KOMPAS, Rabu, 28 Agustus 2002
Poso, Mengapa Kembali Mencekam?
Pertemuan para penanda tangan kesepakatan damai Malino dengan Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Jusuf Kalla di Palu 12
Agustus 2002 merupakan titik balik dari pertemuan para tokoh Muslim dan Kristen di
Malino 19 Desember 2001. Harapan bahwa perdamaian di Poso segera terwujud
mewarnai pertemuan di pengujung tahun 2001. Namun, pertemuan di Palu
pertengahan Agustus lalu justru dibayang-bayangi aksi kekerasan dan menandai titik
balik upaya rekonsiliasi di wilayah itu.
HANYA beberapa jam setelah pertemuan Menko Kesra Jusuf Kalla dengan para
penanda tangan kesepakatan damai Deklarasi Malino, di Palu, Senin malam tanggal
12 Agustus 2002, situasi kembali mencekam di Poso. Tiga desa di Kecamatan Lage,
yaitu Desa Sepe, Silanca, dan Batugencu, diserang sekelompok orang tak dikenal.
Penduduk tiga desa itu ditembaki dan rumah-rumah mereka dibakar dan diledakkan
dengan bom. Lima orang tewas, sedikitnya 552 rumah penduduk serta enam rumah
ibadah musnah terbakar.
Pada malam yang sama terjadi penyerangan kelompok tak dikenal di Kota Poso
yang mengakibatkan satu unit gedung SD di Kelurahan Kasintuvu, sebuah masjid di
Kelurahan Kawua, dan sebuah gereja di Kelurahan Gebang Rejo dibakar.
Sejak itu keadaan Poso makin tidak menentu. Menurut keterangan, hingga Selasa
kemarin, kawasan masyarakat Kristen di Tentena diisolir. Angkutan umum tidak bisa
beroperasi. Aparat kepolisian dan militer memblokir wilayah tersebut untuk
menangkap Pendeta Reinaldy Damanik yang dituduh membawa sejumlah senjata.
Hubungan telepon ke Tentena terputus dalam tiga hari terakhir.
"Masyarakat Tentena harus berjalan kaki selama enam jam melewati Desa Deuwa
untuk mendapatkan angkutan umum. Tentena diblokir dari semua penjuru. Polisi dan
tentara ada di mana-mana," kata Dedi Askary, Direktur Lembaga Pengembangan
Studi Advokasi dan Hak Asasi Manusia (LPS HAM) Palu, kepada Kompas, kemarin.
Damanik, Koordinator Crisis Center Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST),
ditangkap aparat militer dan kepolisian dalam aksi sweeping di Desa Mayumba,
Kabupaten Morowali, di daerah perbatasan Kabupaten Poso. Damanik beserta
rombongan berada dalam tiga mobil yang berjalan beriring-iringan. Menurut
keterangan polisi, dalam mobil yang ditumpangi Damanik ditemukan empat senjata
api rakitan laras pendek dan sepuluh senjata laras panjang serta sejumlah amunisi.
Namun, aparat keamanan pada waktu itu tidak langsung menangkap Damanik
dengan alasan teknis di lapangan. Aparat yang akan melakukan penangkapan di
Tentena dihadang oleh ratusan orang yang membuat pagar betis.
Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Polda Sulteng) telah menetapkan Damanik
sebagai salah satu tersangka dalam kepemilikan senjata dengan tuduhan melanggar
Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan telah melayangkan panggilan
pertama pada 22 Agustus kepada pihak bersangkutan.
Damanik dalam suratnya kepada Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia (PGI) membantah tuduhan polisi. Menurut Damanik, pada waktu itu ia
tengah melakukan evakuasi masyarakat Desa Mayumba dan Pelere yang beberapa
waktu sebelumnya diserang kelompok bersenjata, di mana timbul korban tiga orang
tewas. Pada waktu hendak melakukan evakuasi itu rombongan Damanik dihadang
oleh aparat Polda Sulteng. Pada saat itu sekelompok massa hendak menyerang.
Damanik dan rombongan pengungsi diselamatkan oleh aparat Batalyon Infanteri
(Yonif) 711.
"Saya tidak melakukan tindak pidana menyimpan, memiliki, menguasai, dan
mempunyai persediaan senjata api organik dan amunisi sebagaimana dimaksud
dalam UU Darurat. Misi saya ke Pelere dan Mayumba adalah tindakan kemanusiaan
untuk melaksanakan evakuasi penduduk," kata Damanik dalam suratnya tertanggal
26 Agustus 2002.
Askary tidak menyangkal kemungkinan Damanik dijebak dalam peristiwa tersebut.
Apalagi Damanik dikenal sebagai kelompok garis keras yang selalu mempertanyakan
kegagalan aparat dalam menjaga keamanan di Poso pascapertemuan Malino. Atas
dasar itu pula Damanik tidak menghadiri pertemuan kesepakatan damai di Palu yang
dihadiri Jusuf Kalla. Aparat, kata Askary, juga cenderung mengabaikan asas praduga
tak bersalah dalam menangani kasus Damanik. "Sampai-sampai Komandan Korem
(Danrem) Tadulako membuat pernyataan agar Kepala Polda Sulteng tidak usah ragu
menangkap Damanik, sikat saja," kata Askary.
***
BERBAGAI peristiwa kekerasan yang terjadi di Poso dalam dua bulan terakhir
menimbulkan tanda tanya besar tentang masa depan penyelesaian konflik yang
terjadi sejak Desember 1998 itu. Upaya rekonsiliasi yang diprakarsai Menko Kesra
Jusuf Kalla dengan mempertemukan tokoh-tokoh masyarakat Muslim dan Kristen di
Malino Desember 2001 menumbuhkan harapan baru bahwa konflik yang telah
menelan sekitar 2.000 korban jiwa itu dapat segera diselesaikan. Bahkan, model
kesepakatan damai Malino telah dicoba pula untuk menyelesaikan masalah Maluku.
Dunia internasional pun sempat memuji prakarsa yang dilakukan pemerintah. Namun,
kenapa semua upaya ini seolah-olah akan kembali lagi ke titik nol?
Selama enam bulan setelah pertemuan Malino, situasi Poso berangsur-angsur
membaik meski berbagai insiden kecil muncul secara sporadis. Akan tetapi, eskalasi
konflik kembali meningkat dalam dua bulan terakhir. Di kalangan masyarakat muncul
berbagai pertanyaan yang mengaitkan kedatangan 12 anggota pasukan khusus
secara diam-diam ke wilayah itu, yang baru resmi diakui beberapa saat kemudian.
Sepulang dari Poso, usai mengikuti sidang kabinet terbatas 14 Agustus 2002, Jusuf
Kalla menyebut tidak tuntasnya penyelesaian tujuh peristiwa kekerasan dalam satu
bulan merupakan penyebab meletusnya persoalan baru. "Ada tujuh peristiwa dalam
satu bulan ini, aparat tidak menangkap pelakunya. Ini menimbulkan kekecewaan dan
menyebabkan munculnya masalah baru," kata Jusuf Kalla.
Menurut data LPS HAM Palu, jumlah kekerasan yang terjadi sejak pertemuan Malino
Desember 2001 mencapai 49 kasus, seperti kasus penculikan, penembakan, bom,
penyerangan, dan pembakaran. Anehnya, tidak satu pun kasus itu yang bisa
diungkap aparat kepolisian dan tidak satu pun pelakunya ditangkap.
Sepekan sebelum kedatangan Jusuf Kalla ke Palu, Minggu dini hari tanggal 4
Agustus 2002, penyerangan terjadi di Desa Matako, Kecamatan Tojo. Meski tidak
ada korban jiwa, sekitar 1.200 warga Desa Matako serta tiga desa di sekitarnya
mengungsi ke Tentena. Penyerangan mengakibatkan sejumlah warga luka-luka
terkena tembakan, 21 rumah penduduk serta dua rumah ibadah musnah terbakar.
Selang empat hari kemudian, kelompok tak dikenal menembaki sebuah bus
penumpang yang melintasi Kabupaten Poso di Kecamatan Pamona Selatan.
Penyerangan bus Batutumonga yang dalam perjalanan dari Tana Toraja (Sulawesi
Selatan) ke Palu (Sulawesi Tengah) menewaskan seorang warga asing, Lorenzo
Tadey (34), dan melukai empat penumpang lainnya. Lorenzo adalah wisatawan asal
Italia yang berlibur ke Indonesia bersama istrinya, Patricia Linosy.
Warga Kabupaten Poso yang tergabung dalam Forum Peduli Masyarakat Poso di
Jakarta (FPMPJ) menyatakan keheranannya karena petugas keamanan belum juga
berhasil menemukan kelompok-kelompok yang senantiasa menimbulkan kekacauan,
padahal wilayah Poso tidak terlalu besar dibanding banyaknya pasukan TNI dan Polri
yang dikerahkan ke sana.
Koordinator FPMPJ Syamsiar Lasahido menilai, pemerintah, dari pusat hingga
kabupaten, belum berhasil menjalankan secara sungguh-sungguh butir-butir
kesepakatan Deklarasi Malino I. Penyebabnya, menurut Syamsiar, antara lain karena
orang-orang yang duduk dalam kelompok kerja maupun penanda tangan Deklarasi
Malino I ada yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat Poso dan dianggap
tidak mewakili komunitas tertentu. "Jadi, ada semacam ketidakpercayaan
masyarakat atas kesepakatan yang dibuat di Malino itu, karena ditandatangani oleh
orang yang tidak dapat diterima oleh kelompok tertentu," katanya.
Ketidakberdayaan aparat keamanan untuk menjaga keamanan dan aparat penegak
hukum untuk menegakkan hukum tanpa memihak merupakan prasyarat penting
dalam penghentian konflik. Namun, seperti di Poso dan di daerah-daerah konflik
lainnya, netralitas aparat keamanan dan aparat penegak hukum itu jadi pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan menjadi kecurigaan ketika aparat keamanan seakan-akan
mempunyai agenda sendiri untuk memuluskan jalan pemberlakuan darurat sipil
maupun darurat militer.
Pemeriksaan atau penangkapan Damanik dalam situasi penegakan hukum yang
demikian lemah akan menjadi dilema yang justru akan memperkeruh konflik yang
terjadi. Bila pemeriksaan atau penangkapan dilakukan, akan menimbulkan rasa
ketidakadilan bagi komunitas yang diwakili Damanik. Sebaliknya, bila kasus ini
diambangkan, komunitas yang lain akan merasa diperlakukan tidak adil. Apa pun,
tidak profesionalnya aparat dalam menangani kasus ini akan menjadi bahan
kampanye bagi kelompok-kelompok antidamai.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Hendardi mengatakan, kesalahan pemerintah yang terjadi di Poso tidak berbeda
dengan kasus-kasus yang terjadi di daerah konflik lainnya, baik di Maluku, Aceh,
maupun Papua. Pemerintah, kata Hendardi, selalu menghindar dari upaya
menghukum pelaku sesungguhnya dari peristiwa-peristiwa konflik itu dan mencari
kambing hitam sekadar untuk menunjukkan bahwa pemerintah telah berbuat sesuatu.
"Kasus-kasus kriminal kecil tidak cepat ditangani, dibiarkan meluas, sehingga ada
pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari konflik itu," demikian Hendardi.
Ditambahkannya, reaksi spontan masyarakat yang menghalangi penangkapan
Damanik sangat wajar. Menurut Hendardi, tidak mungkin aparat menangkap ujungnya
saja tanpa mengungkap dan menangkap pangkalnya. "Di Maluku pemerintah
menuduh Jaffar Umar Thalib dan Alex Manuputty. Kini di Poso, Damanik akan
ditangkap. Padahal, mereka datang belakangan setelah konflik berlangsung sekian
lama," ujar Hendardi lagi.
Profesionalisme aparat keamanan dan aparat penegak hukum dalam menangani
kasus Poso menjadi sangat krusial. Kegagalan aparat dalam menangkap dan
mengusut 49 kasus kekerasan yang terjadi setelah kesepakatan damai Malino
Desember 2001 akan tetap menjadi catatan. Ketika pengejaran terhadap Damanik
dilakukan, lagi-lagi dua bom meledak di kawasan pertokoan di Poso Senin pagi
tanggal 26 Agustus 2002, yang menyebabkan sejumlah orang luka-luka. Masyarakat
jelas mendambakan perdamaian. Kini tinggal pemerintah dan aparat keamanan,
mampu tidak melakukan tugas-tugasnya.
"Pemerintah daerah dan aparat keamanan harus bekerja sungguh-sungguh agar
dalam waktu singkat dapat menghentikan aksi teror di Poso dan menemukan siapa di
balik aksi-aksi tersebut. Masyarakat sangat mendambakan rasa aman," kata
Syamsiar. (Nasru Alam Aziz/ P Bambang Wisudo).
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|