The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Aditjondro: Arogansi Militer di Indonesia Masih Besar


HARIAN ANALISA, Jumat, 14 Juni 2002

Aditjondro: Arogansi Militer di Indonesia Masih Besar

Canberra, (Analisa) - Pengamat politik Universitas Newcastle, Australia, Dr.George Aditjondro berpendapat, reformasi untuk menghapus peran dwifungsi ABRI di Indonesia sampai kini belum terwujud karena terbentur sikap arogansi militer yang senantiasa ingin mengatur ruang publik sipil.

"Saya kira Indonesia adalah satu dari sedikit negara di dunia yang tentaranya memiliki struktur territorial dari pusat sampai ke daerah," kata Aditjondro di Canberra, Kamis.

Struktur territorial itu, katanya, merupakan cerminan masih besarnnya arogansi TNI untuk mengendalikan kehidupan sipil. "Saya tidak melihat ada satu negara di dunia ini yang tentaranya memiliki struktur terrirorial yang begitu paralel dengan departemen dalam negeri," katanya.

Karena itu, ia mengatakan memahami kekhawatiran beberapa kalangan terhadap bahaya yang akan muncul jika TNI diberikan hak pilih dan dipilih. Selama ini, katanya, TNI merasa statusnya lebih tinggi dibanding pegawai negeri sipil atau pegawai lainnya.

Sikap itu berkembang pesat di era Orde Baru karena TNI diberi hak istimewa menentukan apa yang baik bagi negara dan bangsa ini, katanya. "Kebetulan sikap itu masih terus tumbuh sampai sekarang dan membawa dampak negatif terhadap kultur demokrasi di Indonesia seperti terlihat ketika terjadinya konflik.

Bangsa Indonesia saat itu tidak dibiasakan mengatasinya lewat perundingan, tapi selalu melalui kekuatan penentu, yaitu ABRI yang pada akhirnya memberikan 'bargaining power' kepada militer," katanya.

George menilai bahwa budaya kekerasan yang merambah di hampir semua lini masyarakat Indonesia juga merupakan dampak negatif dari dominasi militer dalam kehidupan sipil pada masa lalu.

Secara umum menurut George, proses demokrasi di Indonesia akan terhambat, dan proses itu senantiasa menjadi mentah kembali jika TNI sebagai alat negara melihat dinamika sosial itu sebagai ancaman terhadap negara sehingga tentara merasa harus ikut campur dalam konflik sipil.

Sebagai pengaman negara, TNI idealnya menjaga ancaman dari luar. Namun yang kita lihat sekarang, lain. Mereka bahkan melihat gerakan dinamika demokrasi sebagai ancaman yang perlu dihadapi, katanya.

Ia memberi contoh kerusuhan Ambon di Maluku atau Poso di Sulawesi Tengah yang terus berkelanjutan seolah tidak pernah mencapai titik jenuh. Semua itu, menurut George, disebabkan karena konflik sipil itu "dipecahkan" dengan cara militer, bukan dengan cara polisi.

Selain itu, sebagian besar unjukrasa di Indonesia juga diamankan oleh aparat militer secara ketat. Di Korea, katanya, tingkat demonstrasinya cukup tinggi, tapi aparat kepolisian selalu bisa mengatasinya secara profesional tanpa harus memakan korban jiwa. (Ant)

Copyright © 1999 Harian Analisa
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/unpatti67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044