Haji: Manusia
Sejati
Jalaluddin Rakhmat
10:30am
21 Nov 2005
Arafah, sembilan Dzulhijjah, pada separuh
kedua abad pertama Hijrah. Ratusan ribu
kaum muslimin berkumpul di sekitar Jabal
Rahmah, bukit kasih-sayang. Segera setelah
tergelincir matahari, terdengar gemuruh
suara zikir dan doa. Ali bin Husain bertanya
kepada Zuhri: “Berapa kira-kira
orang yang wuquf di sini?” Zuhri
menjawab: “Saya perkirakan ada empat
atau lima ratus ribu orang. Semuanya haji,
menuju Allah dengan harta mereka dan memanggil-Nya
dengan teriakan mereka.” Ali bin
Husain berkata: “Hai Zuhri, sedikit
sekali yang haji dan banyak sekali teriakan.”
Zuhri keheranan: “Semuanya itu
haji, apakah itu sedikit?” Ali menyuruh
Zuhri mendekatkan wajahnya kepadanya.
Ia mengusap wajahnya dan menyuruhnya melihat
ke sekelilingnya. Ia terkejut. Kini ia
melihat monyet-monyet berkeliaran dengan
menjerit-jerit. Hanya sedikit manusia
di antara kerumunan monyet. Ali mengusap
wajah Zuhri kedua kalinya. Ia menyaksikan
babi-babi dan sedikit sekali manusia.
Pada kali yang ketiga, ia mengamati banyaknya
serigala dan sedikitnya manusia. Zuhri
berkata: “Bukti-buktimu membuat
aku takut. Keajaibanmu membuat aku ngeri.”
(Al-Hajj fi Al-Kitab wa Al-Sunnah)
Berkat sentuhan orang yang saleh, Zuhri
dapat melihat, walaupun sejenak, ke balik
tubuh-tubuh mereka yang wuquf di Arafah.
Tuhan menyingkapkan tirai material dan
pandangannya menjadi sangat tajam. Ia
terkejut dan kebingungan karena begitu
banyaknya orang yang tampak pada mata
lahir sebagai manusia, dan pada mata batin
sebagai binatang. Apakah kebanyakan kita
hanyalah manusia secara majazi (kiasan)
dan binatang secara hakiki?
Ibadah haji adalah perjalanan manusia
untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya.
Kehidupan telah melemparkan kita dari
kemanusiaan kita. Kita telah jatuh menjadi
makhluk yang lebih rendah. Alih-alih menjadi
khalifah Allah, kita telah menjadi monyet,
babi, dan serigala.
Ketika menafsirkan firman Tuhan: Sungguh,
telah Kami ciptakan manusia dalam susunan
yang paling baik. Kemudian, Kami mengembalikan
mereka pada yang paling rendah dari yang
rendah. (QS. Al-Tin; 4-5), Seyyed Hossein
Nasr menulis: “Manusia diciptakan
dalam susunan yang terbaik. Tetapi kemudian,
ia jatuh pada kondisi bumi berupa perpisahan
dan keterjauhan dari asal-usulnya yang
ilahiah.” (Sufi Essays)
Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, kita adalah
seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya.
Ketika suara keluar, yang terdengar adalah
jeritan pilu, dari pecahan bambu yang
ingin kembali ke rumpunnya yang semula.
Kita hanya akan hidup sebagai bambu yang
sejati bila kita kembali ke tempat awal
kita. Kita hanya akan menjadi manusia
lagi, bila kita kembali kepada Allah.
Sesungguhnya kita kepunyaan Allah dan
kepada-Nya kita kembali. (QS. Al-Baqarah;
156)
Para jemaah haji adalah kafilah seruling
yang ingin kembali ke rumpun abadinya.
Inilah rombongan binatang yang ingin kembali
menjadi manusia. Ketika sampai di Miqat,
mereka harus menanggalkan segala sifat
kebinatangannya. Seperti ular, mereka
harus mencampakkan kulit yang lama agar
menjalani kehidupan yang baru. Baju-baju
kebesaran, yang sering dipergunakan untuk
mempertontonkan kepongahan, harus dilepaskan.
Lambang-lambang status, yang sering dipakai
untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus
dikuburkan dalam lubang bumi. Sebagai
gantinya, mereka memakai kain kafan, pakaian
seragam yang akan dibawanya nanti ketika
kembali ke “kampung halaman”.
Di Miqat, jemaah haji menanggalkan intrik-intrik
monyet, kerakusan babi, dan kepongahan
serigala. Mereka harus menjadi manusia
lagi. Manusia ialah makhluk yang secara
potensial mampu menyerap seluruh asma
Allah. Di Miqat, setelah membersihkan
diri dari kotoran-kotoran masa lalunya,
seorang haji keluar lagi seperti anak
kecil yang baru dikeluarkan dari perut
ibunya. Suci dan telanjang. Perlahan-lahan
ia mengenakan pakaian kesucian, kejujuran,
kerendahan hati, dan pengabdian. Dengan
wajah yang diarahkan ke Rumah Tuhan, dengan
hati yang sudah dibersihkan dengan taubat
yang tulus, ia berkata: “Ya Allah,
aku datang memenuhi panggilanMu.”
Di Rumah Tuhan, para haji memperbaharui
baiat mereka dengan mencium Hajar Aswad.
Mereka berputar bersama para malaikat
di sekitar Arasy, menandakan keterikatan
kemanusiaan mereka dengan Ketuhanan. Di
Arafah, seruling-seruling itu sudah menyatu
dengan rumpun bambunya. Al-Hajju ‘Arafah.
Di Arafah itulah haji. Di situlah bergabung
semua manusia dalam kedalaman lautan ketunggalan
Tuhan, fî lujjati bahri ahâdiyyatih.
Berapa banyakkah di antara jutaan orang
yang beruntung dapat berhimpun di Arafah
adalah haji, manusia yang sudah kembali
kepada Tuhannya? Berapa besarkah di antara
mereka yang kumpul di Arafah tahun ini
yang sudah meninggalkan selama-lamanya
sifat-sifat kebinatangannya dan sebagai
gantinya menyerap rahman-rahimnya Allah?
Kita tidak tahu. Dahulu, ketika umat Islam
masih belum mendunia, hanya sedikit yang
haji. Dalam pandangan Zuhri, kebanyakan
masih bertahan dalam kebinatangan mereka.
Kini, kita berdoa, mudah-mudahan mereka
semua menjadi haji yang mabrur. Artinya,
manusia sejati yang tubuhnya menapak di
bumi tapi ruhnya bergantung ke Arasy Tuhan.
Ketika mereka kembali ke tanah airnya,
mudah-mudahan mereka menyebarkan berkat
ke sekitarnya. Ketulusan hati mereka menusuk
jantung orang-orang munafik. Air Zamzam
yang mereka bawa menjadi tetes-tetes mukjizat
yang mengubah monyet yang licik menjadi
manusia yang jujur. Kesucian batin mereka
menghantam kepala para pecinta dunia.
Air mata mereka keluar membersihkan babi-babi
yang serakah dan mengubahnya menjadi manusia
yang dermawan. Akhirnya, kerendahan hati
mereka menghentam kepala para tirani pemuja
kekuasaan. Cahaya wajah yang sudah disinari
Ka’bah mematahkan leher serigala
yang pongah dan mengubahnya menjadi manusia
yang penuh kearifan dan kasih sayang.
Betapa perlunya negeri ini dengan kehadiran
para haji!