Profesi-Profesi Termahal Masa Depan: Makin Mahal dengan Sertifikasi
Standar Global |
Jum'at,
22 Oktober 2004 10:48 WIB - warta ekonomi.com Kebutuhan dan apresiasi terhadap pelaku profesi
bersertifikasi standar global, seperti CFA, ChFC, FRM, CPIM, CPM, CISA,
dan sebagainya, makin tinggi. Sertifikasi profesi terbukti menunjang
karier dan peningkatan penghasilan para penyandangnya. Tri Djoko Santoso kini menyimpan dua kartu nama dalam sakunya. Kartu
nama pertama menunjukkan identitas dirinya sebagai wakil
presdir PT Panin Life Tbk., tanpa ada tambahan embel-embel lagi.
Adapun kartu kedua mencantumkan gelar (professional designation)
Chartered Financial Consultant (ChFC) di belakang namanya.
"Itu saya perlukan kalau sedang dinas ke luar
negeri atau bertemu dengan kolega saya yang
kebetulan orang asing di Indonesia," ujarnya. Tri berharap kartu nama kedua bisa lebih mempertebal keyakinan mitra
asingnya bahwa dia dengan orang yang kompeten di bidang
asuransi dan layak dihargai karena menyandang gelar
sertifikasi berstandar global, yaitu ChFC. "Kadang kartu nama
itu juga saya tunjukkan ke klien atau nasabah," ungkap Tri.
Meski tanpa sertifikasi ChFC, perkembangan karier dan gaji Tri cukup
baik, karena zaman makin terbuka, pengakuan yang bersifat
internasional seperti gelar ChFC amat diperlukannya. Sertifikasi ChFC milik Tri diperolehnya dari
The American College. Selain pengakuan internasional,
apa lagi manfaatnya? "Banyak sekali," paparnya. Oleh
karena program sertifikasi lebih bersifat aplikatif, banyak
sekali pengetahuan baru yang tak ia peroleh di
bangku kuliah. Selain itu, apresiasi industri jasa keuangan
terhadap mereka yang bersertifikasi global juga makin tinggi.
"Mereka makin dihargai karena keahliannya
berkaliber internasional dan ini akan terus bergulir," tandasnya. Sertifikasi Profesi Jadi Tuntutan Hari mencermati, sekarang makin banyak profesi baru yang belum disentuh
banyak orang dan membutuhkan upaya sertifikasi, baik
yang bersifat global maupun nasional.
Misalnya, sertifikasi profesi di bidang manajemen risiko, corporate
secretary, konsultasi manajemen, komite audit perusahaan publik,
audit ISO, audit TI, dan audit lingkungan. "Mereka yang
benar-benar kompeten di bidang itu sekarang banyak
dicari," paparnya. Di bidang hukum juga berkembang
sertifikasi profesi mediator profesional yang memberikan jasa
mediasi untuk penyelesaian sengketa komersial di luar pengadilan. Ke depan, lanjut Hari, tak semua orang boleh menamakan dirinya
berprofesi di bidang itu karena tuntutan
pertanggungjawaban profesi cenderung makin tinggi, seperti halnya
profesi akuntan, advokat, notaris, dokter, dan apoteker, yang
sampai dilindungi UU. Misalnya, dalam kasus pencemaran Teluk Buyat,
seharusnya ada opini dari auditor lingkungan
independen dan bersertifikasi standar global yang layak
disajikan dan memiliki akuntabilitas publik. "Ini belum
ada. Namun, lima tahun mendatang pasti profesi ini banyak dicari, sehingga
prospeknya bagus," kata Hari. Di bidang audit TI, Surdiyanto Suryodarmodjo, presiden
ISACA (Information Systems Audit and Control
Association) Indonesia Chapter, membenarkan bahwa auditor TI
yang memiliki gelar CISA (Certified Information Systems
Auditor) yang dikeluarkan ISACA, AS, makin dibutuhkan. "Padahal
di sini pemilik gelar CISA baru 30-50 orang," paparnya.
Ia menambahkan, sertifikasi CISM (Certified Information Security
Manager) yang dikeluarkan ISACA untuk para manajer TI,
juga sedang berkembang di Indonesia. Saat ini belum ada
10 orang Indonesia yang menyandang gelar CISM. "Sebab baru
berjalan tahun lalu dan ujiannya Juli 2004 lalu,"
ungkap Surdiyanto. Menurut Surdiyanto yang juga dirut PT Kliring Berjangka Indonesia
itu, audit TI yang dilakukan pemilik gelar CISA
jelas dapat dipertanggungjawabkan karena ia memang dibekali
pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang berstandar internasional.
Tak semua orang kompeten, berwenang, dan berhak melakukan
audit TI untuk meneliti adanya kontrol dan
efektivitas berjalannya sebuah sistem informasi. "Kalau
auditor CISA mengatakan hasil auditnya bagus, pasti memang
bagus, sebab dia independen dan tak ada conflict of interest,"
tandasnya. Lebih lanjut Surdiyanto memaparkan, sarjana
akuntansi dan manajemen bisa saja menjadi auditor
keuangan, manajemen, dan operasional, tetapi tidak semua bisa
mengaudit sistem informasi, perangkat lunak, dan sistem
aplikasi. Padahal, ujarnya, banyak perusahaan besar makin
bergantung pada TI. "BCA saja sudah mengarahkan transaksi senilai
Rp25 juta ke ATM. Dan ATM-nya sudah bisa untuk membayar banyak hal tanpa
harus antre lama. Ini berarti TI sudah menjadi jantung layanan
bisnis BCA." Di sektor industri manufaktur, tenaga profesional
bergelar CPIM (Certified in Production and Inventory Management) dan
CIRM (Certified in Integrated Resource Management) yang
dikeluarkan oleh APICS (American Production and Inventory Control Society)
di AS juga makin dibutuhkan banyak perusahaan. Gelar CPIM menandakan
penyandangnya memiliki kompetensi berstandar
internasional di bidang perencanaan pengadaan, bahan
baku, kapasitas produksi, pengukuran performa, hubungan dengan
pemasok, perencanaan penjualan dan operasional, kontrol kualitas,
dan kesinambungan operasional pabrik. Sementara itu, gelar CIRM
menandakan penyandangnya juga menguasai cara mengelola interaksi
antarbagian fungsional di sebuah perusahaan yang begitu
kompleks, sehingga bisa bekerja lebih efektif dan
produktivitas meningkat. Sertifikasi CPIM dan CIRM, menurut Ahmad
Syamil, sangat penting bagi kalangan profesional yang banyak
bergelut di bidang manajemen operasional perusahaan atau pabrik.
Ahmad adalah salah satu penyandang gelar CPIM dan
CIRM. Gelar ini, lanjut staf pengajar di
Arkansas State University, AS, itu, "Juga membantu peluang
kerja di berbagai negara." Di bidang pemasaran, sertifikasi profesi seperti
Chartered Marketer (CM) yang dikeluarkan oleh The Chartered
Institute of Marketing (CIM) juga sedang berkembang. Ario S. Setiadi,
marketing & business development vice-president Medika Plaza
International Clinic, mengaku sedang belajar program CM.
"Cuma pakar marketing Hermawan Kartajaya yang
sejauh ini bisa memperoleh gelar Fellow dari
CIM," ujarnya. Padahal Ario sudah memiliki gelar
CPM (Certified Professional Marketer) Asia Pacific yang
dirilis APMF (Asia Pacific Marketing Federation), yang di Indonesia baru
ada 12 orang yang memilikinya, termasuk Ario. Sementara itu, di bidang keuangan, Ferry Wong, manajer
riset BNP Paribas, mengamati minat orang untuk memperoleh
gelar FRM (Financial Risk Manager) sekarang makin tinggi,
terutama mereka yang bekerja di sektor perbankan.
"Sebab, regulasi perbankan mengharuskan semua
bank mengikuti Basel Rule II Accord," ujar Ferry, yang
memperoleh gelar FRM dari Global Association for Risk Management
Professional pada tahun 2002. Basel Rule II Accord menjadi standar global yang harus diikuti semua
bank dalam hal manajemen risiko dan bakal berlaku
pada 2006. Oleh karena itu, banyak kalangan bankir tertarik
mendapatkan sertifikasi FRM. Apalagi Bank Indonesia juga mengharuskan key
person di bank memperoleh pelatihan manajemen risiko untuk memahami
implementasi standar baru itu. Menurut Ferry, pemilik gelar FRM di Indonesia baru
delapan orang. "Sebagian besar juga penyandang
gelar CFA (Chartered Financial Analyst)," tutur Ferry,
yang juga bergelar CFA. Sertifikasi CFA, walau sudah ada
di Indonesia sejak 15 tahun lalu, baru 70-80 orang yang
memilikinya. "Meski yang ikut ujian CFA per tahun 700-800 orang,
yang lulus sangat sedikit," ungkap Ferry. Th. Wiryawan, marketing communications & business development
director Citibank Indonesia, menilai bahwa masalah
sertifikasi profesi memang isu besar di industri jasa
keuangan saat ini. "Seperti untuk menjadi
private banker, sebenarnya juga tidak mudah,"
ujarnya. Di Citibank, mereka yang bisa bekerja sebagai private
banker harus berada pada level senior manager dan lulus ujian
selama tiga bulan. Standar kualitas profesional bankirnya juga
minimal harus regional. "Jadi, masalah marked to market yang sempat
menghebohkan itu sedikit banyak juga terkait dengan standar
profesional global, yang umumnya menganut pendekatan marked to
market," jelasnya. Menunjang Karier dan Penghasilan Berapa? Ungkap Hari, "Per bulan bisa Rp85 juta." Oleh
karena mereka memiliki kemampuan khusus, perusahaan pun
diuntungkan. Nilai perusahaan (corporate value) otomatis
meningkat karena mampu mempekerjakan tenaga-tenaga
bersertifikasi global dengan gaji yang tinggi.
Hari menyarankan, tak ada ruginya eksekutif yang masih berusia
27-35 tahun untuk mengejar sertifikasi. "Tren dunia
keprofesian akan makin spesifik dan ilmu yang
dimiliki sangat spesial, bukan umum atau generik," jelas Hari. Menurut pemantauan Surdiyanto, umumnya auditor bergelar
CISA memang memiliki penghasilan yang bagus dan posisi
strategis di perusahaan. "Ia betul-betul dipakai untuk
memberikan pendapatan besar bagi perusahaannya,"
tambahnya. Apabila ada proyek audit perusahaan, ia pasti akan
dilibatkan sehingga penghasilannya juga besar. Posisinya di perusahaan pun
lebih bagus dibanding auditor yang tak bergelar CISA. Makin banyak
perusahaan besar menerapkan TI, harga jasa tenaga auditor TI yang
terhitung masih sedikit pun makin meningkat pula. Namun, menurut Tri Djoko Santoso, belum tentu seseorang
yang bersertifikasi standar global akan berhasil di karier dan
gaji. Hanya, memang, dengan memiliki sertifikasi, daya
tahan untuk tetap memiliki posisi dan penghasilan
tinggi cenderung lebih kuat. "Jika tak punya
sertifikasi, bisa saja ia diganti oleh orang yang
bersertifikasi," tuturnya. Apalagi, ke depan, persaingan bisnis makin
terbuka, termasuk dengan orang asing. Jadi, jika tak memiliki
kredibilitas, lewat sertifikasi, pasti akan kalah bersaing.
"Bank-bank besar, asuransi, dan pasar modal
makin melihat pentingnya sertifikasi ini," tandasnya. Ferry Wong berpendapat, sertifikasi memang menunjang
karier dan gaji, tetapi tidak menjamin juga kalau pemilik gelar CFA
dan FRM pasti akan menjadi analis yang hebat. "Gelar hanya memberikan
dasar atau tools untuk menjadi analis yang
baik," paparnya. Selebihnya tergantung kemauan, usaha,
dan keberuntungan. Namun, Ferry mengakui, rekan-rekannya yang
menyandang gelar CFA dan FRM memang memiliki posisi tinggi.
"Oleh karena jumlahnya sedikit, apresiasi pasar pun makin
tinggi," jelasnya. Hal senada juga diungkapkan Ario. Katanya, penyandang
gelar CPM Asia Pacific di Indonesia umumnya berpenghasilan baik. Apalagi
gelar ini dihargai di negara-negara Asia Pasifik,
sehingga penyandangnya, apabila bekerja di luar negeri, mendapat pengakuan
bahwa standar profesionalnya setara. "Sementara
di Indonesia masih banyak perusahaan tak mengerti makna titel CPM,"
paparnya. Ario mensinyalir, orang masih rancu antara
gelar formal dan informal, serta adanya stigma bahwa
apabila gelar informal tak disahkan Departemen Pendidikan
Nasional, ia dianggap tidak legal. "Padahal di sini bukan soal
legal atau tidak, tapi soal profesi yang kalau diterima pasar
ya bisa berjalan," jelas Ario. Namun Ario yakin,
pemilik sertifikat CPM atau CM bakal lebih berdaya saing
dibanding yang tidak memilikinya. Di bisnis properti, Thomas Sugiarto, executive service director
Century 21 Thomas Mitra, menjelaskan bahwa sebagian broker
properti memang belum memiliki sertifikasi broker atau
analis properti. Namun ia mengamati, mereka yang memilikinya
cenderung makin baik karier dan penghasilannya. Thomas,
yang memperoleh gelar CPA (Certified Property Analyst) dari Pusat
Studi Properti Indonesia, merasakan manfaat pendidikan yang
ditempuhnya dalam menjalankan profesi sebagai broker properti. Ke depan, Thomas melihat sertifikasi profesi broker
properti makin dibutuhkan karena persaingan makin sengit
dan tuntutan konsumen makin tinggi. "Itu baru bisa kami
layani kalau kaminya sendiri makin berkualitas," ujarnya.
Thomas menambahkan, karier sulit berkembang kalau mau mengejar uang
tanpa terus belajar. Sulit Diperoleh Seorang penyandang gelar sertifikasi berstandar global
tidak boleh hanya piawai teori, tetapi juga harus mampu mengaplikasikan
ilmunya. Misalnya di bidang hukum, ia harus terampil
berperkara di pengadilan. Kalau ia manajer investasi, ia
harus terampil mengelola dana triliunan rupiah. "Kepandaian
mengelola risiko seperti itu tidak gampang," papar Hari. Walau kesejahteraan penyandang sertifikasi profesi berstandar
global meningkat, gelar itu juga menuntut tanggung jawab
yang juga besar. Menurut Hari, mereka tak bisa berlindung
di bawah perusahaan atau organisasi profesi.
"Sebab, pekerjaan mereka kerap kali menyangkut nilai yang
besar," tuturnya. Mereka, lanjut Hari, secara pribadi harus bisa
bertanggung jawab di depan hukum supaya tidak ada
malapraktek. "Profesi yang sudah dilindungi hukum
saja bisa malapraktek," cetus Hari. Oleh karena itu, lanjut Hari, sertifikasi berstandar
global bukanlah lisensi seumur hidup, tetapi terus mendapat
pengawasan ketat dari institusi pemberi sertifikasi.
Penyandang gelarnya wajib mengikuti pendidikan dan ujian
berkesinambungan (continual education) untuk terus meningkatkan
kualitas profesionalitasnya. "Bisa saja orangnya malas
mengikuti perkembangan terbaru, sehingga kualitas kerjanya turun dan
opininya tidak layak lagi," urai Hari. Mereka juga
diwajibkan mematuhi kode etik sertifikasi profesi. Kalau
tidak, gelarnya bisa dicabut sewaktu-waktu. Surdiyanto membenarkan hal itu. Ia memaparkan, apabila
pemegang gelar CISA dalam setahun tak melakukan praktek apa pun yang
terkait dengan gelarnya, ia tidak akan mendapatkan poin
kredit sehingga gelarnya bisa dicabut. Gelarnya baru bisa
diperpanjang kalau tiap tahun ia memberikan laporan yang diakui. Ia juga
harus mematuhi kode etik yang ada. "Setiap akhir
tahun, gelar CISA harus diperpanjang dan di-review,
tidak bisa seumur hidup memegang gelar CISA," paparnya. Ferry Wong juga mengungkapkan bahwa gelar sertifikasi profesi
seperti CFA memang bisa dicabut kalau melanggar kode etik. "Jadi,
seperti surat izin mengemudi," tandasnya. Oleh karena itu,
tambahnya, penyandang gelar CFA cenderung tak
berani mengambil risiko melakukan penyimpangan atau penipuan. "Risiko
dan tanggung jawabnya besar." Biaya pendidikan dan ujian sertifikasi standar global
juga terhitung mahal. "Ini wajar karena kalau murah, isinya tentu
tak bisa dipertanggungjawabkan," papar Hari. Sampai di
sini, Hari cemas dengan makin menjamurnya institusi-institusi
yang menawarkan fasilitas pendidikan dan ujian keprofesian,
baik berstandar global maupun lokal, seiring tumbuhnya
permintaan. Hari mencermati, ada gejala banyak orang memburu
sertifikasi sampai ke luar negeri sehingga kalau tidak
diantisipasi, disediakan forumnya, Indonesia akan kebanjiran
orang yang bersertifikasi profesi dari luar negeri yang tak
diketahui seperti apa kualitasnya. "Tidak bisa
sekadar menerima selembar ijazah tanpa jelas maksud kriterianya,"
tegasnya. Untuk itu Hari menilai pentingnya peran berbagai
organisasi profesi dan organisasi sertifikasi profesi, bersama dengan
semua pihak yang terkait, seperti pemerintah dan badan-badan independen
lainnya, memberikan arah terhadap perkembangan dunia keprofesian.
Bentuknya bisa regulasi dan praktek di lapangan. "Kalau
pengaturan sertifikasi standar internasional sudah ada di induknya, tapi
kalau sertifikasinya berasal dari dalam negeri, saya pikir memang perlu
diatur," tukas Tri Djoko Santoso. Ferry Wong juga khawatir jika sertifikasi profesi
kemudian dianggap seperti mainan, mudah didapat dan kualitasnya tak
dapat dipertanggungjawabkan. Ia melihat ada
kecenderungan tumbuhnya institusi pendidikan yang sekadar mencari
uang dengan memanfaatkan momentum dan bahkan membuat
sertifikasi profesi yang tak jelas standarnya.
Akan tetapi ia yakin, orang akan tahu dengan sendirinya,
sertifikasi mana yang bagus dan layak dihargai. Ferry mengemukakan, sertifikasi profesi yang bagus adalah yang
standarnya terus dipertahankan dan cenderung makin sulit didapat. Misalnya,
gelar CFA, yang tahun ini tingkat kelulusannya
di seluruh dunia hanya 32% dari total peserta, dan bahkan di Indonesia
hanya 10%-15%. "Pokoknya kalau mau mencari sertifikasi, cari
yang susah karena itu yang akan dihargai. Kalau
sertifikasinya mudah didapat, lebih baik tidak usah," tandasnya. Beberapa Sertifikasi Profesi Standar Global: Profesi Termahal Masa Depan Tanpa Sertifikasi Misalnya, ahli pemeriksa ikan tuna segar. Setiap pagi tugasnya
memeriksa tingkat kesegaran ikan hasil tangkapan
agar layak ekspor. "Dia tugasnya hanya
memegang dan membaui ikan tuna, seperti layaknya
menguji biji kopi atau daun teh," ujar Irham Dilmy,
managing partner perusahaan executive search Amrop Hever Indonesia. Menurut Irham, pemeriksa ikan tuna yang notabene
ekspatriat itu per bulan bisa mendapatkan gaji US$20.000. Dia layak
digaji tinggi karena pabrik pengalengan ikan tak mau mengambil
risiko produknya ditolak di negara tujuan ekspor lantaran tak
memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ini bisa mencoreng reputasi, dan
merugikan perusahaan. Sebab, per hari perusahaan itu mengekspor 100 ton
lebih ikan tuna. Ekspor ikan tuna membutuhkan perlakuan khusus karena tak boleh
dibekukan dan tidak boleh ditangkap dengan jaring agar
pembuluh darahnya tidak pecah. Orang Jepang tak suka
mengkonsumsi ikan tuna yang pembuluh darahnya sudah pecah
karena rasanya menjadi tidak enak. "Jumlah pemeriksa ikan tuna ini cuma segelintir, mungkin tidak
sampai 10 orang," papar Irham. Yang menarik, lanjut Irham, mereka itu
tak perlu sekolah tinggi-tinggi agar harganya mahal. "Derajat
kesulitan pekerjaan mereka sebenarnya relatif sama dengan pembau
tembakau, tapi bayarannya jauh lebih mahal," ungkap Irham. Sertifikasi Profesi dan Profesi Termahal Masa Depan Sertifikasi profesi berstandar global makin diperlukan
untuk menegaskan bahwa pelakunya layak diakui, memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dengan
kualitas internasional. Misalnya, bidang audit penerapan
TI dibutuhkan pelaku yang bersertifikasi CISA. Mereka ini
diprediksi bakal mahal harganya di masa depan. Pelaku profesi bersertifikasi standar
global diprediksi "mahal" karena beberapa
sebab. Pertama, belum banyak orang yang menekuninya. Kedua,
tak semua orang bisa menjadi pelaku profesi ini bisa memiliki
sertifikasi berstandar global. Ketiga, permintaannya yang kian
tinggi belum diimbangi dengan banyaknya pelakunya. Ini otomatis membuat
"harga" mereka naik. Keempat, mereka mahal karena sertifikasinya
diakui secara global. Artinya, di mana pun ia bekerja,
standar keahlian atau kompetensinya diakui, sehingga
bisa bekerja di negara mana pun. Sertifikasi standar global
menegaskan bahwa penyandangnya memang memiliki keahlian khusus,
sehingga pantas mendapat bayaran tinggi. Kelima, keberadaan mereka juga ikut
menaikkan nilai perusahaan (corporate value). Perusahaan yang mampu
mempekerjakan karyawan bersertifikasi standar global
tentu dianggap memiliki nilai lebih. Itu sebabnya
perusahaan pun tak segan-segan membayar mahal gaji mereka. |
Bahan
ini cocok untuk Perguruan Tinggi.
Nama & E-mail (Penulis): Prof.
Dr. Ny. Badriyah Rifai Amirudin, SH
Saya Dosen di Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Tanggal: 23 Pebruari 2004
Judul Artikel: Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate
Governance di Tubuh Perusahaan Publik
Topik: Komisaris Independen dan Hubungannya dengan Penerapan Good Corporate
Governance
PENDAHULUAN
Perseroan terbatas merupakan wadah untuk melakukan kegiatan usaha, yang
membatasi tangung jawab pemilik modal, yaitu sebesar jumlah saham yang dimiliki
sehingga bentuk usaha seperti ini banyak diminati, terutama bagi perusahaan
dengan jumlah modal yang besar. Kemudahan untuk menarik dana dari masyarakat
dengan jalan penjualan saham merupakan satu alasan untuk mendirikan suatu badan
usaha berbentuk perseroan terbatas.
Pada perusahaan semacam ini, pemisahan antara pemilik modal dengan pimpinan
perusahaan dapat terlihat dengan jelas. Fungsi masing masing pihak tidak dapat
dipadukan : pemilik adalah pihak yang menyediakan modal dan pengelola adalah
pihak yang memanfaatkan modal untuk menjalankan kegiatan ekonomi. Peran
masing-masing dapat bergeser sesuai dengan besar, sifat kegiatan dan peraturan
yang berlaku. Demikian juga tingkah laku masing masing dapat saling tidak
mendukung kepentingan perusahaan.
Pada dasarnya, pemodal tidak dapat secara langsung berhubungan dengan pengelola
terutama pada perusahaan besar, dalam keadaan inilah hubungan kelembagaan dewan
komisaris diperlukan, sebagai suatu badan yang melakukan pengawasan terhadap
pihak pengelola agar kepentingan perseroan dapat terjamin. Patut disadari,
kepentingan pemilik tidaklah sama dengan kepentingan perseroan.
Kitab Undang undang Hukum Dagang (KUHD) tidak mengharuskan adanya lembaga
komisaris sehingga tidak ada penjelasan bagaimana fungsi dan tugas dewan
komisaris, meskipun dalam kenyataan kebanyakan perseroan yang didirikan
berdasarkan KUHD, selalu ada lembaga komisaris.
Kini, fungsi perseroan bukan lagi hanya melihat kepentingan pemegang saham dan
pimpinan, tetapi berpaling kepada tuntutan untuk memperhatikan kepentingan
masyarakat yang dianggap sebagai pihak yang harus diutamakan. Pemegang saham
meskipun sebagai pemilik, tetapi tidak perlu diperlakukan khusus, karena haknya
dapat dipindah-tangankan kepada siapa saja : kedudukannya tidak banyak berbeda
dengan pemodal lainnya semisal pemilik obligasi ataupun kreditur lainnya. Oleh
karena itu, kepentingan perseroan patut didahulukan di atas kepentingan pemegang
saham.
Undang undang No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), mengharuskan adanya
kelembagaan komisaris sebagai salah satu organ perseroan. Bahkan perseroan
terbuka, atau perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang atau perseroan
yang melakukan fungsi fidusia, wajib memiliki sekurang-kurangnya 2 orang
komisaris. Berdasarkan UUPT sistem kepengurusan perseroan terdiri dari dua
jenjang yang masing masing melakukan fungsi kepengurusan dan fungsi pengawasan.
Dalam hal hal tertentu, komisaris dapat melakukan fungsi kepengurusan perseroan.
Sebagai organisasi yang teratur perseroan mempunyai organ yang terdiri dari
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris (Pasal 1 Butir (2) UU
No. 1/1995). Keteraturan organisasi dapat diketahui melalui Undang-undang
Perseroan; Anggaran Dasar Perseroan, Anggaran Rumah Tangga Perseroan dan
Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
Kedudukan sebagai komisaris bukan lagi merupakan kedudukan yang empuk tanpa
risiko, karena UUPT menetapkan persyaratan yang cukup ketat bahwa bagi seseorang
yang ingin menduduki jabatan sebagai komisaris. Harus memiliki fiduciary duties
terhadap perseroan mengenai kepemilikan sahamnya di perseroan. Dengan
menyampaikan laporan kepemilikan saham tersebut, diharapkan dapat dicegah
terjadinya tindakan mengandung benturan kepentingan yang merugikan perseroan.
Dalam rangka mengawasi dan menegakkan pelaksanaan prinsip fiduciary duties oleh
direksi atau komisaris, UUPT menetapkan bahwa pemegang saham yang mewakili
paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah saham dengan hak suara sah dapat
mengajukan gugatan terhadap anggota direksi atau komisaris yang karena kesalahan
atau kelalainnya menimbulkan kerugian terhadap perseroan (Pasal 98 ayat (3) UUPT).
Dewan komisaris bertanggung jawab dan berwenang mengawasi kebijakkan direksi dan
memberikan nasehat kepada direksi dalam menjalankan kepengurusan perseroan (Pasal
1 ayat (5) dan 97UUPT) Berkenaan dengan tanggung jawab dewan komisaris, dapat
dikatakan bahwa hubungan kepercayaan dan fiduciary duties anggota direksi secara
mutatis mutandis berlaku bagi anggota dewan komisaris.
Komisaris menurut Pasal 98 Undang-undangg Perseroan Terbatas wajib dengan
iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan
usaha perseroan. Selanjutnya Pasal 100 UUPT mengatur, bahwa dalam anggaran dasar
dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada komisaris untuk memberikan
persetujuan atau bantuan kepada direksi, dalam melakukan perbuatan hukum
tertentu. Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, komisaris dapat
melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu dan jangka waktu
tertentu. Dalam tindakan pengurusan tersebut berlaku semua ketentuan mengenai
hak dan kewajiban terhadap perseroan dan pihak ketiga.
Sebagai akibat komisaris merupakan suatu majelis, maka seorang komisaris tidak
dapat bertindak sendiri. Syarat untuk menjadi seorang komisaris ditentukan cukup
berat. Pasal 96 UUPT menentukan, yang dapat menjadi komisaris adalah orang
perorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum; tidak pernah dinyatakan pailit
atau menjadi anggota direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan dinyatakan pailit; orang yang pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana yang merugikan keuangan Negara dalam lima tahun sebelum
pengangkatannya.
A. Komisaris dan Good
Corporate Governance (GCG)
Good Corporate Governance terjemahan bebasnya adalah tata kelola perusahaan
dengan baik. Sejak Indonesia terperosok dalam krisis ekonomi, maka good
corporate governance menjadi bagian untuk pembenahan pengelolaan corporasi.
Setiap emiten, direksi dan komisaris harus secara ikhlas bersedia mengubah dan
menjadikan setiap gerak dari usaha mereka, telah mencerminkan prinsip tersebut.
Beberapa hal yang perlu digarisbawahi, untuk dapat menilai dunia usaha di
Indonesia saat ini (a) ketertutupan diri pengusaha, baik pemilik maupun manager;
(b) tidak dipergunakan kaedah-kaedah usaha dalam bekerja karena lebih menyenangi
lobi; (c) kurangnya kesiapan sebagai entrepreneur yang mampu membawanya ke dunia
usaha murni. Hal ini membawa pengusaha jauh dari corporate governance, sehingga
tingkat kepercayaan dan kekuatan yang diterima dari relasi usaha rendah. Saat
kondisi usaha bekerja dengan baik, pengaruh ini tidak terlihat tetapi di kala
situasi ekonomi memburuk kehancuran usaha tidak terelakan.
Secara formal, good corporate hanya ditujukan bagi perusahaan yang statusnya
merupakan perusahaan publik, khususnya emiten yang telah menyerap dana dari
masyarakat dan memiliki saham publik yang sifatnya minoritas dan independen.
Secara sederhana dapat digambarkan sebagai bentuk dari pelaksanaan tanggung
jawab antara perusahaan sebagai badan hukum, direksi dan komisaris sebagai
pengurus dengan para pemegang saham. Caranya dengan menjalankan ketentuan
Anggaran Dasar (AD) dalam rangkaian kewajiban untuk transparansi, bertanggung
jawab, adil dan akuntabilitas.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka pelaksanaan prinsip good corporate
governance, maka dunia usaha sekarang ini, memerlukan komisaris independen yang
duduk dalam jajaran pengurus perseroan. Perkembangan ini patut dapat pujian
karena memperlihatkan adanya kesadaran untuk menata ulang keberadaan dan
kegiatan usahanya secara baik. Diharapkan kehadiran komisaris independen tidak
hanya sekedar simbol, atau hiasan belaka. Mengapa? Karena pada prakteknya, tidak
jarang komisaris independen hanya diperlukan sebagai suatu schock terapy bagi
orang orang yang bermaksud tidak baik terhadap perseroan. Sebagai contoh,
sewaktu jaman Orde Baru, banyak pensiunan jenderal yang diangkat sebagai
komisaris, meskipun mereka jarang ke kantor, bahkan mereka tidak mengetahui
seluk-beluk dan permasalahan perseroan.
Di dalam suatu perseroan, diwajibkan mempunyai sekurang kurangnya satu orang
komisaris independen, berasal dari luar perusahaan serta tidak mempunyai
hubungan bisnis dengan perusahaan atau afiliasinya.
Dalam persepektif hukum terdapat acuan yang menjadi landasan adanya komisaris
independen, pertama acuan tentang kedudukan komisaris dalam suatu perseroan
terbatas seperti yang diatur dalam Pasal 94 s/d 101 UUPT No.1/1995; kedua,
ketentuan Pasal 80 UU No.8/1995 tentang Pasar Modal , yaitu tentang tanggung
jawab atas informasi yang tidak benar dan menyesatkan, dimana komisaris termasuk
pihak yang diancam oleh pasal tersebut, bila ikut menandatangani setiap dokumen
yang berhubungan dengan penyampaian informasi kepada publik di dalam rangka
pernyataan pendaftaraan. Bagi setiap calon emiten yang akan mencatatkan saham di
bursa efek, maka PT Bursa Efek Jakarta, mewajibkan adanya komisaris independen
didalam kepengurusan emiten tersebut; ketiga adanya pedoman yang dikeluarkan
Komite Nasional Good Corporate Governance sehubungan kehadiran komisaris
independen yang ada di perusahaan publik, dimana di bagian II.1 menyebutkan
bahwa pada prisipnya, komisaris bertanggung jawab dan berwenang untuk mengawasi
kebijakkan dan tindakan direksi, dan memberikan nasehat kepada direksi jika
diperlukan. Untuk membantu komisaris dalam menjalankan tugasnya, berdasarkan
prosedur yang ditetapkan sendiri, maka seorang komisaris dapat meminta nasehat
dari pihak ketiga dan/ atau membentuk komite khusus. Setiap anggota komisaris
harus berwatak amanah dan mempunyai pengalaman dan kecakapan yang diperlukan
untuk menjalankan tugasnya (Indra Safitri 2002:3)
B. Posisi Komisaris
Independen dihadapkan dengan posisi Board Of Director (BOD)
Secara teori dan praktek fungsi organ perseroan board of director (dewan
direktur) melakukan perbuatan kepengurusan, sedang fungsi dewan komisaris (Dekom)
atau dalam bahasa asingnya biasa disebut board of Commisaris melakukan fungsi
pengawasan, mereka melakukan segala kemampuan terbaiknya hanya untuk kepentingan
perseroan. Tujuan menghadirkan seorang komisaris independen adalah sebagai
penyeimbang pengambilan keputusan dewan komisaris. Oleh sebab itu, harus ada
tolak ukur penilaian kinerja board of director/dewan komisaris. Dalam konstruksi
hukum Perseroan Terbatas, kinerja perseroan adalah indikator performa Board of
Director. Hal ini sebagai konsekuensi bahwa BOD menjalankan fungsi kepengurusan.
Board of Directors adalah pilihan pemegang saham yang mewakili kepentingan
mereka. Dengan demikian badan ini bukanlah independen, tetapi dalam setiap
masalah berpihak kepada pemegang saham. Konsep ini berdasarkan pemikiran bahwa
perseroan didirikan oleh pemilik sebagai pemegang saham terutama untuk
kepentingannya.
Perbedaan dalam kepentingan dapat juga terjadi dikalangan pemegang saham. Tidak
jarang pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek, terdapat berbagai kelompok
pemegang saham yang mempunyai kepentingan yang berlainan, terutama bagi
perusahaan yang mempunyai pemegang saham mayoritas dan minoritas, kepentingannya
tidak selalu searah. Keadaan ini termasuk di Indonesia, semua perusahaan yang
sahamnya diperdagangkan di bursa efek selalu dikuasi oleh pemegang saham
mayoritas.
Kedudukan pemegang saham minoritas yang jumlahnya besar dan tersebar tidak dapat
dipersatukan dan sering tidak terwakili dalam pengambilan keputusan, menyebabkan
kedudukan dan kewenangannya juga kurang penting, dalam mengangkat dan menentukan
siapa yang akan menjadi board of directors. Akhirnya yang menentukan keanggotan
badan tersebut adalah pemegang saham mayoritas
C. Bentuk dan Kualitas
Pengawasan
Efektifitas dari komisaris independen sangat tergantung dari desain, kualitas
pengawasan yang patut diterapkan secara terus menerus, perilaku dan tanggung
jawab hukum terhadap komisaris. Kedudukan komisaris independen didesain dan
dituangkan dalam anggaran dasar perseroan. Keterkaitan antara aspek pengawasan
dan tanggung jawab secara yuridis dalam setiap langkah usaha yang dilakukan oleh
manajemen akan sangat mempengaruhi kemandirian dan keputusan yang dibuat oleh
komisaris independen.
Kemampuan dan pemahaman komisaris independen terhadap bidang usaha emiten akan
sangat mempengaruhi persetujuan dan keputusan yang dibuat, sesuai dengan
tanggung jawab hukum emiten kepada pemegang sahamnya, komisaris independen tidak
boleh secara gegabah memberikan persetujuannya terhadap transaksi transaksi atau
kegiatan emiten, yang secara material mengandung informasi yang tidak benar atau
menyesatkan (Pasal 80 ayat 1 UU No.8/1995).
Menurut Indra Safitri (Indonesia Market Links Network, 2-September-2002) seluruh
keputusan yang dibuat oleh komisaris independen, tidak terpisahkan dari
berjalannya mekanisme internal kontrol ditubuh emiten termasuk adanya komite
audit. Bapepem melalui surat edaran No.03/PM/2000 yang ditujukan kepada setiap
direksi emiten dan perusahaan publik mewajibkan dibentuknya komite audit. Tugas
komite tersebut secara independen dan professional memberikan pendapat kepada
dewan komisaris. Laporan yang dibuat oleh komite audit menjadi landasan bagi
komisaris, termasuk komisaris independen dalam menilai dan mengindentifikasikan
hal hal yang menyangkut laporan keuangan dengan berbagai pertimbangan risiko
yang ada.
Di dalam Pedoman Good Corporate Governance (4.1) menyatakan bahwa dewan
komisaris wajib membentuk komite audit yang beranggotakan satu atau lebih
anggota dewan komisaris. Dewan dapat meminta kalangan luar dengan berbagai
keahlian, pengalaman dan kualitas lain yang dibutuhkan , untuk duduk sebagai
anggota komite audit. Komite audit harus bebas dari pengaruh direksi, eksternal
auditor. Dengan demikian, komite audit hanya bertangung jawab kepada dewan
komisaris. Penggantian anggota komite auditor harus mendapat persetujuan lebih
dari 50% jumlah anggota komisaris.
Tidak bisa dipungkiri, terdapat rasa was-was bila kita coba melihat realita
etika, kepatuhan hukum dan praktek bisnis di Indonesia saat ini, menyangkut
peran dari komisaris independen yang ditempatkan di jajaran pengurus emiten (Indra
Safitri, 2-September-2002) :
1.
Sejauh mana
kesungguhan dan kesanggupan komisaris independen untuk dapat benar benar
independen dan mampu menolak pengaruh, intervensi atau tekanan dari manajemen
ataupun pemegang saham uatama yang memiliki kepentingan atas transaksi atau
keputusan tertentu. Sebab rata rata struktur kepemilikan saham emiten, masih
terkait kontrol mayoritas pemegang saham di dalam menjalankan perusahaannya,
maka ketangguhan komisaris independen untuk tidak menyerah dan terhindar dari
unsur benturan kepentingan merupakan ujian berat. Pada jaman orde baru banyak
anak, saudara, cucu bahkan saudara jauh pejabat, petinggi, atau mantan jendral
yang duduk sebagai komisaris hanya sekedar bertujuan untuk membuka akses
hubungan koalisi antara pengusaha dan pemerintah. Sehingga pada waktu itu ada
istilah komisaris aktif dan tidak aktif.
2.
Intensitas
pengawasan yang terus menerus, mensyaratkan aktifitas dan perhatian dari setiap
individu yang terpilih sebagai komisaris independen, didalam mengawasi kegiatan
perseroan tidak dapat terpecah dengan adanya pekerjaan atau kesibukan lainnya.
Untuk itu emiten yang memiliki komisaris independen hendaknya mereka yang
berpengetahuan, berkemampuan serta memiliki waktu dan intergritas yang tinggi di
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang ada. Untuk dapat memastikan hal
ini, perlu adanya ketentuan yang mewajibkan emiten menjelaskan sejauh mana
prosedur dan ketentuan internal manajemen yang melibatkan komisaris independen
didalam keputusannya. Kriteria dan kualifikasi komisaris independen didalam RUPS
seharusnya dapat mencerminkan kepentingan pemegang saham independen dan
merupakan usulan yang disetujui oleh mayoritas.
3.
Kualitas
pengawasan juga ditentukan oleh bagaimana desain pengambilan keputusan bersama
jajaran komisaris lainnya dan terpenuhi persyaratan yang ditentukan oleh bursa
efek.
PT
Bursa Efek Jakarta (BEJ) didalam peraturan Pencatatan Efek No 1-A: tentang
Ketetentuan Umum Pencatatan Efek yang bersifat Ekuitas di bursa, dalam angka 1-a
menyebutkan tentang rasio komisaris independen yaitu" komisaris independen
yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki
oleh yang bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris
independen sekurang kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari seluruh jumlah anggota
komisaris. Selanjutnya dalam angka 2 menentukan persyaratan komisaris independen
yang melarang adanya hubungan terafiliasi baik dengan pemegang saham pengendali,
direktur atau komisaris lainnya, bekerja rangkap dengan perusahaan terafiliasi
dan memahami peraturan per-undang- undangan di bidang Pasar Modal.
Menurut pendapat saya, seberapa besar pengaruh kinerja komisaris independen pada
dewan komisaris apabila komposisi komisaris independen 30% melawan komisaris
yang tidak independen sebesar 70%. Sekalipun komisaris independen dapat
melakukan dissenting, namun tujuan diadakan komisaris independen tidak hanya
sekedar untuk dissenting, namun tentu diharapkan mampu menyeimbangkan
pengambilan keputusan Dewan komisaris
Apabila ingin memberikan akibat yang berarti terhadap kinerja Dewan Komisaris,
maka keanggotaan komisaris independen harus lebih dari jumlah sehingga dapat
outvoted dalam pengambilan keputusan, hal ini apabila dihubungkan dengan adanya
anggota komisaris yang tidak independen. Alternative kedua adalah memberikan
posisi yang lebih menentukan atau lebih memberikan pengaruh misalnya sebagai
presiden komisaris. dari dewan direksi dan dewan komisaris adalah. untuk
kepentingan perusahaan, baru kemudian untuk pemegang saham, bahkan dalam
likuidasi pemegang saham memperoleh bagian terakhir (Pasal 124 ayat 2 UUPT).
Persoalannya ialah, pemegang saham juga merupakan investor, dan undang undang
melindungi kepentingan dari investor, mengapa setelah investor menjadi pemegang
saham harus ditandingi dengan komisaris independen.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terdapat kekuasaan untuk menyetujui suatu
rencana kerja perseroan, tetapi apabila menurut dewan direksi dan business
judgement dari dewan direksi, rencana tersebut wajib dirubah, maka dewan direksi
wajib menjalankan rencananya tersebut yang menurut pertimbangannya paling baik
untuk kepentingan perseroan. Dengan demikian, manakala kepentingan perseroan
tidak sejalan dengan putusan RUPS, maka dewan direksi harus mengutamakan
kepentingan perseroan, sebab pada akhirnya dewan direksi tidak dapat bersembunyi
dibalik RUPS atau komisaris apabila ternyata keputusannya tersebut salah. Dengan
kata lain, pemberian persetujuan oleh RUPS maupun komisaris tidak dapat
membebaskan direksi dari tanggung jawab atas kepengurusannya.
Perlu diperhatikan bahwa keputusan rapat umum pemegang saham maupun komisaris
bukanlah tindakan kepengurusan, karena instruksi tersebut tidak wajib
dilaksanakan oleh direksi. Dengan demikian direksi tetap independen , terutama
untuk memutuskan apakah tindakan tersebut dilakukan atau tidak dilakukan
D. Hubungan Komite Audit
Dengan Komisaris Independen
Bapepam menerbitkan Surat Edaran (SE-03/PM/2000) yang menghimbau agar emiten dan
perusahaan publik mempunyai komite audit. Komite audit bertugas membantu
komisaris dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan dan peningkatan
efektivitas audit dan eksternal audit. Anggota komite audit sekurang kurangnya
tiga orang yang diangkat dan diberhentikan komisaris, sedang anggota komite
audit dari komisaris bertindak sebagai ketua.
Kedudukan komisaris independen dan komite audit yang dimilki oleh emiten atau
perusahaan publik, adalah berkaitan dengan tanggung jawab pengawasan dari dewan
komisaris. Oleh sebab itu, keberadaan dari komisaris independen yang duduk dalam
komite audit dan anggota komite audit, wajib untuk mentaati ketentuan tentang
kegiatan dari komite audit. Sebagai komite yang membantu fungsi pengawasan
komisaris, komite audit memiliki fungsi dalam hal hal yang terkait dengan proses
dan peran audit bagi perusahaan, terutama dalam pelaporan hasil audit keuangan
perusahaan yang dipaparkan untuk publik.
Membangun komite audit yang efektif tidak boleh terlepas dari kacamata penerapan
prinsip good corporate governance secara keseluruhan disuatu perusahaan dimana
independency, transparency and disclosure, accountability, responsibility dan
fairness menjadi landasan utama dalam menjalankan perusahaan.
Komite audit harus bersikap adil dalam pengambilan keputusan, hal ini ditujukan
kepada semua pihak, terutama dalam penelaahan terhadap kesalahan asumsi maupun
pelanggaran terhadap resolusi direksi.
Pertanyaan yang timbul sehubungan dengan hal tersebut di atas ialah, bagaimana
dengan komite audit yang ditunjuk oleh komisaris perusahaan, apakah mereka benar
benar mampu dan dapat bertindak secara kompeten dan independen?
Sebagai contoh Aburizal Bakrie dari Bakrie Group dan Mochtar Riady dari Lippo
Group, akibat dari restrukturisasi dengan pola debt to equity swap,
mengakibatkan kreditur menjadi pemegang saham mayoritas dari perusahaan yang
bersangkutan, sedangkan founder menjadi minoritas. Dengan proporsi ini maka
struktur perusahaan lama yang merupakan representasi dari pendiri lama, beberapa
menjadi komisaris independen. Secara definisi legal per se, sah sah saja, dan
tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, namun kita harus melihat
persepsi publik. Berdasarkan Peraturan BEJ 1-A, sebetulnya mereka telah memenuhi
persyaratan, namun persepsi publik wajib dipertimbangkan agar kepentingan publik
tetap terjaga. Sehingga redefinisi komisaris independen harus dilakukan.
Selain itu dengan kecenderungan meningkatnya/meluasnya kewenangan komisaris
independen, apalagi dengan membawahi komite audit, serta kewenangan dewan
komisaris untuk dapat membentuk tim konsultan sendiri, apakah hal tersebut tidak
menjadikan tanggung jawab seorang komisaris independen jadi lebih besar dari
anggota komisaris lainnya. Apa saja sanksi yang dapat diberikan terhadap
komisaris independen bila gagal memenuhi ketentuan. Herannya lagi bukankah
keputusan dewan komisaris harus dilihat sebagai kesatuan dan tanggung jawabnya
juga harus secara kolektif? Pengujian terakhir mengenai posisi komisaris
independen adalah ditangan hakim, tetapi patut dipertanyakan sejauhmana para
hakim memahami konsep komisaris independen, dan apa yang dipakai sebagai rujukan
untuk bahan pertimbangan, UUPT, KUHPerdata, atau Keputusan Bursa Efek Jakarta?
PENUTUP
Dalam kaitan terciptanya perusahaan dengan penerapan good corporate governance,
maka dianggap perlu adanya komisaris independen yang duduk dalam jajaran
pengurus perseroan. Diharapkan dengan adanya komisaris independen ini tidak
hanya sebagai pajangan, sebab dalam diri komisaris melekat tanggung jawab
yuridis. Komisaris dalam organisasi perusahan sangat penting. Namun di Indonesia
selama ini, ada dua kecenderungan. Pertama, peran komisaris mewakili pemegang
saham mayoritas dan atau pemegang saham mayoritas itu sendiri. Dalam hal ini
sering kali komisaris mengintervensi direksi dalam menjalankan tugasnya. Kedua,
kedudukan direksi sangat kuat, direksi enggan menbagi wewenang, serta tidak
memberikan informasi yang cukup. Selain itu, kompetensi dan integritas komisaris
lemah, hal ini dapat terjadi karena pengangkatanya hanya didasarkan rasa
penghargaan semata, adanya hubungan keluarga atau kenalan dekat. Padahal
independensi komisaris adalah hal yang sangat fondamental sifatnya agar tercapai
perusahaan yang corporate governance.
Kemampuan dan pemahaman komisaris independen terhadap bidang usaha emiten akan
sangat mempengaruhi persetujuan dan keputusan yang dibuat, sesuai dengan
tanggung jawab hukum emiten kepada pemegang saham.
Melalui surat edaran Bapepam No.03/IPM/2000 yang ditujukan kepada setiap direksi
emiten dan perusahaan publik mewajibkan dibentuknya komite audit. Komite ini
harus secara independen dan profesional memberikan pendapat kepada dewan
komisaris, termasuk komisaris independen, dalam hal menilai dan
mengidentifikasikan hal hal yang menyangkut laporankeuangan dengan berbagai
pertimbangan risiko yang ada.
Perkembangan komisaris independen dewasa ini, memang masih dalam tahap awal,
tetapi kita tidak boleh pesimis terhadap efektifitas dan keberadaanya didalam
rangka terciptanya kegiatan pengelolaan usaha yang baik
$$$$$$$
MENGUNGKAP
TINDAK KECURANGAN (KORUPSI) DENGAN BANTUAN FORENSIC ACCOUNTANT (FRAUD AUDITOR)
Penyakit berdimensi ekonomi, politik, kultur, etika, moral bahkan agama,
yang kini sedang menggerogoti segala aspek kehidupan kita saat ini adalah
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) atau system kroni. Kata-kata tersebut
hampir setiap hari kita baca dan kita dengar sehingga hampir membuat kita
mengacuhkan dan bersikap masa bodoh terhadapnya. Kata kolusi berarti
persekongkolan (collusion) atau mufakat jahat untuk melakukan suatu kejahatan
yang menimbulkan kerugian pada pihak tertentu. Nepotisme adalah suatu kebijakan
yang didasarkan atas hubungan keluarga yang muaranya bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan baik bersifat keuangan atau bukan. Sedangkan system kroni adalah
hubungan yang tidak didasarkan atas pertimbangan yang obyektif sama sekali.
Korupsi termasuk dalam kelompok kecurangan (fraud). Dalam buku ajar yang ditulis
Jones dan Bates (1990:213) dinyatakan bahwa menurut Theft Act 1968 yang termasuk
dalam fraud adalah penggelapan yang mencakup berbagai jenis kecurangan, antara
lain penipuan yang disengaja, pemalsuan rekening, praktik korupsi, dan lai-lain.
Fraud terjadi dimana seorang memperoleh kekayaan atau keuangan melalui
kecurangan atau penipuan. Korupsi pada dasarnya berhubungan dengan imbalan atau
perangsang seperti suap. Dengan kata lain korupsi terjadi karena adanya suatu
dorongan untuk melakukan penyuapan. Sedangkan menurut Ramsay (2000), Fraud
menyangkut kesalahan disengaja yang dapat diklasifikasi kedalam dua tipe: (1)
Fraudulent financial reporting yang meliputi: manipulasi, pemalsuan, atau
alteration catatan akuntansi atau dokumen pendukung dari laporan keuangan yang
disusun, tidak menyajikan dalam atau sengaja menghilangkan kejadian, transaksi,
dan informasi penting dari laporan keuangan, dan sengaja menerapkan prinsip
akuntansi yang salah, dan (2) misappropriation of assets yang meliputi;
penggelapan penerimaan kas, pencurian aktiva, dan hal-hal yang menyebabkan suatu
entitas membayar untuk barang atau jasa yang diterimanya. Hampir senada dengan
Ramsay, Penulis lain (Calhoun dan Luizzo,1992) mengatakan bahwa irregulaties
menyangkut kesalahan penyajian yang disengaja atau menghilangkan suatu jumlah
atau pengungkapan dalam laporan keuangan. Ini menyangkut fraudulent financial
reporting (kecurangan pelaporan keuangan) yang menyebabkan laporan keuangan
salah saji, yang kadang-kadang disebut manajemen fraud, dan misappropriation of
assets, kadang-kadang disebut defalcations.
Dalam tulisan ini yang dimaksud korupsi adalah konsep umum dan tidak
terbatas seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Konsep korupsi dalam tulisan ini diartikan
sebagai “perbuatan tercela” yang menimbulkan kerugian kepada lembaga public
(keuangan Negara), lembaga swasta, maupun pihak perorangan.
Teknik melakukan korupsi banyak sekali, yang kita simak tidak semuanya
berkaitan langsung dengan akuntansi. Modus operandinya dapat dilakukan dalam
berbagai bentuk (Regar,1998) antara lain: (1) mark-up pembelian/pengeluaran, (2)
mark-up penjualan/penerimaan, (3) manipulasi pencatatan, (4) pemalsuan dokumen,
(5)menghilangkan dokumen, (6) pencurian, (7) memalsukan kualitas, dan (8)
membuat peraturan yang hanya membela atau menguntungkan pihak tertentu saja.
Sedangkan menurut Jones dan Bates (1990), yang termasuk aktifitas-aktifitas yang
cenderung korupsi adalah: (1) Tendering, hadiah dan penyelesaian kontrak, (2)
pressure selling, (3) hospitality, (4) pemberian izin, lisensi, dan lain-lain
untuk perencanaan atau perdagangan, (5) pembelian barang yang dikirim langsung
ke tempat pembangunan dari pada ke stores, (6) konflik kepentingan yang timbul
saat politikus atau pejabat (atau keluarga dan sahabat) mereka mempunyai suatu
kepentingan dalam pekerjaan yang diberikan oleh badan public, (7) penggunaan
peralatan khusu seperti computer atau sarana lain untuk kepentingan pekerjaan
pribadi, dan (8) penghancuran dan pembuangan persediaan, mebel, dan perlengkapan
yang usang.
Dari informasi yang ada, terbukti bahwa praktik korupsi di Indonesia
sudah melampaui batas dan termasuk tertinggi pada peringkat korupsi
Negara-negara di Asia (misalnya di Kompas, “Korupsi di Indonesia Paling Parah
di Asia,” Kamis 2 Maret 2000) bahkan di Dunia (Media Akuntansi, Juli 1999;16).
Usaha-usaha untuk memberantas korupsi pembuatan Undang-undang No. 3 tahun 1971 (sekarang
Undang-undang No. 31 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi) dengan
peraturan pelaksanaanya, peraturan disiplin pegawai dan sumpah jabatan, bahkan
dulu dengan penataran P4 bahkan menghabiskan anggaran Negara yang sangat besar,
semua ini tidak menunjukkan hasil yang maksimal bahkan korupsi makin mengganas
dan bahkan makin tersistem. Khusus mengenai penataran P4, sangat jelas bahwa
saat itu kegiatan ini hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan
kekuasaan pemerintah bahkan tidak jarang dijadikan perisai untuk berbuat nista,
seperti menjadi lahan korupsi misalnya! Sungguh ironi. Sementara perangkat
pengawas keuangan dari yang tertinggi, seperti BPK (Badan Pengawas Keuangan),
BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) dan berbagai tingkat inspektorat
sektoral dan lintas sektoral praktis seakan tidak berdaya untuk mengurangi
gelombang korupsi yang makin dahsyat.
Salah satu upaya alternative untuk memberantas dan membuka rahasia
korupsi yang sudah dahsyat tersebut adalah disamping oleh aparat BPK, BPKP,
Kejaksaan dengan bantuan BPKP, adalah forensic accountant (fraud auditor).
Bahkan dalam Media Akuntansi (juli 1999:17) dikatakan bahwa hampir semua auditor
BPKP yang ada bisa atau dapat melakuakan pekerjaan akuntan forensic.
Finansial audit yang diterapkan untuk menemukan penyimpangan keuangan
untuk dituntut di peradilan disebut forensic auditing yang juga dimaksudkan
untuk menemukan korupsi. Forensik Auditing mengandalkan kepada pengetahuan
akuntansi dan auditing yang dibantu dengan kemampuan untuk melakukan penyidikan.
Oleh sebab itu auditor yang sudah terlatih dalam bidang audit mempunyai potensi
untuk menjadi forensic accountant. Forensic accountant adalah auditor yang
melaksanakan suatu tugas yang berkenaan dengan akuntansi, auditing dan
penyidikan pada umumnya dalm suatu forum peradilan umum atau forum public
lainnya untuk pembahasan yang pada akhirnya sampai pada suatu kesimpulan yang
akan dipergunakan oleh pihak tertentu. Forensic accountant dibekali dengan
pengetahuan audit yang dalam termasuk akuntansi. Oleh sebab itu forensic
accountant dapat secara efektif untuk membantu dalam menemukan dan memastikan
adanya tindak pidana korupsi.
Institusi
yang Dapat Memanfaatkan Forensic Accountant (Fraud Auditor)
Institusi yang dapat memanfaatkan forensic
accountant (fraud auditor) adalah : lembaga pemerintah;penegak hukum; pengacara;
perusahaan asuransi; perbankan; lembaga peradilan; masyarakat bisnis, dan
lain-lain.
Persyaratan
keahlian audit
Forensik auditing mengandalkan mengandalkan pada pengetahuan akuntansi
dan auditing yang dibantu dengan kemampuan melakukan penyidikan. Forensic
accountant (fraud auditor) dibekali dengan pengetahuan audit yang dalam termasuk
akuntansi. Walaupun demikian, secara ringkas mengenai persyaratan keahlian yang
harus dimiliki oleh seorang forensic accountant (fraud auditor) akan dijelaskan
berikut ini.
Orang yang ahli adalah orang yang dengan keterampilannya mengerjakan
suatu pekerjaan dengan cara mudah, cepat, menggunakan intuisinya, dan sangat
jarang melakukan kesalahan (Trotter dalam Murtanto dan Gudono, 1999). Menurut
para ahli lain, keahlian merupakan pengetahuan tentang linkungan tertentu,
pemahaman terhadap masalah dalam lingkungan tersebut dan keterampilan untuk
memecahkan masalah yang timbul dalam lingkungan tersebut (Bedrad, 1998).
Di bidang auditing, beberapa peneliti menyamakan keahlian audit dengan
pengalaman audit, dan beberapa peneliti lain menggunakan penglaman ini sebagai
variable pendukung keahlian. Bedrad (1998) menyatakan bahwa keahlian audit
adalah pengetahuan dan ka=eahlian procedural yang luas yang ditunjukkan dalam
penglaman audit. Tan dan Libby (1997) mengelompokkan keahlian dalam berdasarkan
evaluasi kinerja auditor pada kantor akuntan public. Evaluasi ini di dasarkan
pada pada tugas yang dibebankan pada auditor untuk menangani penugasan dari
klien. Penanganan tugas tersebut memerlukan keahlian teknis dan non teknis.
Sedangkan dalam Murtanto dan Gudono (1999) menyebutkan ada 5 kategori atribut
personal yang ahli, yaitu: (1) komponen pengetahuan, (2) ciri-ciri psikologis,
(3)kemampuan berpikir, (4) strategi penentuan keputusan, dan (5) analisis tugas.
Pertama, komponen pengetahuan (knowledge component). Komponen pengetahuan
terhadap fakta-fakta, prosedur-prosedur dan pengalaman. Kedua, cirri-ciri
psikologis (psychological traits). Atribut ini merupakan lahiriah seseorang yang
memiliki hal-hal personal dari seseorang, yang meliputi kemampuan dalam
berkomunikasi, kreatifitas, dapat bekerja sama dengan orang lain, dan
kepercayaan terhadap keahlian. Tan dan Libby (1997) misalnya, menyatakan bahwa
keahlian komunikasi dan keahlian interpersonal menjadi factor yang lebih penting
dibangkan technical competence pada tingkatan manejerial.
Ketiga, kemampuan berfikir (cognitive abilities). Atribut ini merupakan
kemampuan dalam mengakumulasikan dan mengolah informasi. Salah satu contoh dari
kemampuan berpikir adalah kemampuan untuk beradaptasi pada situasi yang baru
yang baru dan ambiguous yaitu memberikan perhatian terhadap fakta yang relefan
serta kemampuan untuk mengabaikan fakta yang tidak relevan yang dapat secara
efektif digunakan untuk menghindari tekanan. Keempat, strategi penentuan
keputusan (decision strategies). Strategi penetuan keputusan baik formal maupun
informalakan membantu membuat keputusan yang sistematis dan membantu keahlian
dalam mengatasi keterbatasan manusia (Shanteau 1989 dalam Murtanto dan Gudono,
1999).
Kelima, analisis tugas (task analysis). Analisis tugas dipengaruhi oleh
kompleksitas tugas (Raaheim, 1998; Bonner dan Lewis, 1990; dan Tan dan Libby,
1997). Sedangkan menurut Abdolmuhammadi dalam Murtanto dan Gudono (1999)
menyatakan bahwa karakteristik ini banyak dipengaruhi oleh penglaman-pengalaman
audit dan analisis tugas ini akan mempengaruhi pilihan terhadap bantuan
keputusan oleh auditor yang mempunyai pengalaman banyak. Sedangkan menurut Tan
dan Libby (1997), keahlian audit dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu:
(1) keahlian teknis, dan (2) keahlian non teknis.
Keahlian
Teknis (Technical Skills)
Keahlian teknis merupakan kemampuan mendasar seorang auditor berupa
pengetahuan procedural dan kemampuan klerikal lainnya dalam lingkup akuntansi
secara umum dan auditing. Menurut Bonner dan Lewis (1990) keahlian mencakup tiga
bentuk yaitu : (1) pengetahuan akuntansi dan auditing, (2) pengetahuan
subspesial (derifative contract), dan (3) pengetahuan bisnis secara umum. Yang
termasuk dalam keahlian teknis adalah:
a. Komponen
pengetahuan dengan factor-faktornya yang meliputi pengetahuan umum dan khusus,
berpengalaman, mendapat informasi yang cukup relevan, selalu berusaha untuk tahu
dan mempunyai visi.
b. Analisis tugas yang mencakup
ketelitian, tegas, professional dalam tugas, keterampilan teknis, menggunakan
metode analisis, kecermatan, loyalitas, dan idealisme.
Sedangkan menurut Regar (1998) pengetahuan yang harus dimiliki forensic
accountant (fraud Auditor) adalah keahlian yang dalam mengenai: akuntansi umum (meliputi
akuntansi keuangan dan akuntansi
manajemen/biaya); auditing keuangan, manajemen dan operasi; dan pengetahuan yang
memadai mengenai hukum yang berkaitan dengan masalah tertentu.
Keahlian
Non Teknis
Keahlian non teknis merupakan kemampuan dari dalam diri seorang auditor
yang banyak dipengaruhi oleh factor-faktor personal dan pengalaman. Keahlian non
teknis mencakup:
a.
Ciri-ciri
psikologis yang meliputi rasa percaya diri, tanggungjawab, ketekunan, ulet dan
enerjik, cerdik dan kreatif, adaptasi, kejujuran, dan kecekatan.
b.Kemampuan
berpikir yang analitis dan logis, cerdas, tanggap dan berusaha untuk,
menyelesaikan masalah, berpikir cepat dan terperinci.
c.
Strategi
penetuan keputusan yang mencakup independent, objektif, dan memiliki integritas.
Kemampuan atau keahlian nonteknis jug
mencakup kemampuan interpersonal yang meliputi kemampuan berkomunikasi,
kepemimpinan, dan dapat bekerjasama serta kemampuan relasional (Murtanto dan
Gudono, 1999). Sedangkan Tan dan Libby (1997) mengelompokkan keahlian non teknis
sebagai keahlian interpersonal, ciri-ciri psikologis, dan kemampuan berfikir.
Disamping itu, forensic accountant (fraud auditor) harus memiliki ciri
khusus (Regar, 1998) sebagai berikut:
a.
Sikap ingin
tahu (curiosity)
b.Curiga
professional (professional skepticism)
c.
Ketangguhan
(persistence)
d.Kreatifitas
(creativity)
e.
Kepercayaan
(confidence)
f.
Pertimbangan
professional (professional judgment)
Apa yang
dilakukan oleh Forensic Accountant (Fraud Auditor)?
Jenis Pekerjaan yang dapat dilakukan oleh forensic accountant (fraud
auditor) menurut Regar (1998) adalah sebagai berikut: penyidikan criminal
ekonomi; sengketa antara pemegang saham; tututan atau klaim asuransi;
penggelapan oleh karyawan; kerugian usaha; masalah profesi akuntan (misalnya
penggunaan prinsip akuntansi); dan penyidikan dalam hal korupsi.
Kalau kita lihat bahwa perkembangan teknologi forensic auditing semakin
pesat untuk menjawab tantangan era baru white collar crime dan cretive
accounting sendiri. Dan dalam melaksanakan pekerjaannya sendiri forensic
accountant (fraud auditor) melakukan analisis, menafsirkan, mengikhtisarkan, dan
menyajikan masalah keuangan dan bisnis sehingga dapat dipahami dengan dukungan
bukti yang memadai seperti:
a.
Penyidikan
dan analisis bukti keuangan.
b.Mengkomunikasikan
hasilnya dalam bentuk laporan.
c.
Memberikan
kesaksian sebagai ahli di persidangan peradilan dengan menyediakan dukungan
bukti.
Dalam hal korupsi, forensic accountant (fraud auditor) mempergunakan
standar audit yang berlaku. Standar audit lapangan yang kedua harus dilaksanakan
dengan patuh sebagai langkah awal. Standar tersebut mengatakan “pemahaman yang
memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan
audit dan untuk menentukan sifat, saat, dan luas pengujian yang akan dilakukan”
(Standar Akuntansi Keuangan, IAI, 1994: hal.150.2).
Pembahasan
Mengenai Struktur Pengendalian Intern
Perkembangan konsep pengendalian intern yang mutakhir harus dicermati
oleh forensic accountant (fraud auditor) karena peranannya terbukti sangat besar
dalam setiap audit. Forensic Accountant (fraud auditor) harus mempelajari dan
menakuni secara sungguh-sungguh konsep tersebut, khususnya yang menyangkut
dengan lingkungan pengendalian (control environment) yang salah satu komponennya
adalah komite audit yang sangat mempengaruhi hasil suatu audit.
Seperti yang dijelaskan diatas bahwa, modus operandi korupsi yang paling
umum adalah mark-up pembelian/pengeluaran, mark-down penjualan/pemasukan, dan
ditambah dengan dengan pengambilan komisi yang dilakukan pada BUMN/BUMD dan
proyek atau lembaga pemerintah merupakan praktek yang merupakan bukan “rahasia
umum” lagi. Bahanya lagi, hampir semua perbuatan in dilakukan dengan sengaja
dengan memanfaatkan kelemahan struktur pengendalian intern dan juga memanfaatkan
kekuasaan yang dimiliki. Dan hampir semua perbuatan tersebut dilakukan secara
kolusi (collusion) dengan melibatkan beberapa pihak seperti pimpinan/pejabat
teras sehingga sulit untuk dilacak walaupun terlacak masalahnya langsung
terkotakkan. Audit keuangan yang dilakukan oleh forensic accountant (fraud
Auditor) dapat saja menemukan praktek ini jika ia diberi kewenangan yang cukup
ditambah dalam melaksanakan pekerjaannya, ia melakukannya secara taat standar
audit.
Jika kita baca undang-undang yang menyangkut tindak korupsi di Indonesia
(yaitu UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi), kita
akan menjumpai bahwa undang-undang ini selain memberi ganjaran terhadap
pelakunya, juga menguraikan cara pelaksanaan dan bagaimana mengungkapkannya.
Hanya saja untuk pembuktian korupsi yang dilakukan melalui proses atau meminta
bantuan forensic accountant (fraud auditor) sebagai orang yang ahli. Finansial
audit yang lazim mengharuskan auditor untuk menilai apakah financial statement
mengandung salah saji material sebagai akibat dari penyimpangan yang disengaja
(irregularities) maupun yang tidak disengaja (errors). Standar audit yang umum
pada dasarnya mampu mengetahui adanya kesalahan yang disengaja maupun yang tidak
disengaja kecuali apabila dilakukan secara rapid an dengan cara kolusi seperti
dijelaskan diatas. Jika audit yang akan dilakukan untuk mengetahui penyimpangan
dan kecurangan (fraud) seperti korupsi, maka program audit harus diutamakan
untuk maksud tersebut. Kemudian pengetahuan mengenai standar harga barang atau
jasa dan pengetahuan pasarnya merepakan hal yang juga penting dikuasai oleh
forensic accountant.
Mengapa
Korupsi di Indonesia Sulit Diberantas?
Seperti dijelaskan sebelumnya, Indonesia merupakan Negara yang paling
parah penyakit korupsinya. Penyakit ini tidak hanya dimonopoli oleh lembaga
pemerintah, tetapi keberadaan penyakit ini di lembaga pemerintah harus disoroti
sejalan dengan keinginan untuk untuk menciptakan system pemerintahan yang bersih
(good government governance). Sebenarnya Indonesia mempunyai lembaga-lembaga
sebagai perangkat pengawas keuangan mulai dari tertinggi seperti badan pemeriksa
keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan berbagai
tingkat inspektorat sektoral dan lintas sektoral serta kantor akuntan pulik yang
dapat diminta untuk melaksanakan audit jika dirasakan ada indikasi tindak pidana
korupsi. Namun yang terjadi sampai detik ini kasus korupsi baik kecil maupun
besar masih saja sulit diberantas, bahkan cenderung meningkat.
Penyebab utama yang mungkin adalah karena kelemahan audit pemerintahan
Indonesia. Mardiasmo (2000) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam
audit pemerintahan di Indonesia, yaitu:
Pertama, tidak tersedianya performance indicator yang memadai sebagai
dasar untuk mengukur kinerja pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun daerah.
Hal tersebut umum dialami oleh organisasi public karena output yang
dihasilkannya berupa pelayanan public yang tidak mudah diukur. Kelemahan pertama
ini bersifat inherent.
Kedua, terkait dengan masalah struktur lembaga audit terhadap pemerintah
pusat dan daerah di Indonesia. Permasalahannya adalah banyaknya lembaga
pemeriksa fungsional yang overlapping satu dengan lainnya yang menyebabkan
ketidak efisienan dan ketidakefektifan pelaksanaan pengauditan. Untuk
menciptakan lembaga audit yang efisien dan efektif, maka diperlukan reposisi
lembaga audit yang ada, yaitu pemisahan fungsi dan tugas yang jelas dari
lembaga-lembaga pemeriksa pemerintah tersebut, apakah sebagai internal auditor
atau eksternal auditor. Berdasarkan kedudukannya kedudukannya terhadap
pemerintah kita mengenal adanya audit internal maupun audit eksternal. Audit
internal dilaksanakan oleh Inspektorat jendral Departemen, Satuan Pengawas
Interen (SPI) di lingkungan lembaga Negara/BUMN/BUMD, Inspektorat Wilayah
Propinsi (Itwilprop), Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota (Itwilkab/Itwilko), dan
BPKP. Sedangkan audit eksternal dilaksanakan oleh BPK sebagai unit pemeriksa
yang independent karena berada di luar organisasi yang diperiksa.
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan diatas, Saefuddin (1997)
menguraikan hal-hal yang menyebabkan mengapa korupsi di Indonesia sulit
diberantas Yaitu:
1.Mental
pegawai yang keropos, yang menyababkan mereka tidak ambil pusing untuk mengambil
sesuatu yang bukan hak miliknya. Mereka tak peduli untuk menyalahgunakan jabatan
atau posisinya demi untuk kepentingan pribadi.
2.Adanya
ketidakrelaan menerima gaji yang relative terbatas dibandingkan dengan tingkat
kebutuhan yang layak. Hal ini menggiring mereka untuk mengejar pendapatan cepat
tanpa memperhatikan proporsi.
3.Hampir
seluruh jenjang berlomba mencari peluang untuk menggapai pendapatan sampingan,
yang nilainya jauh lebih besar. Praktik korupsi terstruktur ini terkristalisai
sejalan dengan struktur “ABS (Asal Bapak Senang)”. Implikasinya, banyak
pimpinan yang “tutup mata”
ketika disodori amplop. Implikasi lebih lanjut adalah : siapa yang menolak
amplop terimakasih dinilai menentang pimpinan, minimal menentang kemauan bersama.
Tambahan lagi, menurut Baswir (2000) dijelaskan bahwa skandal-skandal yang
terjadi di Indonesia (Buloggate misalnya) adalah disebabkan karena kekacauan
manajemen keuangan public di Indonesia yang meliputi : (a) penyelenggaraan
sejumlah kegiatan kegiatan public diluar mekanisme APBN, (b) dipeliharanya
sejumlah dana public diluar APBN, (c) kehadiran sejumlah lembaga semipublic-semiprivat
dalam lingkungan pemerrintahan. Dalam situasi manajemen keuangan public yang
kacau itu, praktik korupsi terus merajalela dalam tubuh pemerintahan. Praktik
korupsi di Indonesia tidak lagi dapat diisolir sebagai ekspresi niat jahat
seseorang atau sekelompok orang untuk memperkaya diri mereka sendiri, melainkan
telah menjadi bagian yang integral
dari system penyelenggaraan Negara yang telah dijalankan oleh pemerintah.
Situasi korupsi seperti ini disebut sebagai korupsi sistemik. Artinya, tingkat
perkembangan praktik korupsi di Indonesia sangat jauh melampaui tingkat korupsi
personal dan korupsi institusional. Praktik korupsi di Indonesia tidak dilakukan
hanya oleh beberapa orang atau oleh beberapa lembaga pemerintahan tertentu,
melainkan langsung dipelihara oleh Negara.
4.Adanya
diskriminasi penindakan terhadap pidana korupsi. Hanya kelas teri yang terjaring
pasal pidana korupsi, sementara koruptor kelas kakap didera dengan mutasi,
maksimal diberhentikan dengan tidak tidak terhormat.
Untuk memberantas korupsi maupun penyalahgunaan jabatan dalam bentuk kolusi atau lainnya diperlukan kemauan politik dan aksi politik yang konkrit dari pemerintah. Keberadaan lembaga anti korupsi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bBebas dari korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) perlu diwujudkan peran nyatanya untuk membantu memberantas korupsi
$$$$$$$$$
Rabu, 26 Februari 2003 10:09 WIB - warta ekonomi.comJAKARTA, (PR).-
Departemen Keuangan saat ini sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang
Akuntan Publik (RUU AP). Langkah ini ditempuh untuk mengakomodasikan besarnya
tuntutan masyarakat terhadap integritas dan profesionalisme akuntan publik (AP)
serta perkembangan lingkungan sosial, teknologi, dan liberalisasi perdagangan
jasa yang semakin kompleks yang memengaruhi profesi AP.
"RUU yang tengah digodok itu nantinya akan mengatur antara lain mengenai regulasi profesi AP termasuk di dalamnya tentang pemberian izin, pembinaan dan pengawasan, pendidikan dan pelatihan, pemberian sanksi, penetapan standar, registrasi asosiasi profesi, dan penyelenggaraan ujian profesi," ujar Kepala Biro Humas Depkeu Maurin Sitorus di Jakarta, Senin (29/9).
Menurutnya, tujuan adanya regulasi dalam bentuk undang-undang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan publik dan profesi AP, menunjang perkembangan perekonomian yang sehat, efisien, transparan, dan akuntabel. Selain itu, guna memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi publik, regulator, dan profesi AP dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, serta menjaga kualitas jasa AP.
Hal lain yang akan diatur adalah bahwa kantor akuntan publik (KAP) harus bebas dari kecurangan, ketidakjujuran, dan kelalaian; menjaga rahasia informasi; memelihara kertas kerja selama 10 tahun; menjalankan sistem pengendalian mutu; memiliki NPWP; dan mempunyai kantor yang terisolasi dari kegiatan lain. Bagi KAP yang mempekerjakan tenaga ahli asing, wajib memiliki dan menjalankan program alih pengetahuan dari tenaga ahli yang bersangkutan kepada profesi akuntan dan dunia pendidikan akuntansi.
Adapun hak AP dan KAP adalah (i) memberikan jasa audit atas laporan keuangan, jasa atestasi, dan jasa review atas laporan keuangan, (ii) mendapat imbalan atas jasa yang diberikan, dan (iii) tidak dapat dituntut dalam hal melaporkan indikasi tindak pidana yang dilakukan oleh klien. Selain itu, AP dan KAP juga bertanggung jawab atas seluruh jasa yang diberikan, termasuk tanggung jawab pidana dan tanggung jawab perdata.
Larangan
Di samping hak dan kewajiban, juga akan diatur larangan AP memberikan jasa bila AP yang bersangkutan tidak independen, demikian pula tidak boleh memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan untuk klien dalam kurun waktu berturut-turut lebih dari tiga tahun.
"Selain itu, AP juga dilarang merangkap jabatan tertentu, misalnya sebagai pejabat negara, pimpinan atau pegawai instansi pemerintah, BUMN, BUMD, atau badan hukum lainnya," ungkap Maurin.
Larangan jabatan rangkap tersebut menurutnya dikecualikan bagi AP yang merangkap sebagai dosen perguruan tinggi yang tidak menjabat struktural. Sama halnya seperti AP, KAP juga dilarang memberikan jasa apabila KAP yang bersangkutan tidak independen. KAP juga dilarang memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan untuk klien yang sama berturut-turut untuk jangka waktu lebih dari lima tahun. KAP dilarang memberikan jasa yang tidak berkaitan dengan keuangan, akuntansi, dan manajemen serta dilarang memperkerjakan/menggunakan jasa pihak terasosiasi yang menolak/tidak bersedia memberikan keterangan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan terhadap AP dan KAP.
"Ada tiga jenis sanksi bagi AP dan KAP yang melanggar ketentuan, yaitu sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana," tandasnya. Sanksi administratif berupa denda, peringatan, pembekuan izin, dan pencabutan izin.
Menurutnya, sanksi perdata berupa tuntutan ganti rugi dari pihak yang menderita kerugian sebagai akibat pelanggaran AP dan KAP. "Sanksi pidana diberikan kepada AP dan KAP serta pihak terasosiasi yang melakukan pelanggaran. Misalnya memberikan pernyataan tidak benar atau memberikan dokumen palsu untuk mendapatkan atau memperbarui izin; melakukan kecurangan, ketidakjujuran atau kelalaian dalam memberikan jasa yang dapat merugikan pihak lain; menghancurkan atau menghilangkan kertas kerja atau dokumen lain yang berkaitan dengan pemberian jasanya," tuturnya.
Sanksi pidana kurungan diberikan kepada AP sekurang-kurangnya satu tahun dan selama-lamanya enam tahun atau denda sekurangnya Rp 50 juta dan sebesar-besarnya Rp 300 juta. Sedangkan KAP dikenai sanksi pidana denda sekurang-kurangnya Rp 100 juta dan sebesar-besarnya Rp 2,5 miliar. Pihak terasosiasi yang melakukan kecurangan untuk kepentingan AP atau merugikan pihak lain, demikian pula jika menghancurkan dokumen untuk kepentingan KAP, dikenai sanksi yang sama dengan sanksi pelanggaran yang dilakukan AP. (A-80)***