Ekspedisi Penyu ke Ujung Genteng
http://sivea.multiply.com/
Apa
arti peringatan hari kemerdekaan negara kita tercinta bagi segerombolan muda
mudi pegawai sebuah penerbitan di kawasan Jakarta Pusat? Hari utk mengenang
mereka yg telah membela negara ini sebelumnya? Hari baik krn telah memenangkan
lotre mengikuti upacara bendera 17 Agustus? Tentu saja bukan. 17 Agustus adl
hari baik utk bepergian ke luar kota krn dgn cuti 1 hari bisa pergi 4 hari.
Paket hemat yg cukup menarik bukan?
Maka demikianlah. Friday 13th, Jumat 13 Agustus telah ditetapkan sbg hari
keberangkatan anggota divisi foto serta divisi gunung & laut. Awalnya agak seram
juga berangkat di tgl keramat tsb, apalagi jumlah peserta awalnya juga 13 org.
Untunglah tambahan 1 org peserta lagi mematahkan tulah tadi.
Kantin di belakang gedung penerbitan di kawasan Slipi tadi ditetapkan sbg
meeting point. Nama-nama yg telah malang melintang di milis karyawan perusahaan
tsb, akhirnya pd malam itu hadir dlm wujud yg nyata tanpa embel2 @blabla.com.
Rencana semula berkumpul jam 8 malam dan berangkat jam 9 malam tak bisa
ditepati. Bahkan ada seorg peserta yg masih terjebak kemacetan di saat jarum jam
hampir menyentuh angka 9. Perjalanan yg cukup melelahkan baginya. Akhirnya
dengan iringan senyum penuh haru dr salah seorang admin milis, rombongan piknik
ceria yg berjumlah 14 orang itu meninggalkan kantin yg dipenuhi harum masakan
pada sekitar jam 10 malam.
Berjalan berendengan, terlihat masing-masing siap tempur dengan bawaannya. Ada
yg membawa backpack kebanggan, binatang kesayangan, maupun bantal imut teman
tidur yg setia. Go go we go to Ujung Genteng!!
Sebuah mikrolet kosong yg sempat melakukan manuver tajam di depan Pasar Palmerah
menjadi pilihan pertama alat transportasi kami malam itu. Kendaraan yg identik
dgn istilah “enam – empat” pd jumlah penumpangnya, malam itu harus mampu memuat
14 org lengkap dgn gembolannya. Alhasil Sila terpaksa menunjukkan bakat aslinya
dgn berdiri bergelantungan di pinggir pintu, bak seorg kondektur profesional.
Slipi menjadi persinggahan pertama. Setelah rapat kilat diantara deruman bis yg
bersliweran dan ditingkahi asap knalpot, diputuskan utk memilih bis P6 jurusan
Kp Rambutan. Tak lama kemudian bis yg dinanti pun melintas. Segera bis tsb
berhenti, tak sabar ingin mengangkut gerombolan org muda yg terlihat begitu
ceria malam itu.
Kampung Rambutan! Here we come! Mungkin sudah lewat pukul 11 waktu kita mendarat
dg selamat di terminal Kp Rambutan. Para negosiator mulai beraksi, mencari
pihak2 terpertjaja yg dg kerelaan hatinya bersedia mengantarkan ke-14 mahluk
cihuy tsb.
Ternyata para penentu keputusan arah bis (baca: sopir bis) malam itu rata2
bersikap jual mahal. Mereka menolak mengantar kami yg baik hati & tdk sombong
ini. Mungkin mereka belum cukup kuat scr mental utk mengangkut orang2 keren
sebanyak 14 org sekaligus. Namun akhirnya kami temukan juga dia yg berani
menerima tantangan dari kami. Meski menurut beliau, beliau terpaksa mengantar
kami. Yah, begitulah kalau harus menghadapi pesona kami yg sangat kuat.
Seringkali org belum siap. Meski harus berlama menunggu bis mengisi penuh2
penumpangnya, akhirnya jadi juga kami meninggalkan Kp Rambutan selewat pukul
12.00 malam. Duh, para cowo cewe keren ini sudah keburu berubah jadi timun suri,
deh!
Dgn muka masih bagai bantal, bergulingan kami turun dari bis selepas Ciawi
sekitar jam 1 dini hari. Terseok2 menahan kantuk, kendaraan berikutnya harus
segera didapatkan. Kalau tidak, kami bisa2 kesiangan sampai di tempat tujuan.
Untunglah Iwan, pak PO yg handal & piawai, berhasil mendapatkan kendaraan
berikutnya. Surade! Tunggu kami!
Para anggota tim ekspedisi terlihat sudah kelelahan selama dlm perjalanan menuju
ke Surade. Kantuk yg menyerang tak sanggup ditahan lagi. Meski ruang duduk
sangat tdk nyaman, tidur pun dijelang. Belum lama memejamkan mata, tiba2 pak PO
menanyakan apakah ada yg membawa plastik. Setengah tersadar, seorg anggota tim
berhasil menemukan kantong yg diinginkan. Untuk apakah kiranya kantong itu?
Ternyata seorg peserta mengalami mabok darat berat, tak kuat menahan hantaman
jalan berkelok yg buruk kondisinya. Anggota tim yg lain pura2 tdk melihat
penderitaan beliau. Tapi daripada ikut mabok, semuanya pilih memejamkan mata.
Hehehe maap ya, pak!
Selama dlm perjalanan itu pula, penulis merasakan sendiri bagaimana rasanya
menjadi karung beras. Duduk di jok paling belakang, kami berempat tetap meloncat
hingga kepala menumbuk langit2 mobil meski backpack berat ada di pangkuan. Duh..
duh… betapa berat nasibmu wahai para karung beras.. hiks hiks… Sempat berhenti
sejenak untuk keluar dari mobil, sekedar meluruskan kaki & menghirup teh panas,
jalan yg tdk manusiawi ini terus kami lalui hingga tiba di Surade keesokan
paginya.
Jam 5.45, hari Sabtu 14 Agustus, kami memasuki halaman rumah Kang Ajo di Surade.
Akang yg berprofesi sbg tukang ojek ini yg mengantarkan Pak PO ke UG saat survei
minggu sebelumnya. Lantai yg rata, pagi yg tenang, tak ingin disia2kan oleh para
anggota ekspedisi. Segera kegiatan pertama pagi itu tidur! Nyamannya tidur
menyelonjorkan kaki. Fiuuuh legaaa!
Keluarga Kang Ajo tampak sibuk menyiapkan air minum hangat dan mencarikan tikar
utk kami. Keramahan yg sangat mengharukan. Padahal bisa dibilang kami sama
sekali tdk kenal dg mereka. Pak PO saja baru sekali bertemu beliau. Tepat jam 8,
nyawa mulai dikumpulkan, kamar mandi mulai diserbu. Guyuran air dingin
diharapkan bisa mengusir sisa2 kantuk semalam. Setelah itu makan pagi dg menu
ikan asin, lalap daun singkong & sambal diserbu. Terasa sangat mewah buat kami
krn perkiraan awalnya, kami akan terkatung2 di 1 tempat asing in the midle of
nowhere. Bersyukur sekali kami pagi itu.
Jam 9 pagi lewat beberapa menit, mundur beberapa menit dr rencana, kami bersiap
meninggalkan rumah kang Ajo. Butiran2 kelapa muda yg telah dipetikkan oleh Kang
Ajo dgn berat hati kami tinggalkan. Sebetulnya pengen banget bawa, tapi di sana
mo gimana bukanya? Kami kan bukan rombongan kuda lumping yg mau gigit2 sabut
kelapa weee…
Kendaraan kami berikutnya adl mobil bak terbuka. Kendaraan ini kami pilih atas
permintaan khusus anggota tim yg malam sebelumnya mengalami mabok darat berat.
Beliau telah mengajukan argumen bahwa kekurangan oksigen menjadi penyebab
maboknya. Aih, bisaaa aja hihihi…
Akhirnya jadilah kami bagai rombongan TKI yg berdesakan di mobil bak terbuka
lengkap dgn timbunan bawaan. Untuk mengisi kekosongan, Dendy segera mengenalkan
pacarnya yg berbodi gitar. Request lagu pun segera diterima. Sayang, hanya lagu2
jadul yg dipenuhi permintaannya. Petikan sang gitaris tangguh mengiringi suara2
lantang para personil Band OWA yg menyanyikan lagu2 jadul masa kini. Dari mulai
lagunya Rahmat Kartolo hingga Koes Ploes dinyanyikan. Eh, lagu-lagu ini termasuk
lagu masa kini bukan, sih? Masa kini juga, tapi jadul huahahaha…
Riang gembira menyanyi sepanjang jalan, kami beberapa kali harus melayani
lambaian tangan murid2 SD di sepanjang jalan. Entah mengapa mereka terlihat
begitu riang gembira melihat kami. Mungkin mereka berpikir akan ada pertunjukan
lenong malam ini di kampungnya setelah melihat kami? Entahlah…
Persinggahan pertama sebelum ke Ujung Genteng adl penginapan Amanda. Bukan… kami
tidak menginap di sini. Kami cuma mau numpang motret saja di sini huehehehe.
Segeralah mereka yg tergabung di divisi foto beraksi dg peralatan masing2.
Mereka yg tdk tergabung dlm divisi foto terlihat berbicang serius. Rupanya sesi
curhat2 pribadi telah dimulai. Setelah masing2 anggota tim puas menyalurkan
hasratnya, kami berkumpul di sekitar gitar egois (habis Cuma Dendy yg kidal yg
bisa mainin gitar itu :D). Lagu Koes Ploes “angin Laut” menjadi theme song acara
mengakrabkan diri kami pagi itu.
Setelah 12 tembang manis dinyanyikan (weks sudah sekaset penuh tuh) kami segera
beranjak meninggalkan penginapan Amanda yg terletak di tepi laut bertebing itu.
Matahari makin tinggi, hari makin panas. Berdendang lagi kami dlm bak terbuka
menuju Ujung Genteng. Untunglah sang gitaris tangguh tak kenal lelah memetik
gitarnya.
Langit biru jernih memayungi kepala menyambut kami di Ujung Genteng setelah
hampir 1 jam kami berkendara dari Amanda. Ingin segera beraksi menggerakkan
peralatan foto uyg dibawa, namun ternyata kami harus segera ke warung utk makan
siang. Tidak banyak pilihan menu di siang itu. Pokoknya sekedar tdk memberi
tempat angin bersarang di rongga perut.
Usai hidangan disantap, kami melewatkan waktu cukup lama di dekat penginapan
Hexa. Malam ini kami akan menginap di Pangumbahan, tempat mess pembiakan penyu.
Tapi berjalan kaki dari Hexa ke Pangumbahan di siang hari yg bisa memuaikan
seluruh tubuh kami bukanlah pilihan yg tepat. Maka berdendanglah kami tak kenal
henti di tepi pantai di sekitar penginapan Hexa. Buku2 syair lagu Koes Ploes,
Panbers, DeLlyod (tulisannya bener ga sih?) dibuka. Alex tak ketinggalan membuka
buku suci bersampul kuning berisi lagu2 barat thn 70an. Entah berapa puluh kaset
lagu kami nyanyikan. Saat angin mulai lembut berhembus, ini lah waktu yg dirasa
tepat utk meninggalkan pos kami di tepi pantai tsb.
Perjalanan masih cukup panjang. Tiap anggota tim ekspedisi tampil bagai tim
ekspedisi professional: memanggul backpack yg lumayan besar & berat tentunya.
Menyusuri pantai menuju ke Barat, menapaki tiap pasir putih halus dan menghadang
tiap helai angin yg melintas. Kami berjalan kaki sekitar 2 jam dgn diselingi
istirahat sekali utk sekedar minum & membuat beberapa foto. Fiuh melelahkan juga
berjalan menyusuri pantai seperti itu. Terkadang butiran pasir yg kami tapaki
demikian halusnya, hingga tiap kali kaki menyentuh permukaannya pasti akan
langsung melesak ke bawah. Terasa berat utk memulai langkah kedua. Berjalan ke
tengah mendekati garis air, hal yg sama kami temui: pasir yg sangat lunak
menghisap kaki2 kami. Dalam perjalanan kami temui beberapa lelaki asing yg asik
bermain selancar, naik turun di antara lidah2 ombak. Namun dgn perjuangan yg tak
kenal menyerah, akhirnya sampai juga di mess Pangumbahan. Air minum dan bekal
segera dibuka utk mengusir rasa haus & mengembalikan tenaga yg tersedot.
Pak PO dan Anna sang asisten PO segera menemui petugas mess, meminta ijin utk
bermalam di mess malam itu. Ijin sudah diperoleh kami segera berpindah ke dalam
mess utk menyimpan barang2 kami. Perjalanan yg tidak singkat selama 2 jam tidak
membuat kami ingin bermalas2an. Segera sesudah barang2 teratur rapi, peralatan
foto dikeluarkan. Tentu saja acara berburu sunset menjadi acara berikutnya.
Sebagian anggota tim lain lain menjadi anggota divisi laut yg benar2 menikmati
pantai serta debur ombaknya. Sore itu tidak ada yg menemukan keasikan di
halusnya pasir pantai Pangumbahan yg terbentang panjang.
Kami temani mentari hingga benar2 ia beristirahat kembali di balik cakrawala.
Masing2 punya kesan tersendiri dg senja di Pangumbahan. Mungkin karena senja yg
berhasil mereka rekam dgn kamera mereka. Mungkin juga karena pengalaman menjadi
model bagi kawan2nya membuat mereka deg2an. Atau mungkin karena mereka bisa
menikmati senja bersama seseorang yg disuka. Aiiih manisnyaaa…. :p
Saat gelap benar2 telah melingkupi pantai Pangumbahan, kami pun kembali ke mess.
Membersihkan diri sang pujaan hati alias kamera masing2 hal pertama yg
terlintas, jauh sebelum keinginan membersihkan diri sendiri muncul.
Malam menjelang di Pangumbahan terasa sejuk sekali. Menghapuskan semua terik &
lelah di siang harinya. Sebagian anggota tim yg cukup rajin, dan ini lebih
sedikit jumlahnya, bergantian menyerbu kamar mandi yg ada. Semula kegiatan ini
kurang menarik hati, mengingat air yg tersedia adl air payau. Namun setelah
mendengar laporan rekan-rekan seperjuangan bahwa airnya “nggak payau payau
banget”, peralatan mandi pun dibongkar. Ternyata memang lumayan juga air di
Pangumbahan ini. Masih terasa agak asin, tp cukup menyegarkan utk mandi, tdk
meninggalkan sisa2 yg lengket di badan spt air payau pada umumnya. Tepat sekali
ungkapan yg menggambarkan airnya sbg “nggak payau payau banget” hehehehe...
Badan yg segar membuat kami siap menyerbu hidangan makan malam yg telah
disiapkan istri penjaga mess. Sederhana saja menu kami malam itu, nasi dan telur
penyu goreng hihihihi. Gak ding telur dadar biasa kok, dr telur ayam. Eh, tapi
siapa yg tahu itu telur ayam ato telur penyu. Lagian belum pernah ada yg mencoba
spt apa rasanya telur penyu goreng itu. Ah... tapi nggak mungkin ah, klo telur
penyu. Ah, apapaun itu tak butuh lama utk menyapu bersih menu yg tersedia.
Lapaaarrr...
Waktu terberat bagi anggota tim menyusul. Badan yg lelah dan kekenyangan membuat
syaraf mata otomatis melemah. Rasanya ingin sekali kami segera membaringkan
tubuh. Tapi misi malam ini belum berakhir. Kami masih ingin menemui mama2 penyu
yg bertelur. Maka sebagian anggota tim mengisi waktu dgn belajar astronomi. Apa
yg dikerjakan anggota tim yg lain? Sudah tentu menghimpun suara! Tak hentinya
kami menyanyikan lagu2 jadul, padahal di kamar sebelah ada puluhan butir telur
penyu yg sdg dlm proses ditetaskan. Menyadari hal itu, kami sepakat melirihkan
suara selama berdendang. Kami tak ingin penyu2 yg menetas nantinya sudah
langsung berjenggot & bercelana cutbray. Tukik2 mungil (tapi jenggotan itu)
mungkin akan keluar dr kulit telur sambil berteriak “I feel good!”. Kami
sungguh2 tak ingin hal ini terjadi! Sayangilah satwa!
It’s about the time! Kami berjalan menuju ke pantai dgn bantuan penerangan
gemerlap cahaya ribuan bintang (sebenarnya bawa senter juga sih, tp ditulis gitu
aja biar kliatannya romantis & menyatu dg alam hihihi). Pantai Pangumabahn yg
berada di laut selatan ini berbeda dr pantai laut selatan pada umumnya. Pantai
Pangumbahan meski berombak besar namun berpasir putih sangat halus dan landai.
Pantas menjadi tempat favorit komunitas penyu utk bertelur.
Berdiri bergerombol di pojokan, kami menunggu tanda2 yg diberikan oleh pak
penjaga. Jadi prosedur yg harus kami lalui adl sbb: kami menunggu di satu tempat
dlm gelap,tanpa boleh menyalakan senter dan tanpa ribut2. Pak penjaga yg ada di
pantai akan memberi kode kpd kami dgn menyala-matikan senter yg dibawanya bbrp
kali. Itulah kode yg menandakan bahwa ada penyu yg sedang bertelur di tempat
tsb. Jika terlihat tanda spt itu kami akan mendekati pak penjaga masih tanpa
menyalakan senter. Sampai di TKP (Tempat Kelahiran Penyu :p), kami bisa melihat
penyu yg usai bertelur beserta telurnya. Kami tidak sempat menyaksikan langsung
saat penyu2 itu sedang bertelur. Yang kami temui adl penyu yg akan kembali ke
laut usai menunaikan tugasnya sbg mama, membawa generasi baru penyu ke muka
bumi.
Di lokasi pertama penyu yg kami temui, sudah terdapat satu keluarga lengkap dgn
anaknya terkecil yg mungkin baru berumur 3 tahun. Mereka tampak begitu
bersemangat utk berfoto bersama mama penyu yg usai bertelur. Kami pun
memakluminya. Yang tak bisa kami terima adl saat mereka mulai menginjak sang
mama penyu utk bisa berdiri di atasnya dan diambil gambarnya sbg kenang2an.
Ucapan2 protes dari kami thd tindakan mereka tak dihiraukan. Masih juga mereka
ingin berdiri di atas punggung mama penyu yg terlihat lelah usai menelurkan 130
butir calon penyu2 muda. Makin keras & sering suara protes kami hingga mungkin
akan terjadi bentrok fisik utk melawan tindakan para pengunjung yg tidak
berperikepenyuan itu. Untunglah mama penyu punya cara tersendiri. Bliau yg
sedang mengibas2kan kaki depan & belakangnya membuat penonton yg nekat hendak
berdiri di punggungya terjatuh. Maka usai sudah usaha pemaksaan kehendak kepada
mama penyu. Setelah gagal berfoto dgn gaya yg menurut sebagian pengunjung sangat
eksotis itu, mereka pergi begitu saja meninggalkan mama penyu. Maka beberapa
orang yg lembut hati dari tim kami segera mengelus2 punggung mama penyu. Kata2
manis penuh penghiburan membujuk mama penyu utk tdk menangis atas sikap kasar yg
ia terima malam itu. I did saw tears in mama penyu’s eyes that night! Sob...
sob...
Kami lihat ada nyala lampu senter berkedip lagi di kejauhan. Kami segera memburu
arah datangnya cahaya itu. Seekor mama penyu lagi telah usai menunaikan
tugasnya. Namun mama yg satu ini lbh beruntung nasibnya krn tak perlu dinaikin
maupun diinjak punggungnya. Melihatnya, kami sudah bertekat utk menemaninya
hingga menemukan jalan pulang kembali ke laut. Tidak sebentar kami berada di
samping mama penyu yg panjangnya hampir 1 meter itu. Apalagi dr gelagatnya
tampak bahwa ia mama baru, yg belum punya pengalaman bertelur. Begitu setianya
tim pendukung mama penyu ini, Undix sampai rela berbaring di tepi lubang tempat
mama penyu berada. Sorot mata penuh kerinduan memandang mama penyu yg sedang
berjuang keluar dr lubang di pantai itu. Kami menduga bahwa Undix telah lama
tidak bertemu istrinya, sang mama penyu tsb. Maka setujulah kami memberikan
gelar “suami SIAGA” kepada Undix, yg Siap, Antar dan Jaga istrinya yg sedang
melahirkan. Hiks.. terharu melihat pemandangan ini...
Saat mama penyu berhasil keluar dari lubang di pasir pantai itu, makin
bersemangatlah para pendukung mama penyu. Mereka berjalan mengiringi mama penyu
yg pelan2 menuju ke batas air. Go go go mama penyu! Dan semua pun bersorak
gembira saat ombak yg cukup kuat berhamburan ke pantai, dan membawa pergi mama
penyu kembali ke laut. Selamat jalan mama penyu! Baik-baiklah hidup di laut
sana. Berjanjilah utk datang lagi ke sini di musim bertelur yg akan datang!
Dengan perasaan lega kami menatap pantai Pangumbahan yg gelap. Saat memandang
bintang2 di langit, sepertinya ada rasi bintang yg baru di sana: rasi bintang
penyu yg sedang tersenyum! Tiba2 ada kelebatan bintang jatuh melintas. Beberapa
di antara kami berteriak histeris menyebutkan keinginannya. Maka kami pun
menunggu kembali bintang jatuh. Entah knp malam itu cukup sering kami melihat
bintang jatuh. Mungkin krn bintang di Pangumbahan terlihat begitu terang dlm
malam jernih bebas polusi. Maka terdengar bisikan2 diucapkan oleh anggota tim.
Ada yg membisikkan barang yg diinginkan, nama orang yg disayang. Tapi, lho kok
ada yg membisikkan nama ibu tukang warung di depan kantor? Pertanda hutang kpd
ibu tukang warung itu sudah bertumpuk barangkali? Entahlah... Hanya dia dan
bintang jatuh yg tahu...
Kelehan namun bahagia kami berjalan kembali ke mess. Istirahat yg nyaman telah
dinantikan oleh seluruh anggota tim. Selamat tidur semuanya. Selamat tidur mama
penyu!
Hari minggu yg cerah di Ujung Genteng. Nyawa baru terkumpul sekitar pukul 7
tanpa minat hunting sunrise sebelumnya. Gimana mo cari sunrise, org di pantai
Pangumbahan kita kemarin nemuin sunset. Emang matahari kayak yoyo yg terbit &
tenggelam di tempat yg sama? Heee... Namun demikian beberapa penyu jantan tampak
rajin berburu gambar pagi itu.
Daripada terkantuk2 dibelai angin laut, acara yg membangkitkan minat pun
dimulai: menyiapkan makan pagi. Peralatan ala kempingers sejati pun dikeluarkan.
Kompor, gas serta nesting telah siap. Menu pagi ini adl menu andalan para
kempingers: indomie & kopi. Dua kompor mungil tampak kelelahan harus menyiapkan
sarapan utk 14 org. Meski menunya ala kadarnya, suasana kompetisi (baca:
rebutan) yg terjadi selama makan pagi membuat kami cepat menghabiskan jatah
sendiri. Kalau perlu menyikat jatah teman sebelah. Urusan perut, tak mengenal
kata kawan. Kejamnya dunia... hiks...
Perut terisi kenyang, hati senang, apapun boleh terjadi pagi itu. Mandi pagi?
Huh! No way lah ya! Emangnya kami cowo cewe apaan yg harus selalu mandi...
Akhirnya diputuskan pagi itu kami akan jalan2 menyusuri pantai menuju ke muara.
Ber-14 kami bersama meninggalkan mess. Langit biru jernih membuat para pembidik2
gambar muda ini menjerit2 histeris. “Kyaaa..., kyaa...!” Pasir putih di pantai
sepanjang 2 km tsb sangat menantang utk dilewati. Dengan sorak sorai & tawa
ceria beriringan kami berjalan. Namun ternyata beberapa orang mengundurkan diri
dari perjalanan ceria ini. Mereka lbh suka menepi memandangi ombak yg berdebur
spt bayangan kuda Ratu Laut Selatan. Krn tak pernah diperkenankan adanya paksaan
kpd pihak manapun dlm perjalanan ini, kami tiggalkan mereka.
Mendeteksi jejak mama penyu yg kami temui sepanjang pantai, kami mulai berhitung
brp pendapatan kami jika kami alih profesi sbg pencari telur penyu. Bayangkan
jika tiap penyu bisa menghasilkan telur hingga 130butir, dan semalam paling
tidak ada 10 ekor penyu bertelur. Itu berarti sudah ada 1300 butir telur dlm
semalam. Harga telur penyu di grosir (maksudnya di pedagang tangan pertama) adl
Rp 3000,-/butir. Sedang di warung2 umum, harganya bisa mencapai Rp 5000,-/butir.
Itu lah pendapatan kami tiap hari. Musim bertelur penyu adl dari bulan Juli –
September, yg berarti kira2 90 hari. Nah silakan hitung sendiri brp uang yg bisa
kami hasilkan dr mengumpulkan telur penyu ini. Maap ya, ini laporan interaktif,
pembaca hrs hitung sendiri. Soalnya penulis paling bolot klo harus ngitung2
hehehe. Pantas saja byk org tdk peduli lagi dgn kelangsungan hidup penyu
generasi masa depan. Makin mengkhawatirkan setelah ada berita ini di surat
kabar:
http://www.media-indonesia.com/cetak/berita.asp?id=2004081800162610
Wahai mama penyu, makin berat beban hidup yg harus kalian tanggung.
Melihat jejak mama penyu, kami pun membandingkan dgn jejak kami sendiri. Maka
dimulailah permainan membuat jejak kaki. Bagaimana kira2 jejak pegawai yg habis
gajian? Jejak anak kos di tanggal tua? Atau jejak setan? (Kawan2, setan tdk
meninggalkan jejak krn tdk menyentuh tanah. Begitu konon kabarnya :D)
Foto2 keluarga pun mulai dibuat. Berbagai pose yg tak kalah serunya dr pose
cover album foto maupun album kaset bajakan manapun dikeluarkan. Bukan saatnya
lagi utk menjadi malu2 dan jaim setelah 2 hari hidup susah bersama :D.
Sesampai di muara sungai, acara foto model pun makin seru. Masing2 wanita dalam
tim ekspedisi ini mengaku punya pengalaman sbg model kalender. Maka dipilihlah
siapa yg pantas menjadi gadis kalender bulan Januari, Februari, dst. Semua
tersenyum senang mendapat jatah sbg model. Tinggal penulis yg belum dapat jatah.
Maka penulis pun diminta kesediaannya utk menjadi gadis kalender tahun kabisat.
Huauwauwauwa... nongolnya cuman 4 thn sekali. Sedihnyaaa....
Perjalanan yg cukup panjang ke muara ini adl perjalanan beresiko krn tak seorg
pun di antara kami yg membawa air minum. Hmmm... gagah berani juga kami ini.
Namun tak pelak lagi, jalan kami kembali mulai sempoyongan krn kelelahan &
kehausan. Es buah, jus sirsak, es alpukat nyam nyam nyam... segarnya terbayang
di depan mata. Terkenang kami akan butiran2 hijau kelapa muda yg kami tinggalkan
di rumah Kang Ajo. Butiran yg menawarkan kesegaran yg hanya tinggal kenangan
hiks...
Tergolek lesu kami sesampai di mess. Makan siang menjadi kata yg paling dinanti
saat itu. Menunggu detik2 bersejarah itu terasa sangat panjang. Siang itu
seorang kawan kami, Anna, dgn berat hati (atau mungkin suka hati?) harus lbh
dulu kembali ke peradaban. Seorang tukang ojek telah dg setia menantinya sejak
pagi utk membawanya kembali ke Surade. Jam 12.00 kami pun segera menyerbu makan
siang yg telah disediakan oleh istri pak penjaga mess. Menunya? Telur lagi!
Sebelum melahap makan siang tsb, tak lupa kami ucapkan doa semoga kami tidak
bisulan sesampai di Jakarta nanti :D
Perut yg kenyang selalu membawa kehangatan pula di hati. Cerita2 lucu dan tukar
pengetahuan ttg kosa kata di Bahasa Jawa dipimpin oleh kawan Hans. Kawan Densi
serta kawan Imel terlihat cukup terpuaskan sekaligus terhibur oleh acara ini.
Kami pun membuat kesimpulan bahwa kawan Hans saat ini berada dlm masa kehidupan
keduanya. Namun krn kecerdasannya, ia msh mengingat kata2 yg dipakainya di masa
kehidupan pertamanya dahulu kala.
Kala matahari tepat berada di pucuk kepala, tentu saja bukan waktu yg tepat utk
melakuka perjalanan kembali ke Hexa. Rapat singkat, tak bertele2 namun dibumbui
himbauan dr beberapa kawan, pun memutuskan utk berjalan melewati jalur desa
alias tdk menyusuri pantai lagi. Setelah kata sepakat dicapai kami akan mulai
perjalan kembali pukul 15.30, waktu yg tersisa dimanfaatkan utk tidur siang.
Nyamannya tidur setelah makan kenyang...
Terjaga kami pukul 15.45, lewat 15 menit dr waktu yg disepakati utk berangkat.
Setelah mengguncang2 badan semua anggota tim agar terjaga, tepat pukul 16.00
kami bersiap meninggalkan mess. Sebelumnya ada foto keluarga di depan papan
penanda utk menyelamatkan penyu. Mama penyu, kami harus kembali ke habitat kami!
Perjalanan melewati desa benar2 pilihan yg tepat. Tak ada hembusan angin yg
terlalu kencang, tak ada pasir yg langsung melesak begitu diinjak. Maka tak
heran lagi langkah kami begitu ringan sore itu. Namun saat sebuah warung yg
kecil mungil menampilkan box yg agaknya berisi es batu lengkap dgn jajaran teh
botol, histeris lah para anggota wanita tim ekspedisi ini. Tanda2 peradaban sdh
makin dekat! Setelah menghabiskan sekitar 10 teh botol lengkap dgn esnya,
perjalanan pun makin ringan. Mau bolak balik Hexa - Pangumbahan? Ayo deh, kita
jabanin. Hahaha mulai belagu deh, ya...
Hexa! Air tawar! Kasur yg bersih! Lampu yg terang! Betapa kami ternyata
merindukan juga hal2 spt itu. Namun kami tak hendak bermalas2an sore itu.
Mentari senja menanti bersama langit tak bertepi. Cihuiiii *jingkrak2
kegirangan*
Setelah peralatan lengkap disandang, pantai pun dituju. Perahu, karang, ombak
menjadi tempat utk bereksplorasi. Ada juga yg sibuk mengamati cacing laut yg
bentuknya bikin geli itu hiii... Penulis pun berjalan agak ke tengah, ke
gerombolan karang yg tampak berbincang santai menikmati sinar emas mentari.
Nangkring di atas sebuah karang dg posisi favoritnya (mau tau posisi favorit
penulis? Ada deeeh... Hahaha nggak penting banget ya), beberapa frame film
dihabiskan. Kawan Sila tertarik dg penulis.., eh dgn lokasi yg dipilih oleh
penulis maksudnya! :D Berdua kami coba mencari sisi2 termanis karang bersemu
emas itu. Tak sadar air sudah mulai pasang, hingga saat kami turun dr karang air
sudah ada yg mencapai pertengahan betis. Wuih harus hati2 juga mencari jalan
kembali menepi kalau tidak mau terjebak & kamera kecebur...
Kami setia menemani mentari hingga benar2 lelap di balik cakrawala. Sajian
langit senja yg beralih dr biru ke ungu hingga merah ditambah sapuan awan yg spt
lukisan membuat kami semua berdecak kagum. Sore terindah kami di Ujung Genteng.
Terima kasih sudah diberi lagi kesempatan melihat keindahan yg tersaji.
Malam di Hexa kembali menjadi malam penuh lagu jadul setelah sepanjang pagi &
siang sang gitaris tangguh tampak tak ada daya utk bersuara. Berbagai request
lagu diajukan & berusaha dipenuhi oleh sang gitaris dg segenap hati. Diselingi
pula acara makan malam di Hexa dg menu yg cukup beradab, nasi yg empuk
sewajarnya, seafood serta sayur mayur. Hanya saja kami baru tau kalau lalap dan
sambal di Ujung Genteng menjadi makanan penutup. Masa lalap & sambal baru datang
setelah semua makanan tersikat habis! Huahahaha!
Satu per satu anggota tim ekspedisi mengaku kalah, berserah pada kasur empuk
beralas seprai putih. Tertinggal 3 orang yg masih berbagi cerita, curhat2
rahasia yg tak mungkin kami lakukan di siang hari. Walah walah... apa pula yg
dicurhatkan oleh kawan Sila, kawan Densi, serta penulis ini. Mungkin jarum jam
berada di angka 1 saat akhirnya 3 muda mudi nan mempesona ini menyerah kalah
pula. Istirahat lah saat kau harus istirahat, begitu pesan mama yg kami ingat
selalu :D
Cukup pagi anggota tim ekspedisi bangun hari itu. Terpaksa kami lakukan krn
mobil yg akan membawa kami kembali ke Surade akan datang menjemput pukul 9.
Sementara menunggu giliran mandi di kamar mandi yg hanya ada 2, kami masih terus
berdendy.. eh berdendang dg petikan gitar kawan Dendy. Makan pagi pun dimulai
meski ada kawan yg belum juga mengguyurkan air ke tubuhnya. Tak ada kendala yg
berarti dlm makan pagi kami, krn segala kendala telah kami minimalkan & kami
antisipasi. Nasi goreng sepiring penuh cukup mengganjal perut kami.
Barang2 bergegas dimasukkan lagi ke dalam backpack, berkemas kami seusai makan
pagi. Pak sopir telah terlihat menyapa kami dg senyum manisnya. Sebelum
meninggalkan Hexa, kami masih sempat membuat foto keluarga dg senyum bahagia di
wajah. Tepat pukul 9.15 mobil bak terbuka warna biru cerah meninggalkan halaman
Hexa, membawa 13 anggota tim ekspedisi ceria kembali ke Surade.
Apa yg kami lakukan di sepanjang jalan? Yak! Betul sekali saudara2! Kami
nyanyikan lagu jadul! Sekitar 45 menit kami bernyanyi2 dg suara yg kami yakini
sangat merdu bagai akademia2 AFI. Andai kami sedikit lebih muda, pasti kami akan
berhadapan dg mereka di kontes nyanyi bergengsi tsb. Melewati Amanda’s kami
lihat Kang Ajo bersama bis jurusan Surade – Bogor. Keinginan utk memakai bis
Surade - Sukabumi kami batalkan setelah ada kesempatan mendapatkan bis yg
kosong.
Berpindah ke bis yg berkapasitas 27 orang, 13 orang ini serasa mencarter bis
(lho, lha emang kita carter bis, kok). Perjalanan menuju Bogor tak banyak yg
bisa penulis ceritakan krn penulis harus memejamkan mata, drpd tumbang dihantam
kondisi jalan yg kurang bersahabat. Lagu2 jadul yg semula tak henti dinyanyikan
oleh personil Band OWA beralih haluan menjadi lagu dangdut. Terajana, Kopi
Dangdut, Terlena, dan entah apa lagi yg tak bisa penulis sebutkan satu persatu
(daripada ketahuan kalau penulis hafal semua lagu dangdut hehe). Ada pula
tebakan cerdas dari nama anak pasangan Ray Sahetapi – Dewi Yull, biro intelejen
1 negara, hingga nama PM Israel. Hebat... hebaaat...
Terminal Baranangsiang di hari Senin pukul 16.00 itu menjadi tempat perpisahan
kami. Anggota tim yg semuanya berjumlah 13 orang akhirnya terbagi ke dalam
beberapa rombongan. Beberapa orang ke Lebak Bulus, sebagian ke Slipi, sedang
kontingen Bekasi dan Tangerang sangat mandiri, hanya sorangan wae. Isak tangis
dan derai air mata mewarnai perpisahan kami diikuti dgn janji utk segera bertemu
kembali. Huhuhu... kawan2 seperjuangan penyu, masih ada hari esok utk jalani
lagi bersama!