Lihatlah Ke Dalam Juga
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya
Salam Sejahtera!
Saudara-saudaraku semuanya,
Saya sering bertanya-tanya pada diri saya sendiri dan kepada Tuhan, mengapa
situasi yang tidak menentu seperti ini terus-menerus melingkupi hidup kita. Berapa
banyak lagi yang harus kehilangan anggota tubuh, kehilangan nyawa dan kehilangan
sanak-saudara? Berapa banyak lagi perluru yang harus berdesingan mencari mangsa
dan berapa banyak bom dan ranjau yang harus meledakkan manusia dan
meporak-porandakan rumah dan harta bendanya? Saya percaya bahwa ada di antara
kita yang juga mempertanyakan hal yang sama. Lalu apakah jawabannya? Atau,
apakah jawabNya?
Mungkin ada banyak diantara kita yang karena itu lalu bertanya, "Di manakah
Tuhan?" Ada yang melihat Yesus berdiri menahan dan mengebaskan peluru kembali
pada yang mengirimkannya. Ada yang melihat awan berbentuk wajahNya yang
mengusir penyerang dan ada banyak lagi kesaksian lain. Lalu adakah yang pernah
bertanya, "Apakah kamampuan Yesus hanya sampai di situ?" Atau, "Apakah Yesus
memang hanya ingin melakukan yang itu-itu saja?" Mengapa Tuhan seperti enggan
menampakkan diriNya dan seperti lebih suka menyimpan tongkat dan gadaNya,
sehingga banyak dombaNya yang binasa diterkam serigala?
Keadaan Maluku dan daerah lain seperti Poso dan situasi umum negara sekarang ini,
tergambar jelas di dalam Alkitab, Kitab Habakuk 1:2-4: "2.Berapa lama lagi Tuhan,
aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepadaMu: "Penindasan!" tetapi
tidak Kautolong? 3 Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga
aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku;
perbantahan dan pertikaian terjadi. 4 Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya
dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah
sebabnya keadilan muncul terbalik."
Siapa yang bisa mengatakan bahwa ungkapan Nabi Habakuk ini tidak terjadi di
Maluku, di Poso, dan di seluruh Indonesia? Perbantahan, pertikaian, kejahatan,
kelaliman, kekerasan, hukum yang kehilangan kekuatannya dan keadilan yang
muncul terbalik, terjadi dimana-mana. Orang-orang fasik berjaya seakan-akan mereka
memiliki segala kebenaran, sehingga dengan sesuka hati mereka mengepung
orang-orang benar. Coba kita lihat salah satu dari sekian kejahatan yang terjadi.
Ketika pasukan Kopasus ditugaskan dengan alasan ‘menumpas RMS Kristen yang
dibantu pihak asing', terjadi huru-hara di Kudamati dan penyerangan serta
pembantaian manusia di desa Kristen Soya, kecamatan Sirimau, Ambon. Ketika
pasukan Kopasus masuk ke Poso dengan alasan ‘mencurigai kehadiran pasukan
asing di Poso', Poso masuk ke dalam babak kerusuhan baru hingga ke penyerangan
desa Mayomba terakhir ini. Tidakkah hal ini merupakan kejahatan, kelaliman,
kekerasan, hukum yang kehilangan kekuatannya dan keadilan yang muncul terbalik?
Kejahatan ini malah diikuti dengan pembodohan oleh Pemerintah dan Aparat
Keamanan, dengan menggunakan alasan ‘kesulitan geografis', persis seperti ketika
mereka mencoba menutup kelemahan aparat keamanan di Maluku dengan kondisi
Maluku yang berpulau-pulau. Lalu mengapa Tuhan seperti berdiam seribu bahasa?
Mungkin sekarang saatnya kita kembali ‘menoleh ke dalam', apakah di antara kita
tidak terdapat kejahatan, kelaliman, penindasan, ketidak-adilan? Apakah kita atau
sebagian dari kita malahan bersyukur secara tidak langsung karena kerusuhan yang
berkepanjangan ini membawa berbagai keuntungan pribadi? Apakah kita ini layak
menuntut agar Tuhan Yesus Kristus segera memberlakukan kebenaran dan keadilan
Sorgawi di atara kita? Atau dengan kata lain, "Apakah kita semua bersedia dengan
sepenuh hati menerima pemberlakuaan kebenaran dan keadilan Sorgawi di atara
kita? Padahal kita sendiri tahu bahwa kita sedang malakukan kefasikan, tetapi dari
jenis yang menguntungkan secara material, dan karena itu berharap agar, "Tuhan
jangan ikut campur dahulu!"?
Jika kita mau merendah dihadapanNya, maka akan jelas terlihat bahwa apa yang
terjadi sekarang ini, mirip dengan "penghukuman Tuhan atas umatNya yang
mendurhaka, dengan menggunakan tangan orang Kasdim" (Habakuk 1:5-11). Orang
fasik beria-ria dengan tangkapan mereka sedangkan kita yang enggan berintrospeksi
segera menyibukkan diri dengan pertanyaan, "Di manakah keadilan Tuhan?"
(Habakuk 1:12-17). Mengapa Tuhan enggan membela keadilan dan mengapa Tuhan
membiarkan dombanya dianiaya? Mengapa Tuhan begini dan mengapa Tuhan begitu?
Padahal, kesusahan itu tidak tumbuh dari tanah, bukan pulah jatuh dari Sorga, tetapi
karena ulah manusia sendiri.
Di bagian lanjutan dari Kitab Habakuk, kita akan lihat bahwa "Orang benar akan hidup
karena percayanya" (Habakuk 2:1-5), dan akan ada "Penghukuman atas para
penindas" (Habakuk 2:6-20). Tetapi kita harus sangat berhati-hati agar tidak segera
terperangkap ke dalam jaring ‘pembenaran diri', sehingga lupa bahwa kita juga
memiliki potensi untuk menjadi penindas, satu sama lain. Banyak di antara kita yang
saat ini yang malahan sudah menjadi penindas-penindas kecil atas sesama
saudaranya seiman dan sesama manusia. Kita tidak mampu memberikan batas jelas
antara penindas dan yang tertindas. Lalu bagaimana kita bisa yakin bahwa kita akan
hidup? Kita hanya akan terus hidup jika di hadapan mata Tuhan, kita adalah orang
benar, bukan karena pembenaran diri atau karena kebenaran yang ada pada kita,
sebab tidak ada kebenaran pad kita. Kita dikatakan benar, karena kesediaan kita
untuk membiarkan Allah di dalam Yesus Kristus memberlakukan kebenaran dan
keadilan Sorgawi di dalam kita.
"Orang-orang Kasdim" sebagai penindas yang digunakan Allah untuk meluruskan
kehidupan umatNya, bukanlah orang-orang yang harus dikutuk, tetapi yang
orang-orang perlu dikasihani. Mereka mungkin tidak akan diberi kesempatan untuk
berhenti menjadi penindas, dan karena itu harus dibinasakan. Jaffar Umar Thalib tidak
perlu dimusuhi dan dibenci, karena orang ini sebenarnya tidak punya apa-apa, selain
agama untuk ditunggangi dengan fanatisme. Walaupun dikelilingi oleh begitu banyak
ahli hukum, para ahli hukum pembela Jaffar Umar Thalib itu hanya mampu meminta
pembatalan tuduhan dengan menggunakan alasan politik. Tidakkah hal ini perlu
dikasihani?
Hamzah Haz boleh merasa dirinya diangkat oleh Tuhannya ke puncak-puncak
kekuasaan, sebagai suatu pembenaran dan kesempatan untuk sewenang-wenang.
Padahal, Tuhan mengangkatnya tinggi-tinggi supaya semakin banyak orang melihat
ketidak-mampuannya sebagai seorang politisi yang hanya bisa menjajakan agama
sebagai pengait popularitas. Orang seperti ini bukan untuk dimusuhi dan dibenci,
tetapi untuk dikasihani juga.
Lihatlah Republika! Hanya untuk memperagakan rasa nasionalismenya yang bersifat
formalitas belaka, Republika yang berbasis agama harus menjual harga diri dengan
menggunakan dusta dan tipu daya. Bukankah yang perlu dikasihani adalah
orang-orang yang harus menyakiti dirinya berjam-jam di dalam terik panas matahari,
17 Agustus 02, hanya untuk menyatakan rasa nasionalisme mereka, padahal masih
ada seribu-satu cara lain untuk itu?
Laskar Jihad yang perkasa dengan segudang simbol-simbol agama, tidak lebih dari
sekelompok orang tak punya arah, yang perlu didoakan. Apakah ‘merancang konflik
dengan menyaru di dalam seragam sekolah, berkelahi lalu berteriak bahwa mereka
dipukuli anak-anak sekolah yang Kristen', adalah tindakan yang diridhoi Tuhan?
Mereka perlu dikasihani, karena mereka hanya mampu meneriakkan hasutan "RMS
Kristen" di dalam negara yang sudah tidak memiliki penghargaan yang layak kepada
kejujuran. Katanya mereka membuat bendera berukuran 150 X 7 meter demi rasa
nasionalisme, tetapi di lain sisi mereka berusaha menggeserkan "dasar dan jiwa
nasionalisme Indonesia – Pancasila". Tidakkah mereka ini patut dikasihani?
Lihat, bagaimana Pendeta R. Damanik dimasukkan sebagai target operasi (TO) untuk
ditangkap, dengan alasan membawa senjata api, padahal beliau hendak ditangkap
karena ‘keluar dari kelompok pemrakarsa perdamaian di Malino, karena kecewa
pada ketidak-becusan Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan tanggung
jawabnya. Aparat keamanan hanya mampu bikin heboh dengan rencana
penangkapan orang yang tidak berbahaya, supaya masyarakat berpaling dari
kelompok bersenjata yang menebar teror dan pembunuhan dimana-mana, dan yang
tidak becus mereka selidiki, apalagi jadikkan TO. Aparat beralasan bahwa mereka
tidak dapat menahan Pdt. Damanik pada saat pertama karena ‘jumpah massa
pendukung lebih banyak'. Kalau massa labih banyak dan tidak bersenjata, mengapa
aparat ketakutan? Kalau mereka bersenjata, mengapa tidak dijadikan TO juga?
Doakan aparat keamanan yang hanya mampu menjadi pengecut penghianat
kebenaran dan sumpah prajurid mereka.
Jangan lupakan Pemerintah Indonesia dengan apa yang mereka akui sebagai
kedaulatan negara, tetapi tidak mampu mencongkel masalah RMS sampai ke
akar-akarnya di depan umum (?). Mereka mengadili Sdr. Alex Manuputty dengan
alasan "makar", karena mengibarkan bendera RMS di Ambon, tetapi mereka tidak
mampu menggunakan hukum dan keadilan negara untuk membuktikan bahwa RMS
adalah kelompok makar, di hadapan komunitas internasional. Pemerintah Indonesia
adalah orang-orang yang perlu dikasihani dan didoakan juga. Masakan seorang
dikatakan makar menurut undang-undang karena mengibarkan bendera negara yang
sah, yang tidak bisa dikatakan makar menurut undang-undang? Kasihanilah
Pemerintah yang hampir tidak punya harga diri lagi ini.
Mari kita ubah persepsi kita terhadap kerusuhan ini dengan tidak melulu menyalahkan
orang lain. Mari kita berbenah diri, Gereja dan Jemaat, untuk membiarkan Tuhan
Yesus Kristus memberlakukan kebenaran dan keadilanNya di dalam kita, sebab akhir
dari malapetaka ini tergantung dari pertobatan kita sendiri. Kita tidak perlu mengelak
bahwa negara kita ini sudah termasuk suatu negara yang amat morat-marit, penuh
dengan kejahatan dan kemunafikan. Karena itu, marilah kita berdoa juga untuk negara
kita ini. Karena hanya sedikit, satu lilin di dalam satu ruang cukuplah, asalkan masih
ada lilin di dalam rumah ini. Jika tidak, gelaplah seluruh rumah. Jadilah lilin-lilin kecil
bagi Yesus, dan tidak akan ada manusia yang mampu memadamkannya.
Semoga Tuhan Yesus Kristus memberkati pertobatan dan menjawab doa kita semua.
Salam Sejahtera!
JL.
|