Ekspedisi Penyu ke Ujung Genteng

http://sivea.multiply.com/

Apa arti peringatan hari kemerdekaan negara kita tercinta bagi segerombolan muda mudi pegawai sebuah penerbitan di kawasan Jakarta Pusat? Hari utk mengenang mereka yg telah membela negara ini sebelumnya? Hari baik krn telah memenangkan lotre mengikuti upacara bendera 17 Agustus? Tentu saja bukan. 17 Agustus adl hari baik utk bepergian ke luar kota krn dgn cuti 1 hari bisa pergi 4 hari. Paket hemat yg cukup menarik bukan?
Maka demikianlah. Friday 13th, Jumat 13 Agustus telah ditetapkan sbg hari keberangkatan anggota divisi foto serta divisi gunung & laut. Awalnya agak seram juga berangkat di tgl keramat tsb, apalagi jumlah peserta awalnya juga 13 org. Untunglah tambahan 1 org peserta lagi mematahkan tulah tadi.

Kantin di belakang gedung penerbitan di kawasan Slipi tadi ditetapkan sbg meeting point. Nama-nama yg telah malang melintang di milis karyawan perusahaan tsb, akhirnya pd malam itu hadir dlm wujud yg nyata tanpa embel2 @blabla.com. Rencana semula berkumpul jam 8 malam dan berangkat jam 9 malam tak bisa ditepati. Bahkan ada seorg peserta yg masih terjebak kemacetan di saat jarum jam hampir menyentuh angka 9. Perjalanan yg cukup melelahkan baginya. Akhirnya dengan iringan senyum penuh haru dr salah seorang admin milis, rombongan piknik ceria yg berjumlah 14 orang itu meninggalkan kantin yg dipenuhi harum masakan pada sekitar jam 10 malam.

Berjalan berendengan, terlihat masing-masing siap tempur dengan bawaannya. Ada yg membawa backpack kebanggan, binatang kesayangan, maupun bantal imut teman tidur yg setia. Go go we go to Ujung Genteng!!

Sebuah mikrolet kosong yg sempat melakukan manuver tajam di depan Pasar Palmerah menjadi pilihan pertama alat transportasi kami malam itu. Kendaraan yg identik dgn istilah “enam – empat” pd jumlah penumpangnya, malam itu harus mampu memuat 14 org lengkap dgn gembolannya. Alhasil Sila terpaksa menunjukkan bakat aslinya dgn berdiri bergelantungan di pinggir pintu, bak seorg kondektur profesional.

Slipi menjadi persinggahan pertama. Setelah rapat kilat diantara deruman bis yg bersliweran dan ditingkahi asap knalpot, diputuskan utk memilih bis P6 jurusan Kp Rambutan. Tak lama kemudian bis yg dinanti pun melintas. Segera bis tsb berhenti, tak sabar ingin mengangkut gerombolan org muda yg terlihat begitu ceria malam itu.

Kampung Rambutan! Here we come! Mungkin sudah lewat pukul 11 waktu kita mendarat dg selamat di terminal Kp Rambutan. Para negosiator mulai beraksi, mencari pihak2 terpertjaja yg dg kerelaan hatinya bersedia mengantarkan ke-14 mahluk cihuy tsb.
Ternyata para penentu keputusan arah bis (baca: sopir bis) malam itu rata2 bersikap jual mahal. Mereka menolak mengantar kami yg baik hati & tdk sombong ini. Mungkin mereka belum cukup kuat scr mental utk mengangkut orang2 keren sebanyak 14 org sekaligus. Namun akhirnya kami temukan juga dia yg berani menerima tantangan dari kami. Meski menurut beliau, beliau terpaksa mengantar kami. Yah, begitulah kalau harus menghadapi pesona kami yg sangat kuat. Seringkali org belum siap. Meski harus berlama menunggu bis mengisi penuh2 penumpangnya, akhirnya jadi juga kami meninggalkan Kp Rambutan selewat pukul 12.00 malam. Duh, para cowo cewe keren ini sudah keburu berubah jadi timun suri, deh!

Dgn muka masih bagai bantal, bergulingan kami turun dari bis selepas Ciawi sekitar jam 1 dini hari. Terseok2 menahan kantuk, kendaraan berikutnya harus segera didapatkan. Kalau tidak, kami bisa2 kesiangan sampai di tempat tujuan. Untunglah Iwan, pak PO yg handal & piawai, berhasil mendapatkan kendaraan berikutnya. Surade! Tunggu kami!

Para anggota tim ekspedisi terlihat sudah kelelahan selama dlm perjalanan menuju ke Surade. Kantuk yg menyerang tak sanggup ditahan lagi. Meski ruang duduk sangat tdk nyaman, tidur pun dijelang. Belum lama memejamkan mata, tiba2 pak PO menanyakan apakah ada yg membawa plastik. Setengah tersadar, seorg anggota tim berhasil menemukan kantong yg diinginkan. Untuk apakah kiranya kantong itu? Ternyata seorg peserta mengalami mabok darat berat, tak kuat menahan hantaman jalan berkelok yg buruk kondisinya. Anggota tim yg lain pura2 tdk melihat penderitaan beliau. Tapi daripada ikut mabok, semuanya pilih memejamkan mata. Hehehe maap ya, pak!

Selama dlm perjalanan itu pula, penulis merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi karung beras. Duduk di jok paling belakang, kami berempat tetap meloncat hingga kepala menumbuk langit2 mobil meski backpack berat ada di pangkuan. Duh.. duh… betapa berat nasibmu wahai para karung beras.. hiks hiks… Sempat berhenti sejenak untuk keluar dari mobil, sekedar meluruskan kaki & menghirup teh panas, jalan yg tdk manusiawi ini terus kami lalui hingga tiba di Surade keesokan paginya.

Jam 5.45, hari Sabtu 14 Agustus, kami memasuki halaman rumah Kang Ajo di Surade. Akang yg berprofesi sbg tukang ojek ini yg mengantarkan Pak PO ke UG saat survei minggu sebelumnya. Lantai yg rata, pagi yg tenang, tak ingin disia2kan oleh para anggota ekspedisi. Segera kegiatan pertama pagi itu tidur! Nyamannya tidur menyelonjorkan kaki. Fiuuuh legaaa!

Keluarga Kang Ajo tampak sibuk menyiapkan air minum hangat dan mencarikan tikar utk kami. Keramahan yg sangat mengharukan. Padahal bisa dibilang kami sama sekali tdk kenal dg mereka. Pak PO saja baru sekali bertemu beliau. Tepat jam 8, nyawa mulai dikumpulkan, kamar mandi mulai diserbu. Guyuran air dingin diharapkan bisa mengusir sisa2 kantuk semalam. Setelah itu makan pagi dg menu ikan asin, lalap daun singkong & sambal diserbu. Terasa sangat mewah buat kami krn perkiraan awalnya, kami akan terkatung2 di 1 tempat asing in the midle of nowhere. Bersyukur sekali kami pagi itu.

Jam 9 pagi lewat beberapa menit, mundur beberapa menit dr rencana, kami bersiap meninggalkan rumah kang Ajo. Butiran2 kelapa muda yg telah dipetikkan oleh Kang Ajo dgn berat hati kami tinggalkan. Sebetulnya pengen banget bawa, tapi di sana mo gimana bukanya? Kami kan bukan rombongan kuda lumping yg mau gigit2 sabut kelapa weee…

Kendaraan kami berikutnya adl mobil bak terbuka. Kendaraan ini kami pilih atas permintaan khusus anggota tim yg malam sebelumnya mengalami mabok darat berat. Beliau telah mengajukan argumen bahwa kekurangan oksigen menjadi penyebab maboknya. Aih, bisaaa aja hihihi…

Akhirnya jadilah kami bagai rombongan TKI yg berdesakan di mobil bak terbuka lengkap dgn timbunan bawaan. Untuk mengisi kekosongan, Dendy segera mengenalkan pacarnya yg berbodi gitar. Request lagu pun segera diterima. Sayang, hanya lagu2 jadul yg dipenuhi permintaannya. Petikan sang gitaris tangguh mengiringi suara2 lantang para personil Band OWA yg menyanyikan lagu2 jadul masa kini. Dari mulai lagunya Rahmat Kartolo hingga Koes Ploes dinyanyikan. Eh, lagu-lagu ini termasuk lagu masa kini bukan, sih? Masa kini juga, tapi jadul huahahaha…

Riang gembira menyanyi sepanjang jalan, kami beberapa kali harus melayani lambaian tangan murid2 SD di sepanjang jalan. Entah mengapa mereka terlihat begitu riang gembira melihat kami. Mungkin mereka berpikir akan ada pertunjukan lenong malam ini di kampungnya setelah melihat kami? Entahlah…

Persinggahan pertama sebelum ke Ujung Genteng adl penginapan Amanda. Bukan… kami tidak menginap di sini. Kami cuma mau numpang motret saja di sini huehehehe. Segeralah mereka yg tergabung di divisi foto beraksi dg peralatan masing2. Mereka yg tdk tergabung dlm divisi foto terlihat berbicang serius. Rupanya sesi curhat2 pribadi telah dimulai. Setelah masing2 anggota tim puas menyalurkan hasratnya, kami berkumpul di sekitar gitar egois (habis Cuma Dendy yg kidal yg bisa mainin gitar itu :D). Lagu Koes Ploes “angin Laut” menjadi theme song acara mengakrabkan diri kami pagi itu.

Setelah 12 tembang manis dinyanyikan (weks sudah sekaset penuh tuh) kami segera beranjak meninggalkan penginapan Amanda yg terletak di tepi laut bertebing itu. Matahari makin tinggi, hari makin panas. Berdendang lagi kami dlm bak terbuka menuju Ujung Genteng. Untunglah sang gitaris tangguh tak kenal lelah memetik gitarnya.

Langit biru jernih memayungi kepala menyambut kami di Ujung Genteng setelah hampir 1 jam kami berkendara dari Amanda. Ingin segera beraksi menggerakkan peralatan foto uyg dibawa, namun ternyata kami harus segera ke warung utk makan siang. Tidak banyak pilihan menu di siang itu. Pokoknya sekedar tdk memberi tempat angin bersarang di rongga perut.

Usai hidangan disantap, kami melewatkan waktu cukup lama di dekat penginapan Hexa. Malam ini kami akan menginap di Pangumbahan, tempat mess pembiakan penyu. Tapi berjalan kaki dari Hexa ke Pangumbahan di siang hari yg bisa memuaikan seluruh tubuh kami bukanlah pilihan yg tepat. Maka berdendanglah kami tak kenal henti di tepi pantai di sekitar penginapan Hexa. Buku2 syair lagu Koes Ploes, Panbers, DeLlyod (tulisannya bener ga sih?) dibuka. Alex tak ketinggalan membuka buku suci bersampul kuning berisi lagu2 barat thn 70an. Entah berapa puluh kaset lagu kami nyanyikan. Saat angin mulai lembut berhembus, ini lah waktu yg dirasa tepat utk meninggalkan pos kami di tepi pantai tsb.

Perjalanan masih cukup panjang. Tiap anggota tim ekspedisi tampil bagai tim ekspedisi professional: memanggul backpack yg lumayan besar & berat tentunya. Menyusuri pantai menuju ke Barat, menapaki tiap pasir putih halus dan menghadang tiap helai angin yg melintas. Kami berjalan kaki sekitar 2 jam dgn diselingi istirahat sekali utk sekedar minum & membuat beberapa foto. Fiuh melelahkan juga berjalan menyusuri pantai seperti itu. Terkadang butiran pasir yg kami tapaki demikian halusnya, hingga tiap kali kaki menyentuh permukaannya pasti akan langsung melesak ke bawah. Terasa berat utk memulai langkah kedua. Berjalan ke tengah mendekati garis air, hal yg sama kami temui: pasir yg sangat lunak menghisap kaki2 kami. Dalam perjalanan kami temui beberapa lelaki asing yg asik bermain selancar, naik turun di antara lidah2 ombak. Namun dgn perjuangan yg tak kenal menyerah, akhirnya sampai juga di mess Pangumbahan. Air minum dan bekal segera dibuka utk mengusir rasa haus & mengembalikan tenaga yg tersedot.

Pak PO dan Anna sang asisten PO segera menemui petugas mess, meminta ijin utk bermalam di mess malam itu. Ijin sudah diperoleh kami segera berpindah ke dalam mess utk menyimpan barang2 kami. Perjalanan yg tidak singkat selama 2 jam tidak membuat kami ingin bermalas2an. Segera sesudah barang2 teratur rapi, peralatan foto dikeluarkan. Tentu saja acara berburu sunset menjadi acara berikutnya. Sebagian anggota tim lain lain menjadi anggota divisi laut yg benar2 menikmati pantai serta debur ombaknya. Sore itu tidak ada yg menemukan keasikan di halusnya pasir pantai Pangumbahan yg terbentang panjang.

Kami temani mentari hingga benar2 ia beristirahat kembali di balik cakrawala. Masing2 punya kesan tersendiri dg senja di Pangumbahan. Mungkin karena senja yg berhasil mereka rekam dgn kamera mereka. Mungkin juga karena pengalaman menjadi model bagi kawan2nya membuat mereka deg2an. Atau mungkin karena mereka bisa menikmati senja bersama seseorang yg disuka. Aiiih manisnyaaa…. :p

Saat gelap benar2 telah melingkupi pantai Pangumbahan, kami pun kembali ke mess. Membersihkan diri sang pujaan hati alias kamera masing2 hal pertama yg terlintas, jauh sebelum keinginan membersihkan diri sendiri muncul.

Malam menjelang di Pangumbahan terasa sejuk sekali. Menghapuskan semua terik & lelah di siang harinya. Sebagian anggota tim yg cukup rajin, dan ini lebih sedikit jumlahnya, bergantian menyerbu kamar mandi yg ada. Semula kegiatan ini kurang menarik hati, mengingat air yg tersedia adl air payau. Namun setelah mendengar laporan rekan-rekan seperjuangan bahwa airnya “nggak payau payau banget”, peralatan mandi pun dibongkar. Ternyata memang lumayan juga air di Pangumbahan ini. Masih terasa agak asin, tp cukup menyegarkan utk mandi, tdk meninggalkan sisa2 yg lengket di badan spt air payau pada umumnya. Tepat sekali ungkapan yg menggambarkan airnya sbg “nggak payau payau banget” hehehehe...

Badan yg segar membuat kami siap menyerbu hidangan makan malam yg telah disiapkan istri penjaga mess. Sederhana saja menu kami malam itu, nasi dan telur penyu goreng hihihihi. Gak ding telur dadar biasa kok, dr telur ayam. Eh, tapi siapa yg tahu itu telur ayam ato telur penyu. Lagian belum pernah ada yg mencoba spt apa rasanya telur penyu goreng itu. Ah... tapi nggak mungkin ah, klo telur penyu. Ah, apapaun itu tak butuh lama utk menyapu bersih menu yg tersedia. Lapaaarrr...

Waktu terberat bagi anggota tim menyusul. Badan yg lelah dan kekenyangan membuat syaraf mata otomatis melemah. Rasanya ingin sekali kami segera membaringkan tubuh. Tapi misi malam ini belum berakhir. Kami masih ingin menemui mama2 penyu yg bertelur. Maka sebagian anggota tim mengisi waktu dgn belajar astronomi. Apa yg dikerjakan anggota tim yg lain? Sudah tentu menghimpun suara! Tak hentinya kami menyanyikan lagu2 jadul, padahal di kamar sebelah ada puluhan butir telur penyu yg sdg dlm proses ditetaskan. Menyadari hal itu, kami sepakat melirihkan suara selama berdendang. Kami tak ingin penyu2 yg menetas nantinya sudah langsung berjenggot & bercelana cutbray. Tukik2 mungil (tapi jenggotan itu) mungkin akan keluar dr kulit telur sambil berteriak “I feel good!”. Kami sungguh2 tak ingin hal ini terjadi! Sayangilah satwa!

It’s about the time! Kami berjalan menuju ke pantai dgn bantuan penerangan gemerlap cahaya ribuan bintang (sebenarnya bawa senter juga sih, tp ditulis gitu aja biar kliatannya romantis & menyatu dg alam hihihi). Pantai Pangumabahn yg berada di laut selatan ini berbeda dr pantai laut selatan pada umumnya. Pantai Pangumbahan meski berombak besar namun berpasir putih sangat halus dan landai. Pantas menjadi tempat favorit komunitas penyu utk bertelur.

Berdiri bergerombol di pojokan, kami menunggu tanda2 yg diberikan oleh pak penjaga. Jadi prosedur yg harus kami lalui adl sbb: kami menunggu di satu tempat dlm gelap,tanpa boleh menyalakan senter dan tanpa ribut2. Pak penjaga yg ada di pantai akan memberi kode kpd kami dgn menyala-matikan senter yg dibawanya bbrp kali. Itulah kode yg menandakan bahwa ada penyu yg sedang bertelur di tempat tsb. Jika terlihat tanda spt itu kami akan mendekati pak penjaga masih tanpa menyalakan senter. Sampai di TKP (Tempat Kelahiran Penyu :p), kami bisa melihat penyu yg usai bertelur beserta telurnya. Kami tidak sempat menyaksikan langsung saat penyu2 itu sedang bertelur. Yang kami temui adl penyu yg akan kembali ke laut usai menunaikan tugasnya sbg mama, membawa generasi baru penyu ke muka bumi.

Di lokasi pertama penyu yg kami temui, sudah terdapat satu keluarga lengkap dgn anaknya terkecil yg mungkin baru berumur 3 tahun. Mereka tampak begitu bersemangat utk berfoto bersama mama penyu yg usai bertelur. Kami pun memakluminya. Yang tak bisa kami terima adl saat mereka mulai menginjak sang mama penyu utk bisa berdiri di atasnya dan diambil gambarnya sbg kenang2an. Ucapan2 protes dari kami thd tindakan mereka tak dihiraukan. Masih juga mereka ingin berdiri di atas punggung mama penyu yg terlihat lelah usai menelurkan 130 butir calon penyu2 muda. Makin keras & sering suara protes kami hingga mungkin akan terjadi bentrok fisik utk melawan tindakan para pengunjung yg tidak berperikepenyuan itu. Untunglah mama penyu punya cara tersendiri. Bliau yg sedang mengibas2kan kaki depan & belakangnya membuat penonton yg nekat hendak berdiri di punggungya terjatuh. Maka usai sudah usaha pemaksaan kehendak kepada mama penyu. Setelah gagal berfoto dgn gaya yg menurut sebagian pengunjung sangat eksotis itu, mereka pergi begitu saja meninggalkan mama penyu. Maka beberapa orang yg lembut hati dari tim kami segera mengelus2 punggung mama penyu. Kata2 manis penuh penghiburan membujuk mama penyu utk tdk menangis atas sikap kasar yg ia terima malam itu. I did saw tears in mama penyu’s eyes that night! Sob... sob...

Kami lihat ada nyala lampu senter berkedip lagi di kejauhan. Kami segera memburu arah datangnya cahaya itu. Seekor mama penyu lagi telah usai menunaikan tugasnya. Namun mama yg satu ini lbh beruntung nasibnya krn tak perlu dinaikin maupun diinjak punggungnya. Melihatnya, kami sudah bertekat utk menemaninya hingga menemukan jalan pulang kembali ke laut. Tidak sebentar kami berada di samping mama penyu yg panjangnya hampir 1 meter itu. Apalagi dr gelagatnya tampak bahwa ia mama baru, yg belum punya pengalaman bertelur. Begitu setianya tim pendukung mama penyu ini, Undix sampai rela berbaring di tepi lubang tempat mama penyu berada. Sorot mata penuh kerinduan memandang mama penyu yg sedang berjuang keluar dr lubang di pantai itu. Kami menduga bahwa Undix telah lama tidak bertemu istrinya, sang mama penyu tsb. Maka setujulah kami memberikan gelar “suami SIAGA” kepada Undix, yg Siap, Antar dan Jaga istrinya yg sedang melahirkan. Hiks.. terharu melihat pemandangan ini...

Saat mama penyu berhasil keluar dari lubang di pasir pantai itu, makin bersemangatlah para pendukung mama penyu. Mereka berjalan mengiringi mama penyu yg pelan2 menuju ke batas air. Go go go mama penyu! Dan semua pun bersorak gembira saat ombak yg cukup kuat berhamburan ke pantai, dan membawa pergi mama penyu kembali ke laut. Selamat jalan mama penyu! Baik-baiklah hidup di laut sana. Berjanjilah utk datang lagi ke sini di musim bertelur yg akan datang!

Dengan perasaan lega kami menatap pantai Pangumbahan yg gelap. Saat memandang bintang2 di langit, sepertinya ada rasi bintang yg baru di sana: rasi bintang penyu yg sedang tersenyum! Tiba2 ada kelebatan bintang jatuh melintas. Beberapa di antara kami berteriak histeris menyebutkan keinginannya. Maka kami pun menunggu kembali bintang jatuh. Entah knp malam itu cukup sering kami melihat bintang jatuh. Mungkin krn bintang di Pangumbahan terlihat begitu terang dlm malam jernih bebas polusi. Maka terdengar bisikan2 diucapkan oleh anggota tim. Ada yg membisikkan barang yg diinginkan, nama orang yg disayang. Tapi, lho kok ada yg membisikkan nama ibu tukang warung di depan kantor? Pertanda hutang kpd ibu tukang warung itu sudah bertumpuk barangkali? Entahlah... Hanya dia dan bintang jatuh yg tahu...

Kelehan namun bahagia kami berjalan kembali ke mess. Istirahat yg nyaman telah dinantikan oleh seluruh anggota tim. Selamat tidur semuanya. Selamat tidur mama penyu!

Hari minggu yg cerah di Ujung Genteng. Nyawa baru terkumpul sekitar pukul 7 tanpa minat hunting sunrise sebelumnya. Gimana mo cari sunrise, org di pantai Pangumbahan kita kemarin nemuin sunset. Emang matahari kayak yoyo yg terbit & tenggelam di tempat yg sama? Heee... Namun demikian beberapa penyu jantan tampak rajin berburu gambar pagi itu.

Daripada terkantuk2 dibelai angin laut, acara yg membangkitkan minat pun dimulai: menyiapkan makan pagi. Peralatan ala kempingers sejati pun dikeluarkan. Kompor, gas serta nesting telah siap. Menu pagi ini adl menu andalan para kempingers: indomie & kopi. Dua kompor mungil tampak kelelahan harus menyiapkan sarapan utk 14 org. Meski menunya ala kadarnya, suasana kompetisi (baca: rebutan) yg terjadi selama makan pagi membuat kami cepat menghabiskan jatah sendiri. Kalau perlu menyikat jatah teman sebelah. Urusan perut, tak mengenal kata kawan. Kejamnya dunia... hiks...

Perut terisi kenyang, hati senang, apapun boleh terjadi pagi itu. Mandi pagi? Huh! No way lah ya! Emangnya kami cowo cewe apaan yg harus selalu mandi... Akhirnya diputuskan pagi itu kami akan jalan2 menyusuri pantai menuju ke muara. Ber-14 kami bersama meninggalkan mess. Langit biru jernih membuat para pembidik2 gambar muda ini menjerit2 histeris. “Kyaaa..., kyaa...!” Pasir putih di pantai sepanjang 2 km tsb sangat menantang utk dilewati. Dengan sorak sorai & tawa ceria beriringan kami berjalan. Namun ternyata beberapa orang mengundurkan diri dari perjalanan ceria ini. Mereka lbh suka menepi memandangi ombak yg berdebur spt bayangan kuda Ratu Laut Selatan. Krn tak pernah diperkenankan adanya paksaan kpd pihak manapun dlm perjalanan ini, kami tiggalkan mereka.

Mendeteksi jejak mama penyu yg kami temui sepanjang pantai, kami mulai berhitung brp pendapatan kami jika kami alih profesi sbg pencari telur penyu. Bayangkan jika tiap penyu bisa menghasilkan telur hingga 130butir, dan semalam paling tidak ada 10 ekor penyu bertelur. Itu berarti sudah ada 1300 butir telur dlm semalam. Harga telur penyu di grosir (maksudnya di pedagang tangan pertama) adl Rp 3000,-/butir. Sedang di warung2 umum, harganya bisa mencapai Rp 5000,-/butir. Itu lah pendapatan kami tiap hari. Musim bertelur penyu adl dari bulan Juli – September, yg berarti kira2 90 hari. Nah silakan hitung sendiri brp uang yg bisa kami hasilkan dr mengumpulkan telur penyu ini. Maap ya, ini laporan interaktif, pembaca hrs hitung sendiri. Soalnya penulis paling bolot klo harus ngitung2 hehehe. Pantas saja byk org tdk peduli lagi dgn kelangsungan hidup penyu generasi masa depan. Makin mengkhawatirkan setelah ada berita ini di surat kabar:

http://www.media-indonesia.com/cetak/berita.asp?id=2004081800162610

Wahai mama penyu, makin berat beban hidup yg harus kalian tanggung.

Melihat jejak mama penyu, kami pun membandingkan dgn jejak kami sendiri. Maka dimulailah permainan membuat jejak kaki. Bagaimana kira2 jejak pegawai yg habis gajian? Jejak anak kos di tanggal tua? Atau jejak setan? (Kawan2, setan tdk meninggalkan jejak krn tdk menyentuh tanah. Begitu konon kabarnya :D)

Foto2 keluarga pun mulai dibuat. Berbagai pose yg tak kalah serunya dr pose cover album foto maupun album kaset bajakan manapun dikeluarkan. Bukan saatnya lagi utk menjadi malu2 dan jaim setelah 2 hari hidup susah bersama :D.
Sesampai di muara sungai, acara foto model pun makin seru. Masing2 wanita dalam tim ekspedisi ini mengaku punya pengalaman sbg model kalender. Maka dipilihlah siapa yg pantas menjadi gadis kalender bulan Januari, Februari, dst. Semua tersenyum senang mendapat jatah sbg model. Tinggal penulis yg belum dapat jatah. Maka penulis pun diminta kesediaannya utk menjadi gadis kalender tahun kabisat. Huauwauwauwa... nongolnya cuman 4 thn sekali. Sedihnyaaa....

Perjalanan yg cukup panjang ke muara ini adl perjalanan beresiko krn tak seorg pun di antara kami yg membawa air minum. Hmmm... gagah berani juga kami ini. Namun tak pelak lagi, jalan kami kembali mulai sempoyongan krn kelelahan & kehausan. Es buah, jus sirsak, es alpukat nyam nyam nyam... segarnya terbayang di depan mata. Terkenang kami akan butiran2 hijau kelapa muda yg kami tinggalkan di rumah Kang Ajo. Butiran yg menawarkan kesegaran yg hanya tinggal kenangan hiks...

Tergolek lesu kami sesampai di mess. Makan siang menjadi kata yg paling dinanti saat itu. Menunggu detik2 bersejarah itu terasa sangat panjang. Siang itu seorang kawan kami, Anna, dgn berat hati (atau mungkin suka hati?) harus lbh dulu kembali ke peradaban. Seorang tukang ojek telah dg setia menantinya sejak pagi utk membawanya kembali ke Surade. Jam 12.00 kami pun segera menyerbu makan siang yg telah disediakan oleh istri pak penjaga mess. Menunya? Telur lagi! Sebelum melahap makan siang tsb, tak lupa kami ucapkan doa semoga kami tidak bisulan sesampai di Jakarta nanti :D

Perut yg kenyang selalu membawa kehangatan pula di hati. Cerita2 lucu dan tukar pengetahuan ttg kosa kata di Bahasa Jawa dipimpin oleh kawan Hans. Kawan Densi serta kawan Imel terlihat cukup terpuaskan sekaligus terhibur oleh acara ini. Kami pun membuat kesimpulan bahwa kawan Hans saat ini berada dlm masa kehidupan keduanya. Namun krn kecerdasannya, ia msh mengingat kata2 yg dipakainya di masa kehidupan pertamanya dahulu kala.

Kala matahari tepat berada di pucuk kepala, tentu saja bukan waktu yg tepat utk melakuka perjalanan kembali ke Hexa. Rapat singkat, tak bertele2 namun dibumbui himbauan dr beberapa kawan, pun memutuskan utk berjalan melewati jalur desa alias tdk menyusuri pantai lagi. Setelah kata sepakat dicapai kami akan mulai perjalan kembali pukul 15.30, waktu yg tersisa dimanfaatkan utk tidur siang. Nyamannya tidur setelah makan kenyang...

Terjaga kami pukul 15.45, lewat 15 menit dr waktu yg disepakati utk berangkat. Setelah mengguncang2 badan semua anggota tim agar terjaga, tepat pukul 16.00 kami bersiap meninggalkan mess. Sebelumnya ada foto keluarga di depan papan penanda utk menyelamatkan penyu. Mama penyu, kami harus kembali ke habitat kami!

Perjalanan melewati desa benar2 pilihan yg tepat. Tak ada hembusan angin yg terlalu kencang, tak ada pasir yg langsung melesak begitu diinjak. Maka tak heran lagi langkah kami begitu ringan sore itu. Namun saat sebuah warung yg kecil mungil menampilkan box yg agaknya berisi es batu lengkap dgn jajaran teh botol, histeris lah para anggota wanita tim ekspedisi ini. Tanda2 peradaban sdh makin dekat! Setelah menghabiskan sekitar 10 teh botol lengkap dgn esnya, perjalanan pun makin ringan. Mau bolak balik Hexa - Pangumbahan? Ayo deh, kita jabanin. Hahaha mulai belagu deh, ya...

Hexa! Air tawar! Kasur yg bersih! Lampu yg terang! Betapa kami ternyata merindukan juga hal2 spt itu. Namun kami tak hendak bermalas2an sore itu. Mentari senja menanti bersama langit tak bertepi. Cihuiiii *jingkrak2 kegirangan*

Setelah peralatan lengkap disandang, pantai pun dituju. Perahu, karang, ombak menjadi tempat utk bereksplorasi. Ada juga yg sibuk mengamati cacing laut yg bentuknya bikin geli itu hiii... Penulis pun berjalan agak ke tengah, ke gerombolan karang yg tampak berbincang santai menikmati sinar emas mentari. Nangkring di atas sebuah karang dg posisi favoritnya (mau tau posisi favorit penulis? Ada deeeh... Hahaha nggak penting banget ya), beberapa frame film dihabiskan. Kawan Sila tertarik dg penulis.., eh dgn lokasi yg dipilih oleh penulis maksudnya! :D Berdua kami coba mencari sisi2 termanis karang bersemu emas itu. Tak sadar air sudah mulai pasang, hingga saat kami turun dr karang air sudah ada yg mencapai pertengahan betis. Wuih harus hati2 juga mencari jalan kembali menepi kalau tidak mau terjebak & kamera kecebur...

Kami setia menemani mentari hingga benar2 lelap di balik cakrawala. Sajian langit senja yg beralih dr biru ke ungu hingga merah ditambah sapuan awan yg spt lukisan membuat kami semua berdecak kagum. Sore terindah kami di Ujung Genteng. Terima kasih sudah diberi lagi kesempatan melihat keindahan yg tersaji.

Malam di Hexa kembali menjadi malam penuh lagu jadul setelah sepanjang pagi & siang sang gitaris tangguh tampak tak ada daya utk bersuara. Berbagai request lagu diajukan & berusaha dipenuhi oleh sang gitaris dg segenap hati. Diselingi pula acara makan malam di Hexa dg menu yg cukup beradab, nasi yg empuk sewajarnya, seafood serta sayur mayur. Hanya saja kami baru tau kalau lalap dan sambal di Ujung Genteng menjadi makanan penutup. Masa lalap & sambal baru datang setelah semua makanan tersikat habis! Huahahaha!

Satu per satu anggota tim ekspedisi mengaku kalah, berserah pada kasur empuk beralas seprai putih. Tertinggal 3 orang yg masih berbagi cerita, curhat2 rahasia yg tak mungkin kami lakukan di siang hari. Walah walah... apa pula yg dicurhatkan oleh kawan Sila, kawan Densi, serta penulis ini. Mungkin jarum jam berada di angka 1 saat akhirnya 3 muda mudi nan mempesona ini menyerah kalah pula. Istirahat lah saat kau harus istirahat, begitu pesan mama yg kami ingat selalu :D

Cukup pagi anggota tim ekspedisi bangun hari itu. Terpaksa kami lakukan krn mobil yg akan membawa kami kembali ke Surade akan datang menjemput pukul 9. Sementara menunggu giliran mandi di kamar mandi yg hanya ada 2, kami masih terus berdendy.. eh berdendang dg petikan gitar kawan Dendy. Makan pagi pun dimulai meski ada kawan yg belum juga mengguyurkan air ke tubuhnya. Tak ada kendala yg berarti dlm makan pagi kami, krn segala kendala telah kami minimalkan & kami antisipasi. Nasi goreng sepiring penuh cukup mengganjal perut kami.

Barang2 bergegas dimasukkan lagi ke dalam backpack, berkemas kami seusai makan pagi. Pak sopir telah terlihat menyapa kami dg senyum manisnya. Sebelum meninggalkan Hexa, kami masih sempat membuat foto keluarga dg senyum bahagia di wajah. Tepat pukul 9.15 mobil bak terbuka warna biru cerah meninggalkan halaman Hexa, membawa 13 anggota tim ekspedisi ceria kembali ke Surade.

Apa yg kami lakukan di sepanjang jalan? Yak! Betul sekali saudara2! Kami nyanyikan lagu jadul! Sekitar 45 menit kami bernyanyi2 dg suara yg kami yakini sangat merdu bagai akademia2 AFI. Andai kami sedikit lebih muda, pasti kami akan berhadapan dg mereka di kontes nyanyi bergengsi tsb. Melewati Amanda’s kami lihat Kang Ajo bersama bis jurusan Surade – Bogor. Keinginan utk memakai bis Surade - Sukabumi kami batalkan setelah ada kesempatan mendapatkan bis yg kosong.

Berpindah ke bis yg berkapasitas 27 orang, 13 orang ini serasa mencarter bis (lho, lha emang kita carter bis, kok). Perjalanan menuju Bogor tak banyak yg bisa penulis ceritakan krn penulis harus memejamkan mata, drpd tumbang dihantam kondisi jalan yg kurang bersahabat. Lagu2 jadul yg semula tak henti dinyanyikan oleh personil Band OWA beralih haluan menjadi lagu dangdut. Terajana, Kopi Dangdut, Terlena, dan entah apa lagi yg tak bisa penulis sebutkan satu persatu (daripada ketahuan kalau penulis hafal semua lagu dangdut hehe). Ada pula tebakan cerdas dari nama anak pasangan Ray Sahetapi – Dewi Yull, biro intelejen 1 negara, hingga nama PM Israel. Hebat... hebaaat...

Terminal Baranangsiang di hari Senin pukul 16.00 itu menjadi tempat perpisahan kami. Anggota tim yg semuanya berjumlah 13 orang akhirnya terbagi ke dalam beberapa rombongan. Beberapa orang ke Lebak Bulus, sebagian ke Slipi, sedang kontingen Bekasi dan Tangerang sangat mandiri, hanya sorangan wae. Isak tangis dan derai air mata mewarnai perpisahan kami diikuti dgn janji utk segera bertemu kembali. Huhuhu... kawan2 seperjuangan penyu, masih ada hari esok utk jalani lagi bersama!