KOMPAS, Senin, 17 Juni 2002
Membelenggu Kebebasan Pers di Daerah Konflik Justru
Membahayakan
Ambon, Kompas - Ketua Dewan Pers Atmakusumah Asraatmadja mengemukakan,
kebebasan pers sebaiknya tetap dipertahankan di wilayah yang dilanda konflik.
Membendung informasi melalui media pers justru berbahaya karena informasi yang
berkembang melalui desas-desus lebih tidak bisa dipertanggungjawabkan dan isinya
cenderung berlebih-lebihan. Informasi melalui media pers dapat lebih
dipertanggungjawabkan, dikelola secara lebih profesional, dan lebih terkontrol.
Atmakusumah mengemukakan hal itu dalam diskusi interaktif "Dari Jurnalis untuk
Perdamaian Maluku" yang diselenggarakan Maluku Media Center (MMC) di Ambon,
Sabtu (15/6). Hadir pula sebagai pembicara dalam diskusi tersebut Kepala Kepolisian
Daerah (Polda) Maluku Brigjen (Pol) Soenarko dan Staf Ahli Bidang Hukum Penguasa
Darurat Sipil Daerah (PDSD) Maluku Muhammad Ely.
Menurut Atmakusumah, pembatasan-pembatasan terhadap pers di wilayah konflik
tidak akan berjalan efektif dalam situasi sekarang. Apabila pembatasan diberlakukan
pada media lokal, berita-berita akan tetap muncul di media nasional. Apabila media
pers nasional dibatasi, berita-berita akan muncul di media pers luar negeri. Pada
akhirnya berita-berita tersebut tetap akan dapat diperoleh masyarakat.
Ancaman pembredelan yang pernah dilontarkan oleh Gubernur Maluku, maklumat
yang dikeluarkan Gubernur Maluku Utara yang melarang sejumlah wartawan dan
media pers meliput berita, maupun larangan Gubernur Maluku Saleh Latuconsina
untuk memberitakan kegiatan Front Kedaulatan Maluku (FKM) dan Republik Maluku
Selatan (RMS) ternyata tidak berjalan efektif. Peristiwa-peristiwa yang berkaitan
dengan kegiatan pengibaran bendera RMS misalnya, tetap terbaca di media-media
pers lokal Maluku.
"Pembatasan itu kenyataannya tidak terjadi di lapangan. Maklumat dan larangan itu
saya lihat lebih sebagai ajakan dari pemerintah untuk memberitakan secara
proporsional," kata Atmakusumah.
Secara umum Atmakusumah menilai kebebasan pers tetap terjaga di Maluku. Ia
mengaku bahwa kondisi di Maluku tidak ideal bagi jurnalis untuk menjalankan
tugas-tugas jurnalis secara profesional. Namun, ia mengajak kepada jurnalis lokal di
Maluku untuk menjalankan tugasnya dalam keterbatasan-keterbatasan yang ada,
bekerja dengan lebih cerdas, tenang, dan tidak emosional. "Saya melihat media pers
lokal di Ambon saat ini makin tenang, profesional, dan tidak lagi emosional," kata
Atmakusumah.
Soenarko mengajak wartawan di Maluku untuk terus bekerja secara obyektif, bekerja
dengan ikhlas, dan tidak berpihak pada salah satu komunitas, jujur, dan senantiasa
bersikap arif dalam mengolah berita. Tugas-tugas wartawan apabila dilaksanakan
dengan baik, menurut Soenarko, akan sangat membantu kepolisian dalam
menjalankan tugas penegakan hukum dan pemulihan keamanan di Maluku.
Muhammad Ely menekankan bahwa dengan ditetapkannya Maluku sebagai wilayah
darurat sipil, hukum-hukum yang berlaku di tingkat nasional tidak berlaku dan yang
berlaku adalah hukum darurat. Dalam keadaan darurat, kata Ely, pemerintah berhak
melakukan pembredelan terhadap pers meskipun hal itu tidak dilakukan karena pers
dinilai dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian konflik. Kebenaran, lanjut
Ely, tidak perlu diberitakan bila itu justru akan menyebabkan keresahan dalam
masyarakat.
Namun, sejumlah jurnalis lokal Maluku menyatakan ketidakpuasan terhadap sikap
PDSD Maluku yang tidak mengerti situasi pers saat ini dan kurangnya perhatian
mereka terhadap media pers lokal. Seorang jurnalis mengemukakan
ketidakmengertiannya karena di satu pihak PDSD melarang memberitakan FKM dan
RMS, tapi di lain pihak elite politik lokal dan daerah justru membesar-besarkan
keberadaan FKM dan RMS melalui pernyataan-pernyataannya. (wis)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|