Trip to Ujung Genteng (Crazy Hunting for Desperate People)

SERNY
Email ID:  Primanila.Serny@feminagroup.com  
Indonikon, Indonesia
Mohon maap, cerita agak terlambat krn hari Senin masih dalam proses
pemulihan dari pegel2 seluruh badan plus kurang tidur (pasti Wildan protes
nih.... secara gue & Ferry paling banyak tidurnya) ditambah lagi kemarin
masih ribet dengan tugas kantor yang tertunda.

Trip ini sebenernya berawal dari ide-ide segar yang mengalir seiring
dengan dituangnya minuman dingin berbusa warna kuning ke dalam gelas-gelas
besar bergambar bintang, pada suatu malam cerah di sebuah kafe jalan
jaksa. Obrolan ringan dan ide-ide hunting meluncur begitu saja dari
beberapa indonikoners yang haus hunting; Tumpal, Ferry & Mpi (terutama
Mpi, setelah 6 minggu terkurung hasrat huntingnya karena harus menunaikan
tugas di laut Vietnam). Gue & Anton yang tadinya ikut bergabung terpaksa
harus pulang duluan karena lelah yang menggerogoti tubuh, terutama
mengingat kami berdua harus kembali bertugas di kantor besok paginya.

Rencana awal tadinya hunting ke tanggerang, ide dari Mpi, Imel & gue.
Target utama: mesjid seribu pintu.
Tapi niat ini harus diurungkan mengingat tanggerang kini menjadi daerah
endemik flu burung, flu babi dsb. Jadilah rencana berbelok ke Ujung
Genteng, mencari pantai dan mengintip penyu bertelur.

Setelah mengumpulkan orang melalui milis & sms, terkumpul 4 orang
desperate people yang cukup gila untuk berangkat ke ujung genteng dengan
persiapan selama 3 hari (Mpi nggak berniat ikut krn sudah cukup mual
selama 6 minggu ngeliat laut lagi.... laut lagi...., sementara Adig batal
ikutan karena memiliki kewajiban lain, he....he.... nyesel ya, Dig.....)

Maaf teman-teman, semoga gak bosen bacanya karena cerita ini bisa jadi
cerita yang panjaaang.......

PERSIAPAN:
Oke.... pertama-tama, apa aja yang perlu dibawa ke ujung genteng?
- Baju pantai, jangan baju hitam lengan panjjang. Boleh aja sih, tapi
resikonya jadi Bas-Ket (kalo gak percaya, tanya Tumpal deh, he....he...).
Mau pake baju tanpa lengan, boleh aja, resikonya kulit jadi coklat hitam
agak hangus (bisa liat kulit gue setelah kebakar matahari ujung genteng).
- Topi, perlu untuk melindungi muka supaya ggak terbakar matahari yang
cukup ganas.
- Sunglasses, kebetulan kemaren gak ada yangg bawa, jadi terpaksa
menyipitkan mata menghadapi silaunya pantulan matahari di pasir putih.
- Sendal jepit, kl gak.... ya nyeker aja kayyak Ferry..... sekalian pijat
refleksi katanya sih, mumpung gratis.
- Senter kecil, buat jaga-jaga aja, sapa tauu perlu untuk jalan malem atau
nyenterin ban angkot yang slip, atau nyenterin supir angkot yang motong
kawat vulkanisir ban mobilnya.
- Karce. Kebetulan jumlah karce & anggotta tim sama, jadi tiap orang dapat
1 karce. Nolong banget, terutama kalo tukang ojek paling depan yang bawa
anggota tim cewek (satu-satunya) bercelana pendek,  ngeloyor duluan jauh
di depan sampe gak keliatan lagi (Serny.... monitor.... Serny.... *panik
mode on*)
- Resochin & obat-obatan lain.
- O iya, jangan lupa peralatan mandi. Sama sselimut mungkin ya, karena
kemaren ada yang kedinginan walaupun bersempit-sempit di kamar pengap
gitu.
- Uang untuk patungan transport dsb, dengan  team ber-4 kemarin, kira-kira
seorang sekitar 300 ribu.

BERANGKAT! :
"Kalo bisa kumpul paling telat jam 5 di pasar festival, karena angkutan
paling malem dari Bogor ke Sukabumi cuma sampe jam 8," begitu komando
Pratu Tumpie, kepala regu Tour de Oedjoeng Genthenk.
Kami pun sepakat untuk kumpul hari Jumat jam 5 sore di pasar festival.
Mungkin kredibilitas gue sebagai Miss Telat sudah sangat bisa dipastikan,
jadi anggota regu yang lain terkaget-kaget waktu jam 5 kurang 15 menit gue
udah celingak celinguk di pasar festival, sementara yang lain masih di
rumah masing-masing.
Akhirnya sekitar jam 6, semua anggota team berkumpul dan dimulailah sebuah
pengakuan dosa dari Pratu Tumpie: "Teman-teman, sebelumnya saya mau
membuat pengakuan dosa. Sebenarnya, saya tidak tau tranportasi dan rute
pastinya untuk bisa sampai di ujung genteng. Jadi, kalau ternyata nggak
nyampe, mungkin kita harus rubah arah tujuan."
Gubrak!
Untung kita pada cuek, the trip must go on.

JAKARTA - BOGOR (19.00 - 20.20):
Setelah mengisi perut dengan makan malem secukupnya di food court pasar
festival (Tumpal: Nasi soto, Serny: burger + French Fries, Wildan: nasi
soto + burger, Ferry: Buger + French Fries + nasi soto), kami berempat
memutuskan untuk ke Bogor dahulu dari terminal Kampung Rambutan.
Pilihan lainnya adalah naik kereta dari Manggarai ke Bogor, dengan resiko
penuh banget.
Selain itu, sukur-sukur kalo dapet kendaraan langsung ke Sukabumi dari
Kampung Rambutan.
Ternyata, nggak ada kendaraan ke Sukabumi dari kampung rambutan. Katanya
sih kita berangkat di jam tanggung, either kurang siang atau kurang malem
sekalian. Ya sudahlah, naik bis ekonomi ke Bogor aja, nggak ada pilihan
lain.
Di bis, tim tidur yang diketuai oleh Ferry memulai misinya (anggotanya
cuma Ferry & gue sebagai juara tukang tidur I & II). Namun sayangnya,
ketenangan tidur Ferry terganggu oleh colekkan pengamen merangkap preman,
"mas...mas.... daripada tidur mendingan nyumbang uang untuk saya."
Transport;
- Taxi: pasar festival - kp rambutan: Rp 20..000
- Bis Jakarta - Bogor : Rp 4000 / orang

BOGOR - SUKABUMI (20.20 - 23.45):
Cukup cepat juga kami sampai di Bogor. Berangkat dari Kp. Rambutan
kira-kira jam 20.00, udah nyampe di Bogor jam 20.20
Ternyata gerimis mulai menyapa saat kami tiba pertigaan Bogor. Beberapa
calo angkot Bogor - Sukabumi mengapai-gapaikan tangannya mengajak kami
untuk ikut di dalam mobil mereka. Namun hati kita tetap teguh mengikuti
rencana Pratu Tumpie, naik bis dari dalam terminal Baranangsiang ke
sukabumi.
Dengan mengacuhkan ajakan calo angkot, rombongan bertopi & berpayung ini
(gue tentunya yang pake payung, gak mungkin donk... masa tiga cowok macho
itu pake payung... bo'...!) menerobos rintik hujan yang kian deras dengan
satu tujuan pasti: Baranangsiang!
Apa mau dikata, bis ke sukabumi dari terminal sudah habis. Pratu Tumpie
pun bercakap-cakap dengan beberapa orang di terminal untuk mencari
informasi mengenai tranportasi untuk mencapai ujung genteng.
Begini isi percakapannya:
Tumpal berkata, "....bla....bla.... Sukabumi...... bla....bla....."
Calo terminal menjawab,
"....bla....bla.....bis....bla...bla....sukabumi....bla.....bla...tilu....bla....bla....lima...bla....bla...."
(asli gak ngerti bahasa Sunda, euy.....)
Gue, Ferry & Wildan cuma bengong-bengong bodoh mendengarkan percakapan
itu. Kami hanya bisa menunggu komando selanjutnya.
Tiba-tiba Pratu Tumpie memberi komando untuk kembali ke pertigaan mencari
angkot Bogor - Sukabumi.
Sampai di pertigaan, kami sudah dicuekkin oleh calo-calo angkot, pasti di
dalam pikiran mereka berkata, "Gue bilang juga apa...... gak ada bis dari
terminal..... gak percaya sih loe pada!"
Sebelum mendudukkan tubuh kami di kursi paling belakang colt L300, kami
memutuskan untuk beli bekal kue pukis dan roti bakar. Ehm..... nikmatnya
makan roti bakar hangat, hujan-hujan sambil duduk berempat,
bersempit-sempitan di angkot.
Transport:
- Angkot L 300 Bogor ke Sukabumi : Rp 7000 // orang

SUKABUMI - LEMBUR SITU (23.45 - 00.30):
Hari sudah menjelang malam, udara dingin di luar dan pengap di dalam
angkot membuat gue dan Ferry tertidur. Menjelang pukul 12 malam, sampailah
kami di alun-alun Kota Sukabumi.
Masih terkantuk-kantuk kami melangkah turun dari angkot. Sebenernya tujuan
kami adalah terminal, tapi apa mau dikata, terjadi misscomunication antara
kami dan supir angkot.
Mengobati kantuk dengan rokok & sekoteng, kami pun membuat foto
dokumentasi di alun-alun, tentunya dengan background gerbang bertuliskan
"Kota Sukabumi".
Tiba-tiba Tumpal berkata, "eh loe ada yang inget nggak. Tadi di Bogor,
orang terminal ngomong apa ya? bis baru ada jam 3 atau jam 5?"
Kami saling berpandangan. Sumpe loe, Pal!
Lain kali ditranslate donk, yang kita tangkep tuh cuma kata-kata: bis,
sukabumi, tilu, lima.
Ternyata gerimis kembali mengundang kami untuk mulai berjalan mencari
tempat menginap.
Pilihan pertama: Kantor Polisi Militer. Terpaksa diabaikan kecuali kita
mau bermalam di ruang ukuran 3 x 3 dengan pintu berupa jeruji besi.
Pilihan kedua: Penginapan Norista (kira-kira gitu deh namanya). Kelihatan
bersih dan nyaman. Tapi tampaknya terlalu fancy untuk tempat beristirahat
selama 4 - 5 jam saja.
Pilihan ketiga: Hotel Sukabumi. Harus kita lewati begitu saja setelah
melihat gerbang yang tertutup rapat dan membaca petunjuk-petunjuk di depan
hotel. "Parkir di Dalam". "Hotel Sukabumi - tanda panah - tekan bel di
sini"
Kami pun berjalan hingga mencapai terminal antar kota, dan Pratu Tumpie
kembali bercakap-cakap dengan orang-orang di sana memakai bahasa Sunda.
Dan lagi-lagi kami bertiga hanya bisa pasrah menunggu keputusan
selanjutnya.
Baru kami ketahui bahwa untuk mencapai ke Seurade dan Ujung Genteng, kami
harus berangkat dari Lembur Situ, terminal kecil di pinggir kota Sukabumi.

Perjalanan kami naik angkot ke Lembur Situ dibuai oleh lantunan lagu-lagu
Ebiet G Ade, "kita mesti telanjang dan benar-benar bersih......"
Transport:
- angkot ke Lembur Situ: Rp 3000 / orang (taarif normal) Tapi malam itu
tarifnya Rp 15.000 untuk berempat

LEMBUR SITU (00.30 - 03.15)
"Di Sini Lembur, Di Sana Lembur. Di Situ....... Lembur juga......."
(Jokes ini berhubungan dengan kenangan hunting Situ Gunung)
Perjalanan  20 menit sampai di Sub Terminal Lembur Situ telah mengantarkan
kami ke sebuah terminal kecil di pinggir kota Sukabumi pada awal hari
Sabtu.
Wah, mana angkot ke Suradeu, kok jalurnya masih kosong?
Mungkin belum ada. Kaki kami melangkah ke luar terminal.
Beberapa kelompok orang tampak bermain kartu di seberang terminal. Mata
kami menyapu keadaan sekeliling mencari warung kopi yang bisa dijadikan
tempat beristirahat sambil mencari informasi (tips perjalanan: jalan
menunjukkan wajah bingung kalau di tempat asing. Pertolongan pertama
adalah mencari informasi di warung).
Dan kami pun menemukan......... tulisan sub terminal Lembur Situ sebagai
background foto dokumentasi!
Foto harus dilakukan cepat-cepat mengingat keadaan yang membuat kami harus
selalu waspada. Selesai foto, kami pun menuju ke warung kopi terdekat.
Dari informasi di warung kopi, angkutan ke Seurade memang biasanya ada
sekitar jam 1 atau jam 2, tapi karena keadaan hari itu sedang sepi,
sepertinya kami harus menunggu sampai shubuh.
Untungnya tak terlalu lama kami terkatung-katung di Lembur Situ. Beberapa
calo menghampiri kami (tips kedua: kalo jalan-jalan bawa tas ransel atau
tas besar, kemungkinan akan mudah dihampiri calo angkutan) untuk
menawarkan angkutan borongan ke Seurade.
Melalui negosiasi yang cukup alot, terjadi kesepakatan harga. Yaitu, Rp
20ribu/ orang asal terkumpul 12 orang ke Seurade.
Setelah menghabiskan minuman, kami pun masuk ke dalam angkot. Sudah
terkumpul 12 orang dengan tujuan ke Seurade termasuk kami.
Namun..... saat calo menarik tarif, 3 orang dari penumpang tidak sepakat
dengan tarif yang ditentukan. Mereka pun turun, karena mereka hanya mau
tarif Rp 15 ribu seorang.
Dengan semangat kekeluargaan dan pertimbangan agar tidak menunggu sampai
shubuh di Lembur Situ, kami dan salah seorang bapak-bapak yang juga
penumpang, sepakat untuk patungan membayar sisa kekurangan ongkos ketiga
orang tersebut.
Fiuh......akhirnya berangkat juga kami menuju Seurade.
Transport:
- Suzuki Elf isi 12 orang, satu mobil patunggan hingga terkumpul Rp 240.000
(kira-kira Rp 20 ribu seorang, tarif normal Rp 15ribu)

PERJALANAN MENANTANG KE SEURADE (03.15 - 04.45)
Punya jiwa petualang? Mencari tantangan yang memacu adrenalin?
Cobalah naik angkot dari Lembur Situ ke Seurade di pagi buta.
Rasanya, seperti campuran antara naik kora-kora & halilintar di Dufan.
Jalanan gelap berkelok dikombinasikan dengan ngebutnya laju angkot dan
asap knalpot yang masuk ke dalam kabin membuat suasana makin menegangkan.
Saat itu, sepertinya hidup ke-12 orang penumpang sangat bergantung pada
keahlian sang supir dalam mengendalikan mobilnya.
Tangan meraih hp, bermaksud mengirimkan sms wasiat pada orang terdekat.
Ternyata, signal telkomsel sudah menghilang sesaat kami meninggalkan
Lembur Situ.
Akhirnya..... daripada pusing mikirin keselamatan dan menghirup gas CO,
mendingan tidur aja.....zzzzzz.....
Samar-samar terdengar suara Wildan yang membujuk Tumpal untuk menemaninya
terjaga:
"Pal..... liat deh. Bintangnya keren banget......!"
"(mengantuk).... iya...... (sambil menunjuk sinar lampu dari rumah-rumah
di bawah tebing) itu bintangnya pindah ke bawah....."
Tiba-tiba mobil melindas sebuah lubang besar, dan seluruh penumpang
terloncat dari tempat duduknya. Tidur pun terganggu. Saat mencoba untuk
tidur lagi, kejadian lain telah menunggu........ ban mobil slip dan hampir
menabrak tebing!
(gue bilang juga apa....)
Dengan bantuan senter kecil kami yang ternyata berguna, ban mobil pun
berhasil lolos dari kubangan lumpur. Anehnya, penumpang yang lain pada
tenang-tenang aja, seolah-olah itu kejadian yang biasa.
Perjalanan pun dilanjutkan, tapi kali ini diiringi oleh suara,
"....duk...duk....duk...." dari kanan belakang. Setelah diteliti
(lagi-lagi dengan bantuan senter kecil kami, tapi supir angkot berkeras
untuk memegang sendiri senternya dan menolak bantuan Tumpal) ternyata
kawat telat mencuat dari salah satu ban vulkanisir.
Dengan yakin, sang supir angkot memotong kawat. Lalu menggedor-gedor pintu
rumah tempat kami berhenti tepat di depannya dan mengajak empunya rumah
untuk ikut bersama rombongan kami.
Perjalanan kami kembali dilanjutkan (like nothing happened).
Ferry sudah mengeluarkan suara dengkur di pojokan , Tumpal sudah terlelap
dan Wildan lagi-lagi nggak bisa tidur. Gue berniat untuk memejamkan mata
tapi tiba-tiba:
"(putus asa)..... Ser.....Ser.... liat deh! (memasukkan kepala senter ke
dalam mulut dan menyalakannya hingga rongga mulut menyala merah dalam
gelapnya angkot)"
"....ha.....ha....ha..... (mentertawakan usaha Wildan untuk membuat gue
tetap terjaga, lalu tidur dengan cueknya)"

SEURADE - UJUNG GENTENG (04.45 - 07.15)
Selepas shubuh akhirnya kami sampai dengan selamat di Sub Terminal Seurade
(Thanks God!)
Bintang-bintang bertaburan sangat banyak dan bersinar terang di langit
yang kebiruan.
Kami melangkahkan kaki ke sebuah warung di pojok terminal membawa
barang-barang dan perut yang keroncongan. Mungkin perjalanan menegangkan
bisa membuat perut lapar.
"Ada indomie, pak?"
"Wah, gak ada. Yang ada bubur ayam."
Karena perut yang lapar menjelang masuk angin, tanpa menunggu Wildan yang
menunaikan shalat shubuh di mesjid, gue & Tumpal memesan semangkok bubur
ayam.
Hm.... bubur ayam hangat menjadi pengisi perut nikmat saat itu.
Tiba-tiba sang penjual berkata, "bubur sisa semalam, jam 8 tadi nggak
habis....."
Wak....wau.........!
Langit semakin terang dan angkot-angkot menuju ujung genteng mulai
bermunculan.
Setelah membuat foto dokumentasi (kali ini anglenya dari samping) kami
berloncatan menaiki angkot.
Matahari mulai meninggi, guratan-guratan merah menyapa langit yang biru,
kami berjalan membelah hijaunya ilalang,  laut nampak di kejauhan sebelah
kiri kami, dan gue pun......... tidur...... gak peduli usaha yang lain
untuk membangunkan demi menikmati sunrise.
Transport:
- angkot Seurade ke ujung genteng: Rp 5.000  / orang
UJUNG GENTENG (Day I, Pagi)
Terjalin percakapan antara kami berempat (saat itu hanya kami penumpang di
dalam angkot) dengan supir angkot.
"Mau pada nginap di mana nih?"
"di Pondok Hexa"
Tapi angkot jalan terus melewati sebuah papan nama bertuliskan "Pondok
Hexa - tanda panah - 500 m"
"Pak, kok lewat Pondok Hexa nya?"
"Nanti aja, mutar lewat pantai, saya antar sampai ke Pondok Hexa. Jalan
yang ini nggak bisa pakai mobil."
Angkot  terus melaju sampai kira-kira 1 km melewati papan nama itu,
mencapai perempatan hingga angkot kami menghadap ke laut lepas, lalu
berbelok ke kanan menyusuri pantai.
Ujung genteng adalah daerah yang berada pada sebuah tanjung, sehingga laut
berada di sisi kiri - kanan kami.
Angkot melalui sebuah jalanan yang lebih kecil. Di sudut perempatan
terdapat sebuah pos yang kelihatannya seperti polisi dengan tulisan "Pos
Pelayanan". Di sekeliling pos tampak warung-warung terbuat dari
bilik-bilik bambu yang ventilasinya (maksudnya sih jendela) ditutupi
spanduk bekas. Beberapa pintu warung sedikit terbuka dan terlihat suasana
dalam warung dengan penerangan sangat minim (baca: gelap). Di depan
warung-warung tersebut terdapat tulisan "Kafe...." atau "Karaoke...",
beberapa wanita berpakaian ketat terlihat duduk mengobrol di sekitarnya.
"Itu tempat-tempat karaoke..." kata supir angkot.
Kami berempat  saling berpandangan dan mengangguk tanda mengerti .
Setelah melalui jalanan berpasir dan berbatu, kami pun sampai di depan
Pondok Hexa.
Pada saat membayar angkot, ternyata sang supir angkot meminta tambahan Rp
5 ribu karena telah mengantarkan kami cukup jauh sampai ke penginapan.
Okelah..... worth it juga kok.
Rombongan desperate people yang kelelahan turun dari angkot dengan
disambut oleh beberapa pekerja dan dua ekor anak anjing (Tio & Tino) yang
lucu banget. "Guk....guk...."
Gak sabar rasanya langsung mendudukkan diri di kursi restoran pada halaman
belakang Pondok Hexa.
Pratu Tumpie langsung memesan kamar tanpa ac dengan kamar mandi di dalam,
satu tempat tidur besar dan satu extra bed untuk kami berempat. Setelah
ngopi-ngopi di restoran sambil nunggu kamar dibereskan, kami melongok ke
dalam kamar.
Rata-rata penginapan di sana berbentuk rumah panggung yang terbuat dari
kayu. Kamar berukuran 5 x 5 meter dengan jendela menghadap ke laut
tampaknya cukup nyaman untuk kami yang hanya membutuhkan tempat untuk
beristirahat dan menaruh barang-barang.
Kami  meletakkan barang-barang di lantai, gue dan ferry langsung
merebahkan diri di tempat tidur.
Tapi kemudian Pratu Tumpie bertanya:
"kita sekarang mau hunting atau istirahat dulu?"
Gue dan Ferry berpandangan, untung Ferry menjawab:
"masih capek nih, Pal.... istirahat dulu aja deh...."
"Oke, jadi kita tidur-tidur dulu sebentar."
Fiuh..... gue pun bisa menuntaskan tidur yang terputus-putus, walaupun
Wildan yang sebenernya belum tidur sama sekali semaleman hingga pagi.
Sekitar jam 10 pagi, satu per satu dari kami terbangun dan cuci muka.
Eitz..... maap aja, kl gue gak cukup sekedar cuci muka setelah semalaman
di jalan, jadi harus mandi dulu sebelum hunting.
Tumpal, Ferry & Wildan sudah asik hunting menyusuri pasir pantai yang
putih, gue menyusul setelah mandi, wangi dengan kostum pantai (celana
pendek plus kaos MacGyver tanpa lengan), topi, sendal jepit dan kamera
pastinya.....
Baru aja gue turun ke pantai, Wildan dan Tumpal tampak di kiri jauh asik
mengamati sisa-sisa ikan buntel sambil asik berdiskusi: "ikan buntel itu
mulutnya di sebelah mana ya, Pal?", sementara Ferry di kanan jauh.
Tiba-tiba serombongan sapi berwarna keabuan keluar dari balik semak di
sebelah kiri ke arah gue & Ferry, berjalan menyusuri putihnya pasir pantai
dengan background langit biru dan lautan, menjadi obyek foto yang
menggoda.
Gue dan Ferry langsung beraksi dengan kamera masing-masing, sementara
Tumpal dan Wildan mengejar rombongan sapi itu dari belakang. Sapi-sapi pun
merasa terancam dikejar 2 orang membawa kamera dan tripod sehingga
rombongan sapi berjalan kian cepat melewati gue dan menuju ke arah Ferry
yang telah menghadang di depan jalur.
Ferry panik, karena sepertinya laju sapi tidak diimbangi oleh rem.
"woy.... sapinya makin cepet nih.... jangan ngejar-ngejar donk, mau bunuh
gue.....?"
Rombongan sapi pun lewat diiringi desah penyesalan Tumpal & Wildan yang
tak sempat mengejar.

UJUNG GENTENG (Day I, Siang)
Perjalanan kami lanjutkan melalui jalan kampung, melewati barisan
alang-alang. Kadang di tengah jalan, ada aja obyek artistik untuk difoto.
Entah itu pohon meranggas dengan daun-daunnya yang kemerahan berlatar
belakang langit biru, sisa bangunan yang terbakar, atau tunggul pohon mati
dengan tulisan "Biarkan Kami Tumbuh".
Langit birunya yang cerah dan bersih membuat kami terkagum-kagum. Saking
takjubnya, Wildan memotret langit biru polos dengan digicam, cocok untuk
jadi wallpaper dvd player, cuma perlu ditambah tulisan "read" atau "play"
di pojok kiri atas.
Sinar matahari membakar kulit membuat kami kehausan. Di sebuah warung kami
membeli teh botol dingin dan beristirahat di tempat duduk dengan lindungan
pohon rindang. Wuah..... teh botol dingin di situ mungkin yang paling enak
di dunia........ dan tempat itu jadi pemberhentian favorit kami.
Jam 1 siang, perut kami sudah kelaparan. Agak susah juga nyari nasi selain
nasi goreng di ujung genteng. Ternyata di sana sistimnya kalau mau makan
ikan harus pesan dulu di restoran atau rumah makan, baru nanti malam atau
siangnya sudah jadi. Atau beli ikan di pelelangan trus minta tolong
dibakarin di warung-warung.
Setelah bertanya ke hampir semua warung yang ada, akhirnya kami menemukan
warung yang menjual nasi, namanya Rumah Makan Mandiri. T
Pertanyaan Ferry sebelum makan adalah, "waktu makan kita setelah ini jam
berapa, Pal?"
Tempat ini menyajikan menu layaknya di warteg biasa, kering tempe, telor
asin, ikan tongkol, perkedel, sayur dsb. Yang agak beda, letaknya di
sekitar perempatan, di antara warung-warung bilik bambu. Kami pun dilayani
oleh wanita-wanita bercelana pendek sambil memegang rokok.
("waduh..... kostumnya sama kayak gue, yang beda cuma karena gue bawa
kamera & karce aja")
Ferry: "Gimana kalo nanti malem kita makan di sini lagi?"
Tumpal: "Ah.... loe aja deh. gue sih nggak"
Serny: "Kalo loe nanti malem ke sini, gue gak ikut. Bisa-bisa gue pulang
bawa uang saku bukannya kehabisan uang."
Makan:
- Nasi & lauk pauk : Berempat total Rp 442.000

UJUNG GENTENG (Day I, Selepas Siang)
Kami melanjutkan operasi susur pantai hingga sampai ke tempat
perahu-perahu ditambatkan dekat kampung nelayan.
Seorang bapak sedang memancing di tepi pantai, dua anak kecil (Rahmad &
Fajar) bermain-main di atas perahu, nelayan-nelayan menarik perahu ke
darat dan membagi-bagikan ikan untuk yang membantu menarik perahu
merupakan sasaran hunting kami. Dari situ, kami tau bahwa dengan membantu
menarik perahu pun penduduk di sini setidaknya masih bisa makan ikan.
Seorang ibu menawarkan dagangannya pada kami, combro & ketan kacang
(makanan ini namanya mengandung arti yang sangat harfiah, ketan berbumbu
yang udah diaduk sama kacang tanah trus dibungkus daun pisang. Gue sih
cuma nemuin ini di ujung genteng & seurade, mungkin makanan khas sini).
Kami makan bersama Rahmad & Fajar, dan kemudian foto 'keluarga' dengan
mereka. Dua anak kecil itu berpose masing-masing megang kamera. Lucu
juga.....mereka meringis-ringis keberatan gitu.
Karena lapar, kami borong 5 combro seharga Rp 1000 semuanya dan sebungkus
ketan kacang.
Ferry mulai makan combro, gue pengin nyoba dulu ah,
" Fer..... jajal (coba) donk combronya...."
Ferry membagi secuil combro untuk gue. Setelah combronya habis, Ferry
mengambil sebungkus ketan kacang, gue pengin nyoba lagi,
" Fer.... itu apaan sih..... jajal donk....."
"Jajal melulu loe...... Emangnya 'jajal' is your middle name?"
"iya..... nama gue jadi, Primanila 'Jajal' Serny."

UJUNG GENTENG (Day I, Menjelang Gelap)
Target selanjutnya adalah: Sunset!
Again? walaupun bosen motret sunset, tapi untuk gue sepertinya udah jadi
tradisi untuk memotret sunset di tiap tempat yang pernah gue kunjungin.
Jadi misi kita sekarang mencari tempat yang nyaman dan angle yang bagus
untuk motret sunset.
Awalnya kami berjalan hingga ke ujung kiri, melewati kampung nelayan. Di
bawah pohon rindang, Tumpal menemukan tempat idealnya. Laut lepas dengan
foreground perahu nelayan.
Tapi Ferry ternyata lebih memilih kembali ke arah penginapan, mencari laut
lepas yang bersih.
Akhirnya kita sepakat untuk balik ke penginapan. Pertimbangan pertama:
mencari laut lepas tapi juga masih ada foreground perahu nelayan & orang
memancing. Pertimbangan kedua: gue perlu ambil film & tripod di kamar.
Pertimbangan ketiga: Tumpal harus memenuhi 'panggilan alam'
Berkejar-kejaran dengan matahari yang kian rendah, kami bertiga (Ferry
stand by di pantai) kembali ke kamar, Tumpal terburu-buru masuk kamar
mandi, gue & Wildan mengambil peralatan (Ferry satu-satunya yang nggak
bawa tripod, krn gue lupa untuk ngambil tripodnya di Anton....he....he...
sorry Fer.....), kemudian terburu-buru kembali ke pantai.
Untungnya masih terkejar sunset yang dinanti-nanti, walaupun tak ada
garis-garis merah seperti selai strawberry yang menghias langit magenta.
Sebelum langit kian gelap, yang pasti harus foto 'keluarga' lagi donk.....
dan foto sendiri-sendiri..... yah beginilah, namanya juga kaum narcist,
he....he....

MENGINTIP PENYU DI PANGUMBAHAN (Day I, Malam)
Ini dia tempat yang sebenernya jadi tujuan gue ke ujung genteng: Ngintip
Mama Penyu Bertelur!
Sore sebelum sunset, ada salah seorang penduduk yang nawarin untuk menjadi
ojek kami ke Pangumbahan, tempat penangkaran penyu. Awalnya dia setuju
untuk pake 2 motor, masing-masing 2 penumpang (jadi bertiga sama tukang
ojeknya) dengan harga 30 ribu per motor (15 ribu per orang).
Sebetulnya kami heran juga, mikir gak ya dia kalo cowok-cowok yang tiga
orang ini ukuran tubuhnya XL plus tas kamera yang lumayan gede. Emang
muat?
Kami dan tukang ojek janjian jam 7.30 malam setelah kami makan malam, di
penginapan. Jam 7,  utusan tukang ojek itu datang, ternyata mereka baru
sadar kalo nggak mungkin lah.... naik motor bertiga. Akhirnya disepakati
kami pake 4 motor, masing-masing 20ribu rupiah.
Jam 7.30 rombongan berangkat ke Pangumbahan, dengan karce selalu
dihidupkan dan berbekal senter kecil untuk jaga-jaga selama di jalan.
Menuju ke penangkaran penyu, kami harus melewati jalanan berbatu kasar,
menembus tingginya alang-alang, melewati 2 sungai kecil (kalo pasang
katanya sungai ini nggak bisa dilewatin motor). Awalnya motor yang gue
tumpangin berada di tengah rombongan. Tapi kondisi berubah ketika melewati
sungai. Karena motor yang gue tumpangin menanggung beban paling ringan
jadi 'lebih mudah' melewati kerikil-kerikil di sungai, jadilah motor gue
di depan. Mungkin saking ringannya beban, motor gue melaju cepat
meninggalkan anggota rombongan lainnya dan panggilan panik mulai terdengar
dari karce.
Di tempat penangkaran penyu (yang merupakan badan usaha berbentuk CV),
kami disambut oleh penjaga dan istrinya. Sebelumnya tukang ojek juga
meminta ijin pada kepala penjaga penangkaran tersebut.
Menurut laporan salah seorang penjaga, ada seekor penyu yang bertelur di
pos 3.
Kami pun berangkat ke pos 3, dipimpin oleh penjaga penangkaran yang
ditemani utusan tukang ojek. Pasir yang sangat lembut membuat langkah kaki
kami terasa berat, apalagi pos 3 cukup jauh.
Mungkin lagi-lagi karena beban tubuh gue yang ringan, gue lebih bisa
melangkah cepat-cepat berusaha menyamai langkah penjaga penangkaran. Di
belakang ada Tumpal dan Wildan. Jauh di belakangnya........ Ferry.
Di tengah perjalanan, penjaga penangkaran menunjuk seekor penyu lainnya
yang mulai naik ke pantai.
Akhirnya kami sampai di pos 3, penjaga yang lebih dulu ada di situ meminta
kami untuk duduk tenang karena Mama Penyu mulai menggali lubang. Gue,
Tumpal dan Wildan duduk di atas pasir yang halus, memandang ke langit
menikmati taburan bintang. Di langit ujung genteng, seperti bintang
bersinar lebih terang dan tampak jelas guratan milky way.
Loh.... tapi mana Ferry....?
(bayangin di frame terpisah)
Ferry harus memenuhi panggilan alam hingga perlu menyingkir mencari
semak-semak. Setelah selesai, Ferry telah kehilangan jejak kami yang jauh
di depan tertelan gelap malam. Berdasarkan feeling, Ferry jalan ke depan,
bertemu rombongan lain (yang cukup ribut karena terlalu banyak anggotanya,
Tumpal sempat menegor salah seorang anggota rombongan ini yang ketawa
keras-keras), memelototi wajah setiap anggota rombongan mencari kami.
Untungnya ketemu juga. (tips ke pangumbahan: jangan terlalu banyak orang
supaya nggak mengganggu Mama Penyu)
Tak berapa lama, Mama Penyu mulai bertelur dan kami sempat mengintipnya.
Penyu sepanjang kira-kira 1 meter (menurut penjaga, umurnya kira-kira 70
tahun) saja sudah cukup menakjubkan, apalagi melihatnya bertelur. Sebuah
proses alam yang membuat kami tertegun.
Wildan: "kasian ya ngelihatnya bertelur, sementara nggak tau apa
anak-anaknya selamat. Tapi kok manusia masih suka saling bunuh ya......"
Transport & biaya:
- ojek motor : Rp 20.000 / orang (ditambah llagi 10 ribu atas dasar
sukarela)
- masuk ke penangkaran : Rp 30.000 / rombonggan untuk anggota 6 orang.
Kalau lebih, dihitung Rp 5.000/orang.

HUNTING STARTRAIL (Day I, Menjelang Tengah Malam)
Sekembalinya di penginapan, Tumpal & Wildan semangat mau hunting startrail
dari pantai di depan penginapan. Setelah istirahat sebentar, mereka
mencari posisi yang enak di pantai. Gue pikir, mendingan gue mandi aja
setelah seharian berjemur, berkeringat dan kena pasir pantai. Sementara,
Ferry masih bingung mau apa.
"Fer, mau pake tripod gue nggak?"
"Nggak usah deh, gue males pake digital untuk motret startrail. Noise nya
terlalu banyak ." (Ferry bawa D100 & F80)
"Loh, emang kalau pake analog loe, nggak perlu pake tripod?"
"Perlu juga sih, tapi gue males motret, jadi gue bikin aja alesannya....."
Akhirnya gue tinggal kamera & tripod di pondok depan penginapan sementara
gue mandi.
Selesai mandi dan kembali ke pondok..... loh, kemana yang lain? kok
menghilang?
Ternyata mereka asik duduk di balik tebing tembok, dengan kamera dipasang
di tripod, menghadap langit (termasuk Ferry, "daripada gue bingung mau
ngapain..."), sambil ngerokok.
Mungkin tergambar juga jejak 'meteor Sampoerna' pada frame.
Menghabiskan malam sambil menunggu jejak bintang, kami membuat rekaman
suara dengan backsound lagu U2 dari HP Wildan.
"With or without you.........u......u..... with or without you........"

BACK TO JAKARTA (Day II)
Bangun jam 9 pagi pada hari kedua kami di ujung genteng. Sedih juga
rasanya ninggalin tempat ini.
Setelah mandi, packing, sarapan & nyelesaiin urusan administrasi, kami
meninggalkan penginapan menuju pangkalan angkot.
Langkah kami semakin berat menyusuri jalanan berbatu. Selain karena beban
barang bawaan, rasanya masih ingin menikmati langit biru, udara pantai dan
menyapa mama penyu.
Sebelum pergi, kami sempatkan sekali lagi mampir di warung yang
menyediakan teh botol terenak di dunia.
Angkot sudah menunggu kami di perempatan ujung genteng, kami pun
berloncatan ke dalam angkot.
Selama perjalanan menuju Seurade, ternyata banyak obyek menarik lainnya
untuk difoto.
Pohon-pohon karet, pengrajin gula nira, pengrajin batu bata dan sisi
pantai lain yang belum sempat kami jelajahi.
"Ujung Genteng, We'll be Back!"
Transport & akomodasi:
- Penginapan: Rp 65.000 (kamar) + Rp 15.000  (extra bed) + Rp 80.000 (makan
& ngopi selama di penginapan)
- Angkot Ujung Genteng - Seurade : Rp 5.000//orang
- Bis AC  Seurade - Sukabumi: Rp 20.000 / orrang (yang ini lama banget,
hampir 5 jam di jalan. pilihannya, cepet - keselamatan kurang atau lambat
- keselamatan terjaga)
-  Bis ekonomi Sukabumi - Jakarta : Rp 8.0000 / orang