Sabtu, 18 April 2009:
Akhirnya, kesampaian juga pergi ke Ujung Genteng,
walaupun beberapa kali sempat mengalami penundaan
keberangkatan karena beberapa hal. Kami percaya,
segala sesuatunya sudah ada yang mengatur. Yang
kita rencanakan terkadang tidak dapat terlaksana
sesuai dengan keinginan kita. Sebagaimana pengalaman
sebelumnya, kalau memang belum waktunya,
rasanya ada saja halangannya. Sebelum berangkat
sempat was-was melihat kondisi cuaca yang tidak
menentu belakangan ini. Hujan deras disertai angin
kencang sering mengguyur Jakarta dan sekitarnya.
Kami mendapat informasi sebagian besar obyek wisata
yang akan kami kunjungi, kemungkinan besar akan sulit
dikunjungi bahkan bisa-bisa tidak dapat dikunjungi apabila
hujan turun dengan derasnya. Gimana kalau hujan turun
dengan derasnya sewaktu kami berada di Ujung Genteng?
Bisa-bisa gagal menikmati pemandangan alam yang
memukau. Berbekal rasa optimis, kami percaya saat ini
adalah saat terbaik yang dipilihkan olehNya untuk kami
dan teman-teman mengunjungi kawasan Ujung Genteng.
Sesuai rencana yang sudah kami sepakati bersama,
tepat pukul 6 pagi kendaraan berangkat dari meeting
point di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat
membawa tiga orang peserta. Mengingat waktu tempuh
menuju Ujung Genteng akan memakan waktu cukup lama,
karenanya kami sepakat untuk berangkat pagi–pagi
Selanjutnya, kendaraan menuju Jalan Jendral Sudirman
untuk menjemput tiga orang teman lainnya yang menunggu
di daerah Karet dan Bendungan Hilir. Karena hari masih pagi,
waktu tempuh dari Jl Percetakan Negara menuju Sudirman
hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Tepat pukul 06.30
kendaraan sudah memasuki jalan tol Jalan Gatot Subroto
menuju tol Jagorawi. Puji syukur, sampai penjemputan
terakhir tidak ada seorang pesertapun yang datang
terlambat, semuanya datang sesuai dengan rencana.
Perjalanan pagi itu cukup lancar, kami tidak mengalami
kemacetan di titik rawan macet yaitu daerah Cicurug dan
Cibadak. Beberapa orang peserta tidak sempat sarapan
di rumah, karenanya mereka menyantap bekal sarapan
paginya diatas mobil. Sekitar pukul 9 pagi kendaraan sudah
sampai di desa Bagbagan, selanjutnya melewati jembatan
Cimandiri menuju Kiara Dua. Dari daerah Bagbagan menuju
Ujung Genteng ditempuh sekitar 3 sampai 3 ½ jam
lamanya. Keadaan jalan antara Bagbagan menuju
Kiara Dua sepanjang 15 km menanjak, terdapat
beberapa belokan tajam dan curam. Walaupun begitu,
kami disuguhi pemandangan alam yang cukup
indah. Di sisi kanan jalan terlihat pesisir pantai Pelabuhan
Ratu yang bisa dinikmati dengan jelas dari atas bukit
Bagbagan. Kendaraan melewati hutan lindung
dan perkebunan teh. Pemandangan alam di sekitar daerah
ini cukup hijau. Menurut penuturan sang pengendara mobil,
di hutan lindung ini seringkali terjadi penebangan kayu
secara illegal yang mengakibatkan beberapa bagian
menjadi tandus dan gundul. Kondisi jalan lumayan bagus,
di Pasir Piring kondisi jalan berlubang disana
sini yang membuat laju kendaraan menjadi berkurang
karena harus hati-hati menghindari jalan berlubang.
Setelah melewati kota-kota kecil Kiara Dua, Jampang
Kulon dan Surade, akhirnya setelah menempuh perjalanan
dari Jakarta selama kurang lebih kurang 6 ½ jam,
kami sampai di salah satu penginapan tepi pantai di
kawasan Ujung Genteng. Begitu turun dari kendaraan,
udara panas dan kering langsung menyergap.
Setelah meletakkan barang bawaan ke kamar
masing-masing, beberapa teman langsung istirahat ,
sebagian yang lain tanpa mengenal lelah, langsung
mencari obyek yang bisa diabadikan dengan kamera
Sekitar jam 1, makan siang telah tersedia,
kami menyantap makanan bersama-sama
di teras sambil memandang ke laut lepas. Karena cuaca
sangat panas, setelah makan siang kami langsung mandi
dan istirahat. Sekitar pukul 3 siang kami akan melihat
cara pembuatan gula kelapa yang letaknya tidak jauh
dari tempat kami menginap.
Melihat Pembuatan Gula Kelapa
Dengan berjalan kaki, kami berenam di antar
oleh petugas penginapan menuju tempat pembuatan
gula kelapa. Penduduk Ujung Genteng sebagian besar
adalah petani dan nelayan, ada juga yang beralih menjadi
penyadap nira untuk dijadikan gula kelapa. Di pemukiman
penduduk yang kami datangi sebagian besar warganya
adalah pembuat gula kelapa. Sewaktu kami sampai di sebuah
rumah penduduk, seorang Ibu sedang mengaduk-aduk gula
kelapa yang hampir jadi. Tapi masih memerlukan waktu
yang cukup lama sampai pada tahap pencetakan.
Kami beranjak kerumah penduduk yang lain,
sayangnya rata-rata pembuatan gula kelapa
sudah selesai. Kami singgah di salah satu rumah
dan mencicipi air kelapa yang menjadi bahan
pembuatan gula kelapa yang baru saja diambil dari
pohon. Untuk menampung air kelapa, penduduk
menggunakan jerigen atau tabung dari bambu yang
diletakan di bagian bunga kelapa (manggar).
Di Ujung Genteng, gula kelapa dicetak dengan
menggunakan tabung bambu. Kalau di tempat lain
dicetak dengan tabung bambu dengan diameter kecil,
disini digunakan ukuran tabung bambu lumayan besar.
Setelah jadi, satu cetakan menghasilkan gula kelapa
dengan berat sekitar 1 Kg .Setelah itu gula kelapa yang
sudah jadi dibungkus dengan plastic. Tiap bungkus terdiri
dari 12 buah dengan ukuran berat yang berbeda.
Kalau kita berminat membeli, mereka menimbangnya
terlebih dahulu. Harga per kg-nya Rp. 7.000.-
Kami membeli satu bungkus , karena jumlah
peserta 6 orang, masing-masing peserta mendapat
2 buah gula kelapa ukuran besar. Setelah itu kami
kembali ke penginapan dan sore harinya
menuju Pantai Cipanarikan untuk menyaksikan
saat-saat mentari kembali ke peraduannya.
Perjalanan Menuju Pantai Cipanarikan
Menyaksikan Sunset
Untuk menuju Pantai Cipanarikan, satu-satunya pilihan
adalah dengan menggunakan jasa ojek motor yang
bisa membawa pengunjung sampai ke lokasi.
Di tempat kami menginap, sudah tersedia 6
buah motor yang disewa untuk mengatarkan
kami. Jarak dari tempat penginapan menuju Pantai
Cipanarikan sekitar 7 km jauhnya, ditempuh sekitar
45 menit. Untuk menuju pantai, jalan yang dilalui
merupakan jalan tanah dimana kondisinya becek
dengan kondisi tanahnya naik turun. Di samping itu,
medan yang harus dilalui lumayan berat, sehingga
mobil tidak mungkin bisa melalui jalan yang sebagian
besar ruas jalannya merupakan jalan
setapak yang becek dan dipenuhi oleh tetumbuhan
liar, lagi pula jalan itu hanya cukup untuk dilewati
satu motor saja .Dalam perjalanan, sesekali
motor melewati kali kecil. Dari tempat penginapan
sampai ke Cibuaya walaupun jalannya naik turun,
tapi jalannya masih bisa dilewati mobil. Selepas desa
Cibuaya, jalan yang dilalui benar-benar menantang.
Perjalanan dari desa ini melintasi hutan, terkadang
motor yang kami tumpangi menembus semak-semak.
Jalan becek yang sebelumnya hanya sesekali kami lewati,
selepas desa Cibuaya semakin merajalela. Di jalan ini kami
bertemu mobil yang nekat melintas di jalan yang sempit.
Pada akhirnya menyerah juga karena tidak dapat melintasi
jalan setapak yang dipenuhi dengan semak-semak, mereka
memutuskan kembali ke tempat penginapan. Dari tempat
penginapan tidak terdapat rambu-rambu arah menuju
Pantai Cipanarikan. Jadi , kalau nekat pergi sendiri tanpa
ditemani warga setempat, kemungkinan bisa nyasar.
Mau tanya? siapa yang bisa ditanya? yang ada cuma semak
dan pepohonan sepanjang jalan menuju lokasi. Beruntung,
kami pernah punya pengalaman naik ojek sewaktu dalam
perjalanan menuju Loksado (Kalimantan Selatan) rasanya
perjalanan menuju Pantai Cipanarikan kalau dibandingkan
dengan jalan menuju Loksado masih lebih ringan walaupun
rintangan yang dihadapi tentunya berbeda. Kalau di Loksado
di kiri kanan jalan adalah jurang dengan kedalaman ratusan meter,
maka jalan menuju Panarikan walaupun kondisinya naik turun
tapi tanpa jurang di kiri kanan jalan. Belum lagi untuk sampai ke
Loksado, kami harus melewati tujuh buah jembatan yang kondisinya
sangat menghawatirkan . Dengan bekal pengalaman tersebut,
kekhawatiran kami agak berkurang, apalagi para pengendara
ojek cukup piawai dalam mengendarai motornya masing-masing.
Maklum mereka adalah warga setempat yang tahu
seluk beluk jalan menuju ke pantai. Kami melihat beberapa
teman menunggu di suatu tempat. Semula kami berpikir ada
masalah dengan salah satu motor, sewaktu kami tanyakan
kepada pengendara ojek, ternyata kami sudah sampai di
Cipanarikan. Bukan pantai yang kami temukan tapi sebuah
hutan. Lalu mana pantainya? Teman kami bertanya kepada
salah satu pengendara motor. Mereka meminta kami untuk
berjalan sekitar dua ratus meter untuk menuju pantai.
Jalan setapak ini tidak bisa lagi dilalui motor, karena
jalannya menanjak dan tanjakkannya cukup tinggi.
Salah seorang teman berseloroh,mau ke pantai koq
jalannya menanjak? enggak salah jalan nich? teman
yang lain menimpali. Perjalanan berakhir, ketika kami
sampai di ujung bukit dan dibawah sana terbentang
Pantai Cipanarikan dengan hamparan pasir putihnya.
Pantainya masih cukup bersih dengan ciri khas
pesisir pantai selatan yang terkenal bersih airnya
dan ombaknya besar. Di sisi sebelah kanan pantai
Cipanarikan terdapat sebuah muara sungai dengan airnya
yang tenang. Benar-benar pemandangan yang sangat indah.
Rasanya perjalanan menuju Pantai ini tidak sia-sia
walaupun kami harus melalui berbagai rintangan.
Kami sampai di pantai sekitar jam 5 sore, jadi sinar
matahari masih menyengat. Untung ada bukit yang
ditumbuhi pepohonan, kesanalah kami berteduh sambil
memandang ombak yang bergulung-gulung tanpa henti.
Ketika kami sampai di pantai, keadaannya benar-benar sepi.
Hanya kami berenam yang sudah tiba disana. Sekitar jam
setengah enam sore kami mulai turun ke pantai, dan tidak
lama kemudian beberapa orang pengunjung mulai
berdatangan mengambil posisi masing-masing untuk
mengabadikan saat-saat terbenamnya matahari.
Sambil menunggu matahari terbenam, kami berfoto-foto
di pinggir pantai. Sekitar jam enam sore, matahari
berangsur-angsur tenggelam. Berarti sudah waktunya
kami meninggalkan pantai. Di kejauhan kami melihat para
pengendara ojek menunggu kami diatas bukit untuk
mengantar kami pulang ke tempat penginapan.
Sesampainya di penginapan, kami langsung mandi
dan bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan selanjutnya.
Jam 7 malam, kami santap malam bersama. Setelah itu,
kami bersiap-siap menuju Pantai Pangumbahan untuk
menyaksikan penyu bertelur.
Menyaksikan Penyu Bertelur
Perjalanan menuju Pantai Pangumbahan kami
tetap menggunakan kendaraan ojek motor. Jalan yang
di lalui juga sama dengan jalan yang kami lewati tadi sore
sewaktu kami menuju Pantai Panarikan. Jarak ke Pantai
Pangumbahan sekitar 5 km dari tempat kami menginap.
Dengan hanya diterangi sinar bulan dan bintang, lagi-lagi
kami harus melewati jalan tanah setapak yang becek penuh
dengan tetumbuhan liar. Sesampainya di tempat penangkaran
penyu, kami diminta melapor kepada petugas dan mendapat
informasi mengenai tata cara menyaksikan penyu bertelur.
Menurut sang petugas, penyu sangat sensitive terhadap cahaya
dan juga suara-suara yang dapat mengganggu konsentrasi mereka.
Hal ini terutama pada saat sang penyu bergerak dari laut
menuju pantai untuk mencari tempat untuk bertelur. Bila terkena
cahaya, bisa dipastikan sang penyu akan kembali ke laut dan
mengurungkan niatnya untuk bertelur. Bila sudah dalam keadaan
posisi sedang bertelur, asal cahaya tidak mengenai bagian depan
mukanya, kelihatannya penyu tidak peduli lagi.
Di tempat ini, pengunjung dikenakan biaya Rp. 5.000 per orang.
Suasananya sudah cukup ramai dipenuhi oleh pengunjung yang
ingin menyaksikan penyu bertelur. Para pengunjung
diminta untuk berkumpul terlebih dahulu di areal kantor
penangkaran penyu sebelum diperbolehkan menuju pantai
Hal ini harus ditaati oleh semua pengunjung demi kelancaran
proses bertelurnya penyu tersebut. Kami cukup lama
menunggu di kantor. Kami sudah menunggu kira-kira hampir
1 jam lamanya. Baru sekitar pukul setengah sepuluh
malam, petugas memberi izin kepada pengunjung menuju
tepi pantai untuk menyaksikan penyu bertelur. Sebagian
besar pengunjung langsung mengelilingi sang penyu yang masih
mengeluarkan telur Para petugas dengan sigap langsung
mengambil telur-telur tersebut dan menaruh di dalam ember
besar. Malam itu hanya satu penyu yang bertelur
karenanya semua perhatian pengunjung tertuju kepada
sang “primadona”. Pengunjung berusaha untuk mendapatkan
tempat yang strategis untuk mengabadikan momen ini.
Walaupun sudah diperingatkan untuk tidak
menyinari mata sang penyu yang sedang bertelur, ternyata
masih saja ada pengunjung yang “nakal”. Waktu salah seorang
pengunjung menanyakan berapa umur dan panjang badan
sang penyu kepada petugas, sebagian besar pengunjung surprise
setelah mengetahui umur sang penyu sudah mencapai umur
80 tahun tapi masih produktif. Mengetahui kebingungan kami,
sang petugas menambahkan :seekor penyu mulai bertelur
pada usia 20 hingga 100 tahun. Sekali bertelur antara 80
sampai 200 butir. Ooooooh gitu toch, terdengar komentar
salah satu pengunjung. Teman kami sempat melihat sang
penyu mengeluarkan airmata alias menangis sehabis bertelur.
Panjang badan penyu ini sekitar 1,5 meter dan ada satu
hal menarik dari sang penyu, ternyata penyu yang sedang bertelur
ini invalid. Salah satu kaki bagian belakangnya cacat. Karenanya
dibutuhkan waktu lebih lama untuk menutup lubang
bekas tempat bertelur yang dilakukan dengan menggunakan kaki
bagian belakang. Sewaktu menggali lubang, bagian kaki yang
digunakan adalah kaki bagian depan imbuh sang petugas.
Menurut penuturan sang petugas, penyu yang ada di
Pangumbahan sebagian besar adalah jenis penyu hijau.
Di dunia saat ini hanya ada tujuh jenis penyu yang masih
bertahan, enam diantaranya hidup di wilayah
Indonesia tersebar di Pantai Selatan Jawa Barat
(Pangumbahan dan Cikepuh, Pantai selatan Bali, di
Kalimantan Tengah, Pantai selatan Lombok dan di Jawa
Timur tepatnya di Alas Purwo.
Dari pembicaraan dengan coordinator penangkaran
penyu, ada rencana untuk mengumpulkan ke enam jenis
penyu tersebut di satu tempat, kalau tidak salah, tempat
yang dipilih adalah Alas Purwo, Jawa Timur.
Sambil menunggu sang penyu menyelesaikan menutup lubang,
kami duduk-duduk di pantai menikmati angin pantai yang bertiup
sepoi-sepoi sembari memandang jutaan bintang yang bertebaran
di langit yang cerah. Semula kami sepakat ingin menyaksikan sang
penyu kembali ke laut. Tetapi karena hari sudah larut malam, dan
menurut perkiraan petugas masih dibutuhkan waktu cukup lama
sampai lubang bekas tempat bertelur tertutup dengan pasir, kami
memutuskan untuk kembali ke penginapan. Sampai penginapan
sudah pukul 11 malam. Di teras sudah tersedia minuman bajigur
hangat dan makanan kecil terdiri dari gorengan sukun, ubi goreng,
dan bakwan. Setelah selesai mencicipi hidangan, kami langsung
istirahat menyimpan tenaga untuk esok hari. Besok, medan yang
akan kami lalui lebih menantang karena kami akan mengunjungi
dua buah curug alias air terjun.
Minggu, 19 April 2009:
Menyaksikan sunrise di Pantai Ujung Genteng
Minggu pagi, sekitar jam 04:30 kami terbangun oleh dering
alarm berasal dari hp salah seorang teman. Langsung
terbangun dan bersiap-siap menuju tempat pelelangan ikan sekalian
untuk menyaksikan saat matahari terbit. Berangkat dari tempat
penginapan sekitar jam 05:00 dengan diantar mobil dan
ditemani oleh seorang petugas penginapan. Jaraknya tidak
terlalu jauh, sekitar 10 menit dengan kendaraan. Pagi itu lumayan
banyak pengunjung yang ingin menyaksikan sunrise.
Terlihat beberapa perahu nelayan yang baru saja pulang
melaut dan menambatkan kapalnya di pinggir pantai.
Sambil menunggu saat matahari terbit, kami berjalan-jalan
di pinggir pantai sembari berfoto-foto. Sang petugas penginapan
menanyakan apakah kami bermaksud untuk memasuki areal
cagar alam? Setelah berembug dengan teman-teman akhirnya
kami putuskan untuk jalan-jalan saja sepanjang pantai.
Pagi ini kami kurang beruntung, karena cuaca agak mendung
kami tidak dapat menyaksikan saat-saat matahari
terbit. Setelah cukup lama kami berada di pantai, akhirnya kami
menuju tempat pelelangan ikan.
Tempat pelelangan ikan lokasinya tidak begitu jauh dari pantai.
Dari informasi yang kami dapatkan, sebaiknya kalau mau
membeli ikan saat yang tepat adalah pagi hari. Karena di pagi
hari nelayan baru pulang melaut, berbagai jenis ikan
hasil tangkapan para nelayan diperjualbelikan di tempat ini
dengan harga yang lebih murah dan kondisi ikan masih segar.
Kami memasuki tempat pelelangan ikan, pada umumnya ikan-ikan
yang ditawarkan adalah ikan kwe, wuihhhhh ikannya besar-besar
banget. Ada juga ikan pari, ikan teri, ikan layur, dll. Teman-teman
bermaksud membeli udang dan cumi. Sayang, pagi itu hasil yang
dibawa para nelayan hanya jenis ikan saja. Tidak terdapat udang
dan cumi. Tidak seperti di Pangandaran, untuk mencari restoran yang
bisa membantu untuk memasak ikan yang kita beli sangat mudah.
Di Ujung Genteng agak sulit. Menurut Mang Udin yang menemani
kami, di tempat pelelangan ikan hanya ada satu tempat yang bisa
membantu kami . Akhirnya kami urung untuk membeli ikan dan
melanjutkan perjalanan menuju dermaga tua. Dermaga ini adalah
peninggalan zaman Belanda. Kalau diperhatikan umurnya sudah
cukup tua dan sekarang tinggal sisa puingnya saja. Mengenai sejarah
dermaga tua ini, warga setempat tidak dapat memberikan informasi
lebih lanjut .Dari dermaga tua, kami kembali ke penginapan.
Setelah
sarapan pagi dengan menu nasi kuning, kami berkemas dan
meninggalkan penginapan untuk meneruskan perjalanan
menuju dua curug di kawasan Ujung Genteng yaitu Curug
Cigangsa dan Curug Cikaso.
Menuju “Tanah Lot” Amanda Ratu
Sebelum mengunjungi kedua curug tersebut, kami singgah di
Amanda Ratu terlebih dahulu. Karena jalan menuju ke dua curug
tersebut akan dilewati dalam perjalanan pulang ke Jakarta.
Jarak dari penginapan menuju Amanda Ratu sekitar 15 km
ditempuh sekitar 30 menit. Kondisi jalan bisa dibilang bagus.
Amanda Ratu merupakan sebuah penginapan dengan
pemandangan alam yang mempesona. Pemandangan alamnya
mirip dengan Tanah Lot , Bali. Ada pulau karang kecil di tengah laut,
hanya tidak terdapat pura di pulau kecil tersebut. Tempat ini
masuk dalam kategori penginapan berbintang di kawasan
Ujung Genteng. Pihak pengelola Amanda Ratu
memperbolehkan pengunjung lain, selain tamu yang menginap
disini, untuk menikmati pemandangan yang mirip dengan
pemandangan di Pulau Dewata. Memasuki kawasan ini, kami
hanya membayar biaya parkir saja. Walaupun lokasi dan view-nya
cantik, sayang Amanda Ratu tidak memiliki pantai jadi
para tamu ataupun pengunjung tidak dapat bermain-main
di laut. Apalagi ombak di sini cukup besar. Jadi tidak ada
seorangpun yang berani turun ke laut. Pihak pengelola
Amanda Ratu menyediakan gazebo yang dibuat menjorok
ke laut, tempat para pengunjung ataupun tamu hotel dapat
duduk-duduk disini sambil memandangi keindahan
laut pantai selatan. Tanpa membuang waktu, kami langsung
berfoto ria dengan latar belakang “Tanah Lot” versi Ujung
Genteng. Walaupun kami masih ingin duduk berlama-lama
menikmati panorama keindahan alam disini, tapi mengingat
perjalanan pulang ke Jakarta akan ditempuh dalam waktu
cukup lama, akhirnya kami meninggalkan Amanda
Ratu menuju Curug Cigangsa.
Perjalanan menuju Curug Cigangsa
Curug Cigangsa dapat ditempuh melalui pertigaan tugu kota
Surade. Untuk sampai ke lokasi, tidak ada tanda arah
sama sekali. Kendaraan berhenti dan diparkir di salah satu
rumah warga. Setelah turun dari mobil kami diantar oleh dua
orang warga setempat menyusuri pematang sawah menuju
lokasi curug. Tidak terlalu lama kami berjalan, sekitar 10 menit
kami telah sampai di bagian atas Curug Cigangsa. Karena
dalam beberapa hari hujan tidak turun maka kami hanya
menemui bebatuan besar di bagian atas curug disertai
aliran air yang kecil. Pengunjung bisa berjalan diatas bebatuan
besar dimana di sisi kanan terhampar perbukitan dan
persawahan. Dari bibir curug, bisa memandang jauh kedepan,
pengunjung disuguhi pemandangan alam dengan pepohonan
lebat dan hijau, dimana di bagian tepinya mengalir sungai
yang jernih. Bila kita melongok ke bawah dari bibir curug,
jika tidak hati-hati dan waspada, apalagi bila bebatuan besar
dibagian atas curug tertutup dengan air, pengunjung
bisa-bisa tidak dapat mengetahui batas bibir curug dan bila
terpeleset atau salah melangkah bisa-bisa terjun bebas dari
ketinggian puluhan meter. Makanya kami tidak berani
untuk berdiri di pinggir bibir curug. Wuihhhhhh ngeri, sebaiknya
diberi tanda pembatas, atau pagar. Untuk menyaksikan turunnya
air, pengunjung harus turun ke bawah dan jalan yang
dilalui tidaklah mudah. Melihat kondisi jalan yang begitu sulit
tiga orang peserta mengurungkan niatnya dan kembali
ke mobil. Tinggallah kami bertiga dengan dipandu
dua orang warga setempat, menuruni jalan yang licin dan
becek demi untuk menyaksikan keindahan Curug Cigangsa.
Kami bertiga harus berhati-hati melewati jalan setapak,
yang cukup curam dan licin, kalau lengah bisa terpeleset.
Salah seorang rekan kami sempat terjatuh karena limbung.
Walaupun menemui berbagai rintangan sewaktu dalam
perjalanan menuju curug, sepanjang jalan mata
kami cukup dimanjakan dengan pemandangan hijaunya
persawahan yang terhampar sepanjang jalan menuju areal
curug. Setelah berjalan sekitar 20 menit akhirnya kami
bertiga sampai di bawah Curug Cigangsa. Sungguh
pemandangan yang menakjubkan, menyaksikan air
mengalir dari atas bebatuan tempat kami sebelumnya
berada. Walaupun air yang mengalir tidak terlampau deras
tetapi pemandangan yang disuguhkan benar-benar memukau.
Pengunjung dapat menyaksikan tebing yang tinggi, dindingnya
berupa bebatuan bergerigi sebagai landasan air mengalir
yang tertata begitu eksotis sehingga kita dapat melihat
keindahannya tanpa dihalangi oleh derasnya air yang
turun dari bagian atas curug.
Setelah istirahat sebentar, kami mulai mengabadikan
keindahan Curug Cigangsa dengan kamera masing-masing.
Terbayar sudah segala kesulitan dan kelelahan setelah
menyaksikan indahnya Curug Cigangsa. Hari sudah siang
kami memutuskan untuk kembali ke mobil karena masih
ada satu obyek lagi yang akan kami kunjungi yaitu
Curug Cikaso. Kalau sewaktu berangkat menuju
curug bagian bawah jalannya menurun, pada waktu kembali
jalan yang harus dilalui menanjak terus. Kami sempat
berkali-kali berhenti diperjalanan untuk mengatur napas.
Akhirnya setelah bersusah payah, kami sampai juga
di rumah warga dimana mobil di parkir. Pertanyaan datang
bertubi-tubi menanyakan kondisi jalan menuju bagian bawah
curug dari teman-teman yang tidak sempat ikut turun. Mereka
cukup puas hanya dengan melihat hasil bidikan kamera kami.
Akhirnya kendaraan diarahkan menuju Curug Cikaso.
Perjalanan menuju Curug Cikaso
Perjalanan menuju Curug Cikaso ditempuh dengan
menggunakan mobil. Akhirnya kami berhenti di satu warung
yang letaknya tidak begitu jauh dari sungai dimana kami akan
memulai perjalanan dengan menggunakan perahu menuju
lokasi Curug Cikaso. Di warung ini kami berhenti untuk istirahat.
Petugas penginapan yang menemani kami menawarkan untuk
makan siang yang telah dikemas dalam box. Kami sempat
mencicipi kelapa muda dan pepaya di warung ini. Semua
sepakat untuk makan siang setelah kembali dari Curug Cikaso.
Dengan menggunakan perahu motor kami menuju Curug Cikaso,
Jaraknya tidak begitu jauh dari tempat persinggahan tadi.
Menurut pengemudi perahu, untuk menuju curug ini bisa dicapai
dengan berjalan kaki. Tetapi medan yang dihadapi benar-benar
menantang. Mendaki bukit yang terjal dan diperlukan ketangguhan
dan kondisi kesehatan yang prima. Daripada…..daripada…. ya lebih
baik memilih naik perahu saja, celoteh teman kami yang tadi
sempat terpeleset dalam perjalanan menuju Curug Cigangsa.
Setelah berperahu selama 10 menit sampailah kami di tepian
daratan menuju curug. Setelah melalui jalan setapak sejauh
100 meter, tampaklah 3 buah air terjun berjejer dalam
satu lokasi . Dibagian bawahnya terdapat kolam dengan warna
airnya hijau kebiru-biruan. Subhanallah…sungguh cantik
luar biasa. Menurut penuturan Budi, petugas penginapan
yang mengantar kami, pengunjung dilarang berenang
dibawah air terjun karena selain kedalaman kolam tersebut
lebih dari 30 meter, juga ada aliran arus yang sangat kuat.
Pernah ada wisatawan dari mancanegara yang hanyut
terbawa arus ketika berenang di bawah air terjun ini.
Sayangnya tidak ada tanda larangan berenang disana.
Setelah puas berfoto ria, kami mencoba mendekati
lokasi air terjun. Semakin dekat, wajah kami diterpa butiran
halus percikan air terjun karena aliran air dari atas
cukup deras. Di sekitar kawasan air terjun disediakan
beberapa pondok untuk istirahat. Salah seorang teman
berkomentar: wah coba tadi nasi box nya dibawa kesini.
Enak banget, makan siang sembari menikmati keindahan
Curug Cikaso. Cukup lama kami berada di sini,. Waktu sudah
menunjukkan hampir pukul 1 siang, ketika kami meninggalkan
tempat ini dengan menggunakan perahu motor yang sama.
Kami bersama-sama menikmati makan siang di warung
tempat persinggahan kami tadi. Sekitar jam dua siang
kami meninggalkan kawasan Curug Cikaso menuju Jakarta.
Di tengah perjalanan, tepatnya di desa Kiara Dua, hujan turun
dengan derasnya. Kami bersyukur, selama berada di kawasan
Ujung Genteng cuaca sangat bersahabat, sehingga hampir
sebagian besar obyek wisata disana dapat kami kunjungi.
Tidak terbayang, seandainya kemarin sore hujan turun
di kawasan ini, tentunya kami tidak dapat menikmati sensasi
perjalanan menuju Pantai Cipanarikan dan Pantai Pangumbahan.
Sesampainya di Cibadak, kami terhadang kemacetan. Puji syukur,
sekitar pukul sembilan malam kami tiba di Jakarta. Berakhirlah
“petualangan” kami selama dua hari di Ujung Genteng.
(salam:yati/tamat)