http://amorphati.multiply.com/journal/item/23/Ujung_Genteng_negerinya_Pak_Ojek
Berawal
dari liburan akhir minggu yang dimulai sejak hari Jumat, saya pun didera
kebingungan yang mendesak. Alasan untuk pulang ke Yogyakarya baru berkumpul dan
mencukupi di saat-saat akhir dimana saya sudah tidak bisa mendapatkan tiket
kereta lagi. Sebenarnya, di saat kemudian, saya sudah punya rencana cadangan,
yakni menyaksikan pertunjukan musik underground di daerah Pondok Kopi.
Seorang kawan pun sempat menawarkan sebuah paket jalan-jalan ke Kota Lama,
mengunjungi Museum Fatahilah dan bangunan-bangunan kolonial yang gaya
arsitekturalnya memang selalu menggoda saya. Namun di Kamis siang, Owie, sahabat
saya, menelpon, menawarkan Ujung Genteng, Sukabumi, sebagai alternatif liburan.
Saya pun segera saya meng-iya-kannya. Dan selepas senja yang merahnya semakin
tenggelam, meluncurlah saya di sela-sela himpitan kendaraan yang berjejal
sepanjang perjalanan Serpong-Pancoran.
Telah
lewat dari jam 10 malam ketika saya memacu sepeda motor Honda yang kecepatannya
tidak mampu melewati 100 km/jam dengan Owie di belakang yang menjinjing 2 tas
besar. Tujuan kami adalah Bogor.
Jatah
Preman
Sekitar jam setengah 8 pagi, kami meninggalkan rumah kontrakan Fier, di
bilangan Bukit Cimangu City. Kami adalah saya sendiri dan Owie yang semalam
telah berhasil sampai di Bogor sebelum tengah malam, lalu ada Riwi, Vivi dan Jim
yang telah terlebih dahulu berada di Bogor beberapa jam sebelum saya dan Owie,
dan tentu saja Fier sebagai tuan rumah dan tempat transit kami,
pelancong-pelancong dari Jakarta ini.
Perjalanan kami dimulai dengan tujuan pertama Terminal Bogor. Rute yang
seharusnya kami tempuh adalah Terminal Bogor-Terminal Dengung
(Sukabumi)-Terminal Lembur Situ (Sukabumi)-Terminal Surade (Sukabumi)- Ujung
Genteng. Di Terminal Bogor, kami menjumpa angkutan yang bersedia berimprovisasi
mengubah jalur minibusnya dari Bogor sampi ke Terminal Lembur Situ langsung,
tentu saja tidak dengan sukarela melainkan dengan ongkos khusus. Hanya Jim yang
telah pernah ke Ujung Genteng sebelumnya, dan ternyata dia pun tidak membutuhkan
waktu lebih lama dibandingkan kami yang lebih awam untuk sekadar memutuskan
menggunakan angkutan tersebut untuk menggapai Sukabumi, meskipun ternyata kelak
ongkosnya sedikit lebih mahal, namun masing-masing dari kami cukup lihai saling
menipu untuk berlagak menikmatinya sebagai bagian sebuah perjalanan. Perjalanan
ini sangat tidak nyaman buat saya. Jim, Owie dan Riwi duduk di kursi belakang
bersama beberapa tas. Sengaja kami membayar 4 kursi paling belakang, mengingat
bagasi mobil tidak bisa digunakan untuk menyimpan tas-tas kami, sehingga
membutuhkan satu kursi ekstra untuk meletakkannya. Saya sempat bertanya-tanya
apakah ini strategi pemilik angkot atau memang kegamangan pemilik untuk merawat
kendaraannya, maklum ini kan angkutan massa, jadi minimalisasi perawatan itu
menjadi salah satu syaratnya kan? Tapi itu tidak cukup membuat saya menghabiskan
banyak energi untuk memikirkannya, saya hanya terganggu pada langit-langit
angkot ini yang begitu rendah, sehingga andai saya tidak sedikit membungkukkan
tulang belakang, kepala saya akan bersentuhan langsung dengan atap.
Hal yang menarik sepanjang perjalan selama sekitar 2 jam ini adalah bahwa
kami harus menjadi kontributor terhadap hidupnya premanisme. Mengapa bisa
demikian? Di beberapa kesempatan, kernet angkot kami memberikan uang jatah
preman kepada preman-preman yang memalaki kendaraan kami di beberapa tempat.
Preman-preman itu ada yang berseragam biru DLLAJ atau pun yang berbaju orang
kebanyakan, meskipun dengan tampang yang tidak kebanyakan. Sistem penguasaan
daerah oleh Ketua RT, RW, Kadus, Kades, Camat, dan seterusnya, ternyata tidak
berlaku di jalan. Di sini preman yang berkuasa dan ketika terdapat undang-undang
anti premanisme di negara ini, lalu kemudian siapa yang harus saya tuntut ketika
saya dipalaki preman berseragam biru?
Owie dan Riwi sudah tertidur di kursi belakang. Di antara mereka berdua
tampak Jim sedang mereka ulang gambaran Ujung Genteng yang akan kembali dia
datangi untuk kedua kalinya. Di samping saya, Fier tengah mempersiapkan perayaan
atas keberhasilannya meninggalkan kantor, dimana seharusnya dia masuk kerja pada
hari libur ini. Sementara di sebelah Fier, Vivi menerawang keluar jendela dari
balik kacamata hitamnya, berharap Ujung Genteng akan menjadi tempat yang cukup
seru dibandingkan dengan berbagai tempat yang telah dikunjungi sebelumnya. Saya
sendiri membaca koran kemarin tentang metoda ilmiah yang dikomparasikan dengan
pendekatan teologis dalam menyingkap sebuah penemuan kuburan. Gila!
Terminal
Sebelum jam 11 siang, kami telah sampai di Terminal Surade (Sukabumi),
tepatnya di depan terminal, berhubung angkot yang kami tumpangi tidak selayaknya
masuk terminal tersebut. Di depan terminal, kami menyerbu toko kelontong di
seberang pintu masuk terminal untuk belanja logistik, mengingat kami belum
sempat membeli ransum untuk keperluan bersama. Keperluan berbelanja memang cukup
mendesak karena Owie telah membela-belakan diri membeli dan membawa serta kompor
gas merk Trangia seharga ratusan ribu rupiah khusus untuk liburan kali
ini. Dan sayang kalau kita tidak membawa mie instant atau kopi yang akan
menggunakan jasa kompor gas tersebut untuk ikut berperan serta membuatnya
menjadi siap saji.
Sebenarnya nasi uduk tadi pagi masih bersemayam dengan nyaman di lambung
saya. Usus-usus saya pun tidak begitu emosional ketika lambung saya berlama-lama
memeram nasi uduk tersebut. Tapi ternyata teman-teman mengajak makan di terminal
tersebut. Saya cukup enggan pada awalnya, namun ketika Jim bilang, “Perjalanan
kita nanti akan lama, mendingan kita makan dulu di sini”, maka saya pun
terbujuk untuk ikut makan, meskipun seperti biasanya, tidak pernah habis.
Kami meninggalkan warung Ibu Nenah ketika matahari benar-benar
telah segaris lurus dengan arah vertikal tubuh saya. Dengan dikawal calo yang
sudah menunggui kami di warung makan, kami pun menuju minibus Elf yang
kelak akan membawa kami ke Ujung Genteng.
Setelah meletakkan tas-tas kami di bagasi belakang, kami segera saja
mengambil tempat di 2 lajur belakang minibus berwarna merah itu. “80%
lebih nyaman dibandingkan angkot terdahulu”, begitu komentar saya ketika
ternyata masih ada jarak yang cukup antara kepala dan langit-langit kendaraan
ini. Di kursi paling belakang ini duduk Owie di ujung paling kiri, disebelahnya
Jim memeras keringat yang mengembun dengan deras di kulit luarnya, di paling
kanan Riwi menyandarkan tubuhnya sambil bercium pipi dengan jendela, sementara
saya duduk di antara Jim dan Riwi. Di depan saya, Vivi segera saja menerawang
menembus kaca jendela di sebelah kanannya, sedang di kirinya, Fier masih mencari
metoda yang tepat yang akan digunakan untuk menikmati perjalanan ini.
Sekitar 10 menit setelah kami dipanggang dalam oven raksasa ini, sang
kondektur masuk dan mengabari bahwa angkot akan berangkat setelah sholat Jumat.
Saya pun segera melompat turun bergegas ke arah masjid yang persis di depan
kami. Saya mengambil air wudlu persis ketika para jamaah sudah berdiri untuk
mulai sembahyang. Ini adalah pengalaman pertama saya sembahyang Jumat dengan
cara yang benar-benar efisien!
Long
Way to Heaven
Setelah mengisi bahan
bakar, angkot kami melaju dengan gesit membelah pinggiran kota Sukabumi, mencari
jalan keluar meninggalkan kota. Ketika kemudian telah sampai ke batas kota, maka
perjalanan ini akan benar-benar sulit untuk dilupakan.
Kalau anda pernah ke Puncak, maka ini adalah semacam jalan menuju Puncak
juga, namun dengan lebar jalan yang separuhnya dan tikungan dua kali lipatnya
dan jarak tempuh yang bisa 3-4 kali jauhnya. Jalan menuju Ujung Genteng
benar-benar penuh dengan tikungan tajam, menanjak, dan lama. Namun yang lebih
parah adalah kondisi jalan yang telah rusak berlubang-lubang di sana-sini.
Kendaraan-kendaraan berat dan curah hujan yang tinggi adalah faktor penyebabnya
menurut saya. Beberapa kali Pak Acong, sopir angkot kami agak terlena dan tidak
mampu menghindari lubang aspal yang cukup dalam, sehingga para penumpang pun
terpelanting kesana-kemari. Sekali sempat kepala saya terantuk cukup keras ke
langit-langit, sementara kaki saya berdarah menghantam besi tempat duduk Fier.
Panjangnya perjalanan membuat kami sudah mulai terbiasa dengan keadaan
itu. Sembari mendekap tas berisi kamera yang cukup berat, Owie sudah bertamasya
ke alam mimpinya, demikian pun Riwi. Di sebelah saya, sembari sedikit
mencondongkan tubuhnya ke depan untuk menghindari terpaan tubuh Owie yang telah
kehilangan keseimbangan, Jim merasakan tekanan terhadapnya semakin berat ketika
perjalanan semakin mendekati tujuan, maklum dialah yang paling tahu tentang
Ujung Genteng, dan Jim pun merasa memiliki tanggung jawab untuk mamandu
teman-temannya. Meskipun dia sendiri tidak tahu apa yang dipikirkan
teman-temannya yang lain, termasuk saya. Fier agaknya sudah mulai tenang dari
eiphoria yang sempat melandanya, sementara Vivi mulai kelelahan mereka-reka
figur Ujung Genteng dengan banyaknya imaji tempat-tempat yang telah ia kunjungi
sebelumnya, yang tiba-tiba memenuhi rongga kepalanya. Kepalanya yang sudah
terbebat topi mulai lelah tersandar di jendela kanannya. Saya sendiri masih
berkutat dengan Asrul Sani, Pujangga Baru, dan omong kosong tentang gerakan
sastra.
Setelah serasa melalui perjalanan waktu bertahun-tahun lamanya, angkot
kami memasuki Terminal Surade, namun tidak untuk berhenti. Jenis angkot yang
dikemudikan Pak Acong ini memang melayani trayek langsung Sukabumi-Ujung
Genteng, bukan Sukabumi-Surade, atau Surade-Ujung Genteng. Hal tersebut pula
yang menyebabkan angkot ini pernah didemo ratusan angkot jenis lain yang tidak
melayani trayek terusan. Namun lagi-lagi aturan yang berlaku adalah aturan yang
dibikin sendiri, hanya tinggal sekumpulan massa dan sedikit modal keberanian,
maka selesailah semua masalah.
Perjalanan dari Surade ke Ujung Genteng membuat semua orang terjaga.
Jalan sudah tidak meliuk-liuk lagi, namun lelambaian nyiur di hutan kelapa yang
menyambut di sisi-sisi jalan memaksa saya merasa takjub sekaligus bodoh karena
selalu melupakan bahwa ada keindahan nyata di sekitar kita, bukan air mancur
artifisial Monas, bukan pula Clloseum di sebuah perumahan di Cibubur. Angkot pun
terus melaju, lebih pelan, menyisir Batu Namprak ke arah kampung Ci Buaya, Desa
Kelapa Condong, Gunung Batu, Ujung Genteng.
Sunset
yang Malu
Perjalanan selama lebih dari 8 jam dengan menempuh jarak lebih dari 200
km itu akhirnya menemui titik akhir juga. Di sebuah rumah penduduk yang kami
sewa dan telah diurus Jim sebelumnya, kami menyandarkan pantat-pantat kami yang
telah matang. Saya sendiri mengalami mual yang luar biasa. Ini tidak biasa, ini
luar biasa bagi saya. Satu-satunya hal yang bisa membuat perut saya mual adalah
salah makan. Saya telah melalui perjalanan yang jauh lebih berat, baik di darat,
laut, maupun udara, dan saya bukanlah orang yang pernah mengalami mabuk
perjalanan sebelumnya. Saya telah dengan segera menyalahkan warung Ibu Nenah
di Terminal Sukabumi sebagai kambing hitamnya.
Kami beristirahat sebentar, memesan kopi hangat di warung sebelah, dan
biskuit dari tas yang kami bawa pun menjadi temannya. Tiba-tiba Jim menyeruak
keluar, “Ayo!” Kamera sudah terkalung di lehernya, sementara threepot
sudah tergenggam erat di salah satu tangannya. Owie yang ikut duduk lesehan di
samping saya menyahutnya, “Ntar dululah Jim, istirahat dulu, lha wong
bokong masing panas begini”. Dan akhirnya kami pun semua duduk lesehan di
teras depan rumah sewaan itu, sambil minum kopi panas dan kacang yang dibawa
Fier.
Ketika jam telah berlalu dari 5 sore, Vivi pun mengambil posisi siap
jalan, diikuti Jim di belakangnya, dan tanpa komando kami pun beranjak
meninggalkan rumah menuju garis pantai yang jaraknya sekitar 150 m.
Jim dan Owie sudah begitu jauh di depan. Memasang threepot dan
kamera-kamera berlensa panjang di atasnya. Di belakang mereka Vivi dan Fier
menyibukkan diri dengan kamera ying-yang-nya. Dinamakan kamera ying-yang,
karena kamera mereka modelnya sama, hanya fasilitasnya sedikit beda, dan
warnanya ying-yang, hitam dan putih, Fier-hitam, Vivi-putih, maksud saya warna
kameranya. Riwi berusaha mengikuti mereka dengan sebatang Lucky Strike terselip
di bibirnya. Saya sendiri tidak terlalu bersemangat menembus garis pantai dan
memecah ombak yang pelan menyapu pasir. Pertama karena rasa mual yang sangat
masih menggelayut di perut saya. Kedua karena pantai ini jelek menurut saya.
Yah, jelek! Di sepanjang pantai hanya ada reruntuhan bunga karang yang
terpinggirkan oleh air laut. Pasir putihnya pun praktis tidak kelihatan sama
sekali karena tertutup bunga-bunga karang yang sudah hancur tersebut. Di bibir
pantai yang berciuman dengan air laut hanya terdapat karang-karang keras yang
membentuk laguna-laguna kecil berisi air laut yang lupa untuk ikut pulang
bersama kawanannya ke samudra lepas.
Dengan tergagap, Riwi melompat dari tidurnya ketika air laut hampir saja
menyentuh tubuhnya yang terlentang. Senja tidak lagi seindah di foto-foto dalam
kartu lebaran. Awan tebal menyelimuti matahari yang malu untuk pamit undur diri.
Saya sudah dari tadi berhenti mengumpulkan kenang-kenangan berupa cangkang
kerang maupun batu karang. “Nyamuknya banyak, ya?”, sapa Riwi yang
tiba-tiba telah duduk di samping saya. Sedari tadi saya memang telah memiliki
kesibukan tersendiri mengusiri nyamuk yang membabi buta. Setelah menghabiskan
dua batang rokok, akhirnya Owie, Vivi, Jim dan Fier benjalan gontai ke arah
kami, kecewa karena tidak berhasil membekukan senja.
Pada akhirnya saya memuntahkan isi perut saya maghrib itu. Tubuh saya
begitu lemah, hingga hidangan seafood yang kami pesan dari pemilik rumah sama
sekali tidak mampu menghidupkan hasrat saya untuk mencicipinya. Dari ikan laut
yang dibakar dan menghasilkan warna merah kecoklatan, hingga lobster-lobster
gemuk yang kulitnya sudah kering oleh minyak penggorengan, semuanya tersaji
begitu menggoda dalam nampan dan sebakul nasi hangat. Teman-teman sudah duduk
memutar. Saya sadar bahwa kalau saya tidak memasukkan apa pun ke perut saya yang
baru saja kosong, maka harapan saya untuk segera segar kembali menjadi lebih
tipis. Akhirnya saya pun memesan susu panas, minuman yang sangat saya benci!
Saya butuh tenaga, dan saya tidak bisa makan, maka logikanya adalah susu,
meskipun klausa itu sangat menyakitkan bagi saya. Sementara teman-teman
memperebutkan jatah lobster saya, saya pun beranjak ke tempat tidur, berselimut
sarung dan berusaha mengistirahatkan mata. Dan ketika teman-teman saya berangkat
ke Pangumbahan, lagi-lagi saya memuntahkan susu yang sempat saya harapkan
menjadi energi tubuh saya.
Catatan
perut:
Waktu
antara sesudah makan malam dan berangkat ke Pangumbahan, kita terlibat dalam
diskusi kecil. Burmula dari perhitungan biaya yang membengkak, akhirnya kita
berembug untuk mencari alternatif modus dalam menikmati liburan kali ini. Ongkos
ojek adalah pos terbesar uang kami mengalir, disamping penginapan tentunya.
Owie, Vivi, Jim, Fier dan Riwi terlihat begitu intensif membicarakan itu. Saya
benar-benar menikmatinya. Lho?
Jadi
sebelum berangkat ke Sukabumi, kepala saya sudah dijejali oleh Jostein Gaarder
dengan wacana-wacana filosofisnya, di saat yang hampir bersamaan, Umberto Eco
menyuguhkan paparan hyperealitas dalam kajian semiotika kebudayaan. Manusia dan
keunikannya menjadi tema sentral yang telah hampir sebulan memenuhi labirin otak
saya. Ketika kemudian saya diberi kesmpatan menyaksikan teman-teman saya
berbicara, berdebat, berpendapat dan berargumentasi, bacaan yang baru saya telan
itu telah membuka mata saya untuk bisa melihat keunikan manusia sebagai makluk
yang paling menajubkan. Bagaimana manusia berkarakter, berbudaya, bernorma dan
bernilai, dan begitu banyak awalan ber yang tidak akan pernah habis.
Saya
begitu nyaman mengonstruksi rekaan mozaik-mozaik entitas keberagaman dalam
sebuah imaji yang begitu mengesankan dalam pikiran saya. Namun ternyata saya pun
harus menyadari bahwa saya hanyalah manusia seperti teman-teman saya yang
mempunyai keunikan serupa yang salah satunya sakit perut. Akhirnya saya ikut
berbicara dalam area kecil itu untuk bisa pulang besok malam.
Dan
Penyu Hijau itu pun Menangis
Pantai Pangumbahan terletak tidak begitu jauh dari penginapan, mungkin
hanya sekitar satu kilometer. Para tukang ojek sudah mulai gelisah menunggu kami
yang masih belum memutuskan kelanjutan esok hari. Dan seorang diantanya tampak
begitu kecewa ketika mengetahui bahwa saya tidak ikut serta ke Pangumbahan malam
itu, itu artinya dia tidak mendapat uang sebagai ganti ongkos ojek saya.
Sekitar jam 10 malam, rombongan kecil ini berangkat menyingkap gelap
malam di atas jalanan berpasir. Mengusir kantuk yang dibawa lobster-lobster
berlemak dalam aliran darah yang kian melambat. Sampai di desa Pangumbahan,
ternyata di tepi pantai, dimana para penyu menitipkan darah dagingnya, telah
terbangun instalasi yang secara khusus mengurusi telur-telur penyu ini. Beberapa
tong besar berwarna kuning tampak berjajar untuk menampung telur-telur yang
telah ditinggalkan penyu di dalam pasir. Hanya sebagian saja dari telur-telur
ini yang ditetaskan karena pengelolaan telur yang diserahkan kepada swasta
menyebabkan sebagian lagi--dengan prosentasi yang semakin timpang—dijual
ke pasar. Bahkan peraturan daerah setempat yang ada menetapkan standard harga
jual telur penyu, yaitu 1000 rupiah per butirnya.
Di pantai tenyata telah berkumpul puluhan orang yang bergerombol dalam
lingkaran tak beraturan. Beberapa jongkok, beberapa diantaranya berdiri
mengambil jarak. Kelima sekawanan itu menghambur mendekati arena, dan ternyata
seekor penyu hijau dengan panjang lebih dari 1 m tengah berkubang di cekungan
pasir, berusaha keras mengeluarkan telur-telur dari rahimnya. Kesakitan yang
luar biasa terpancar begitu rupa dari penyu ini. Beberapa bulir air matanya
menetes dan lenyap dengan cepet ditelan pasir kasar pesisir selatan ini. Ketika
batas tipis kesadarannya mulai tampak jelas, ketegangan di raut penyu itu mulai
sirna. Kerut-kerutnya terlihat semakin jelas menyongsong ombak laut yang siap
menghadang.
Owie segera saja mengambil kuda-kuda siap membidikkan kameranya sebelum
seorang penjaga mencegahnya, “Maaf Mas, tidak boleh memotret saat
bertelur, nanti kalau sudah selesai .. dan tolong jangan bakai lampu blitz, ya”.
Rasa kecewa tidak saja dialami Owie, tapi teman-teman yang mendengar pun
terjangkiti perasaan serupa. Akhirnya mereka pun ikut tertegun bersama puluhan
orang yang telah kecewa sebelumnya, menyelidik seekor penyu hijau yang tengah
meregang nyawa.
Setelah hampir satu jam, penyu itu mulai mengibas-kibaskan tangannya ke
pasir, itu tandanya dia telah selesai mengeluarkan semua telurnya. Puluhan
kamera pun mengeluarkan suara ‘klik’ berkali-kali mencoba
mengabadikan peristiwa tersebut. Sejujurnya para fotografer ini hanya
mengandalkan cahaya malam yang begitu redup, bahkan dengan memicingkan pupil
mata sebesar-besarnya, tetap saja mereka hanya menaruh harapan pada kemampuan
kamera yang akan memperlihatkan hasil penantian mereka di produk akhirnya kelak.
Dan secara perlahan, penyu besar itu mengais pasir menuju lautan lepas untuk
kembali ke dunia yang lebih beradap.
Air
Terjun Cikaso
Sisa sisa kantuk masih membayang di wajah Vivi, ketika dia keluar
penginapan dan menjumpa saya yang tengah meminum secangkir kopi di teras depan
rumah. Jam memang sudah hampir 8 pagi, namun perjalanan kemarin memang cukup
melelahkan bagi teman-teman, apalagi sudah hampir tengah malam ketika mereka
kembali dari Pangumbahan. Dengan segera tubuhnya mengilang ke arah pantai, tentu
saja dengan kamera yang sudah ditentengnya. Tidak berapa lama Jim keluar dan
menyusulnya, mencoba membasuh lelah dengan bersiram cahaya pagi di atas karang
pantai. Owie dan Fier bergabung bersama saya kemudian, di teras rumah. “Piye
Cep? Wis mari?” (Bagamana keadaanmu, Cep? Sudah Sembuh?), begitu
selorohnya. Saya harus jujur bahwa kondisi badan saya semakin melemah, namun
meskipun begitu saya siap melakukan perjalanan hari ini. “Ayo!”
Kami telah memberesi tas dan bawaan kami, karena sebelumnya kami telah
memutuskan untuk pulang malam ini. Tukang ojek telah menunggu kami di halaman
depan penginapan. Sekitar jam 10 pagi kami pun siap menghabiskan hari menuju
Cikaso. Sebelumnya kami membereskan dulu pembayaran penginapan dan hal-hal yang
menyertainya. Meski begitu raut kecut masih nampak pada muka ibu pemilik
pondokan ini ketika kami pamit. Usut punya usut, rupanya kami belum membayar
jasa masak ibu tersebut. Dan ketika kesalahpahaman itu sudah kami perbaiki, maka
dimulailah perjalanan ke Cikaso.
Jalan menuju ke Cikaso mungkin menjadi hal yang eksotis bagi orang-orang
yang hanya mengenal kota dengan tembok-tembok bata dan gang-gang sempit yang
pengap. Namun di sisi lain perjalanan ini mengingatkan saya akan kehidupan masa
kecil saya di desa dulu. Motor-motor yang kami tumpangi
dengan lihai menyusur pematang, membelah sawah yang padinya masih begitu muda
dan rapuh. Perjalanan yang menempuh jarak sekitar 10 km ini melalui beberapa
kampung di 2 desa berbeda. Jalanan yang terjal dan berliku semakin mengobarkan
semangat kami untuk segera menjumpa Cikaso.
Ketika kami telah keluar dari jalan aspal yang penuh lubang, memasuki
jalan batu dan tanah yang pasti becek kalau musim hujan datang, maka segeralah
kami akan segera menemukan perhentian terakhir. Untuk mencapai air terjun, kami
harus menuruni tebing yang cukup terjal, karenanya motor terpaksa berhenti di
atas tebing berikut tas-tas berat kami. 4 orang tukang ojek yang mengantar kami
pun tinggal untuk menjaga barang-barang, 2 orang yang lain mengantar kami
menyusuri tebing diantara sawah becek dan batuan terjal dan licin. Setelah
sekitar 10 menit berjalan, sampailah kami ke air terjun yang kami impikan.
Saya pernah ke air terjun Bantimurung di Makasar maupun Tawangmangu di
Surakarta, namun meskipun begitu ketika saya mendapati Cikaso yang tidak lebih
bagus ini, saya begitu terharu untuk tidak memburu menceburkan diri ke dalamnya.
Bersama Riwi saya segera mencari jalan terbaik menuju curahan air yang menghujam
dari jarak yang cukup tinggi itu. Memijaki batu-batu kali yang tidak terlalu
dalam dan akhirnya dengan seluruh tubuh yang telah kuyup, kami pun menyerah
untuk hanya duduk di sebuah batu terdekat dengan jeram dan menikmati sapuan air
yang menghempas ke bawah.
Air terjun Cikaso memiliki penampang yang cukup lebar, sehingga air
seakan membentuk lapisan tembok transparan bergaris-garis yang luar biasa besar.
Sepertinya di hulu tengah terjadi banjir, sehingga air Cikaso berwarna coklat,
tanda bahwa lumpur tanah dari sawah dan ladang ikut masuk ke alirannya. Danau
yang terjadi akibat limpahan air di dasar air terjun ini pun cukup menggoda.
Dengan dibatasi batu-batu berukuran besar, rasanya Dewi Nawang Wulan akan betah
barlama-lama mandi disana.
Jim dan Owie segera sibuk mengatir threepot-nya sendiri-sendiri.
Sementara Fier dan Vivi menyibukkan dirinya masing-masing mencari sudut yang
tepat untuk kamera ying dan kamera yang-nya. Saya dan Riwi masih
bertahan di atas batu mencoba mengukur dalamnya air dengan batang kayu 2
meteran. Namun hingga kayu itu masuk sampai sikub tangan saya, dasarnya pun
tidak tersentuh. Setelah cukup kedinginan, saya dan Riwi beringsut menepi,
menghampiri keempat kawan kami yang agaknya belum juga lelah mengambil gambar.
Tak berapa lama, Owie dan Vivi pun tak tahan juga untuk tidak menceburkan diri
ke air.
Cikaso adalah sebuah oase bagi kami. Sebuah ketenangan dari hiruk pikuk
komputer dan klakson kendaraan bermotor yang menderu setiap hari. Kedamaiannya
mampu menenangkan batin, gemerciknya mampu menenggelamkan mimpi. Air terjun ini
sungguh berada di ranah yang begitu rahasia bagi manusia-manusia rakus yang akan
segera menimpali keindahannya dengan semen dan beton. Industri pun masih
membentangkan jarak, hingga dosa terbesarnya berupa plastik masih haram
di tanah ini.
Curug
Luhur Cibitung
Setelah sekitar 2 jam kami membasahi diri dengan coklatnya air Cikaso,
kami pun melanjutkan perjalanan ke desa Cibitung untuk menyaksikan keajaiban
alam lainnya. Perjalanan yang memakan waktu sekitar setengah jam ini sungguh
menyiksa saya. Sepeninggal Cikaso, kendaraan kami melalui jalan yang cukup
terjal dengan batu-batu keras dan aspal yang jauh dari rata. Perut saya merintih
dengan dahsyat, bagai sebuah pukulan Mike Tyson dan tusukan pedang Battosai
sekaligus. Air mata saya tak tertahankan lagi menanggung sakit hingga terburai
beberapa tetes dibawa angin yang melaju kencang. Saya sempat menghentikan ojek
saya, menyilakan teman-teman untuk jalan terlebih dahulu, sementara saya
berhenti sebentar mengambil nafas dan menenangkan diri.
Sampai di Cibitung kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Di
sebuah warung, di pinggir sungai, dimana para pengguna jasa sungai menanti
perahu yang akan mengantarkan mereka menelusuri arus tenangnya ke arah muara.
Setelah makan, kami menumpang sebuah perahu bermesin yang saya pikir akan
mengantarkan kami jauh ke hulu, dimana air terjun Curung Luhun berada. Saya tahu
nama air terjun ini Curug Luhur dari karcis tanda masuk yang diberikan dengan
mengganti uang 2 ribu rupiah per lembarnya, oleh pemuda kampung setempat yang
mengelola objek wisata ini. Ternyata perahu bergerak tidak sampai 800 m saja,
dan sisa perjalanan harus diteruskan dengan berjalan kaki, meskipun tinggal
beberapa meter saja.
Air terjun ini cantik. Kilauan jernih airnya memancarkan aura yang teduh.
Meskipun ukuran penampangnya tidak selebar Cikaso, namun air terjun ini jatuh
dari tempat yang lebih tinggi, lebih deras, dan tentu saja lebih dalam.
Batu-batu besar masih membentengi air terjun ini. Airnya yang jernih sontak
membuat saya dan Riwi tidak perlu pikir panjang untuk menceburkan diri. Dingin
dan menyegarkan.
Di sebelah air terjun utama terdapat pula air terjun yang ukurannya lebih
kecil. Di air terjun ini kami bisa sedikit melakukan pijat refleksi dengan
menyandarkan badan ke dinding tempat jatuhnya air. Peristiwa-peristiwa indah pun
lebih bisa terabadikan dalam gambar-gambar yang menakjubkan. Di sana saya bisa
melupakan dengan segera, tubuh saya yang hampir tak lagi memiliki daya. Mencipta
riak dengan batu-batu kecil berlumut, memuja terang di balik semburat matahari
yang sinarnya mengintip dari balik rimbun belantara. Di sana saya menjadi
manusia yang hidup, yang bahagia tanpa harus menjadi robot-robot kapital yang
bergerak dengan nomor dan tanda-tanda. Sebuah mahakarya yang agung oleh sesuatu
yang lebih agung tentunya.
Kecuali Fier dan Jim, kami berempat telah basah kuyup oleh air yang
begitu melimpah. Gemertak tulang-tulang saya segera menyadarkan untuk segera
beranjak. Matahari telah cukup condong menuju ufuk. Sudah jauh jarum panjang
bergerak dari 3 sore. Kami pun beringsut. Kenangan terindah adalah ketika kita
harus meninggalkannya di saat kita benar-benar tengah jatuh cinta padanya. Dan
kami pun melangkah pergi, menuju perahu motor yang akan menunjukkan jalan
pulang. Ke sana. Ke tempat yang biadab.
Damaiku
akan selalu tertinggal
Sekitar jam 4 sore di Sabtu yang telah lelah berputar, kami hampir sampai
ke Terminal Surade. Namun sebelum kami memasukinya, sebuah bus MGI jurusan
Sukabumi nampak di jalan dan telah berjalan pelan menggelindingkan roda-rodanya.
Seperti sedang mendapatkan jackpot, di saat kami masih sangsi apakah ada
kendaraan yang akan mengantarkan kami keluar Ujung Genteng, tiba-tiba di depan
mata kenyataan terlalu indah untuk tidak disia-siakan. Ojek pun berhenti di
depan bus yang telah berhenti sepenuhnya. Dengan diawali sedikit keharuan
imitatif yang kami dan para sopir ojek peragakan sebagai kata perpisahan, kami
pun segera meloncat ke atas bus besar itu dengan perasaan lega.
Bus ini adalah kendaraan paling nyaman yang pernah kami tumpangi selama
perjalanan. Ukurannya yang besar, tempat duduknya yang bisa dimiringkan, AC yang
tidak ramah lingkungan dan tentu saja video yang memutar lagu-lagu kenangan yang
sempat jaya ketika generasi bapak saya masih muda dahulu. Badan saya masih basah
termasuk kaos, celana pendek dan celana dalamnya. Demikian pun Riwi, Owie dan
Vivi. Improvisasi agaknya harus segera dilakukan mengingat kami tidak sempat
pergi ke kamar kecil dan bencana masuk angin siap memerahkan hidung dan
menggigilkan tubuh-tubuh kuyup ini. Dengan bermodal sarung sebagai kamar pas
layaknya di tempat-tempat penjualan baju yang bisa dicoba dulu sebelum dibeli,
saya pun mengganti semua pakaian dengan yang masih kering yang saya simpan di
dalam tas. Demikian pun Owie yang juga sudah tidak tahan lagi menyaksikan
kondisi si kecil yang semakin mengkerut, segera mengeluarkan sarung
sebagai kamar pasnya. Dan ternyata Vivi pun melakukan hal yang serupa. Saya
pribadi cukup kagum dengan refleks kondisionalnya yang mampu beradaptasi dengan
logika pragmatis yang mengesankan bagi saya.
Perjalanan panjang yang mengocok perut itu tidak lagi membuat saya
pusing. Dinginnya AC cukup
membuat saya nyaman, meskipun Ratih Purwasih cukup berisik menyenandungkan
lagu-lagu melankolis tentang pemasrahan diri seorang perempuan kepada laki-laki
yang dicintainya. Goblok!
Sampai di Terminal Lembur Situ (Sukabumi) sudah jam 8 malam, itu artinya
kami harus menuju Terminal Dengung untuk mendapatkan angkutan ke Bogor karena di
waktu demikian, kendaraan ke arah Bogor tidak lagi masuk Terminal Lembur Situ.
Tidak sampai 15 menit kemudian kami tiba di Terminal Dengung. Perjalanan terasa
semakin cepat, peristiwa semakin sedikit yang bisa dituliskan kembali dan
gambar-gambar tidak lagi seindah sebelumnya untuk bisa dibawa pulang. Baru
kemudian kami sadari bahwa perut kami benar-benar keroncongan. Kami pun
memutuskan untuk makan di terminal itu. Menu makan malam itu adalah bakso. Bakso
yang tidak ada satu pun dari kami mampu menghabiskannya. Bakso yang hanya mampu
saya cecap sepucuk sendok kuahnya. Bakso yang menurut Riwi adalah bakso terburuk
yang pernah ia rasakan sepanjang perjalanan sejarah memakan baksonya. Dan kami
pun tidak perlu berlama-lama dengan bakso tersebut untuk segera menuju angkot
yang telah menunggu kami menggambar jalan pulang.
Dan begitulah, saya dan teman-teman meninggalkan Sukabumi dan Ujung
Genteng yang kenyataannya tidak mampu saya tuliskan sekadar dengan kata-kata.
Ujung Genteng tempat Dewi-Dewi masih berkenan menyambangi pematang sawahnya nan
hijau. Ujung Genteng yang di bawahnya akan mengalir kedamaian yang terlalu indah
untuk dilupakan