Laporan
Perjalanan Tim Ekspedisi Penyu Ujung Genteng
Acara : Milis
KKGMUda
Apa
arti peringatan hari kemerdekaan negara kita tercinta bagi segerombolan muda
mudi pegawai sebuah penerbitan di kawasan Jakarta Pusat? Hari utk mengenang
mereka yg telah membela negara ini sebelumnya? Hari baik krn telah memenangkan
lotre mengikuti upacara bendera 17 Agustus? Tentu saja bukan. 17 Agustus adl
hari baik utk bepergian ke luar kota krn dgn cuti 1 hari bisa pergi 4 hari.
Paket hemat yg cukup menarik bukan?
Maka
demikianlah. Friday 13th, Jumat 13 Agustus telah ditetapkan sbg hari
keberangkatan anggota divisi foto serta divisi gunung & laut. Awalnya agak
seram juga berangkat di tgl keramat tsb, apalagi jumlah peserta awalnya juga 13
org. Untunglah tambahan 1 org peserta lagi mematahkan tulah tadi.
Kantin
di belakang gedung penerbitan di kawasan Slipi tadi ditetapkan sbg meeting
point. Nama-nama yg telah malang melintang di milis karyawan perusahaan tsb,
akhirnya pd malam itu hadir dlm wujud yg nyata tanpa embel2 @blabla.com. Rencana
semula berkumpul jam 8 malam dan berangkat jam 9 malam tak bisa ditepati. Bahkan
ada seorg peserta yg masih terjebak kemacetan di saat jarum jam hampir menyentuh
angka 9. Perjalanan yg cukup melelahkan baginya. Akhirnya dengan iringan senyum
penuh haru dr salah seorang admin milis, rombongan piknik ceria yg berjumlah 14
orang itu meninggalkan kantin yg dipenuhi harum masakan pada sekitar jam 10
malam.
Berjalan
berendengan, terlihat masing-masing siap tempur dengan bawaannya. Ada yg membawa
backpack kebanggan, binatang kesayangan, maupun bantal imut teman tidur yg
setia. Go go we go to Ujung Genteng!!
Sebuah
mikrolet kosong yg sempat melakukan manuver tajam di depan Pasar Palmerah
menjadi pilihan pertama alat transportasi kami malam itu. Kendaraan yg identik
dgn istilah “enam – empat” pd jumlah penumpangnya, malam itu harus mampu
memuat 14 org lengkap dgn gembolannya. Alhasil Sila terpaksa menunjukkan bakat
aslinya dgn berdiri bergelantungan di pinggir pintu, bak seorg kondektur
profesional.
Slipi
menjadi persinggahan pertama. Setelah rapat kilat diantara deruman bis yg
bersliweran dan ditingkahi asap knalpot, diputuskan utk memilih bis P6 jurusan
Kp Rambutan. Tak lama kemudian bis yg dinanti pun melintas. Segera bis tsb
berhenti, tak sabar ingin mengangkut gerombolan org muda yg terlihat begitu
ceria malam itu.
Kampung
Rambutan! Here we come! Mungkin sudah lewat pukul 11 waktu kita mendarat dg
selamat di terminal Kp Rambutan. Para negosiator mulai beraksi, mencari pihak2
terpertjaja yg dg kerelaan hatinya bersedia mengantarkan ke-14 mahluk cihuy tsb.
Ternyata
para penentu keputusan arah bis (baca: sopir bis) malam itu rata2 bersikap jual
mahal. Mereka menolak mengantar kami yg baik hati & tdk sombong ini. Mungkin
mereka belum cukup kuat scr mental utk mengangkut orang2 keren sebanyak 14 org
sekaligus. Namun akhirnya kami temukan juga dia yg berani menerima tantangan
dari kami. Meski menurut beliau, beliau terpaksa mengantar kami. Yah, begitulah
kalau harus menghadapi pesona kami yg sangat kuat. Seringkali org belum siap.
Meski harus berlama menunggu bis mengisi penuh2 penumpangnya, akhirnya jadi juga
kami meninggalkan Kp Rambutan selewat pukul 12.00 malam. Duh, para cowo cewe
keren ini sudah keburu berubah jadi timun suri, deh!
Dgn
muka masih bagai bantal, bergulingan kami turun dari bis selepas Ciawi sekitar
jam 1 dini hari. Terseok2 menahan kantuk, kendaraan berikutnya harus segera
didapatkan. Kalau tidak, kami bisa2 kesiangan sampai di tempat tujuan. Untunglah
Iwan, pak PO yg handal & piawai, berhasil mendapatkan kendaraan berikutnya.
Surade! Tunggu kami!
Para
anggota tim ekspedisi terlihat sudah kelelahan selama dlm perjalanan menuju ke
Surade. Kantuk yg menyerang tak sanggup ditahan lagi. Meski ruang duduk sangat
tdk nyaman, tidur pun dijelang. Belum lama memejamkan mata, tiba2 pak PO
menanyakan apakah ada yg membawa plastik. Setengah tersadar, seorg anggota tim
berhasil menemukan kantong yg diinginkan. Untuk apakah kiranya kantong itu?
Ternyata seorg peserta mengalami mabok darat berat, tak kuat menahan hantaman
jalan berkelok yg buruk kondisinya. Anggota tim yg lain pura2 tdk melihat
penderitaan beliau. Tapi daripada ikut mabok, semuanya pilih memejamkan mata.
Hehehe maap ya, pak!
Selama
dlm perjalanan itu pula, penulis merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi
karung beras. Duduk di jok paling belakang, kami berempat tetap meloncat hingga
kepala menumbuk langit2 mobil meski backpack berat ada di pangkuan. Duh.. duh…
betapa berat nasibmu wahai para karung beras.. hiks hiks… Sempat berhenti
sejenak untuk keluar dari mobil, sekedar meluruskan kaki & menghirup teh
panas, jalan yg tdk manusiawi ini terus kami lalui hingga tiba di Surade
keesokan paginya.
Jam
5.45, hari Sabtu 14 Agustus, kami memasuki halaman rumah Kang Ajo di Surade.
Akang yg berprofesi sbg tukang ojek ini yg mengantarkan Pak PO ke UG saat survei
minggu sebelumnya. Lantai yg rata, pagi yg tenang, tak ingin disia2kan oleh para
anggota ekspedisi. Segera kegiatan pertama pagi itu tidur! Nyamannya tidur
menyelonjorkan kaki. Fiuuuh legaaa!
Keluarga
Kang Ajo tampak sibuk menyiapkan air minum hangat dan mencarikan tikar utk kami.
Keramahan yg sangat mengharukan. Padahal bisa dibilang kami sama sekali tdk
kenal dg mereka. Pak PO saja baru sekali bertemu beliau. Tepat jam 8, nyawa
mulai dikumpulkan, kamar mandi mulai diserbu. Guyuran air dingin diharapkan bisa
mengusir sisa2 kantuk semalam. Setelah itu makan pagi dg menu ikan asin, lalap
daun singkong & sambal diserbu. Terasa sangat mewah buat kami krn perkiraan
awalnya, kami akan terkatung2 di 1 tempat asing in the midle of nowhere.
Bersyukur sekali kami pagi itu.
Jam
9 pagi lewat beberapa menit, mundur beberapa menit dr rencana, kami bersiap
meninggalkan rumah kang Ajo. Butiran2 kelapa muda yg telah dipetikkan oleh Kang
Ajo dgn berat hati kami tinggalkan. Sebetulnya pengen banget bawa, tapi di sana
mo gimana bukanya? Kami kan bukan rombongan kuda lumping yg mau gigit2 sabut
kelapa weee…
Kendaraan
kami berikutnya adl mobil bak terbuka. Kendaraan ini kami pilih atas permintaan
khusus anggota tim yg malam sebelumnya mengalami mabok darat berat. Beliau telah
mengajukan argumen bahwa kekurangan oksigen menjadi penyebab maboknya. Aih,
bisaaa aja hihihi…
Akhirnya
jadilah kami bagai rombongan TKI yg berdesakan di mobil bak terbuka lengkap dgn
timbunan bawaan. Untuk mengisi kekosongan, Dendy segera mengenalkan pacarnya yg
berbodi gitar. Request lagu pun segera diterima. Sayang, hanya lagu2 jadul yg
dipenuhi permintaannya. Petikan sang gitaris tangguh mengiringi suara2 lantang
para personil Band OWA yg menyanyikan lagu2 jadul masa kini. Dari mulai lagunya
Rahmat Kartolo hingga Koes Ploes dinyanyikan. Eh, lagu-lagu ini termasuk lagu
masa kini bukan, sih? Masa kini juga, tapi jadul huahahaha…
Riang
gembira menyanyi sepanjang jalan, kami beberapa kali harus melayani lambaian
tangan murid2 SD di sepanjang jalan. Entah mengapa mereka terlihat begitu riang
gembira melihat kami. Mungkin mereka berpikir akan ada pertunjukan lenong malam
ini di kampungnya setelah melihat kami? Entahlah…
Persinggahan
pertama sebelum ke Ujung Genteng adl penginapan Amanda. Bukan… kami tidak
menginap di sini. Kami cuma mau numpang motret saja di sini huehehehe. Segeralah
mereka yg tergabung di divisi foto beraksi dg peralatan masing2. Mereka yg tdk
tergabung dlm divisi foto terlihat berbicang serius. Rupanya sesi curhat2
pribadi telah dimulai. Setelah masing2 anggota tim puas menyalurkan hasratnya,
kami berkumpul di sekitar gitar egois (habis Cuma Dendy yg kidal yg bisa mainin
gitar itu :D). Lagu Koes Ploes “angin Laut” menjadi theme song acara
mengakrabkan diri kami pagi itu.
Setelah
12 tembang manis dinyanyikan (weks sudah sekaset penuh tuh) kami segera beranjak
meninggalkan penginapan Amanda yg terletak di tepi laut bertebing itu. Matahari
makin tinggi, hari makin panas. Berdendang lagi kami dlm bak terbuka menuju
Ujung Genteng. Untunglah sang gitaris tangguh tak kenal lelah memetik gitarnya.
Langit
biru jernih memayungi kepala menyambut kami di Ujung Genteng setelah hampir 1
jam kami berkendara dari Amanda. Ingin segera beraksi menggerakkan peralatan
foto uyg dibawa, namun ternyata kami harus segera ke warung utk makan siang.
Tidak banyak pilihan menu di siang itu. Pokoknya sekedar tdk memberi tempat
angin bersarang di rongga perut.
Usai
hidangan disantap, kami melewatkan waktu cukup lama di dekat penginapan Hexa.
Malam ini kami akan menginap di Pangumbahan, tempat mess pembiakan penyu. Tapi
berjalan kaki dari Hexa ke Pangumbahan di siang hari yg bisa memuaikan seluruh
tubuh kami bukanlah pilihan yg tepat. Maka berdendanglah kami tak kenal henti di
tepi pantai di sekitar penginapan Hexa. Buku2 syair lagu Koes Ploes, Panbers,
DeLlyod (tulisannya bener ga sih?) dibuka. Alex tak ketinggalan membuka buku
suci bersampul kuning berisi lagu2 barat thn 70an. Entah berapa puluh kaset lagu
kami nyanyikan. Saat angin mulai lembut berhembus, ini lah waktu yg dirasa tepat
utk meninggalkan pos kami di tepi pantai tsb.
Perjalanan
masih cukup panjang. Tiap anggota tim ekspedisi tampil bagai tim ekspedisi
professional: memanggul backpack yg lumayan besar & berat tentunya.
Menyusuri pantai menuju ke Barat, menapaki tiap pasir putih halus dan menghadang
tiap helai angin yg melintas. Kami berjalan kaki sekitar 2 jam dgn diselingi
istirahat sekali utk sekedar minum & membuat beberapa foto. Fiuh melelahkan
juga berjalan menyusuri pantai seperti itu. Terkadang butiran pasir yg kami
tapaki demikian halusnya, hingga tiap kali kaki menyentuh permukaannya pasti
akan langsung melesak ke bawah. Terasa berat utk memulai langkah kedua. Berjalan
ke tengah mendekati garis air, hal yg sama kami temui: pasir yg sangat lunak
menghisap kaki2 kami. Dalam perjalanan kami temui beberapa lelaki asing yg asik
bermain selancar, naik turun di antara lidah2 ombak. Namun dgn perjuangan yg tak
kenal menyerah, akhirnya sampai juga di mess Pangumbahan. Air minum dan bekal
segera dibuka utk mengusir rasa haus & mengembalikan tenaga yg tersedot.
Pak
PO dan Anna sang asisten PO segera menemui petugas mess, meminta ijin utk
bermalam di mess malam itu. Ijin sudah diperoleh kami segera berpindah ke dalam
mess utk menyimpan barang2 kami. Perjalanan yg tidak singkat selama 2 jam tidak
membuat kami ingin bermalas2an. Segera sesudah barang2 teratur rapi, peralatan
foto dikeluarkan. Tentu saja acara berburu sunset menjadi acara berikutnya.
Sebagian anggota tim lain lain menjadi anggota divisi laut yg benar2 menikmati
pantai serta debur ombaknya. Sore itu tidak ada yg menemukan keasikan di
halusnya pasir pantai Pangumbahan yg terbentang panjang.
Kami
temani mentari hingga benar2 ia beristirahat kembali di balik cakrawala. Masing2
punya kesan tersendiri dg senja di Pangumbahan. Mungkin karena senja yg berhasil
mereka rekam dgn kamera mereka. Mungkin juga karena pengalaman menjadi model
bagi kawan2nya membuat mereka deg2an. Atau mungkin karena mereka bisa menikmati
senja bersama seseorang yg disuka. Aiiih manisnyaaa…. :p
Saat
gelap benar2 telah melingkupi pantai Pangumbahan, kami pun kembali ke mess.
Membersihkan diri sang pujaan hati alias kamera masing2 hal pertama yg
terlintas, jauh sebelum keinginan membersihkan diri sendiri muncul.
Posted at 02:35 pm by plesir