KOMPAS, Senin, 10 Juni 2002
Panglima Koopslihkam Datang, Maluku Aman?
Oleh M Alfan Alfian M
MAYOR Jenderal Djoko Santoso telah dilantik sebagai Pangdam XVI/Pattimura,
menggantikan Brigjen Mustopo (30/5/2002). Mayjen Djoko Santoso sebelumnya
Panglima Divisi Infanteri II Kostrad, sedangkan Brigjen Mustopo selanjutnya menjadi
Perwira Tinggi Mabes TNI. Pergantian Pangdam XVI/Pattimura itu diputuskan
berdasar Surat Keputusan Panglima TNI Nomor 388 Tahun 2002, 27 Mei 2002,
dengan memperhatikan usulan KSAD tentang pengajuan jabatan perwira tinggi TNI
AD. Koopslihkam sendiri dibentuk untuk menjamin kesatuan komando di Maluku dan
membawahi Satgas Keamanan dan Satgas Penegakan Hukum yang unsurnya
berasal dari TNI dan Polri.
Dalam keterangannya, Gubernur Maluku Saleh Latuconsina menyebutkan, dengan
dialihkannya komando operasi dari Brigjen ke perwira bintang dua, merupakan satu
analisis sekaligus sebagai hasil evaluasi kerja Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD)
dalam menyikapi situasi yang terjadi di Maluku.
Kondisi yang terjadi di Maluku, katanya, menuntut peningkatan status komando
operasi pemulihan keamanan. Dari sini tampak, inisiatif hingga keluarnya kebijakan
baru itu, benar-benar dilakukan PDS. Tak heran bila Panglima Laksamana Widodo
AS (waktu itu) menyebutkan duduknya anggota TNI sebagai Pangkoopslihkam
Maluku
merupakan hak PDS Maluku, yaitu Gubernur Saleh Latuconsina. Menurut Widodo,
pembentukan Pangkoopslihkam sendiri tidak memerlukan keputusan presiden
(keppres), karena dalam keppres sebelumnya sudah jelas mengenai pembentukan
darurat sipil. Pembentukan Pangkoopslihkam ini, menurut dia, merupakan evaluasi
obyektif atas efektivitas darurat sipil di Maluku (Kompas Cybermedia, 30/5/2002).
***
MESKI demikian, pengangkatan Mayjen Djoko Santoso memang kontroversial, dan
terkesan menyempal dari kebiasaan dan aturan baku. Tak heran bila beberapa LSM
mengkritik penunjukan Panglima Koopslihkam di Ambon. Pembentukan Panglima
Koopslihkam, selain menunjukkan kegagalan fungsi teritorial TNI yang selama ini
dibanggakan, juga dinilai sebagai upaya memberlakukan darurat militer secara
terselubung, meski tanggung jawabnya tetap ada di tangan Penguasa Darurat Sipil
Daerah (PDSD) Maluku.
Menurut mereka, penunjukan perwira tinggi militer untuk mengatasi gangguan
keamanan di Ambon, telah menabrak Ketetapan (Tap) MPR No VII/MPR/2000 tentang
Peran TNI dan Polri, yang menempatkan Polri sebagai pemelihara keamanan, dan TNI
sebagai alat pertahanan negara. Selain itu, pembentukan Koopslihkam di Maluku
dikhawatirkan justru meningkatkan pelanggaran HAM. Koopslihkam dinilai merupakan
pintu masuk penanaman nilai-nilai dan pemapanan politik militeristik sekaligus
membangun citra bahwa sipil tidak mampu menyelesaikan konflik. Dalam hal ini,
pemerintah, khususnya Presiden sebagai penanggung jawab penguasa darurat sipil,
seharusnya melakukan kajian atas penanganan Darurat Sipil yang diatur dalam
Undang-Undang (UU) No 23/ Prp/1959 lebih dulu sebelum menyetujui Koopslihkam.
Namun, di balik kritik keras kalangan LSM, dukungan dan harapan atas kebijakan
baru ini juga banyak. Misalnya, Ketua MPR Amien Rais masih menaruh optimisme
bahwa pergantian Panglima Kodam XVI/Pattimura akan dapat menyelesaikan
masalah di Ambon. Amien berpendapat masalah di Ambon sudah lama ruwet
sehingga mungkin diperlukan pendekatan berbeda, yaitu ketegasan. Menurut dia, bila
sepintas pendekatan baru ini tidak sesuai aturan main yang biasa dipakai mengapa
tidak dilakukan pendekatan berbeda. (Kompas, 30/5/2002)
***
KALANGAN TNI tentu saja menolak tafsiran bahwa penggantian Panglima Kodam
Pattimura dengan jenderal berbintang dua sebagai pengondisian menuju darurat
militer. Catat saja keterangan Jenderal Endriartono Sutarto, bahwa hal itu hanya
bagian dari bantuan militer untuk normalisasi kehidupan di Maluku. Pembentukan
Komando Operasi Pemulihan Keamanan di Maluku yang dirangkap Panglima Kodam,
katanya, semata-mata hanya untuk menarik satu garis komando yang akan
memudahkan koordinasi aparat keamanan di Maluku.
Kebijakan ini memang didukung penuh pemerintah. Menko Polkam Susilo Bambang
Yudhoyono menolak tudingan LSM dan mengajak agar mereka memahami konsep
pemerintah, dan tidak serta-merta menyerang bahwa kembali represif militerisme.
Gubernur terkesan posisinya setingkat Panglima Koopslihkam yang berpangkat
Mayor Jenderal, ada kekhawatiran akan sulit melakukan koordinasi. Tetapi,
Yudhoyono menepis, karena UU No 23/1959 sudah jelas mengatur bahwa Gubernur
membawahi semua aparatur di daerah. Sementara Mendagri Hari Sabarno
menegaskan, karena yang dijalankan adalah supremasi sipil, maka kendali politik
selalu di bawah Gubernur. Ia yakin, tentara yang reformis tahu aturan mainnya.
(Kompas Cybermedia, 30/5/2002)
***
PILIHAN kebijakan baru untuk pemulihan keamanan di Maluku kali ini terkesan "semi
darurat militer". Terlepas pro-kontra tentangnya, yang jelas kini kalangan TNI diberi
kesempatan menunjukkan kemampuannya mengatasi persoalan keamanan Maluku.
Namun, harap dicatat, ia hanya, meminjam istilah fasilitator Gerakan Baku Bae
Maluku, Ichsan Malik, "satu tiang" di antara dua tiang yang harus berperan aktif,
yakni gubernur selaku PDSD dan masyarakat. Tugas aparat keamanan di sana
memang cukup berat, terutama dikaitkan dengan rendahnya tingkat kepercayaan
masyarakat. Jajak pendapat Baku Bae, misalnya, menyebutkan, 50,2 persen
masyarakat Maluku berpendapat, selama ini aparat keamanan-polisi maupun
tentara-tidak bertindak profesional. Dari jumlah itu, 24,6 persen berpendapat aparat
bertindak berat sebelah dan memihak. Sejumlah 25,8 persen berpendapat aparat
keamanan bertindak melebihi batas dan justru memperkeruh situasi. Hanya 23,9
persen responden berpendapat aparat keamanan telah bertindak obyektif, adil, dan
tidak memihak. Selebihnya menjawab cukup membantu, tidak tahu, atau tidak
memberikan jawaban. (Kompas, 31/5/2002)
Selain hal itu (kepercayaan yang rendah dari masyarakat), setidaknya ada tiga
catatan yang dapat dikembangkan dalam konteks kebijakan baru itu.
Pertama, ini adalah kesempatan antara pihak PDSD dengan aparat keamanan, yakni
polisi dan TNI untuk bisa lebih mantap melakukan koordinasi. Selama ini, sering
terdengar, antara pihak PDSD dan aparat keamanan kurang bisa melakukan
koordinasi di lapangan sehingga hasilnya fatal. Namun demikian, harap dicatat, pihak
PDSD harus tetap memegang prinsip supremasi sipil.
Kedua, meski terjadi kebijakan baru yang memberi "kesempatan lebih" pada TNI,
pendekatan militeristik harus dikurangi. Keberhasilan aparat keamanan justru terletak
pada bagaimana pihaknya mampu meminimalisasi konflik dengan kekerasan.
Tindakan represif, dikhawatirkan tidak akan mampu menyelesaikan persoalan secara
efektif. Sebaliknya, jika polisi dan tentara mampu tampil simpatik dan dipercaya
masyarakat maka efektivitas pemulihan keamanan akan tercapai.
Ketiga, bagi pihak TNI, bagaimanapun keputusan ini adalah ujian. Di tengah sorotan
tajam atas kesalahan masa lalu, serta berbagai hal yang membuat citranya yang
masih negatif, kebijakan baru bisa merepotkan bila pihaknya tak bisa tampil baik dan
memenuhi harapan semua pihak.
Peluang untuk membuat pelanggaran nyaris sama besarnya dengan peluang untuk
tampil tegas, namun simpatik. Faktor keberhasilannya antara lain terletak pada
naiknya tingkat kepercayaan masyarakat bahwa aparat keamanan bisa betul-betul
menciptakan rasa aman. Sebab, bila gagal, pasti situasinya lebih runyam lagi.
Apakah kehadiran Panglima Koopslihkam di Maluku bakal mampu meningkatkan
rasa aman di sana? Itulah persoalannya. Harapannya memang demikian. Dengan
demikian masyarakat bisa melakukan rekonsolidasi dan membangun diri kembali
dalam suasana tenang dan damai, di dalam lembaran baru yang penuh harapan.
M Alfan Alfian M Analis Sospol Katalis dan ACG Advisory Group, Jakarta
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|