http://pungkyutami.multiply.com/
Berawal dari rencana
berlibur ke sebuah pulau kecil di ujung selatan pulau Sumatra yang dibatalkan
pada saat-saat terakhir, ide untuk berwisata ke Ujung Genteng tiba-tiba
terlintas sebagai gantinya. Berkat bantuan teman-teman saya yang bersusah payah
mengatur rencana dan mengumpulkan informasi tentang perjalanan ke sana,
pengalaman mengesankan tentang Ujung Genteng ini dapat saya tulis J.
Mengapa
Ujung Genteng?
Beberapa
minggu sebelumnya saya mendapat email dari seorang teman tentang acara wisata
yang diadakan oleh kelompok wisatawan “backpacker” ke suatu daerah bernama
Ujung Genteng. Walaupun namanya masih asing di telinga, namun agenda
perjalanannya sangat menarik, diantaranya berjalan-jalan ke pantai, mengunjungi
air terjun, dan melihat penyu bertelur!!!! Sayangnya, begitu saya menghubungi
penyelenggara kegiatan, pendaftaran peserta sudah ditutup L,
padahal saya sudah terlanjur mengajak teman-teman kantor untuk ikut serta.
Wisata ke Ujung Genteng mungkin akan diadakan sekitar 2 bulan lagi, itu yang
dikatakan oleh penyelenggara acara. Walaupun sedikit kecewa, namun sempat
terlintas ide untuk mengatur sendiri perjalanan ke Ujung Genteng dalam waktu
dekat bersama teman-teman kantor, meskipun sejujurnya, tidak ada bayangan
sedikitpun tentang tempat yang akan dituju. Singkat cerita,
Ujung Genteng sudah terdaftar dalam benak saya sebagai tujuan liburan suatu hari
nanti, entah kapan.
D
ua hari sebelum rencana keberangkatan, sahabat saya yang mengatur rencana
perjalanan bersama seorang teman menjadwalkan keberangkatan dari
Jakarta
pada hari Jum’at pagi. Kami berempat berangkat dari
Jakarta
menuju Ujung Genteng, yang terletak
di sebelah selatan
kota
Sukabumi, tepat di ujung, sekitar 500 km dari
Jakarta
. dengan menggunakan kendaraan Toyota Avanza pada pukul 10.30
pagi. Perjalanan Jakarta – Ciawi – Cicurug – Cibadak – Jampang Kulon –
Pelabuhan Ratu - Surade – Ujung Genteng kami tempuh dalam
waktu 9,5 jam. Normalnya perjalanan tersebut dapat ditempuh dalam waktu 6 jam,
namun kami seringkali berhenti di beberapa tempat untuk melihat pemandangan alam
yang fantastis, diantaranya adalah semburat pelangi yang besar dan sangat indah
di sepanjang perjalanan antara Jampang Kulon dan Surade serta pemandangan sawah
hijau dengan latar belakang laut selatan Pelabuhan Ratu yang berkilau tertimpa
cahaya matahari sore.
Perjalanan
kali ini cukup nekat karena kami hanya mengandalkan selembar peta dan informasi
tentang penginapan yang ada di sekitar daerah tersebut. Pada
pukul 19.30, akhirnya kami tiba di Ujung Genteng. Setelah bertanya pada penduduk
sekitar mengenai lokasi penginapan terdekat, kami melanjutkan perjalanan. Di
luar dugaan, kondisi jalan menuju penginapan berbatu-batu, sempit dan gelap
dengan sisi kiri kanan jalan dipenuhi ilalang dan tumbuhan liar. Perjalanan
mencari penginapan ini serasa tak berakhir karena kami tak kunjung menemukan
ujung jalan yang sepi dan gelap ini. Sayup-sayup terdengar suara ombak dan
ternyata di sebelah kanan jalan yang kami lalui adalah pantai Ujung Genteng.
Sampai akhirnya, dari kejauhan terdengar suara ramai orang-orang dan cahaya
lampu yang berasal dari kendaraan – kendaraan yang lalu lalang di sekitar
penginapan “Pondok Hexa”.
Tak
disangka, pada saat yang sama, rombongan Bupati Sukabumi sedang berkunjung ke
Ujung Genteng. Tidak heran, kami kesulitan mencari penginapan karena hampir
semua penginapan yang ada dalam daftar kami sudah penuh disewa oleh rombongan
bapak Bupati. Setelah berputar-putar melihat penginapan lainnya, kami
memutuskan untuk menyewa losmen kecil yang letaknya tak jauh dari Pondok Hexa.
Dengan harga dua ratus
lima
puluh ribu rupiah untuk dua malam, kondisi losmen “Deddy” yang berdinding
bilik dengan dua kamar dan satu kamar mandi itu tidak begitu buruk. Setelah
menemukan penginapan, tujuan selanjutnya adalah mencari tempat makan. Mobil
bergerak meninggalkan penginapan, menyusuri kembali jalan sempit yang gelap.
Jalan yang kami lalui mengingatkan saya pada
medan
balap motor trail karena kondisinya yang sempit, bergelombang dan diapit oleh
tanaman liar di sisi kiri dan kanan. Setelah beberapa saat kami menjadi pengguna
tunggal jalan tersebut, mulai tampak beberapa buah motor dan mobil melintas, dan
penduduk sekitar yang berjalan kaki beramai-ramai. Salah seorang teman kami
menyebut mereka dengan istilah “pemuda-pemudi lokal”. Semakin
dekat dengan tempat tujuan, suara ramai semakin jelas terdengar. Apa yang
selanjutnya ada di depan mata saya sungguh mengejutkan, sebuah pasar malam di
suatu tempat di ujung selatan pulau Jawa! Suasana malam itu cukup ramai, aneka
barang dagangan digelar, ditambah lagi dengan adanya arena permainan komedi
putar. Warung
remang-remang dan warung biliar tampak di beberapa sudut, bersebelahan dengan
warung nasi dan kedai mie instan. Kami memutuskan untuk makan malam di sebuah
warung makan yang menjual ikan bakar. Menu kami malam itu terdiri dari sepiring
nasi dengan ikan kerapu bakar, sambal kecap, dan segelas es kelapa. Setelah
kenyang, kami berjalan-jalan sebentar melihat keramaian pasar malam, dan
kemudian beranjak pulang, karena keesokan harinya kami harus pergi pagi-pagi
untuk menyaksikan matahari terbit. Dalam perjalanan pulang, orang – orang
semakin banyak berdatangan ke arena pasar malam, dengan tujuannya masing-masing.
Setibanya di losmen, hal pertama yang dilakukan adalah mandi dan kemudian tidur!
Keesokan
harinya, saya terbangun pukul
lima
pagi dan segera mandi. Air yang dingin dan segar mengingatkan saya akan suasana
pagi di
kota
Bandung
tercinta. Setelah kami berempat siap, pukul 5.30 pagi kami meninggalkan losmen
ditemani seorang pemuda setempat yang direkrut sebagai “guide” dadakan
selama kami tinggal di sini. Tujuan pertama adalah pantai
Sunrise, yang terletak di sebelah timur Ujung Genteng, dimana pemandangan
indahnya dapat dinikmati pada saat matahari terbit. Saya sempat terkagum-kagum
menyaksikan burung elang terbang dengan gagah melintasi langit pagi itu. Tempat
selanjutnya adalah pantai Ujung Genteng, yang semalam sempat kami lalui dalam
perjalanan mencari makan malam. Pada pagi hari, pemandangan di pantai ini indah
sekali, teduh, dengan awan putih berarak membentuk garis abstrak yang sempurna
di langit pagi yang bersih. Di sebelah kiri pantai terdapat sebuah dermaga tua
dan cagar alam Ujung Genteng tampak dari kejauhan. Saya bermain-main di air dan
berjalan menuju padang lamun yang terhampar di bawah air, sementara tiga orang
teman lainnya asyik dengan kegiatannya masing-masing. Pada saat saya berada di
tengah padang lamun, tiba-tiba mata saya menangkap ada seekor ular (setidaknya
itu yang ada dalam pikiran saya ketika melihat binatang air tersebut) di
tengah-tengah lamun. Saya
mulai panik dan memanggil teman saya yang berdiri di bibir pantai. Ia bergegas
menyuruh saya untuk bergerak perlahan meninggalkan padang lamun tersebut dengan
langkah hati-hati agar tidak mengusik ketenangan binatang yang diduga adalah
ular laut. Saat itu juga kami memutuskan untuk naik dan memilih untuk
berjalan-jalan di sepanjang garis pantai saja. Di sepanjang pantai, kami
menemukan beberapa kulit kerang dan cangkang binatang laut lainnya. Sejak
perjalanan saya ke suatu pulau indah di ujung barat pulau Sumatra beberapa waktu
lalu, saya menjadi tertarik untuk mengumpulkan aneka cangkang binatang laut.
Terlebih lagi karena saya bersahabat dengan orang mempunyai pengetahuan sangat
baik tentang laut dan isinya, saya semakin tertarik dengan ekosistem laut dan
biotanya.
Kurang
lebih pukul sembilan pagi, setelah puas bermain di pantai Ujung Genteng, kami
kembali ke losmen untuk mandi dan makan pagi. Setelah
menyantap mie instan dan teh manis hangat, kami berangkat menuju Curug Cikaso.
Perjalanan ke Curug Cikaso ini membutuhkan waktu kurang lebih satu jam lima
belas menit, mengambil rute yang sama pada waktu kami menuju Ujung Genteng,
hanya saja saat ini kami berada pada arah sebaliknya. Jalan menuju Curug Cikaso
ini relatif berliku namun kondisi jalan terbilang baik sehingga tidak begitu
menyulitkan, kecuali pada bagian akhir perjalanan, dimana jalannya mulai
berbatu-batu. Di sepanjang jalan menuju Curug Cikaso, mata kami puas memandang
hamparan sawah yang hijau dan berundak lengkap dengan pohon kelapa,
orang-orangan sawah, saung petani, petani dan kerbau yang sedang membajak sawah.
Pemandangan serupa juga kami temukan di sepanjang jalan menuju Ujung Genteng,
dimulai dari daerah Jampang Kulon. Saya teringat pelajaran
yang diberikan pada saat duduk di bangku sekolah dasar, bahwa Indonesia ini
negeri yang indah permai loh jinawi, dan hal itu memang benar adanya. Tidak
heran kalau kami berempat tak henti-hentinya berdecak kagum setiap kali melihat
pemandangan yang kami temukan selama perjalanan. Perjalanan ke Curug Cikaso ini
dilanjutkan dengan menyewa perahu yang membawa kami menyeberangi sungai Cikaso
yang lebar. Pemandangan sepanjang sungai inipun tidak kalah menarik, benar-benar
indah! Begitu perahu merapat, terdengar suara gemuruh air terjun, kamipun sampai
di Curug Cikaso. Curug ini, yang dalam bahasa Sunda berarti air terjun,
mempunyai tiga buah air terjun yang sangat indah. Deretan air terjun ini
mengalir membentuk kolam bening berwarna hijau muda dan selanjutnya mengalir
melewati bebatuan menuju ke sungai Cikaso. Puas berfoto –foto dan bermain di
bawah air terjun, kami mengakhiri kunjungan dan melanjutkan perjalanan ke Tanah
Lot Amanda Ratu pada pukul 11.00. Amanda Ratu adalah penginapan yang paling
mewah di kawasan Ujung Genteng. Di sepanjang jalan masuk menuju Amanda Ratu,
tampak barisan pohon kelapa dan sekelompok sapi yang sedang merumput. Hari itu,
ada acara yang juga dihadiri oleh bapak Bupati di hotel Amanda Ratu. Menurut
informasi dari pemandu kami, ternyata hari ini bertepatan dengan perayaan hari
nelayan yang berlangsung satu tahun sekali. Tidak heran, Ujung Genteng tampak
lebih meriah dari yang kami bayangkan sebelumnya. Menurut penduduk sekitar, pada
hari-hari biasa, bahkan malam minggu sekalipun, kawasan Ujung Genteng ini
terbilang sepi, namun apa yang kami lihat selama kami berada disana sangat jauh
berbeda. Perjalanan kami kali ini memang sangat menyenangkan dan kami merasa
beruntung telah datang di saat yang tepat. Di tengah-tengah barisan pohon kelapa
tersebut, terdapat rumah-rumah dan beberapa peralatan sederhana. Dari
penjelasan sang pemandu, ternyata rumah itu ditempati oleh petani gula kelapa.
Sayang sekali, kami tidak sempat mampir sebentar untuk menikmati gula kelapa
langsung dari pohonnya L.
Apabila lain waktu saya berkesempatan untuk berkunjung kesini lagi, saya tidak
akan melewatkan kesempatan mencicipi kelapa muda dan gula kelapanya. Kawasan
hotel Amanda Ratu terletak di pertemuan muara sungai dengan Laut Selatan, yang
mempunyai ciri khas ombaknya yang ganas dan tidak mempunyai pantai karena
langsung berhadapan dengan laut dalam. Di tengah-tengah pertemuan muara sungai
dan laut tersebut terdapat karang yang menyerupai Tanah Lot di Bali. Kami
tak henti-hentinya mengagumi ombak yang menghempas karang dengan keras. Laut
Selatan memang terkenal dengan ombaknya yang indah namun ganas.
Menjelang
pukul satu siang, kami pulang untuk makan siang dan bersiap-siap dengan agenda
berikutnya, Batu Besar, Pantai Cipanarikan, dan Pantai Pangumbahan. Makan siang
kami kali ini terdiri dari ikan bawal dan cumi bakar plus sambal kecap dan
segelas es kelapa…hmmm…lezzaatt J.
Kami makan siang sambil mengamati keramaian yang sekarang semakin riuh karena
adanya kereta keliling yang melintas di jalanan sepanjang area pasar malam.
Kurang lebih pukul 14.30, dengan menggunakan empat buah ojek, kami memulai
perjalanan ke pantai Batu Besar, yang terkenal di kalangan peselancar karena
ombaknya yang indah. Di kawasan Ujung Genteng ini banyak terdapat pantai yang
digemari peselancar karena keindahan ombaknya, diantaranya pantai Ombak Tujuh
dan pantai Batu Besar. Pada kunjungan kali ini, kami tidak sempat mengunjungi
Ombak Tujuh karena keterbatasan waktu, namun kami berkesempatan menikmati Batu
Besar yang juga tidak kalah menarik. Perjalanan menuju ke Batu Besar ditempuh
melalui jalan setapak yang kecil selama kurang lebih 10 menit. Pada saat kami
tiba di pantai, ada beberapa peselancar, dua orang diantaranya berkebangsaan
Jepang yang sedang mengamati ombak dan bersiap-siap untuk memamerkan
keahliannya. Tepat seperti yang dikatakan oleh pemandu kami, ombak di Batu Besar
ini indah, bergulung tinggi dan berwarna hijau terang, selain itu pantainya juga
bersih dan alami. Tak lama kemudian, kami segera bergegas menuju pantai
Cipanarikan karena tak ingin melewatkan pemandangan saat matahari terbenam.
Perjalanan menuju Muara Cipanarikan ini relatif lebih sulit dan lama
dibandingkan dengan perjalanan ke Batu Besar. Ojek-ojek kami melaju menembus
jalan-jalan setapak yang kecil, melewati sekumpulan sapi-sapi besar dan kecil
yang sedang digembalakan oleh petani, meniti jembatan kayu yang sempit, tanah
becek, dan padang ilalang. Akhirnya, kamipun tiba di suatu pelataran bangunan
kosong. Rupanya perjalanan ke Muara Cipanarikan harus dilanjutkan dengan
berjalan kaki. Kami berjalan melewati kebun bakau dan melihat banyak
lubang-lubang besar di tanah. Tadinya saya kira itu adalah lubang semut, tapi
ternyata dugaan saya salah. Lubang itu adalah lubang kepiting besar, yang sempat
saya lihat sedang bersembunyi di salah satu lubang. Setelah melewati kebun, kami
masuk ke area yang berbukit, sampai akhirnya pantai Cipanarikan yang indah
tampak di hadapan mata kami. Pemandu kami menjanjikan akan
menjemput kami pada pukul setengah enam sore, setelah matahari berangsur-angsur
terbenam. Selama 1,5 jam, kami bermain di pantai Cipanarikan. Pada saat itu,
tidak ada siapapun kecuali kami berempat yang ada di pantai tersebut. Setelah
puas berkejar-kejaran dengan ombak, berlari-lari, saya duduk di tepi pantai
mengamati laut luas dan ombak yang bergulung-gulung. Alangkah luas dan indahnya
dunia ini, dan betapa kecilnya kita, manusia, dibandingkan dengan alam semesta
ciptaan-Nya, subhanallah…
Berada
di Pantai Cipanarikan ini serasa berada di suatu tempat yang maha luas, sunyi,
indah, namun juga sedikit menakutkan bagi saya, karena jauh dari permukiman
penduduk. Walaupun
begitu, saya tetap dapat menikmati keindahan di tempat ini. Tak terasa, matahari
mulai terbenam, namun bias cahayanya sedikit tertutup oleh awan. Kami memutuskan
untuk segera pergi dari pantai Cipanarikan sebelum hari gelap. Tepat pukul 18 :00,
kami tiba di tempat penangkaran penyu di Pantai Pangumbahan untuk melihat penyu
bertelur. Kami berempat memutuskan untuk menunggu di pantai karena menurut
petugas di sana, jika beruntung, penyu baru akan naik ke pantai sekitar pukul 8
malam, seperti malam-malam sebelumnya. Sambil menunggu, kami berbaring di pasir
sambil menatap langit dan bulan separuh. Bintang-bintang perlahan mulai
menampakkan kerlipnya di langit malam. Saya suka sekali mengamati bintang di
langit, namun ini kali pertama saya memandang bintang seraya tidur berbaring di
atas pasir di pantai. Benar-benar hal yang menakjubkan J.
Selama 3,5 jam kami menunggu sampai akhirnya petugas penangkaran memanggil kami
ke tempat penyu bertelur. Rupanya satu ekor penyu telah menemukan tempat untuk
bertelur. Perlu diketahui bahwa penyu-penyu ini tidak jadi bertelur dan bahkan
kembali lagi ke laut apabila melihat cahaya, mendengar suara gaduh yang
menimbulkan rasa tidak aman baginya. Oleh karena itu, penggunaan lampu blitz,
senter dan cahaya yang berlebihan dilarang.
Ketika
kami tiba di tempat penyu tersebut bertelur, saya melihat ia mengeluarkan
telurnya yang terakhir, kemudian induk penyu menutupi telur-telurnya dengan
tanah secara perlahan. Jumlah telurnya kurang lebih mencapai 80 – 100 buah,
dan induk penyu yang bertelur itu berukuran cukup besar, dengan panjang kurang
lebih 1 meter (menurut petugas, masih ada penyu yang berukuran lebih besar
daripada penyu yang baru saja kami lihat !!). Setelah
puas mengamati sang induk, saya melemparkan pandangan ke sekeliling. Dari arah
laut, tampak seekor penyu berjalan perlahan kearah pantai untuk mencari tampat
bertelur. Namun karena pada saat itu cukup banyak orang dan menimbulkan suara
gaduh, penyu tersebut berbalik arah kembali ke laut L…
Kami
beranjak pulang dari pantai Pangumbahan dengan perasaan senang karena berhasil
melihat penyu bertelur, suatu kesempatan yang langka dan menarik. Menjelang
pukul 23:00, kami tiba di kawasan pasar malam. Sedianya kami ingin mencari makan
malam di tempat yang sama, yaitu warung ikan bakar pak Gundul, namun arus lalu
lintas menuju tempat makan tersebut bukan main padatnya, puluhan bahkan ratusan
motor bercampur dengan orang –orang yang lalu lalang membuat ojek kami sama
sekali tidak dapat bergerak. Kami terjebak di tengah – tengah keramaian.
Akhirnya, kami memutuskan untuk berbalik arah dan mencari rumah makan yang tidak
begitu padat. Selesai makan malam, kami segera kembali ke
losmen, mandi, dan langsung tidur pulas karena kelelahan.
Kami
berencana untuk kembali ke Jakarta pada hari minggu pagi sehingga masih punya
waktu beristirahat setibanya di Jakarta. Setelah bersiap-siap dan pamit pada
pengurus losmen, kami bertolak pada pukul 6.45. Rute yang kami tempuh dalam
perjalanan kembali ke Jakarta kali ini adalah melalui Pelabuhan Ratu, karena
kami berencana untuk makan pagi di Pelabuhan Ratu apabila waktu memungkinkan.
Perjalanan pulang melalui Pelabuhan Ratu ini melewati perkebunan teh, perumahan
penduduk, dengan kondisi jalan yang relatif lebih baik dibandingkan kondisi
jalan pada saat kami berangkat. Dalam waktu kurang lebih 2,5
jam kami tiba di Pelabuhan Ratu. Kami melintasi tempat pelelangan ikan, dan
pelabuhan kapal-kapal nelayan, sampai saya melihat papan penunjuk jalan yang
menyebutkan nama daerah Cisolok, sekitar 16 km dari Pelabuhan Ratu. Saya
langsung teringat percakapan dengan atasan saya di kantor yang mengatakan bahwa
pemandangan sepanjang Cisolok sangatlah indah. Saya mencoba mengusulkan untuk
menyusuri Cisolok yang disambut baik oleh teman –teman dengan pertimbangan
bahwa jarak 16 km tidak akan menjadi masalah apabila kondisi jalannya bagus.
Alhasil, kami menyusuri jalan raya Cisolok dan memang benar, pemandangan
sepanjang jalan yang kami lalui sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.
Pemandangan sawah yang hijau, permukiman penduduk dengan latar belakang garis
pantai yang meliuk-liuk dan air laut yang berwarna hijau kebiruan ditingkahi
ombak yang bergulung-gulung benar-benar mengesankan. Perjalanan dilanjutkan ke
pantai wisata Cibangban yang juga indah, walaupun pasirnya berwarna hitam.
Penduduk di sekitar pantai Cibangban suka melakukan penambangan emas secara
tradisional apabila hasil panen mereka tidak memuaskan.
Perjalanan ke
pantai Cibangban mengakhiri acara wisata kami kali ini. Kami langsung pulang
menuju Jakarta dengan membawa pengalaman wisata yang sangat berkesan bagi saya,
khususnya. Selama perjalanan ini, begitu banyak hal indah yang kami nikmati dan
tidak dapat lagi kami peroleh di kota besar. Sungguh
suatu pengalaman yang sangat menarik dan mengesankan.
Informasi
penting:
Alternatif
penginapan selama di Ujung Genteng
-
Pondok
Hexa, dengan harga berkisar 350.000/malam untuk menyewa rumah dengan 2 kamar
-
Losmen
Deddy, dengan harga 125.000/malam untuk rumah dengan 2 kamar
-
Mamas
Losmen, 250.000/malam untuk menyewa rumah dengan 2 kamar.
Alternatif
rumah makan di Ujung Genteng
-
warung
nasi “Mandiri”
-
warung
ikan bakar “Pak Gundul” (es kelapa mudanya enak)
pungky