miliar per tahun.
 
Menurut Ali Hanafiah, dibandingkan dirinya yang merupakan broker properti yang terafiliasi dengan perusahaan broker properti dunia, sekarang ini ada kecenderungan justru broker properti yang bersifat perorangan atau tak resmi yang penghasilannya bisa lebih besar. Mereka ini khusus menangani transaksi puluhan hingga ratusan miliar rupiah dan bisa mendapatkan fee hingga 10%
yang sepenuhnya masuk ke kantongnya sendiri sehingga penghasilannya pun praktis bisa puluhan miliar rupiah per tahun. 'Mereka bisa begitu karena sudah mendapatkan kepercayaan besar dari para klien,' ujar Ali kepada Warta Ekonomi.
 
Bagaimana pula dengan profesi arsitek? Mungkinkah profesi ini bisa mencetak para miliarder? Menurut Bambang Eryudhawan, ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta, hal itu bisa terjadi karena si arsitek mendapatkan banyak proyek dan nilai proyeknya pun besar. 'Terutama gedung-gedung bertingkat tinggi yang nilai proyeknya miliaran rupiah seperti hotel dan gedung perkantoran,' ujar Bambang kepada Warta Ekonomi.
 
Bambang menambahkan bahwa sebenarnya ada standar penetapan fee dalam menentukan jasa layanan arsitek. Dalam hal ini, IAI mengeluarkan suatu pedoman yang sifatnya tidak mengikat. Misalnya, untuk proyek pembangunan rumah tinggal seluas di atas 250 meter persegi, besarnya fee yang didapat si arsitek minimal 8% dari nilai proyek. 'Tetapi umumnya besarnya fee arsitek bisa dinegosiasikan dengan pemilik proyek dan biasanya jauh lebih besar dari ketetapan itu,' tutur Bambang. Menurut sumber di kalangan arsitek, tokoh arsitek seperti Hendra Hadiprana dan keluarganya merupakan contoh terkemuka arsitek-arsitek miliarder Indonesia.
 
Profesi investment banker juga tak kalah banyak menghasilkan miliarder. Dalam dunia profesi bankir, profesi inilah yang dikenal luas paling mampu memberikan penghasilan tertinggi. Ia berbeda dengan profesi commercial banker yang fungsinya menghimpun dana dari masyarakat berbentuk tabungan atau deposito dan disalurkan lagi ke masyarakat. Seorang investment banker lebih berfungsi sebagai jembatan antara pemilik dana dan pihak yang membutuhkan dana. Misalnya, pemerintah yang melakukan divestasi atau ketika sebuah perusahaan melakukan go public karena membutuhkan dana bisa dijembatani oleh investment banker dengan para investor asing.
 
Para investment banker ini khas dikenal mampu melakukan pemindahan uang dalam jumlah besar dengan cepat. Dari kemampuan khusus inilah mereka akan mendapatkan kompensasi besar, terutama dalam bentuk bonus. Menurut seorang investment banker yang tak mau disebut namanya, tokoh-tokoh seperti Jonathan Chang, CEO JP Morgan Chase Indonesia dan Helman Sitohang, CEO CSFB Indonesia adalah contoh investment banker Indonesia yang terkemuka saat ini. Penghasilan mereka diperkirakan di atas Rp1 miliar dalam setahun.
 
Memang sebagian pengamat mengatakan bahwa dalam kondisi perekonomian nasional yang tak begitu cerah seperti saat ini, banyak membuat investment banker menjadi 'gerah' dan ingin berganti profesi saja. Namun, menurut sebagian pengamat yang lain, sesungguhnya penghasilan seorang investment banker tidaklah turun. Artinya, para investment banker yang merupakan perwakilan dari lembaga investment bank asing seperti CSFB dan JP Morgan Chase tidaklah turun penghasilannya.
 
Hal itu disebabkan mereka sebenarnya tidak hanya menguasai pasar di dalam negeri saja tetapi juga di luar negeri. Jadi, saat kondisi perekonomian nasional normal, mereka sebenarnya sudah memperoleh keuntungan besar di Indonesia dan sudah cepat-cepat keluar dari pasar Indonesia ketika mencium gejala pasar akan memburuk.
 
Ada lagi profesi bernama interim executive yang juga mampu menghasilkan miliarder-miliarder. Orang-orang yang disebut interim executive ini pada intinya bertugas untuk membenahi kondisi sebuah perusahaan dalam jangka waktu tertentu. Ia terutama memiliki latar belakang keahlian di bidang konsultan manajemen dan ahli dalam melakukan restrukturisasi grup usaha yang sedang mengalami kesulitan.
 
Profesi interim executive ini memang tak banyak dikenal di Indonesia. Padahal di negara-negara Barat, profesi ini sudah dikenal lama. Namun, sejak satu-dua tahun belakangan, interim executive mulai banyak dicari di Indonesia.
 
Pasalnya, banyak perusahaan membutuhkan jasa mereka untuk mengembalikan keadaan perusahaan yang tak menguntungkan menjadi menguntungkan. Boleh dibilang, hampir semua perusahaan yang masuk 'perawatan' di BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) membutuhkan jasa mereka. 'Ia mirip seperti tentara bayaran,' ujar Peter Ong, presiden i2bc (Indonesia Infocosm Business Community).
 
Karena tugasnya itu berisiko tinggi, wajar saja jika para interim executive ini dikontrak perusahaan dengan nilai yang jauh lebih besar dibanding gaji pegawai perusahaan itu sendiri. Mereka ini bisa merupakan interim CEO (chief executive officer), interim CFO (chief financial officer), atau interim manager saja. Mereka ini tidak terlalu mementingkan jabatan atau posisi mereka di perusahaan. Asal bayarannya sesuai, diberi kartu nama dengan jabatan supervisor juga mereka tak keberatan.
 
Munculnya para miliarder dari profesi interim executive ini bukan tanpa sebab. Banyak perusahaan di Indonesia sekarang ini sedang melakukan restrukturisasi. Mereka ini sebenarnya membutuhkan jasa konsultansi manajemen untuk restrukturisasi perusahaan mereka. Namun, mereka cenderung enggan menggunakan jasa firma-firma konsultan manajemen kelas dunia seperti Accenture, McKinsey, Boston Consulting Group, dan lain-lain. Alasannya, bayarannya terlalu mahal, hingga puluhan juta dolar AS, sementara hasilnya mereka anggap tidak terlalu istimewa.
 
Pilihan mereka kemudian jatuh kepada para interim executive, yaitu individu-individu yang memang jago restrukturisasi (restructuring specialist) atau perusahaan nasional yang memiliki kemampuan serupa tetapi bayarannya lebih murah dan hasilnya jelas. Daripada membayar global consulting firm puluhan juta dolar AS, lebih baik mereka mengontrak interim executive dengan bayaran 'cuma' ratusan ribu dolar AS. Order perusahaan-perusahaan untuk restrukturisasi ini yang sekarang diduga kuat banyak beralih ke individu-individu seperti interim executive.
 
Barrier to Entry dan Pendapatan

Jika diperhatikan, kesepuluh profesi pencetak para miliarder itu memiliki perbedaan mendasar dalam menghasilkan miliarder. Ini penting untuk menjawab pertanyaan bagaimana bisa kesepuluh profesi itu mencetak miliarder-miliarder. Kesepuluh profesi itu kiranya bisa dibedakan antara profesi yang bersifat tertutup dan bersifat terbuka.
 
Apa yang dimaksud dengan adanya profesi tertutup dan profesi terbuka? Profesi tertutup dapat diartikan kurang lebih adalah profesi yang memiliki syarat-syarat profesional yang ketat. Dalam profesi ini, seseorang umumnya dituntut harus melewati jalur pendidikan tinggi formal terlebih dahulu yang sesuai dengan profesi itu. Kemudian ia juga disyaratkan harus memiliki keahlian khusus dan sertifikasi tertentu untuk bisa menggeluti profesi itu.
 
Di samping itu, dalam profesi tertutup, biasanya juga dicirikan oleh adanya organisasi profesi (self regulatory body) yang secara ketat mengawasi para anggotanya, termasuk memberikan sanksi. Orang yang menekuni profesi tertutup ini umumnya juga memiliki kode etik profesi dan kewajiban mempertanggungjawabkan pekerjaan profesinya kepada publik. Dengan kata lain, profesi tertutup ini memiliki tingkat barrier to entry yang tinggi. Dokter spesialis bedah jantung merupakan contoh ekstrem profesi yang bersifat tertutup ini.
 
Sementara itu, yang dimaksud dengan profesi terbuka kurang lebih adalah profesi yang tidak diatur secara ketat seperti profesi tertutup. Untuk bisa menekuni profesi terbuka ini, orang tak diharuskan menempuh pendidikan tinggi formal khusus yang sesuai profesi itu. Ia juga tak harus memiliki sertifikasi khusus sesuai profesi itu.
 
Dengan kata lain, profesi terbuka ini memiliki tingkat barrier to entry yang tidak terlalu tinggi. Profesi artis merupakan contoh ekstrem profesi yang bersifat terbuka ini. Meskipun demikian, kehadiran profesi terbuka ini sangat nyata di masyarakat dan terus berkembang. Para pelakunya juga sudah mengarahkan profesi itu untuk bisa semapan profesi tertutup. Misalnya, sudah ada organisasi profesinya walaupun tidak mengatur secara ketat anggotanya.
 
Makin Terdidik, Makin Kaya ?

Lantas, apa makna dari adanya tingkat barrier to entry yang berbeda-beda dari sepuluh profesi pencetak miliarder? Nilai apa yang bisa diambil dari pembedaan profesi terbuka dan tertutup? Apakah ada hubungan antara tingginya tingkat barrier to entry sebuah profesi dan besarnya penghasilan pelaku profesi itu?
 
Dalam bahasa logika sederhana, normalnya, makin sulit atau ketat persyaratan (barrier to entry) yang harus dilalui seseorang untuk bisa menekuni sebuah profesi, maka seharusnya profesi itu bisa memberikan pendapatan yang makin tinggi dan bahkan bisa menjadikan seseorang sebagai miliarder. Alasannya, persyaratan ketat itu membuat tak semua orang bisa menekuni profesi itu dengan mudah. Misalnya, profesi tertutup seperti dokter spesialis bedah jantung. Karena jumlah orang yang menekuni profesi itu sedikit, sementara jasa profesi itu sangat dibutuhkan masyarakat, maka terjadilah mekanisme pasar.
 
Jadi, hukum supply and demand menjadi berlaku di sini. Karena supply kurang, sementara demand berlebih, maka muncul harga produk jasa yang tinggi. Dengan kata lain, orang yang menekuni profesi tertutup ini besar kemungkinan berpenghasilan tinggi atau menjadi kaya. Logika semacam itu persis seperti nasihat orang tua supaya anaknya bersekolah setinggi mungkin supaya nanti bisa kaya.
 
Akan tetapi, lalu sesungguhnya ada paradoks. Ada profesi terbuka seperti artis yang penghasilannya bisa sama tingginya dengan penghasilan profesi tertutup seperti dokter spesialis bedah jantung. Ini artinya ada profesi yang memiliki tingkat barrier to entry yang lebih rendah bisa juga mencetak miliarder-miliarder seperti halnya profesi-profesi yang memiliki tingkat barrier to entry yang lebih tinggi. Paradoks seperti ini seolah-olah menasihati anak-anak bahwa tidak usah sekolah tinggi-tinggi atau terlalu lama, tetapi sewaktu masih muda mulailah berbisnis atau mengembangkan bakat seni.
 
Mengapa paradoks itu bisa terjadi? Penyebabnya agaknya bisa bermacam-macam. Misalnya, profesi artis. Banyak artis top tak kesulitan berpenghasilan Rp1 miliar ke atas diduga karena memang memiliki kualitas yang jauh lebih tinggi dibanding artis-artis lainnya. Mereka pantas berpenghasilan tinggi hingga mencapai miliaran rupiah setahun karena memang sangat berkualitas.
 
Menurut Peter Ong, jika pendapatan para artis digambarkan dalam bentuk piramida, maka piramida pendapatan para artis itu akan berbentuk mengerucut ke atas. Artinya, ada kesenjangan pendapatan yang besar antara pendapatan artis top dan pendapatan artis yang berada di bawahnya.
 
Ini berbeda halnya, misalnya, dengan gambar piramida pendapatan profesi akuntan yang lebih membesar ke bawah. Artinya, rata-rata akuntan memang tinggi pendapatannya. 'Karena memang sudah ada standar internasionalnya untuk menentukan besarnya penghasilan mereka,' ujar Peter. Kalau kemudian ada akuntan yang mampu memiliki pendapatan lebih tinggi, itu lebih disebabkan layanan mereka lebih baik dibanding layanan akuntan yang lain.
 
Faktor Waktu dan Tempat

Selanjutnya bagaimana perkembangan kesepuluh profesi pencetak para miliarder di masa depan? Apakah kesepuluh profesi itu di perjalanan tahun 2003 dan tahun-tahun berikutnya masih bisa menjadi profesi-profesi pencetak miliarder? Apakah nanti semua profesi yang memiliki tingkat barrier to entry yang tinggi, otomatis kompensasinya mesti tinggi? Atau, apakah justru makin banyak terjadi paradoks hubungan antara tingkat barrier to entry sebuah profesi dan besarnya penghasilan?
 
Jawabannya agaknya sangat bergantung pada perubahan kurun waktu. Bisa jadi profesi yang dahulu atau sekarang banyak mencetak miliarder, nantinya tidak lagi demikian. 'Ini terjadi di profesi seperti distributor MLM (multilevel marketing). Pelakunya yang mampu menjadi miliarder, sejauh ini, saya lihat masih itu-itu saja tanpa banyak perubahan,' ujar Irham Dilmy, partner perusahaan executive search Amrop Hever Indonesia.
 
Dugaan yang sama muncul juga di profesi konsultan manajemen. Perusahaan-perusahaan konsultan manajemen kelas dunia seperti McKinsey, Accenture, Boston Consulting Group, dan Ernst & Young saat ini ditengarai sedang mengalami kesulitan bisnis karena banyak perusahaan klien mereka sekarang enggan memakai jasa mereka. Kalaupun masih memakai, banyak perusahaan klien mereka meminta pemotongan biaya-biaya konsultansi yang mereka anggap tak perlu. Padahal perusahaan konsultan manajemen kelas dunia itu dihuni oleh orang-orang berpendidikan tinggi, lulusan sekolah manajemen terkenal dan bergaji tinggi.
 
Perusahaan-perusahaan kini banyak berpaling menggunakan jasa interim executive individual atau perusahaan konsultan yang bukan perusahaan konsultan global. Alasannya, harga mereka jauh lebih murah dan hasilnya juga tak kalah baik. 'Ini fenomena baru yang terjadi setahun belakangan ini dan akan makin menjadi-jadi karena perusahaan tidak akan kuat membayar konsultan puluhan juta dolar AS,' tutur Irham.
 
Olengnya bisnis konsultan manajemen global juga tak lepas dari hadirnya era transparansi sekarang ini. Momentum era transparansi ini memang banyak mengubah peta bisnis sekarang ini dan eksistensi profesi-profesi pencetak miliarder yang lain. Mencuatnya skandal-skandal keuangan seperti kasus Enron tempo hari lalu membuat banyak orang bertanya-tanya tentang peranan firma-firma akuntan global dan perusahaan konsultan manajemen. Muncul kemudian peraturan-peraturan yang membatasi perusahaan dalam memakai jasa mereka. Misalnya, perusahaan tak lagi boleh memakai perusahaan yang sama untuk jasa audit dan konsultan manajemen.
 
Namun, bisa juga nanti muncul profesi-profesi baru yang bisa mencetak miliarder. Misalnya, profesi financial planner. Profesi ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari profesi broker asuransi. 'Banyak mantan broker asuransi sekarang menjadi financial planner,' ujar Hotbonar Sinaga, ketua umum  kepada Warta Ekonomi.
 
Menurut Irham, nantinya profesi broker asuransi bakal diatur makin ketat. Untuk bisa menjadi seorang broker asuransi, orang harus memiliki sertifikasi berupa Certified Financial Planner (CFP). Untuk bisa mendapatkan sertifikat CFP ini, orang pun juga diharuskan minimal telah menempuh pendidikan sarjana S-1.
 
Lalu, saat menjual produk asuransi, seorang broker asuransi akan diminta menunjukkan nomor  registrasi sertifikat CFP yang dimilikinya. 'Jadi, nanti tidak bisa lagi ada orang datang berjualan produk asuransi seenaknya,' ujar Irham.
 
Irham menambahkan, saat ini, organisasi para financial planner di Indonesia juga baru saja terbentuk. Profesi financial planner ini tak hanya berperan di industri asuransi tetapi juga bakal berperan penting di industri dana pensiun dan bancassurance. 'Di negara seperti Singapura, persyaratan memiliki sertifikat CFP sudah diberlakukan dan penghasilannya bisa jauh lebih tinggi dari akuntan yang pendapatannya cenderung lebih fixed,' tutur Irham.
 
Selain pengaruh perubahan kurun waktu, faktor perbedaan tempat juga sangat menentukan dinamika perkembangan profesi-profesi pencetak miliarder. Artinya, profesi-profesi yang bisa menghasilkan miliarder-miliarder di luar negeri belum tentu berlaku juga di Indonesia. Demikian juga sebaliknya.
 
Dalam profesi akuntan, misalnya. Di negara-negara Barat, sebenarnya ada sertifikasi CISA untuk bisa menjadi seorang auditor. Di Indonesia pun ditaksir hanya sekitar 50 orang auditor yang mempunyai sertifikat CISA. Namun, kebanyakan perusahaan di Indonesia tidak mengerti itu sehingga banyak perusahaan tidak meminta adanya sertifikasi itu bagi para auditor yang akan mengaudit laporan keuangan perusahaan mereka. 'Jadi, buat mereka, siapa pun oke untuk mengaudit,' tutur Peter Ong.
 
Kemudian kultur perusahaan di Indonesia, terutama di perusahaan konglomerasi yang berdasar saham utama keluarga, juga banyak menentukan besarnya apresiasi terhadap profesi-profesi yang seharusnya berpenghasilan tinggi. Misalnya, walaupun seorang akuntan yang bekerja di sebuah perusahaan memiliki sertifikasi akuntan yang tinggi, belum tentu berpenghasilan tinggi. Pasalnya, pemilik perusahaan lebih banyak mempercayakan manajemen keuangan di perusahaannya kepada orang yang lebih dipercayainya. Otomatis orang yang lebih dekat dengan pemilik akan berpenghasilan lebih tinggi dibanding para profesional yang ada di perusahaan itu.
 
Mencari Profesi-Profesi Termahal

Beragam profesi hadir dan berkembang di masyarakat. Namun, untuk mencari profesi-profesi apa saja yang termahal tentu bukan pekerjaan gampang. Untuk itu Warta Ekonomi mengadakan diskusi panel dengan dua orang ahli, yaitu Irham Dilmy, partner perusahaan executive search Amrop Hever Indonesia, dan Peter Ong, presiden asosiasi bisnis i2bc (Indonesia Infocosm Business Community), serta tim riset PinPoint Databases.
 
Berangkat dari pengertian kata 'profesi' bisa dipilah menjadi profesi tertutup dan terbuka, hasil diskusi panel Warta Ekonomi kemudian menyimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat atau derajat barrier to entry antara profesi yang satu dan profesi yang lain. Artinya, ada profesi yang memiliki persyaratan ketat untuk bisa dilakukan oleh seseorang. Akan tetapi, ada juga profesi yang bisa dijalankan seseorang dengan persyaratan yang longgar.
 
Berdasarkan adanya perbedaan tingkat barrier to entry profesi itu, kemudian dicoba dibuat peta persepsi profesi-profesi apa saja yang termahal. Pengertian 'termahal' yang dimaksud di sini adalah profesi-profesi yang mampu memberikan penghasilan bersih bagi pelaku profesi itu setidaknya Rp1 miliar dalam setahun.
 
Persepsi besarnya penghasilan mereka ini juga diperkuat wawancara mendalam dengan narasumber-narasumber di industri yang terkait dengan profesi itu. Besarnya penghasilan itu juga lebih merupakan angka kisaran dan tidak secara khusus mengacu kepada individu. Peta persepsi itu memperkirakan ada 10 profesi yang layak disebut profesi-profesi termahal karena setidaknya ada 10 orang pelaku profesi itu berpenghasilan bersih setidaknya Rp1 miliar dalam setahun. Kesepuluh profesi yang dipersepsikan termahal itu adalah akuntan, pengacara, dokter spesialis, investment banker, interim executive, broker properti, broker asuransi, artis, perancang busana, dan arsitek.
 

$$$$$$$

Depkeu Siapkan RUU Akuntan Publik

JAKARTA, (PR).-
Departemen Keuangan saat ini sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Akuntan Publik (RUU AP). Langkah ini ditempuh untuk mengakomodasikan besarnya tuntutan masyarakat terhadap integritas dan profesionalisme akuntan publik (AP) serta perkembangan lingkungan sosial, teknologi, dan liberalisasi perdagangan jasa yang semakin kompleks yang memengaruhi profesi AP.

"RUU yang tengah digodok itu nantinya akan mengatur antara lain mengenai regulasi profesi AP termasuk di dalamnya tentang pemberian izin, pembinaan dan pengawasan, pendidikan dan pelatihan, pemberian sanksi, penetapan standar, registrasi asosiasi profesi, dan penyelenggaraan ujian profesi," ujar Kepala Biro Humas Depkeu Maurin Sitorus di Jakarta, Senin (29/9).

Menurutnya, tujuan adanya regulasi dalam bentuk undang-undang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan publik dan profesi AP, menunjang perkembangan perekonomian yang sehat, efisien, transparan, dan akuntabel. Selain itu, guna memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi publik, regulator, dan profesi AP dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, serta menjaga kualitas jasa AP.

Hal lain yang akan diatur adalah bahwa kantor akuntan publik (KAP) harus bebas dari kecurangan, ketidakjujuran, dan kelalaian; menjaga rahasia informasi; memelihara kertas kerja selama 10 tahun; menjalankan sistem pengendalian mutu; memiliki NPWP; dan mempunyai kantor yang terisolasi dari kegiatan lain. Bagi KAP yang mempekerjakan tenaga ahli asing, wajib memiliki dan menjalankan program alih pengetahuan dari tenaga ahli yang bersangkutan kepada profesi akuntan dan dunia pendidikan akuntansi.

Adapun hak AP dan KAP adalah (i) memberikan jasa audit atas laporan keuangan, jasa atestasi, dan jasa review atas laporan keuangan, (ii) mendapat imbalan atas jasa yang diberikan, dan (iii) tidak dapat dituntut dalam hal melaporkan indikasi tindak pidana yang dilakukan oleh klien. Selain itu, AP dan KAP juga bertanggung jawab atas seluruh jasa yang diberikan, termasuk tanggung jawab pidana dan tanggung jawab perdata.

Larangan

Di samping hak dan kewajiban, juga akan diatur larangan AP memberikan jasa bila AP yang bersangkutan tidak independen, demikian pula tidak boleh memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan untuk klien dalam kurun waktu berturut-turut lebih dari tiga tahun.

"Selain itu, AP juga dilarang merangkap jabatan tertentu, misalnya sebagai pejabat negara, pimpinan atau pegawai instansi pemerintah, BUMN, BUMD, atau badan hukum lainnya," ungkap Maurin.

Larangan jabatan rangkap tersebut menurutnya dikecualikan bagi AP yang merangkap sebagai dosen perguruan tinggi yang tidak menjabat struktural. Sama halnya seperti AP, KAP juga dilarang memberikan jasa apabila KAP yang bersangkutan tidak independen. KAP juga dilarang memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan untuk klien yang sama berturut-turut untuk jangka waktu lebih dari lima tahun. KAP dilarang memberikan jasa yang tidak berkaitan dengan keuangan, akuntansi, dan manajemen serta dilarang memperkerjakan/menggunakan jasa pihak terasosiasi yang menolak/tidak bersedia memberikan keterangan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan terhadap AP dan KAP.

"Ada tiga jenis sanksi bagi AP dan KAP yang melanggar ketentuan, yaitu sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana," tandasnya. Sanksi administratif berupa denda, peringatan, pembekuan izin, dan pencabutan izin.

Menurutnya, sanksi perdata berupa tuntutan ganti rugi dari pihak yang menderita kerugian sebagai akibat pelanggaran AP dan KAP. "Sanksi pidana diberikan kepada AP dan KAP serta pihak terasosiasi yang melakukan pelanggaran. Misalnya memberikan pernyataan tidak benar atau memberikan dokumen palsu untuk mendapatkan atau memperbarui izin; melakukan kecurangan, ketidakjujuran atau kelalaian dalam memberikan jasa yang dapat merugikan pihak lain; menghancurkan atau menghilangkan kertas kerja atau dokumen lain yang berkaitan dengan pemberian jasanya," tuturnya.

Sanksi pidana kurungan diberikan kepada AP sekurang-kurangnya satu tahun dan selama-lamanya enam tahun atau denda sekurangnya Rp 50 juta dan sebesar-besarnya Rp 300 juta. Sedangkan KAP dikenai sanksi pidana denda sekurang-kurangnya Rp 100 juta dan sebesar-besarnya Rp 2,5 miliar. Pihak terasosiasi yang melakukan kecurangan untuk kepentingan AP atau merugikan pihak lain, demikian pula jika menghancurkan dokumen untuk kepentingan KAP, dikenai sanksi yang sama dengan sanksi pelanggaran yang dilakukan AP. (A-80)***