Cerita perjalanan bersepeda ke pantai ujung genteng, sukabumi selatan

http://hdmessa.multiply.com

     PANTAI TERHAMPAR JADIKAN GURU

Akhir bulan lalu, saya dan rekan2 pesepeda, total sekitar 30 orang melakukan
perjalanan bersepeda menjelajahi pantai selatan jawa barat di daerah sukabumi,
kita memulai perjalanan dari pantai pelabuhan ratu dan berakhir di pantai ujung
genteng di sukabumi selatan, menempuh jarak sekitar 80 Km, kita berjalan hampir
selama 8 jam , sejak jam 7 pagi sampai jam 3 sore.

Bagi saya setiap perjalanan adalah juga sebuah pelajaran berharga, teringat
terus pepatah minang yg diceritakan paman saya di Bukittinggi dulu, Alam
terkembang jadi guru. Banyak pelajaran berharga bisa didapatkan saat kita
berjalan.

Perjalanan kita bermula dari Pelabuhan ratu, kota kecil di tepi pantai barat
pulau Jawa. Daerah pelabuhan ratu adalah juga daerah wisata, dimana terdapat
banyak tempat2 wisata, di daerah sana juga terdapat tempat peristirahatan
presiden RI yg dibangun sejak jaman bung Karno.

tempat ini dikenal juga karena nilai sejarahnya, dimana istilah pelabuhan ratu,
mengacu pada istilah ratu / raja , di jaman kerajaan jaman dahulu, namun ada
pula yg mengatakan mengacu pada istilah ratu utk ratu laut selatan, simbol magis
bagi kerajaan2 di pulau jawa sejak jaman dahulu, dan sampai saat ini pun
kepercayaan tersebut masih tumbuh di sebagian masyarakat setempat.

Besoknya, di pagi hari yg cerah kita memulai perjalanan dari pantai pelabuhan
ratu, kita melewati kota kecil tsb yg mulai ramai karena para nelayan baru
pulang dari melaut membawa hasil tangkapan nya

Di ujung timur kota kecil tersebut kita bertemu dg persimpangan yg menuju
Jembatan yg melintasi sungai cimandiri yg melebar menuju ke laut lepas. Di
samping jembatan masih berdiri kokoh jembatan gantung legendaris yg berwarna
kuning peninggalan jaman Belanda dulu, kokoh dan indah sekali bentuknya, namun
saat ini tak digunakan lagi karena, masyarakat setempat mengenalnya sebagai
jembatan Bagbagan.

Dalam berbagai perjalanan selalu terbayang decak kagum saat melihat bangunan2
dan jembatan peninggalan jaman penjajah kita dulu, kagum bercampur heran, karena
bangsa kita sendiri tak bisa belajar banyak dari mereka bagaimana cara membuat
bangunan yg lebih kokoh dan tahan lama.

Selepas jembatan Bagbagan , jalan mulai naik melandai menyusuri pebukitan dekat
pantai pelabuhan ratu, tanpa terasa jalan terus mendaki dan berkelak kelok, dari
tepi jalan tampak pemandangan indah, hamparan pantai pelabuhan ratu yg memanjang
dibatasi garis putih ombak yg berlarian di tepi pantai.

Ternyata jalan terus mendaki, karena memang sudah memasuki pebukitan yg memang
menutupi hampir sebagian besar pantai selatan jawa barat. Bukit2 bagaikan
berbaris, tanpa habisnya , kita terus mendaki menuju arah ke pedalaman menjauhi
pantai.

Total perjalanan mendaki bukit tersebut sampai ke dataran tinggi kebun teh
Surangga di ketinggian 1200 m, berjarak sekitar 30 Km,bayangkan perjalanan
mendaki sepanjang 30 Km, dari tepi pantai sampai pegunungan, sebuah tantangan
yg cukup berat.

Setiap kelokan jalan di punggung bukit kita selalu berharap jalan menurun atau
setidaknya mendatar, tapi ternyata sehabis mendaki sebuah bukit, kita akan
bertemu dg bukit yg lebih tinggi lagi dan begitulah seterusnya, sungguh membuat
frustasi juga, saking lelahnya kita sering beristirahat di daerah pebukitan tsb.
Ternyata memang pendakian tak ada akhirnya juga sampai kita bertemu dataran
tinggi dimana terdapat perkebunan teh yg hamparan nya menutupi pebukitan, indah
sekali.

Ada hikmahnya pula melintasi jalan mendaki yg tak ada habis nya tersebut,
andaikanlah setiap bukit yg kita daki tersebut adalah permasalahan kehidupan yg
kita hadapi sehari hari, kita berharap setiap masalah yg kita hadapi cepat
selesai, namun ternyata setelah masalah tsb selesai akan ada masalah lain
menghadang kita dan begitu pula seterusnya, hidup kita tak lepas dari
permasalahan, memang demikianlah hidup ini, masalah dan hambatan lah yg membuat
kehidupan ini penuh makna.

Saat kita mendaki, selalu ada bukit yg lebih tinggi selepas kita mendaki sebuah
bukit, yang membuat kita serasa putus asa, namun ketegaran jiwa dan semangat yg
tinggi lah yg membuat kita pantang menyerah, dan kalau lelah pun isitrahat
sejenak.

Analoginya dalam kehidupan, banyak masalah yg kita hadapi dalam hidup ini,
konsistensi, ketegaran jiwa dan kekuatan lah yg membuat kita siap menghadapinya,
bila tak kuat istirahatlah sejenak dan kemudian lanjutkan perjuangan.

Mendaki gunung dan penjelajahan mengajarkan kita untuk memiliki ketegaran jiwa
untuk selalu konsisten dengan apa yg kita tuju, pantang menyerah. pepatah
mengatakan "sekali layar terkembang, pantang surut ke tepian"

Namun tak semua orang memiliki ketegaran jiwa, sebagian dari kita gampang
menyerah, begitu menghadapi masalah yg berat. Pengalaman membuktikan orang2 yg
berhasil dalam hidupnya adalah orang2 yg memiliki ketegaran jiwa tsb.

Setelah lelah melewati jalanan yg mendaki, kita beristirahat sejenak melepas
lelah di sebuah warung pinggir jalan, sambil minum duduk meluruskan kaki, sayup2
makin keras, terdengar mengalun lagu lama yg terasa khas di telinga, alunan lagu
lama Rhoma Irama , “Berkelana” ;

Dalam aku berkelana
tiada yg tahu, apa yg kucari
gunung tinggi, kan kudaki, lautan ku sebrangi
walaupun adanya di ujung dunia
aku kan kesana untuk mendapatkan nya

Dengan penuh perjuangan dan kepayahan, dan semangat pantang menyerah, akhirnya
sampailah pula kita ke dataran tinggi Kertajaya dimana terdapat perkebunan teh
Surangga, udara pun mulai terasa sejuk, terasa lenyaplah kelelahan perjalanan
mendaki selama ini.

Ada kepuasan tersendiri bagi kita yg terus berusaha mendaki, daripada mereka yg
menyerah dan memilih menaikkan sepeda nya ke kendaraan.

terlihat indah juga alam dataran tinggi tsb, dimana perkebunan teh yg terhampar
menutupi pebukitan yg luas , dekat pasar ada jalan berbelok menuju daerah Gunung
Rompang, dimana terdapat situs purbakala. Di daerah Jampang ini , dahulunya
terdapat kerajaan sunda kuno, bernama Agrabinta , dimana ujunggenteng adalah
pelabuhan lautnya. Saat ini nama Agrabinta digunakan pada nama sebuah perkebunan
di dekat daerah tsb.

sehabis kebun teh kita akan bertemu dg pertigaan Kiara dua , dimana arah ke
kanan menuju dataran tinggi Jampang Tengah dan terus ke kota sukabumi ,
sedangkan jalan yg ke kiri mengarah ke daerah jampang kulon, kita mengambil
jalan ke kiri.

Dari Kiara dua menuju Jampang kulon, masih menempuh jalan pebukitan yg sudah
mulai mendatar dan sebagian menurun, melewati kebun2 karet dan hutan alam. Siang
hari sekitar jam tengah hari, sampailah kita di kota Jampang kulon.

Saat istirahat siang di jampang kulon, kita makan siang di sebuah rumah makan
sederhana di dekat alun2 , tengah kota, walau menunya biasa saja, tapi terasa
nikmat karena memang lapar dan letih, segar sekali rasanya saat minum air Lahang
( air perasan pohon nira / aren ).

Alun-alun , berupa lapangan luas di tengah kota, adalah sebuah landscape alam yg
selalu kita temui pada kota2 di pulua jawa, biasanya di sekitarnya terdapat
kantor pemerintah, mesjid agung dan pasar.

Alun2 tsb nampaknya baru saja di renovasi, bangunan nya terbuka spt plaza,
lantainya ditutup keramik, tapi sekeliling nya dipagari tembok, selain itu juga
tanpa pohon peneduh, sehingga terlihat gersang dan terasa panas di siang hari ,
memang kelihatan indah, tapi jadi tak nyaman rasanya. Entah siapa arsitek nya,
tapi saya sering lihat model alun2 spt ini di beberapa kota kecil lain nya.
Mungkin akan lebih nyaman lapangan besar tersebut dikelilingi pohon2 teduh spt
beringin atau kiara misalnya seperti terlihat pada gambar kota2 di pulau jawa,
ketika jaman penjajahan belanda dulu.

Perancang kota Belanda dulu yg banyak merancang kota2 kita , sebenarnya telah
memberi contoh yg baik bagaimana membangun kota / gedung sesuai alam tropis
Indonesia, dimana biasanya alun2 berupa lapangan luas dg pohon2 besar yg rindang
sekeliling nya, fungsional, berteduh kala terik panas atau hujan dan juga indah.

Kalau kita amati saat ini, banyak juga bangunan dan landscape perkotaan lain
nya, di Indonesia yg terasa tak sesuai dg kondisi alam kita, yg tropis, mungkin
itulah dampak yg tak disadari karena banyak ahli bangunan / arsitek kita yg
belajar dg standar text book Negara maju ( Amerika / Eropa ) yg jadi acuan
pelajaran di perguruan tinggi , dan menganggapnya hebat, padahal tak sesuai dg
alam kita sendiri, lebih cocok bagi negara2 eropa/amerika yg subtropis empat
musim.

Demikian pula lah yg banyak berlaku saat ini, banyak orang2 pintar kita yg
belajar ke luar negeri, akhirnya membawa mentah2 ilmu dari sana dan meng agung2
kan nya, padahal belum tentu sesuai dg situasi dan kondisi kita di sini.

Selepas istirahat di Jampang kulon, kita melanjutkan perjalanan ke arah Surade,
dimana jalan mendatar dan cenderung menurun, karena memang telah mengarah ke
dataran rendah sampai tepi pantai di ujung genteng, di tepi2 jalan kita sudah
mulai banyak melihat pohon2 kelapa, yg tambah banyak.

Pantai selatan Jawa, memiliki kontur alam nya yg khas, dimana pada beberapa
tempat pantai langsung bertemu dg pebukitan, menimbulkan landscape alam yg
indah. Di sekitar Surade ada beberapa sungai yg mengalir deras di pebukitan,
sering digunakan pula untuk kegiatan arung jeram, selain itu terdapat pula
beberapa air terjun yg indah, antara lain di aliran sungai Cikaso.
Selepas jembatan sungai cikarang yg aliran airnya telah mendekati muaranya di
tepi laut, pohon kelapa semakin banyak, hembusan dan aroma laut pun mulai
merebak, dari kejauhan sayup2 mulai terdengar hempasan gelombang. Saya hapal
sekali dg aroma laut, hembusan angin dan suara hempasan gelombang nya, karena
waktu kecil pernah tinggal di kota Padang, dimana rumah tak jauh dari pantai.

Melintasi jalanan tersebut, jadi teringat dg lagu Rayuan Pulau Kelapa, lagu
wajib yg dulu sering dinyanyikan ketika sekolah.

“Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
reff:
"Melambai lambai , nyiur di pantai"

yang masih bisa kita rasakan saat ini , mungkin hanyalah bunyi syair "nyiur
melambai di tepi pantai" , sedangkan bagian syair "tanah air yg aman &
makmur", rasanya saat ini bagaikan impian yg makin menjauh saja. Impian ttg
Negara Indonesia yg kita dengar dan kita cita2 kan waktu SD dulu, rasanya hanya
jadi mimpi masa lalu…

Pohon kelapa yg berjajar di tepi jalan dan makin banyak , dg lambaian daun nyiur
nya yg tertiup angin laut, menandakan laut makin dekat , bunyi hempasan ombak di
tepi pantai pun mulai terdengar, alhamdulillah, akhirnya sampai jugalah
perjalanan jauh ini, spedo meter menunjukkan jarak tempuh sekitar 80 Km sejak
kita memulai perjalanan dari pantai pelabuhan ratu.

Pantai ujung genteng, berpasir putih dan di beberapa tempat tampak batu karang
menjulang dari tengah hempasan ombak. Sepeda pun dibawa sampai ke pantai,
ditidurkan di hamparan pasir putih, saya pun pergi ke sebuah batu karang besar
yg agak menjorok ke arah laut, yang juga ujung dari daratan ujung genteng, ujung
akhir dari perjalanan kita sejak menuruni pebukitan tinggi tadi

Saat duduk di atas batu karang tersebut merupakan sebuah pengalaman yg
mengesankan , di sebelah kanan dan kiri adalah bibir pantai dan di depan
terhampar samudra luas, kita bagaikan sedang berada di ujung dunia.
Sempat lama juga saya duduk bermenung diri di atas batu karang tsb, bayangkan
betapa kecilnya diri ini, di tengah keluasan samudra raya, betapa lemahnya kita,
menghadapi keperkasaan hempasan gelombang laut.

Terbayang pula, bahwa suatu saat kelak kita pun akan sampai ke ujung dari
perjalanan hidup ini, di hadapan akan terhampar pula "samudra" kehidupan yg
lebih luas lagi, alam akhirat, dimana kebanyakan orang takut dan tak tahu
menghadapi nya, bagai menghadapi samudra luas tak bertepi.

Hanya "pelaut' yg telah faham arah lah yg bisa mengarungi nya samudra tsb dengan
selamat.
Mau tak mau,perjalanan hidup kita akan mencapai ujung tepi akhirnya pula, entah
kapan dan dimana, namun akan menemui kita, marilah kita selalu bersiap diri,
agar tak menjadi orang yg menyesal atau tersesat.

Malamnya kita menginap di sebuah losmen kecil di tepi pantai, yang hanya
berjarak sekitar 10 meter dari bibir pantai, sehingga suara hempasan ombak dan
angin laut terasa sampai ke kamar kita.

Saat malam, ada seorang teman yg sulit tidur, ia bilang seandainya ada
gelombang tsunami menghantam, kita sudah nggak sempat lari kemana mana, sehingga
sepanjang malam pikiran nya penuh dg ketakutan, memang beberapa bulan yg lalu,
gelombang tsunami , menghantam pantai selatan jawa barat.
Syukurlah ketika bangun di pagi hari, kita masih aman2 saja.

Di losmen tsb, bertemu juga dg beberapa wisatawan asing yg sengapa datang utk
surfing di pantai tsb, yg ternyata telah terkenal juga ke berbagai penjuru dunia
sbg salah satu tempat surfing yg tinggi ombaknya. Saya sempat ngobrol2 panjang
juga dengan mereka tentang kegiatan surfing dan kegiatan wisata mereka secara
umum.

Ternyata bagi mereka dan orang2 dari Negara maju lain nya, sudah terbiasa
membuat planning dalam hidup mereka, setidaknya rencana tahunan, bahwa sekian
persen dari uang dan waktu mereka telah dipersiapkan jauh2 hari utk bepergian ke
berbagai tempat di penjuru dunia, positif juga untuk membuka wawasan hidup ini.
Karena itulah sering kita lihat turisme adalah sebuah kebiasaan mereka sejak
muda sampai tua bangka sekalipun, mereka senang berjalan keliling dunia .

Setidaknya ada bagusnya juga , lebih baik daripada sebagian kita yg bagai katak
dalam tempurung, tak pernah pergi jauh dan merasa cukup saja di tempat tinggal
sendiri, sehingga kurang berkembang pula wawasan hidup ini.

Setelah sempat ngobrol jauh dan diskusi dg mereka, tentang berbagai hal,
termasuk tentang kehidupan ini sendiri, saya sampai berpendapat bahwa bagi
mereka ( orang barat sekuler) hidup ini sederhana saja, cari uang-materi
sebanyak mungkin, terus menikmati hidup spt pergi berwisata keliling dunia, spt
pergi surfing jauh ke ujung genteng ini misalnya dan kegiatan2 lain untuk meraih
kenikmatan hidup, nampaknya itulah cita2 hidup sebagian mereka, menikmati
sepuasnya kehidupan ini.

Tak jauh dari tempat kita menginap, ada pantai yg dikenal dg nama Pangumbahan,
yang adalah tempat bertelurnya penyu raksasa yg termasuk hewan langka. Sebagai
informasi, penyu tak bertelur di sembarang tempat di dunia ini, ada beberapa
tempat tertentu seperti pantai daerah ujung genteng ini yg menjadi tempat mereka
bertelur. Sudah menjadi bagaikan suatu hukum alam sejak jaman dulu, bahwa
penyu2 tsb entah dari lautan mana asalnya akan bertelur di sana.

Penyu hanya bertelur setahun sekali, sekali bertelur cukup banyak, bisa 80 - 100
butir, resiko kehidupannya cukup tinggi pula , karena bisa jadi telur nya yg
ditetaskan di dalam pasir pantai dimakan binatang lain, atau anak2 penyu yg baru
lahir, ketika akan berenang ke laut dimakan ikan lain, sehingga hanya ada
sekitar 5-10 % penyu yg dilahirkan bisa hidup selamat sampai besar, yg suatu
saat kelak mereka akan kembali ke sana utk bertelur, entah bagaimana cara
navigasi mereka sehingga tak tersesat.

Ternyata saat ini ancaman paling besar berasal dari manusia, yg sering mengambil
telur penyu tsb , lebih banyak daripada yg diambil binatang lain yg hanya
mengambil sesuai apa yg bisa dimakan nya saja, manusia mengambil banyak bukan
hanya untuk dimakan sendiri tapi untuk dijual pula, sadarlah kita bahwa diantara
makhluk Allah, manusia adalah yg paling rakus dan perusak terhadap kelestarian
alam dan makhluk lain nya, walau pada sisi lain dikatakan manusia adalah yg
paling mulia pula.

Cerita tentang penyu tersebut menutup cerita perjalanan bersepeda kita, yg
penuh makna ini
semoga banyak pelajaran berharga yg bisa diraih,

foto2 indah perjalanan bisa di lihat di alamat website berikut :
http://hdmessa.multiply.com/photos/album/10

Hendra Messa